Kenapa Aku Mesti Berbahagia, Ibu?

Kenapa aku mesti berbahagia, Ibu?
Karena aku melihat ibu tetap tersenyum
Padahal kutahu semua kekalutan dalam hati ibu.

Kenapa aku mesti berbahagia, ibu?
Karena ibu memeluk mimpi-mimpiku dengan do’a

Kenapa aku mesti berbahagia, ibu?
Karena ibu selalu mendukung
Setiap gerak langkahku

Kenapa aku mesti berbahagia, ibu?
Karena aku memiliki mimpi yang pernah kubangun
Bersama ibu
Semoga ibu masih mengingatnya

Ibu, jangan pernah mengatakan
Ibu tidak pernah memberiku apa-apa
Ibu telah memberiku segalanya
Tak ada yang mampu menandingi pemberian ibu

Teruntuk ibuku tercinta,
Ibulah kado terbaik dari Allah untukku

Dan terakhir,
Kenapa aku mesti berbahagia???
Karena aku memiliki ibu di sisiku…^_^
Selamat hari ibu…^_^
Hari Ibu, 22 Desember 2010

Siapa yang Mesti Kita Cintai?

“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, pasangan-pasangan, dan kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggullah sampai Allah mendatangkan siksaanNya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S At Taubah (9):24)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S Luqman (31): 14)

Dalam hadis riwayat Bukhari, rasulullah bersabda:
“…hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu, kemudian ibumu, sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat.”

***
Cinta yang tertinggi adalah cinta kepada Allah, Rasulullah, dan jihad di jalan-Nya selanjutnya adalah mencintai orang tua kita terutama ibu.
Jangan mencintai yang lain sebelum kalian mencintai Allah, rasulullah, jihad di jalan-Nya, Ibumu, ibumu, ibumu kemudian ayahmu. Terkecuali istri kepada suami.
Ada sebuah kesyukuran diciptakan sebagai seorang lelaki. Karena ketaatan terhadap ibunya tidak akan pernah berubah, pun ketika mereka telah menikah. Beda dengan perempuan. Itulah kenapa saya selalu iri terhadap kaum lelaki untuk yang satu ini…^_^

Semoga kita bisa memposisikan segalanya pada tempatnya…^_^

Salam Ukhuwah

Rasa sayang membuat kita bahagia…
Rasa percaya membuat kita yakin…
Rasa kecewa membuat kita menangis…
Rasa cinta terkadang terasa pahit…
Tetapi…
Rasa Ukhuwah
Selamanya akan terasa manis

Itu sebabnya,
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ukhuwah itu bukan terletak pada pertemuan, bukan juga pada manisnya ucapan di bibir...Tetapi pada ingatan seseorang terhadap saudaranya di dalam doanya...”

"Salam Ukhuwah"

Kisah Pendoa

Ketika kumohon pada Allah kekuatan,
Allah memberiku kesulitan, agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan,
Allah memberiku masalah, untuk kupecahkan
Ketika kumohon kepada Allah kesejahteraan,
Allah memberiku pikiran, untuk berpikir
Ketika kumohon pada Allah keberanian,
Allah memberiku kondisi bahaya, untuk kuatasi
Ketika kumohon pada Allah cinta,
Allah memberiku orang-orang bermasalah, untuk kutolong
Ketika kumohon pada Allah bantuan,
Allah memberiku kesempatan.
Aku tak selalu menerima apa yang kuminta,
Tetapi aku menerima segala yang kubutuhkan !

Taken from Sulthon Amin’s poem

Jadi, jangan pernah menyalahkan hidup ini, karena Allah tidak akan memberi kita masalah, melainkan kita menjadi orang yang lebih baik dan bijak setelah memecahkan masalah itu. Mungkin itulah yang kita butuhkan untuk semakin disayang oleh Allah.

Catatan Untuk Para Wanita

Sesungguhnya fitnah (ujian) terbesar bagi laki-laki adalah wanita, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
"Tidaklah aku meninggalkan fitnah, setelah aku (wafat), yang lebih berbahaya atas laki-laki daripada wanita".[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadits ini dengan perkataan: “Hadits ini menunjukkan bahwa fitnah yang disebabkan wanita merupakan fitnah terbesar daripada fitnah lainnya. Hal itu dikuatkan firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Qs Ali-Imran/3 ayat 14) yang Allah menjadikan wanita termasuk hubbu syahawat (kecintaan perkara-perkara yang diingini), bahkan Dia menyebutkannya pertama sebelum jenis-jenis lainnya, sebagai isyarat bahwa wanita-wanita merupakan hal utama dalam masalah itu”. (Fathul-Bari)
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata: “Kebanyakan yang merusakkan kekuasaan dan negara, ialah karena menaati para wanita”.[6]
Sebagian orang shalih berkata: "Seandainya seseorang memberikan amanah kepadaku terhadap baitul mal, aku menduga akan mampu melaksanakan amanah tersebut atasnya. Namun seandainya seseorang memberikan amanah kepadaku atas diri seorang gadis untuk bersendirian satu jam saja, aku tidak merasa aman atas diriku padanya"[7]. Karena fitnah wanita, dapat menyebabkan seseorang dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan hingga melupakannya terhadap akhirat. Seperti memandang wanita yang bukan mahramnya, menyentuhnya, berpacaran, bahkan sampai berbuat zina.
Sesungguhnya perkara yang mudah untuk menjaga diri dari fitnah wanita sejak permulaannya, ialah sebagaimana telah diajarkan Allah Ta'ala, yaitu dengan menahan pandangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat". [an-Nûr/24: 30]
Dalam hal ini, Allah Ta'ala juga tidak mencukupkan hanya dengan memerintahkan kepada laki-laki yang beriman saja agar menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, tetapi Allah juga mengiringkan perintah-Nya kepada wanita-wanita:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya"[An- Nûr/24: 31].
Akan tetapi, ketika seseorang melepaskan kendali terhadap syahwatnya semenjak awal, maka di akhirnya dia akan sangat kesulitan mengatasinya. Ibarat seekor kuda yang berlari menuju ke suatu pintu yang akan dimasukinya, maka akan sangat mudah mengarahkan kuda itu dengan cara menarik kendalinya dan membelokkannya ke arah lain. Sebaliknya betapa susah, setelah kuda itu memasuki pintu tersebut, kemudian orang berusaha memegangi ekornya dan menariknya ke belakang. Alangkah besar perbedaan dua hal di atas.
Kemudian, karena beratnya menjaga dan mengendalikan fitnah syahwat ini, maka Nabi Saw, memberikan jaminan surga terhadap orang yang dapat mengendalikannya dengan baik.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
"Barang siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya".[8]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: Makna "menjamin (untuk Nabi)", ialah memenuhi janji dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dengan menjamin, sedangkan yang beliau maksudkan ialah konsekwensinya, yaitu menunaikan kewajibannya. Sehingga maknanya, barang siapa yang menunaikan kewajiban pada lidahnya, yaitu berbicara sesuai dengan kewajibannya, atau diam dari apa yang tidak bermanfaat baginya; dan menunaikan kewajiban pada kemaluannya, yaitu meletakkannya pada yang halal dan menahannya dari yang haram.
Sedangkan yang dimaksud dengan "apa yang ada di antara dua rahangnya", yaitu lidah dan apa yang dilakukannya, yaitu perkataan. Sedangkan "apa yang ada di antara dua kakinya" ialah kemaluan.
Ad-Dawudi mengatakan, "apa yang ada di antara dua rahangnya" adalah mulut. Dia mengatakan, sehingga itu meliputi perkataan, makanan, minuman dan semua perbuatan yang dilakukan dengan mulut. Dia juga mengatakan, barangsiapa berusaha menjaganya, maka ia telah aman dari semua keburukan, karena tidak tersisa kecuali pendengaran dan penglihatan". Namun masih tersembunyi baginya, yaitu memukul dengan tangan.
Sesungguhnya pengertian hadits ini berbicara dengan lidah merupakan hal utama dalam meraih semua yang dicari. Jika seseorang tidak berbicara kecuali di dalam hal kebaikan, maka dia selamat. Ibnu Baththalt berkata, hadits ini menunjukkan bahwa bencana terbesar atas seseorang di dunia adalah lidah dan kemaluannya. Sehingga barang siapa menjaga keburukan keduanya, dia telah menjaga dari keburukan yang terbesar.[9]
Perhatikanlah Fudhail bin Iyadh rahimahullah, seorang ‘alim, seorang shalih, ahli ilmu dan ibadah, 40 tahun tak pernah ia telat untuk mendapat shaf pertama dalam shalat, namun ia mengatakan “Sungguh yang paling aku takutkan adalah fitnah wanita”. Sungguh beliau sangat memahami sabda Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah aku meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi kaum pria melebihi kaum wanita” (Muttafaqun ‘alaih)
Dikutip dari berbagai sumber
Untuk para wanita, mari kita berhati-hati, terus memperbaiki diri, dan berdoa kepada Allah jangan sampai kita menjadi fitnah untuk kaum lelaki. Terutama saya sebagai seorang wanita yang mengutip artikel ini…

Mencintai Dalam Diam

Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam ...
karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya ...
kau ingin memuliakan dia, dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang, kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya..

karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu.. menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu ..

karena diammu bukti kesetiaanmu padanya ..
karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga orang yang telah ALLAH swt. pilihkan untukmu ...

ingatkah kalian tentang kisah Fathimah Az-Zahra dan 'Ali bin Abi Thalib?
yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan ...
tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah

karena dalam diammu tersimpan kekuatan ... kekuatan harapan ...
hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata ...
bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap pada-Nya?

dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata,
biarkan ia tetap diam ...

jika dia memang bukan milikmu, toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat ...

biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu ...

Taken from http://ahmadsheva.blogspot.com

***

Andai kau tahu kenapa wanita memilih menghindar
Karena begitulah caranya mencintaimu...
Sudah terlanjur kehujanan...
waktu tak bisa diputar kembali
Anggap saja tak pernah ada pertemuan sebelumnya...

Cukuplah Saat Ini, Aku Memiliki Ibu dan Ibu Memilikiku!!!


Ku tahu di balik ketegaran itu kau menyimpan lelah
Ku tahu kau pilih bersabar untukku yang selalu menuntut
Maafkan aku yang selalu menyusahkan Ibu

Aku, anakmu, yang kau kira tegar
ternyata rapuh di dalam

Kau adalah awan pekat di birunya hatiku
Kau adalah bening pada telaga di jiwaku
Aku tak mau jadi air mata, untuk mata sembab itu
Aku ingin jadi matahari yang hangat di sisimu

Ingat, saat aku bersamamu, Bu..
Tak ingin kulewatkan sedetik pun waktu
Saat malam menjelang
Aku akan mendekap Ibu, dan mengelus rambut Ibu
Tak ada hari lebih baik dari hari itu

Aku pun ingat
Saat kubawa pasir-pasir kasar
Ibu malah membawa secangkir madu untukku
Seketika kudengar nada suaramu melemah
Dan titik-titik air itu kau kumpul di matamu
Mungkin akan turun hujan atau titik air yang beku
Aku salah!

Aku berpikir, bagaimana jika suatu saat aku harus meninggalkan Ibu
Saat tak sering lagi kupandangi wajah Ibu dalam bisikan malam
Saat tak sering lagi kuelus rambut Ibu
Atau kudekap Ibu ketika aku mencari hangat dalam dingin yang mengiris
Dan saat kasih sayangku tak bisa seperti dulu
Itu mungkin saja terjadi, Bu!

Jika suatu saat ada yang menyeruak di dadaku
Dan kupilih untuk menyempurnakannya
Ibu jangan bersedih,
Jika kebaktian itu harus kubagi
Atau mungkin kebaktianku tak sama lagi saat aku masih milik Ibu

Bu, sekali lagi aku berpikir, entah salah atau tidak
Aku tak ingin meninggalkan Ibu seorang diri
Jika suatu saat ada yang datang
Dia harus tahu, kalau aku sayang Ibu
Namun saat ini cukuplah aku memiliki Ibu, dan Ibu memilikiku

_"Q~@"_

Kau Berada Dimana???

Ini adalah masa saat manusia terjebak dalam idealisme, pragmatisisme, dan apatisisme… maka kau berada di mana???

Aku memilih untuk berbicara masalah eksistensi
Karena zaman telah menuntut eksistensi
Kau berada di mana ketika ada yang tidak beres
Kau berada di mana ketika kemunkaran mendominasi
Kini hanya tanganku yang berbicara
Kakiku hanya diam
Tapi otakku bergejolak
Lalu hatiku dilema
Kulihat semua warna telah abu-abu
Tak ada yang bertahan dengan putih atau hitamnya
Kulihat banyak yang lumpuh karena ketakutannya
Namun sedikit yang lantang karena imannya
Kuharap kau mengenal si kakek tua…
Karena ada yang panas di tangannya
Menunggu kita ikut menggenggam bersamanya
Kuyakin kau masih memilih dalam kepragmatisanmu
Kuyakin pula kau masih memilih dalam keapatisanmu
Karena sekali lagi zaman menenggelamkan idealismemu
Aku pun tak tahu diriku berada di mana
Tapi panas itu telah lama membara di hatiku
Tinggal menunggu ia menjalar ke tanganku
Namun kuharap juga membara di hatimu
_“Q~@”_

Apologize...!!!

Untuk saat ini…
Mungkin hanya kau yang tahu isi hatiku..
Dan hanya aku yang tahu isi hatimu..

Kita lebih memilih mengobrol panjang di kamar hingga malam bersuara lirih
Sejenak melupakan tugas yang menumpuk
Obrolan yang selalu sama di setiap obrolan
Tentang keluarga, teman, organisasi, kuliah, agama kita, tentang anak yang kelaparan, tentang tingkah laku para penguasa kita, tentang skandal, sampai pada sisi buram negeri kita tercinta
Ah, kau tentu tahu kapan aku menangis dan apa yang bisa membuatku menangis
Juga ku tahu sebaliknya tentang dirimu..
Kau juga tahu siapa orang-orang yang pernah membuatku sakit hati hingga membuat bulir air mataku menetes
Kau juga tahu apa yang mengenakkan perasaanku, cita-citaku, sampai perasaan yang sering membuatku makan hati
Karena kutahu kau pun merasakan itu
Kau juga pasti tahu tentang keinginanku yang tak sempat tercapai
Karena alasan klasik yang sering kita perdebatkan dan tentang rencana hidupku yang mulai berubah
Maaf, telah membawamu ke jalan rumit hidupku
Aku bisa membaca kalau kau hampir tak sanggup menahan beban itu
Itu sangat terbaca dari matamu, meskipun kau selalu mengelak
Kalau kau baik-baik saja, dan gak usah ambil pusing,, katamu!
Sekali lagi maaf! Bukan bermaksud demikian
Kau perlu tahu kalau aku sendiri, sepi selama ini
Pada jalan-jalan berhamparan paku ini
tapi terlihat jelas di ujung sana ada emas
Sebelum aku menarik dirimu dari jalan berhamparan roti
yang di ujungnya ada besi berkarat
Aku hanya mengadu pada diriku sendiri yang justru menabung duri di hati
Lalu kau datang menemaniku, dan bersedia menjadi tempat berbagiku
Kau pasti tahu sekarang, kalau aku selalu berbeda
Ketika kita bicara yang tak dimengerti orang lain
Pun ketika memasuki sebuah komunitas
Dan secara tak sengaja kau telah mengikuti alur hidupku
Yang sekali lagi kukatakan, rumit! Sangat rumit!!
Kau sekarang pasti merasakan betapa ngos-ngosannya aku
Seperti usai berlari kencang hingga kelelahan
Inilah yang selama ini kurasakan, teman!
Kau bisa rasakan itu, “Tebal Muka dan Makan Hati”
Jargon yang sering kita dengungkan
Kita perlu memiliki dualisme itu
Karena itu yang membuat hidup kita bermakna
Aku akan selalu muncul menjadi hujan, setelah itu kau muncul dengan warna-warnimu
Kita sudah sama-sama tahu itu, bukan???
Saling melengkapi seperti hidup kita yang saling mengisi kekosongan
Aku masih ingat tentang banyak hal yang mebuat kita kecewa bersamaan
Juga masih ingat tentang banyak hal yang membuat kita bahagia bersamaan

_‘‘Q~@’’_

Mencari Perubahan…!!!

Meski aku telah pandai merangkai kata untuk mencipta puisi
Tapi selalu ada gelombang darah di otakku, ingin membuncah
Bahwa puisi ternyata tak sepenuhnya mengenakkan perasaanku
Mungkin butuh sedikit teriakan untuk meredakan kepenatan badai otak
Melihat tingkah konyol tak tahu malu para-para itu
Atau butuh sentuhan pada realitas dengan pergerakan fisik
Seperti yang ditunjukkan dari catatan para demonstran…
Bilakah kepala mereka berdarah
Atau peluh menjadi air segar penikmat dahaga
Dan badan menjadi sasaran empuk tongkat-tongkat pereda kericuhan
Lalu katanya, pereda kericuhan itulah sebenarnya yang membuat ricuh
Bukan kami para penunggu keadilan
Lalu biarlah cemooh salah itu berdengung di telinga kami
Maka lawanlah mereka dengan batu, itu katanya…
Bukankah melawan ricuh dengan ricuh menambah ricuh 2 x lipat
Asumsimu mungkin salah kawan…
Hukum III Newton yang kuberitahukan, pasti berlaku
Itu hukum Alam, itu sunnatullah…
Ketika kau memancarkan aksi, reaksi yang datang pun mengikuti alur aksimu
Jadi jangan tanyakan mengapa terjadi anarkisme
Ataukah sebuah anarkisme, adalah simbol ketangguhanmu
Lalu kalian bangga dengan ucapan: tubuhku sakit usai aksi…
Lalu kemana perubahan itu?
Apakah perubahan itu adalah terbakarnya ban, pecahnya kaca mobil, macetnya jalanan
Benarkah aku tak mendapatkan kata selain sia-sia?

The Beautiful End

Bismillahirrahmanirrahim…

Kan kugenggam matahari yang panas
Kan kudekap rembulan yang lembut
Kan kukumpul bintang-bintang
Kan kutadah hujan
Kan kulukis pelangi
Kan kuelus angin
Kuingin menaklukkan dunia
Namun akhirat-Mu tetap kudahulukan
Aku ingin menjadi sebaik-baik manusia yang hidup di bumi-Mu
Dan menjadi manusia sholeha yang merindu akhirat-Mu
Jadikan kerjaku adalah ibadah
Jadikan tidurku adalah dzikir
Jadikan ibadahku diterima di sisi-Mu
Dan jadikanlah hidupku hanya untuk beribadah kepada-Mu, Ya Allah…
Karena, aku hanya ingin mencintai-Mu…!!!

_“Q-@”_

Ibu, pintakan saja pada Allah!
Aku di sini memetik bintang untukmu, Bu.
Masih ingat kan mimpi yang kita bangun bersama?
Tak usah khawatirkan aku
Aku tak akan lupa untuk menyeka airmata itu, Bu.


Ibu

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...
Ibu
Ibu

Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu

Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...
Ibu
Ibu

(Iwan Fals's song)

Ayah

Dimana…akan kucari
Aku menangis seorang diri
Hatiku…s`lalu ingin bertemu
Untukmu…aku bernyanyi

Lihatlah…hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah..aku ingin bertemu
Untukmu…aku bernyanyi

Untuk ayah tercinta, daku ingin bernyanyi
Dengan air mata di pipiku…
Ayah, dengarkanlah aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

(Rinto Harahap's song)

10 tahun tanpanya, aku rindu Ayah...!

ILUSI


Oleh: Qiyash

MALAM hari baginya neraka. Dosa tak penting lagi. Dalam kamus hidupnya, dosa itu adalah metamorfosis dari pahala. Tiada pahala tanpa dosa. Maka, beruntunglah pahala memiliki dosa di sampingnya. Tanpa pikir panjang, ia meraih tasnya. Berwarna merah mencolok. Ia memakai minidress ketat juga berwarna merah mencolok dan sepatu berhak lima sentimeter yang baru dibelinya di Pasar Sentral. Kakinya sudah menginjak pinggir kota. Kota yang penuh lampu-lampu ritmik. Dari gang sempit, bau dan pengap. Ia ngos-ngosan. Berlari dikejar bayangan. Bayangan itu antara nyata dan tidak. Ketika ia memperjelas tatapannya, bayangan itu tiba-tiba lenyap. Namun, bayangan itu sesekali muncul ketika matanya tak jaga. Wajahnya tak jelas. Hanya warna putih yang bisa tertangkap.

Bayangan itu seakan-akan menginginkan dirinya. Menginginkan nyawanya. Juga, seperti bayangan kesalahan yang terus membuntutinya. Ini sudah hari ketiga ketika bayangan itu datang. Dan, pertama kali muncul di mimpinya. Ia berusaha menutupi takutnya dengan bersikap acuh dan semakin menggila. Tapi, sekuat ia memberi tekanan, bayangan itu semakin kuat menghantui malam-malamnya.

Klakson pete-pete menyadarkannya dari pertarungan rasa takut itu. Ia mengakhiri tarikan napas kelelahannya dan bangkit dari posisi setengah rukuk. Sopir pete-pete bergantian membunyikan klaksonnya. Menawarinya tumpangan. Sambil meneriakkan kata-kata gombal murahan khas buaya kampung. Inilah perjalanan menuju neraka.

Akhirnya, tiba di mulut neraka. Kau pasti membayangkan neraka tak seindah ini. Neraka ini adalah surga dunia. Isinya hanyalah pemburu surga dunia. Manusia-manusia yang berlumuran nafsu, haus kesenangan, hanya mengenal uang dan wanita. Ini benar-benar mulut neraka, bahkan bayangan itu pun tak mau mendekat. Bayangan itu tak pernah sekalipun menampakkan dirinya di tempat ini. Itulah mengapa ia selalu merasa aman berada dalam miniatur neraka ini. Baginya, tempat ini adalah penyelamat hidupnya dari kecemasan dan kelaparan hari esok meskipun kadang membayangi hidupnya akan kecemasan kekal mendatang.

Namun, sudah tiga hari ini, ia dongkol. Kedongkolan pertanda besok akan lapar. Nihil. Hanya nihil-lah yang tergambar dalam realitas ataupun angan-angan. Tempat ini tak lagi menawarkan kebahagiaan hari esok. Ia merasa seperti barang lama yang tetap dipajang, tetapi sudah usang, diutak-atik pelanggan-pelanggan sebelumnya. Melirik pun tak ada. Yang tercium hanyalah bau usang. Bagaimanapun manisnya ucapan merayu, tetap tak menarik perhatian. Dia tahu, dirinya telah mengering dan gugur bersama daun-daun kering lainnya. Bahkan melapuk. Daun-daun muda yang semakin produktif menggeser posisinya.

Dia masih cantik. Cantik karena make up tebal yang menopeng di wajahnya. Menutupi keriput-keriput wajahnya. Apakah isi neraka hanyalah perempuan berwajah cantik dan bertubuh montok? Atau, pria-pria kelas eksekutif berkantong tebal. Ia termenung menatap kondisi di sekelilingnya. Setidaknya, ia masih punya harapan untuk bermimpi. Bermimpi menuju surga. Meskipun bau surga tak mau mendekat dan tak mau menghinggapi bunga tidurnya.

“Mbak, kok duduk saja. Nggak kerja, ya?” wajah manis nan lugu menghampirinya. Umur gadis itu masih 15 tahun.

Wajah sinis itu tersihir menyungging. “Iya. Kayaknya Mbak mau berhenti dulu.”

“Lho? Mbak, kok gitu? Terus, yang biayain sekolahnya Adi siapa, Mbak?”

“Nanti kubawa ke ayahnya dan meminta tanggung jawab.”

“Tapi, Mbak tahu siapa ayah Adi? Bukannya selama ini Adi dibiayai sama Mbak?” gadis lugu itu sedikit pun tak punya rasa cemas. Kenyataan seperti itu juga akan menimpa dirinya.

“Mbak tahu,” jawabnya tidak yakin. Lalu, menunduk lesu.

Tiba-tiba, seorang perempuan berdandan mewah, make up menor, dan tampang ganas datang. Ditemani rokok yang ia pegang, terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali, ia mengembuskan asap di kedua katup bibirnya yang marun. Wanita itu memanggil Dina.

“Sana, Din. Mbak Leli udah manggil kamu tuh. Rezekimu datang. Ntar kalau kamu nggak dipakai lagi baru menyesal,” perintahnya kepada gadis barusan.

Ia semakin menyadari. Begitulah hukum alam. Semuanya pasti ada regenerasi. Dina kini sangat diminati. Melihat badannya yang masih segar bugar. Kulit wajahnya masih kencang dan halus. Tanpa make up pun Dina masih cantik. Tapi, hukum alam pun pasti menghinggapi Dina. Yang suatu saat akan bernasib sama dengannya. Kasihan. Dina sama sekali tak tahu apa-apa.

Ratna masih duduk di salah satu sudut bar. Ditemani dengan minuman kesukaannya. Beraroma alkohol. Matanya menerawang ke sekelilingnya. Tiba-tiba, titik pandangnya berubah. Semua titik pandang yang ia lihat adalah penghuni neraka. Semuanya hanyalah bahan bakar api neraka. Ruangan itu berubah menjadi nyala api membentuk dinding besar. Minuman di gelasnya berubah menjadi darah dan nanah. Musik berganti suara bara api yang membakar panas, cambukan tali raksasa, desisan ular yang siap memangsa, jeritan penghuni neraka yang kesakitan.

Orang-orang yang menari tak lagi bergerak gemulai mengikuti musik. Gerakannya berubah, badan meliuk-liuk, menahan siksa yang pedih. Bising. Tambah bising dan semakin bising. Suara-suara jeritan itu memekakkan telinganya. Hingga membuat gendang telinganya mau pecah. Sesosok makhluk aneh tiba-tiba mendekatinya. Semakin dekat. Makhluk itu membawa cambuk raksasanya, setrika raksasa, gunting raksasa, dan peralatan-peralatan aneh lainnya. Makhluk itu serupa dengan makhluk yang mengejarnya tiga hari ini dengan wajah yang juga tak dapat ditebak. Makhluk itu bersiap mengeluarkan cambuknya. Di belakang makhluk itu, ada ular besar yang bersiap memangsanya. Sedari tadi mengeluarkan lidahnya. Keluar masuk.

Tubuhnya gemetar. Keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Ia beranjak dan segera lari meninggalkan tempat itu. Makhluk dan ular itu terus mengejarnya. Ia terus berlari. Jalanan tiba-tiba dihampari duri dan jeruju. Pepohonan menjadi api. Kendaraan menjadi binatang buas yang siap menerkam. Tak ada tempat yang layak untuk bersembunyi. Semuanya bersekongkol untuk menangkap Ratna.

Semakin jauh ia berlari, tiba-tiba telinganya menangkap suara rinai merdu, lembut, dan tenang. Suara itu timbul tenggelam di tengah jeritan-jeritan manusia yang kesakitan. Semakin ia berlari, suara itu semakin jelas terdengar. Sama sekali berbeda dari alunan musik para musisi. Lebih indah dari simfoni Mozart atau Beethhoven. Suaranya merinai aneh, namun merdu. Akhirnya, ia sampai di sumber suara itu. Ia tiba di sebuah halaman. Para makhluk yang megejarnya semakin menjauh, tak mampu lagi menjangkaunya. Seperti ada sebuah pembatas yang menghalanginya masuk di kawasan ini. Makhluk itu akhirnya lenyap, tak membekas. Perasaannya lega. Keringatnya tiba-tiba kering. Berganti rasa sejuk yang menenangkan batinnya. Menembus masuk ke kulitnya. Jauh lebih sejuk dari angin musim dingin. Kesejukan yang tak ada tandingannya.

Langkah kakinya bergerak menyusuri tempat itu. Semuanya terlihat indah. Sungai-sungai mengalirkan air yang berkilauan. Jernih, riak, dan gemercik. Pepohonan berdiri kokoh dan rindang. Dilengkapi dengan buah-buahan, ruah dan segar. Istana megah menghampar hingga menembus langit. Penghuninya berwajah teduh, berseri, bercahaya, dan tersenyum ramah kepadanya. Semua orang memakai pakaian berbahan sutra, bergelang emas, dan mutiara. Semuanya sedang asyik bercengkerama, penuh canda tawa.

Ia singgah di sebuah peristirahatan. Di bawah pohon teduh lagi nyaman. Di sampingnya, mengalir sungai. Ia menggayungkan tangannya ke air sungai itu. Lalu, membasuh wajahnya. Benar-benar segar. Sesegar tegukan air dingin para kafilah yang dilanda kehausan. Kemudian, ia berbaring menghilangkan penatnya. Ia mengatup kan matanya. Perlahan. Seluruh anggota tubuhnya mengikuti, tertunduk lesu. Terbuai oleh senandung yang melenakan. Semakin jauh mengalun. Suara itu semakin melarutkannya dalam ketenangan. Hingga terlelap.

Rinai suara itu kembali membangunkannya. Membuka matanya perlahan. Ia tersadar. Semuanya berubah. Hidupnya seketika berestorasi. Suara itu berubah menjadi azan yang tengah berkumandang. Tubuhnya terbaring di atas altar sajadah. Matanya tertuju ke atas. Melihat plafon kubah masjid yang megah. Ilusi itu membawanya ke tempat ini. Tempat yang nyaman dalam ilusi berkedok mimpi. Rangsangan yang berasal dari perintah otak menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Ia beranjak dan segera mengambil air wudhu. Ia membasuh wajahnya. Rasanya seperti salsabil dalam ilusinya. Inilah pertama kali ia menghadap Tuhannya pada usia yang menginjak renta. Karena, cercah itu masih ada. (*)

Keterangan:

Pete-pete adalah nama lain dari angkot yang digunakan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.

termuat di koran Republika, Minggu 20 Juni 2010

SIMBOL

Kampus pagi itu gempar dengan simbol aneh. Huruf A berpadu dengan lingkaran. Di simbol itu tersirat pesan arti sebuah perlawanan. Radikal. Simbol itu meninggalkan jejak di perpustakaan, gedung rektorat, ruang kelas, dan sejumlah ruangan penting lainnya di seluruh penjuru kampus. Simbol itu bercat merah, berbau darah. Ada nafas kemarahan, dendam, dan ambisi. Birokrat gerah, mahasiswa saling lempar praduga.
“Bersihkan tembok itu! Dan hilangkan gambar-gambarnya!” Perintah rektor yang terkenal tegas. Kata sebagian orang, dia lembut namun sedikit licik.
Gelagat itu tak sama seperti biasanya. Kali ini rektor tak pernah sedikit pun berusaha mencari pelakunya. Wajahnya tampak biasa saja melihat simbol merah itu. Simbol itu jadi misteri di kampus ini. Namun simbol itu bukan sejarah baru. Sesungguhnya ia telah lama ada. Sejak Adam Smith mengeluarkan teori ekonominya. Simbol ini milik dunia. Dunia dalam refleksi kiri. Yang tak pernah puas dengan sistem. Ya, ia ada di kampus ini. Namun masih menjadi tanda tanya, siapa pelakunya???
***
Aku senang. Mereka kalap. Itu baru permulaan. Teror ini tak akan berhenti sampai rektor licik itu menyerah. Beraninya ia menjadikan universitas ini sebagai pabrik uang. Seenaknya saja membangun area komersil. Hm…, benar tak pernah menjadi mahasiswa. Seperti apa waktu dia masih kuliah. Aku yakin dia adalah orang yang tak pernah merasa tak puas dengan sistem. Dia pasti mahasiswa budak nilai. Yang sehari-hari ke perpustakaan dan meminjam buku sampai bertumpuk-tumpuk. Study oriented. Tak peduli. Apatis. Hidup berjalan mulus. Uang mengalir lancar ke rekening. Tak pernah lapar. Tak pernah merasakan pinjam uang, atau menggadaikan barang. Ya, ia tipe mahasiswa yang tak pernah memberontak. Orang itu tak cocok menjadi pemimpin kita. Mahasiswa.
***
Pagi ini, di kampus tercium aroma darah itu lagi. Yup kejadian yang sama, namun lebih kejam. Perpustakaan telah diserang. Sebagian kacanya pecah. Buku-buku berserakan dan sebagian telah robek. Simbol itu telah berubah menyatakan perang.
Rektor tetap acuh. Ia tak memberi solusi. Para birokrat kesal. Rektor tak setegas biasanya. Wajah rektor selalu penuh kebingungan bukan kemarahan. Wajahnya selalu menampakkan ekspresi aneh kala melihat simbol itu. Pun kejadian hari ini. Ia tambah kaget. Dan langsung pulang ke rumah.
***
“Ma, ini tahun berapa?” Tanya rektor pada istrinya.
“Masa gak ingat sih, Pa. Ini tahun 2010.”
“Aku seperti mengalami Déjà vu.”
“Déjà vu itu biasa, Pa. Mama juga sering.”
“Tapi, déjà vu itu seperti benar-benar telah kualami. Kejadian masa lampau, masa kita kuliah dulu. Tahun berapa itu, Ma?”
“Papa ini ada-ada aja. Kalau gak salah sekitar tahun 1976 sampai 1980.”
“Ah, tak mungkin.”
“Ada apa, Pa?”
“Kejadian di kampus akhir-akhir ini seperti menerorku. Simbol itu ditujukan untukku. Bukan yang lain.”
***
Aku menang lagi. Itu belum seberapa. Targetku selanjutnya adalah gedung rektorat. Singgasana si rektor berbulu domba itu. Aku tak akan membiarkan dia merampas hak mahasiswa miskin untuk kuliah. Aku tak akan membiarkan kampus ini dihuni oleh kalangan borjuis.
“Hey, kau sedang apa, Cakram Radius?” seorang gadis berjilbab menegurku.
Gawat!! aksiku malam ini ketahuan.
“Bukan urusanmu!” bentakku.
“Hal gila apa lagi yang kau lakukan?.”
“Kau tak perlu tahu. Urus saja ranselmu yang berat itu. Kau bahkan tak bisa mengurus dirimu, sok mengurus urusan orang lain.”
Namanya Mutia. Ia selalu mengenakan tas ransel besar. Aku heran kenapa tas ransel itu tak cukup untuk menampung barang-barang yang dibawanya. Dia masih memanfaatkan tas jinjing kecil. Super sibuk atau sok sibuk. Apa yang diurusnya. Dia selalu terlihat kewalahan. Kadang aku ingin membantunya. Tapi, dugaanku pasti benar, kalau ia menolak.
Kita memang punya persamaan, tak suka dengan sistem. Namun idenya mustahil, mau menjadikan agama sebagai ideologi. Ah, benar-benar utopis. Mutia adalah gadis yang selalu menentang argumenku di kelas. Meskipun aku rasa dia selalu benar. Dan aku hampir mengakui idenya itu. Seperti fitrah yang memang melekat di diriku. Aku akui dia hebat. Aku selalu kalah debat olehnya. Dan dia selalu percaya diri dengan idenya itu. Meskipun teman-teman menutup telinga ketika ia berkomentar. Tak akan ada yang berani mendebatnya, kecuali aku. Yang selalu siap ia permalukan.
“Sudah kuduga. Kaulah pelakunya. Buat apa kau lakukan itu. Simbol yang kau tulis dan pengrusakan yang kau lakukan tak akan merubah segalanya. Melawanlah dengan hati, dengan cinta. Jangan pakai fisik.”
“Kau tahu apa tentang diriku. Justru ini denga hati. Dengan cinta. Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selonsong senapan. Tidak kah kau paham slogan itu?”
“Hm..cinta dengan selonsong senapan bukan solusi. Ia akan mati dan lebur bersama dirimu. Melawanlah dengan ide, dengan solusi, dengan indah. Bukan dengan kekerasan.”
“Terseralah. Aku tak peduli. Kita lihat ide siapa yang akan menang. Aku akan mendahuluimu dengan revolusiku.”
***
Lagi, pada hari itu di waktu yang sama. Sebagian gedung rektorat telah terbakar. Respon rektor tetap sama. Dengan ekspresi membingunkannya.
“Pak, ini sudah parah. Kita harus mencari pelakunya.”
“Sulit. Ada berapa mahasiswa di sini. Itu tak mudah.”
“Tapi, kita tak harus membiarkannya seperti ini, Pak.”
“Untuk sementara ini, biar saya pikirkan dulu solusinya. Lagian ini juga bagian gedung yang tua. Sudah lama gak direnovasi.”
Rektor tak betah di kampus. Simbol itu jelas meneror dirinya. Ekspresi pucatnya itu datang lagi dengan sedikit ketakutan. Ia pulang ke rumahnya membawa sejumput kebingungan.
“Ma, hari ini déjà vu itu datang lagi. Gedung rektorat dibakar. Aku seperti pernah mengalaminya. Tapi, entah kapan dan dimana.”
“Sudahlah, Pa. Teman-teman Papa complain mengenai kebijakan Papa yang tidak tegas terhadap pelaku pengrusakan itu. Menurut Mama, Papa harus segera menemukannya. Dan keluarkan dia dari kampus. Payah, menyimpan mahasiswa seperti itu.”
“Sulit, Ma. Ada banyak mahasiswa.”
“Apa, tak ada tanda-tanda yang ditinggalkan mahasiswa itu.”
“Ada. Simbol huruf A dengan lingkaran.”
“Bukankah itu sangat familiar?”
“Ya. Dia sudah melukis simbol itu di beberapa bangunan. Dan bangunan yang memiliki simbol itu akan dirusak atau dibakar. Beberapa bangunan pasti akan menyusul kalau aku segera tak menghentikannya.”
“Ma, tunggu sebentar. Hari ini hari apa?”
“Hari rabu.”
“Bulan?”
“April.”
“Aku ingat sesuatu, Ma.”
***
Malam itu, rektor menghubungi semua birokrasi untuk mencari tahu mengenai organisasi itu. Namun tak ada yang tahu. Hanya saja simbol itu terlalu banyak terpampang di tembok-tembok fakultas FISIP. Kemungkinan besar pelakunya berasal dari fakultas FISIP.
Rektor turun langsung. Dia melewati koridor FISIP. Semakin familiar dengan simbol-simbol itu. Dia kembali mengalami déjà vu. Dia mengamati satu persatu simbol itu. Dan berhenti pada satu simbol. Di bawah simbol itu tertulis inisial CR dalam ukuran kecil. Rektor akhirnya ingat dengan simbol dan inisial itu. Cakram Radius. Itu adalah nama rektor sendiri. Simbol itu dibuat oleh sang rektor 33 tahun yang lalu. Ia dalang pengrusakan ini pada tahun 1977.
“Aneh, Gila. Mustahil. Akulah yang merusak ini semua. Aku sama sekali tidak mengingat diriku ketika masih mahasiswa. Lalu, siapa rektor yang kubenci itu. Aku tidak ingat. Aku tidak ingat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Permainan waktu apa ini???”
“Cakram Radius telah berubah. Cakram Radius telah kehilangan idealismenya. Hah, permasalahan klasik mahasiswa. Inikah diri Papa yang sesungguhnya???”

cerpen ini meraih juara II dalam lomba Penulisan Cerpen Pensil Biru 2010
UKM Menulis FIB Universitas Hasanuddin

Aku Ingin Menjadi Perempuan Seperti Fatimah Az-Zahra

Dan ketika kau mencintai seseorang
Tutuplah rapat-rapat hatimu
Jangan biarkan cintamu tahu
Seperti manisnya cinta Fatimah kepada Ali
Terungkap indah pada waktunya
Biarkan cinta itu menari sendiri
Mengikuti waktu
Tak perlu diumbar
Jangan cinta menguasaimu
Justru kau yang menguasai cinta
Lalu orang yang kucintai tak akan tahu kalau aku cinta
Biarlah kami menyimpan kekaguman masing-masing
Seperti cinta Ali kepada Fatimah dan Fatimah kepada Ali
tersembunyi malu-malu
Aku hanya ingin seperti dia, Putri Rasulullah
Yang santun, berani, pekerja keras, fasih dan cerdas
Menyimpan rasa dengan sempurna
Dan mengungkapkan rasa dengan romantis
Saat waktunya tiba…

Sajak di Malam Hujan

Buaian tak lagi mesra, dengan kecup lembut bibir mereka
Ketika realitas menjamahi mimpi
Goyah terusik merdu oleh manisnya peradaban palsu
Kulihat gejolak terasa samar dan pasaran
Tak ada lagi satu teriakan untuk sebuah kebenaran
Tenggelam dalam kebatilan pragmatis oleh beribu suara
Ketika semuanya terasuk, terendam,
dan terlelap oleh jamuan malam yang kelabu

Aku berdiri di badai hujan malam ini
Bukan untuk menjauh dari perjamuan panjang itu
Tapi mencoba merasakan dingin menusuk tulang bersama angin mengiris kulit
Tak bisakah mereka merasakan gelagat sama ribuan orang di luar sana
Ketika menelan ludah untuk melegakan dahaga
Atau memungut bekas untuk mengganjal perut
Atau melipat tubuh tanpa tikar atau atap
Bukan malah meludeskan kertas berharga yang tak berharga
Untuk sebuah perjamuan yang mubadzzir

Biarlah orang berkata…
Karena aku memang orang malam yang selalu membicarakan terang
Dan aku memang orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Jangan tanyakan pada hujan yang turun malam ini
Dan jangan pula tanyakan kenapa ia berhenti
Hujan akan tetap ada menemani tidurku yang tak pernah tenang

Makassar, Kamis, 04 Maret 2010
Pukul 00.25 WITA

Analogi Sebuah Pelangi: Katakan Cinta dengan Pelangi

Aku bertanya: Kau tahu makna apa yang tersimpan dalam pelangi?
Diriku yang lain menjawab: Perbedaan menimbulkan keindahan
Aku bertanya lagi: Kenapa bisa dalam perbedaan akan timbul keindahan?
Diriku yang lain menjawab lagi: Karena dalam setiap perbedaan akan timbul makna
Aku bertanya lagi: Makna apa yang akan timbul dalam perbedaan
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, makna keindahan.
Aku bertanya lagi: Makna keindahan itu seperti apa?
Diriku yang lain menjawab: Tidakkah kau perhatikan warna-warni yang menciptakan pelangi. Perbedaan itu menimbulkan nuansa berbeda. Itulah keindahan seperti indahnya pelangi. Pelangi tak akan ada tanpa perbedaan warna itu. Jadi, tak akan ada sesuatu yang indah jika tak dibangun dengan perbedaan.
Aku bertanya lagi: Lalu, apakah kau suka dengan perbedaan?
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, tentu saja.
Aku bertanya lagi: Kenapa?
Diriku yang lain menjawab lagi: Aku ingin menjadi salah satu warna yang membangun keindahan. Aku ingin dikenang sebagai pencipta keindahan dalam perbedaan itu. Aku ingin menambah warna pada sesuatu yang tak berwarna-warni
Aku lagi: Jangan gila! Tak ada orang yang tahan dengan perbedaan. Itu mustahil…
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, itulah diriku!
Aku bertanya lagi: Apa maksudmu?
Diriku yang lain menjawab lagi: Karena aku memiliki cinta.
Aku lagi: Banyak orang yang memiliki cinta. Tapi, tetap saja tak mampu bertahan dengan perbedaan.
Diriku yang lain menjawab lagi: Cintaku ini berbeda. Yang jelas, cintaku tulus…cinta yang tak dimiliki oleh orang-orang yang tak mampu bertahan itu
Aku bertanya lagi: Bisakah kau gambarkan sedikit lebih detail tentang cintamu itu?
Diriku yang lain menjawab lagi: Cinta karena Allah. Itu saja!
Aku lagi: Kau hebat‼
Diriku yang lain bertanya: Kenapa?
Aku lagi: Banyak orang yang lari dari perbedaan
Diriku yang lain menjawab lagi: Itu karena mereka tak mampu melihat keindahan di balik perbedaan
Aku lagi: Ah, aku rasa menjadi berbeda itu memang sulit. Aku salut padamu!
Diriku yang lain menjawab lagi: Nah, itulah yang salah! Kau selalu membelenggu dirimu. Membelenggu cintamu. Lepaskan belenggu itu. Dan rasakan perbedaan itu.
Aku lagi: Ah, tetap sulit!
Diriku yang lain menjawab lagi: Jika kau berada dalam perbedaan, jangan selalu melihat perbedaan. Lihatlah persamaan!
Aku bertanya lagi: Bagaimana caranya? Belenggu perbedaan itu lebih kuat.
Diriku yang lain menjawab lagi: Rasakan dengan cinta. Pancarkan cintamu. Jangan biarkan ia lebih menguasaimu.
Aku bertanya lagi: Benarkah? Bagaimana mencobanya?
Diriku yang lain menjawab lagi: Mudah, semuanya mudah jika kau memiliki cinta. Cintailah perbedaan itu. Aku beritahu, kita akan selalu tertinggal, kalah, jika belenggu perbedaan itu tak dilepaskan…
Aku bertanya lagi: Apakah kau bahagia? Tidak tersiksa?
Diriku yang lain menjawab lagi: Tersiksa?? Itu asumsi yang salah. Tentu saja aku bahagia. Dan aku akan tetap setia dengan perbedaan. Karena aku mencintai mereka. Dan karena aku memiliki islam. Titik.

SMS DARI PEMBACA “AJI BELLO”

Saya tengah berbincang-bincang dengan teman di suatu hari untuk istirahat pada lelah. Hari minggu. Biasalah obrolan kita selalu berbeda dengan obrolan orang lain. Seperti obrolan orang-orang yang selalu susah tetapi tak pernah lupa berucap syukur atau obrolan-obrolan yang penuh kritikan atas realitas apa saja yang butuh dikritik, tentang sisi kehidupan kami yang menyedihkan tapi selalu indah pada waktunya. Akhir-akhir ini selama pekan literasi FLP Unhas berlangsung, saya selalu menjargonkan kalimat “Indah pada waktunya”. Betapa bersyukurnya aku, karena aku melihat Kecintaan Allah terhadapku. Ya, Allah sangat menyayangiku…sangat menyayangiku. Biasanya kami juga memainkan imajinasi sebagai sebuah solusi yang mungkin solutif, alternatif, dan sedikit nyeleneh. Dan tak lupa sedikit tertawa untuk merilekskan pikiran.
Tiba-tiba HP saya berdering. Kuterima sebuah sms. Sms itu berbunyi begini:
“Di antara sekian cerita dalam “Aji Bello” sy senangi tulisan Anda. Kemampuan Anda melukiskan kegerahan Trmnl Daya cukup intens. Ada luka kemanusiaan di suasana itu. Sayang sekali, Anda tidak menggarap ending dg baik. Slmt Brkarya n salam (pengamat sastra)”
Usai kubaca sms itu, senangnya bukan main… ini sms pertama dari pembaca yang sudah membeli buku kami (Aji Bello). Tapi, aku juga tertawa koq bisa cerita yang sesederhana itu cukup dinilai apik. Aku tidak percaya kalau itu benaran dari seorang pengamat sastra. Aku curiga kalau dia hanyalah seorang teman yang mencoba bermain iseng. Pikirku seperti itu.
Lalu kubalasa dengan sederhana, tak meninggikan dia sebagai seorang pengamat sastra.
“Sebenarnya cerpen itu telah terbit di Fajar sebelumnya, jadi endingnya terkesan dipaksakan, mengikuti syaratnya yang gak boleh lebih dr 4 hlm. Jadi kuputuskan untuk mengkhirinya seperti itu”
Lalu dia membalas lagi
“Sebaikx penulis tdk blh tunduk pd jmlh hlm. Bg sy,tlsn Anda itu hrs mndpt porsi lbh utama. Syg editor bk itu gak cermat”
Lalu saya balas lagi
“Iya sy tahu. Tapi, tulisan ini mmang sprt itu sejak terbit di Fajar. Bukan editor buku yg gk cermat, tp tulisan yg ada mmg sprti itu, menyesuaikan kemauan Fajar. Klu boleh tw sp nama Anda?”
Saya masih berpikir kalau dia mungkin seorang teman yang bermaksud iseng kpd saya. Jadi tak pernah menganggap kalau dia benar seorang pengamat sastra.
Lalu dia membalas lagi,
“Anda mgkin tdk kenl siapa sy. Anda blum lhir ktk sy mnjadi pgmat n sstrwn di Sulsel. Hidup sy trlunta di sbuah kabptn yg lbh 100 km dr Mks, tapi setiap ada buku sstra baru trbt sll sy bc.”
Membaca balasannya itu, saya sedikit percaya kalau dia memang bukan orang yg bermaksud iseng. Mungkin sj dia memang seorang pengamat sastra.
Lalu saya membalas lagi untuk memastikan apakah dia memang seorang yang sudah matang dalam dunia sastra
“Kalau boleh tahu, umur Anda berapa?”
“Umurku? Sekedar Anda tau, mhsw sy dulu adlh Nundingram, Fahmy Syarif n Nurhayati Rahman. Tax salah satux bhw siapa mntan dosenx yg saat ini memilih mningglkn kmpus n kmbli rebah di atas pematang yg basah”
Melihat smsnya itu saya kaget. Saya jadi berpikir, dugaanku mungkin salah. Mungkin dia benar seorang pengamat sastra yang sudah senior seperti yang dibahasakan di smsx. Mengutip kalimat “pematang yg basah” bukankah itu menunjukkan sawah. Berarti sekarang dia menjadi seorang petani. Betapa menyedihkannya menurutku. Akhirnya saya mencoba lebih hormat kepadanya. Menyapanya dengan sapaan ‘Bapak’.
“Sy seorang mhasiswa Unhas jurusan sastra inggris. Apa Bapak pernah mengajar di Unhas? Trus kebtulan skli Pak, kmi mw mngadkan bedah bku Aji Bello. Kalau bs Bpk jd pmbedahx. Apalagi bpk termasuk org yg cukup ahli dlm dunia sastra.”
Dia membalas lagi
“Ha ha ha, trims. Sy jg brhrp ktmu dg cln sstrwn potnsl spt Ananda. Bedah buku sdh lm sy tggalkn. Memang sih baxk undgn, tp sy sdh tua. Getah kesastraan sy tdk lg mnggigit, skdar mnggeliat jk ada sntuhan realits dr wilayah imajinasi. Dulu sy dipinjam olh Unhas utk megang mt kuliah ‘filsafat seni dan kajian sstra’, tp sy mndur di th 86 krn kampg hlmn sy lbih mmbutuhkn sy.”
Saya jadi penasaran siapa orang ini. Dia tidak mau mengungkap identitasnya. Lalu saya memancing lagi siapa tahu dia mau memberitahu sedikit identitasnya.
“Oh ya, kalau blh tau nama Bapak siapa, trus dri daerah mana. Siapa tahu kita sedaerah.”
Ia malah membalas
“Kalo sy britau nm dan kmpg sy mk obsesi imajinatif ananda ttg diri sy akan brakhir. Yg jls kt tdk sekmpg, sy di selatan ananda di utara. Biarlah sy mnjdi ‘Pengamat Misterius’ bg ananda, hgga kt brtmu di satu momen, entah kpn n di’ mn.”
Ah, saya memutuskan untuk mengakhiri perbincangan itu. Tp memang masih menyimpan misteri. Misteri apakah dia memang benar seorang Bapak yang sudah tua atau seseorang yang berusaha berkamuflase. Menurutku sms terakhirnya aneh. Apalagi di kalimat terakhir. Aneh saja, gak pantas menurutku.

Lelaki, Antara Rindu dan Penantian

Aku membuka dompetku yang mulai terenggut sisinya, yang sudah lusuh warnanya. Dompet hitam itu. Imitasi dari brand Channel buatan sang digdaya dunia. Aku melihat wajahku yang masih polos dalam guntingan kertas berukuran 3x4 hitam putih. Ya, gambar diriku yang masih tak tahu apa arti hidup kala itu. Bersanding dengan foto pria yang 12 tahun lalu lenyap mengikuti titah Tuhan. Hanya satu yang terbawa, Dan mungkin hanya satu yang tersisa. Kenapa pergi tak meninggalkan warisan. Malah meninggalkan hutang.
Akhirnya dia meninggalkan beban pada wanita yang dia didiknya berhati keras. Bukan wanita lembut itu. Yang tak pernah tahu arti marah. Wanita kasar itu akhirnya semakin memandang dunia sebagai metaphor banting tulang. Menggagasi pundi-pundi dunia. Tak ada lelaki. Tak ada cinta. Tak ada gurauan cengeng. Begitulah dia menantang hidup. Untuk wanita lain yang semakin keriput lelah. Untuk lelaki cengeng yang tak tahu arah peraduan, dan untuk gadis kecil yang tak tahu apa-apa.
Aku kembali pada pria yang tertitah dengan lembut. Yang memaksa kelopak tak kuasa menampung segumpal bening. Yang memaksa hidung memerah dan bersenandung. Dialah satu-satunya pria yang menyisakan rindu berat di dadaku. Aku bahkan sempat berpikir, mereinkarnasikannya dengan sosok yang akan kutautkan hatiku. Atau berharap tulang rusukku berada pada sosok yang tergambar wajah atau lakonnya. Mungkin ini klise. Seperti yang ada di film-film melankolis romantis. Tapi, aku memang sedang menanti. Adakah dia yang menggantikan sosoknya???

Orang-orang

By: Qiyash
Orang yang paling kutakuti adalah orang yang tak mampu kukalahkan
Orang yang paling kusegani adalah orang yang selalu menunjukkan kesalahanku
Orang yang paling kusukai adalah orang yang selalu menasehatiku
Orang yang paling kubanggakan adalah orang yang tak pernah berbangga di hadapanku
Orang paling kudiamkan adalah orang yang tak pernah memujiku
Orang yang paling kukenal ialah orang yang tak mengenalku
Orang yang paling kukagumi adalah orang yang tak pernah tahu kalau aku mengaguminya
Orang yang paling kubenci adalah orang yang tak mau menggunakan hatinya untuk merasa
Orang yang kuhargai adalah orang yang mau menghargai
Orang yang mungkin kucintai adalah orang yang tak bisa kutampakkan kalau aku mencintainya…

Menanti Matahari di Pantai Losari

Matahari tak mengenal absenteisme di kemarau ini. Ia pasti mampir menyalami tanah ini. Begitu menyengat. Radiasinya pasti akan memanggang kulitku dan membuat ubun-ubunku terasa mendidih. Bersama sunnatullah yang terus berjalan mengiringinya. Kadang pula alam ini penat menyaksikannya. Hujan tak mau kehilangan kesempatan mengguyur Kota Makassar. Kala musim hujan datang, setiap harinya hampir tak ditemui matahari mencurat.
Namun pagi ini, sebelum matahari itu berubah ganas, aku tetap meluangkan waktu yang terus mengungkungku. Membuat suatu kewajiban baru dalam hidupku. Menyaksikan perempuan itu. Perempuan yang seumur hidup dalam kesenduan. Tersudut di keindahan pantai, hanya ditemani kursi pelipur laranya. Menjauh dari kerumunan orang yang memenuhi Pantai Losari. Yang selalu ramai di akhir pekan di awal pagi. Dia terduduk dengan tatapan hampir kosong di kursi rodanya. Menatap laut yang belum terjamah mentari utuh di Pantai Losari, aku memproklamirkan kehadiranku.
Cerita apa lagi yang dia ceratai kali ini. Dongeng seribu satu malam kah. Seperti kisah Aladin yang menjadi dongeng favoritnya. Aku hanya takut ia mengidap menerisme seorang schizophrenia. Ingin punya jin seperti Aladin, atau menjadi Cinderella yang punya peri. Namun, ia tak akan meminta pangeran tampan. Hanya satu, yakni harapan hidup. Ia bukan takut menghitung hari, namun lelah. Ya, karena penyakit mematikan itu. Leukosit bagai peluru mencecar tubuhnya.
Meskipun ia tak pernah cerita tentang hidupnya, tapi aku tahu dengan pasti. Dia hanya mampu mengurai kisah indah dan hiburan-hiburan seperti sebuah kamuflase agar tak mengasihaninya. Tak tahukah ia, kalau aku tak akan terbuai dengan kisah yang kamuflase itu. Tahukah ia kalau aku tak bisa menyunggingkan bibir dengan renggut paksa. Atau bahagia yang sesungguhnya pseudo. Kuperhatikan dirinya yang terabrasi satu persatu. Namun, rona itu tetap terlihat cantik di mataku.Secantik kali pertama aku bertemunya, di tempat ini. Aku datang untuknya sebagai hujan menimpa rumput kering hingga segar kembali.
“Aku lelah.Aku ingin pulang ke rumah.” Sosok di sampingku tiba-tiba berujar, selang beberapa menit kami hening tak bersuara.
“Kau menderita?”
“Bukan menderita.Tapi tak bahagia.”
“Dulu kau bilang kau bahagia.”
“Ya, aku bahagia. Lebih tepatnya, berusaha bahagia. Aku bahagia, karena orang-orang yang kusayangi semuanya masih bisa tersenyum bahagia.”
“Tapi, aku ingin membuatmu merasakannya. Rasa bahagia sesungguhnya.”
“Itu tak perlu.Karena kau ada, aku sudah bahagia.”
“Izinkan aku membuat bahagia itu menjadi sungguhan?” ini bukan kali pertama aku memintanya. Entah berapa kalimat yang telah ku puitisasi. Dan aku belum tetap mampu mencerahkan kabut di hatinya. Biarpun kutahu ia wanita tegar bertangan besi. Tapi tangan besi itu kini meleleh berganti kayu dan rapuh.
Matahari nampaknya akan bertransformasi dan kembali menyengat kota Makassar. Cakrawala cerah oleh langit lazuardi. Diselimuti gumpalan awan yang mengaburkan horizon dari arah vertikal pandangku.
Barusan ia melirihkan kata-kata dan itu terngiang di telingaku. Dia ingin keluar dari ruang yang serasa penjara baginya. Aku tak bisa membiarkannya, hingga aku bisa menipiskan laranya. Dialah satu-satunya penyemangat kenapa aku keukeuh kuliah di Fakultas Kedokteran. Meski harus mengorbankan pilihan orang tuaku dan cita-citaku menjadi Arsitek. Tapi, karenanya aku tak pernah kehilangan semangat belajar. Aku mengerahkan segala waktu dan tenagaku. Untuk fokus pada penyakitnya itu. Ya, aku ingin menyeka air mata dan menghapus kegalauannya.
“Aku bahagia dengan rutinitasku. Pekerjaan baru sebagai penawar duka.” Dia hanya tersenyum. Itulah senyum tulus pertama yang tertangkap di retina mataku.
“Bahagia apa yang kau dambakan dari seorang yang hanya membawa kesusahan untukmu?” ungkapnya dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah tegas yang kujumpai sesaat menatapnya.
Aku terdiam. Sejak pertemuan pertama kami. Bisa kuhitung berapa kali ia menatapku. Seperti sengaja menyembunyikan derita di balik tatapan itu.
***
Matahari sudah memanggang kulit. Bukan lagi ritmis mentari usai fajar yang ramah. Matahari telah mencuat seutuhnya. Pertanda ia mulai menggulingkan kursi rodanya dan berbalik arah. Kami selalu menantikan sunshine di Pantai Losari. Ia akan berteriak, “Lihat, matahari pagi ini telah terbit.” Dan dia akan menunduk, memejamkan mata, dan mengucap syukur. Lalu tersenyum ke arahku. Bahwa pagi ini ia masih bernafas. Sekali sepekan aku menjumpai kebiasaannya itu. Dan itu yang membuatku rindu padanya.
Aku tahu perasaannya saat ini. Dia pasti enggan ke rumah itu. Rumah yang menurutnya memakai nama yang salah. Ia benci dengan nama ‘rumah sakit’ Karena menurutnya nama itu mengkerdilkan asa untuk sembuh. Ia ingin menyebutnya rumah sehat saja. Ya, rumah untuk orang-orang yang ingin sehat. Dengan begitu ia merasa tenang dan punya harapan sembuh.
***
Tujuh hari berlalu, dia masih ada di kursi itu. Duduk dengan gaya khasnya. Menatap ke atas atau ke bawah. Menatap biru langit atau biru laut. Karena ia suka biru. Kekhawatiranku selama seminggu ini terkikis. Aku masih mendapatinya hari ini. Aku mendekat. Kupandangi rambutnya. Rambut yang semakin hari kian menipis. Aku lalu berdiri di sampingnya. Ia berbalik ke arahku. Dan kulihat matanya yang berbinar. Sedikit menyemburat air mata. Kuperhatikan sesaat wajahnya tampak semakin berwarna mayat. Bibirnya tak lagi seulas delima.
Memang tak pernah kulihat butir air mata hinggap di pipinya. Hanya ekspresi itu. Ia selalu berusaha tegar di hadapanku. Menyembunyikan kerapuhan. Dia tersenyum saja sambil menatap lazuardi. Objek kesukaannya. Mulutku tiba-tiba kelu. Menimbang kata-kata apa yang pantas diucapkan. Sangat ironis jika aku menanyakan kabar yang sebenarnya telah kuketahui.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” sontak, aku kaget. Dia tersenyum. Kalimat itu membuat tubuhku merinding tiba-tiba. Seyum itu pasti palsu.
“Kabarku sama seperti biasa.” Ungkapku dengan nada sederhana.
“Kabarmu yang seperti biasa itu bagaimana? Bagaimana dengan skripsimu? Bagaimana dengan penelitianmu? Apa sudah kau temukan penyembuh itu?” ungkapnya dengan senyum entah penuh harap.
Ini adalah pertanyaan yang tak ingin kujawab. Jawabanku pasti menambah duka. Bahwa aku masih tak menemukan penyembuh itu.
“Kau sungguh bodoh, menyelesaikan aktivitas akademis hanya karena diriku. Aku tak berharap banyak dengan kesembuhanku. Kau harusnya tahu hari ini aku sangat bahagia. Tak pernah aku sebahagia ini.” Benarkah yang diucapkannya? Bukankah kata bahagia sudah terhapus dalam kamus hidupnya. Bahagia menurutnya ialah penderitaan. Dan penderitaan ialah kebahagiaan. Begitu yang sering ia dengungkan.
“Apa yang membuatmu bahagia?” tanyaku seolah mengiringi raut wajah bertopeng bahagia itu.
“Sudah lupakan saja. Cukup aku saja yang tahu. Aku ingin mengenang kebahagiaan ini seorang diri. Kebahagiaan yang sangat dalam.”
Aku menyusuri mata hitam yang mengisyaratkan kebohongan itu. Aku berusaha menemukan arti sebenarnya bibir limau seulas itu dan semburat lensa itu. Ah, betapa sulit menyelami air dalam tonggak.
“Aku akan menolongmu. ”Aku menjahit kata-kata dengan tegas.
“Sekarang aku tak butuh pertolongan apa-apa. Sudah terlambat. Aku sudah memiliki segalanya.” Pikiranku semakin tak tenang. Tidak biasanya ia bersikap begini. Dengan kondisi yang semakin kurus, tak sebanding dengan senyum merekah dari bibirnya. Benarkah telah datang kabut terang dan teduh hujan di harinya?
Hanya sebuah firasat yang tiba-tiba menggeliat di dadaku. Aku takut akan kenyataan esok hari. Kubiarkan dia larut dalam ketenangan raut wajah itu. Raut yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Tak peduli lagi itu palsu atau tulus. Akhirnya aku bisa bahagia. Melihatnya bahagia. Kusandarkan diriku, tepat mengenai kursi rodanya. Dan kuelus rambut hitamnya. Menatap alam Losari. Sepoi angin mengusap wajahku. Terasa sejuk. Daun pepohonan pun bergoyang diterpa angin. Matahari pagi Pantai Losari masih menjadi saksi bahwa dia masih ada untuk hari ini.

Ada yang terbaru di FLP Unhas!!!


Setelah sekian lama menanti, akhirnya buku "Album Cerita Pilihan Aji Bello" berhasil diluncurkan. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Refleksi.
Menu Buku:
Sebatas Penantian (Sultan Sulaiman)
Terminal Daya (Qiyash)
Silanjuk di Salongge (Epiki Fajargoga)
Aji Bello (Fitrawan Umar)
Hercules C-130 (Sultan Sulaiman)
Ana Arung (Chara Aw)
Perjalanan Pulang (ani Dzakiyah)
Bulan kedua di rumah kecil kami (Rasdiyanah Nendenk)
Lelaki Pendiam Penuh Pesona (Fitrawan Umar)
Tatap Surya Seperti Malam (Raidah Intizar)
Saat Cinta Dendangkan Luka (El Zukhrufy)
Namaku Chloe (asti Eka Ramadani)
Mereka bilang, Aku Gila (Radiyanah Nendenk)
Mentari, Aku Masih Di sini (Otumi Annisa)
Peluh Semesta Waktu (Cheri Tarnad Prodigio)
Dearly Beloved Papa (Muthie Salsabil)
Darah Kematian (Zulya Hamida)
I need You Friend (Nurul)
Borwnies itu.. (Yana Yan)
My Mysterious Writer (Qiyash)

Dapatkan Segera di Toko Buku Gramedia dan Toko Buku Terdekat
Atau Hub. FLP UH CENTER 08991824009
Membeli juga berarti Beramal

Ini bukan puisi, tapi Sebuah Penantian!!!
Penantian…!
Ada banyak isi kepala, berarti ada panyak penantian
Bagi seorang petani, penantiannya adalah hujan
Bagi seorang nelayan, penantiannya adalah ikan
Bagi seorang pengantin, penantiannya adalah anak
Bagi seorang pecinta, penantiannya adalah cinta itu sendiri
Dan bagi seorang yang mengaku penulis, penantiannya adalah buku!

Akhirnya apa yang kunantikan dari perjuangan panjang bersama teman-teman FLP Unhas telah hadir. Tak sia-sia tangan-tangan kita lelah menempel pada tuts key board. Atau memeras otak untuk tak mengosongkan layar putih di depan mata. Ya, pada akhirnya aku bisa melihat namaku tertera di salah satu buku yang terpajang di rak-rak toko buku. Terima kasih untuk semua teman-teman FLP Unhas, senior-senior FLP, dan tentu saja Pustaka Refleksi

Lelaki di Halte Merah

Hujan menyembur tajam kala aku keluar dari kampus setelah menyelesaikan studiku. Inilah akibatnya jika tak sedia payung sebelum hujan. Terpaksa aku memilih berteduh di halte, sambil menunggu pete-pete. Menunggu seperti ini sebenarnya hal yang tak kusukai. Aku merapikan baju dan kerudungku yang mengusut. Di halte itu aku tidak sendiri. Tiga orang lainnya juga menunggu redanya hujan. Ada sepasang kekasih yang malah asyik bercengkerama dalam balutan hujan. Satunya lagi seorang pria. Ia kelihatan begitu serius. Tak pernah kutemukan guratan wajah serius, tenang, dan kaku seperti itu. Raut wajahnya itu tak mengirimkan sinyal-sinyal keramahan. Yang ada hanyalah raut ketidaksenangan, melihat sepasang kekasih itu bermesaraan. Ketawa-ketiwi. Bagai dunia milik berdua.
Aku pun miris dengan tindakan mereka umbar kemesraan itu. Ada rasa sesak di dadaku melihat perbuatan itu. Semakin sesak rasanya. Ingin sekali aku menegur. Tapi sifat kelumrahan itu bagi kebanyakan orang menjadikanku urung.
“Kalau saja hari ini ajal kalian, apa kalian tidak takut mati dalam keadaan berdosa?” spontan dan tegas teguran pria itu. Ia hanya kaku menatap lurus ke depan dengan umpatan yang terlalu berani tapi tepat sasaran.
“Maksud kamu apa? tidak suka ya? Atau merasa terganggu? Emang tempat ini milik nenekmu apa?” lelaki itu menolehkan kepalanya menangkis ucapan. Lalu, kembali berbalik arah melanjutkan percakapan yang sempat terhenti kepada kekasihnya.
“Nggak usah diladeni sayang. Biarkan saja. Orang seperti itu cuma iri dengan kita. Mereka adalah orang-orang susah mendapatkan cinta. Kesannya idealis tapi sebenarnya mereka cuma miskin cinta. Ganteng-ganteng kok nggak laku.” Sang wanita malah berkomentar sedikit menantang dan menyinggung lewat gaya centilnya.
“Wanita zaman sekarang memang bodoh. Mereka mau saja tunduk pada lelaki yang hanya mengejar nafsu. Apa kamu tidak tahu kalau pacarmu yang sekarang kau puja-puja itu, suatu saat nanti akan menendangmu jauh-jauh. Setelah dia mendapatkan yang lebih cantik dari kamu. Dan kamu akan menangis merengek-rengek meminta pertanggungjawaban setelah kamu merasa telah dirugikan.”
Pria berkacamata itu membalas dan menyudutkan sang wanita. Tetap dengan gayanya yang terlihat angkuh. Menantap lurus ke depan. Wanita itu geram. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Tapi tak ada kata balasan yang keluar dari bibir ranumnya. Kekasihnya pun membiarkan. Terpojokkan oleh pria berkacamata itu.
Yang bisa kulakukan hanyalah mendengar. Aku belum mampu seberani itu. Aku salut. Masih ada yang mau berbuat nekat untuk sebuah amar ma’ruf nahi munkar. Padahal kebanyakan orang hanyalah diam membiarkan. Dosa telah dianggap suatu kelaziman.
Sepasang kekasih itu diam mematung. Mau beranjak tapi hujan masih menyerbu. Umbaran kemesraan akhirnya kelu oleh ucapan pria berkacamata itu. Tak kuperhatikan angkot yang berlalu lalang menjemput penumpang. Teralihkan oleh rasa puas dan kegeramanku yang mereda.
“Ayo sayang kita pergi. Jangan berlama-lama di tempat ini. Ada orang sok suci. Nanti dia juga tahu rasanya pacaran. Aku tak yakin dia mampu menahan hasratnya.” Wanita itu tak segan menyinggung sempurna. Mereka beranjak saat hujan menggerimis. Sang laki-laki menghidupkan motor. Pasangan kekasih itu pun berlalu bergandengan mesra.
Tinggal kami berdua yang menghuni halte merah yang selalu nampak lengang itu. Di antara sekian banyak halte yang berjejaran, hanya dia yang nampak kesepian. Ingin rasanya kumulai percakapan dengan pria itu. Tapi aku takut. Dengan penampilanku yang berkerudung setengah-setengah, adalah sasaran ceramahnya. Bayang-bayang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya sudah kukira-kira. Ah, aku terlalu dini buruk sangka. Tapi biarkan saja. Diam pun tak mengapa. Tidak ada ruginya juga jika aku tak mengajaknya mengobrol.
Hening… tak ada suara. Hanya gerimis yang terdengar.
“Mengapa begitu sulit mencegah munkar. Padahal kita punya berbagai macam dalil untuk bersuara.”
Aku terhenyak kaget. Tiba-tiba pria di samping ini menghempaskan badannya, mendesah, dan berbicara sesuatu. Apakah dia mencoba mengajakku berbicara? Tidak mungkin. Aku lebih pantas diajak diam olehnya. Ah, mungkin saja dia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri.
“Maaf, jika mengganggu. Aku hanya ingin mengeluarkan keluh kesahku. Akhir-akhir ini tak ada yang mau bicara denganku. Kalau tidak mau dengar juga gak apa-apa.” Lanjutnya sekali lagi. Tanpa menoleh ke mana-mana. Ia tetap menatap lurus.
Akhirnya aku semakin yakin kalau dia memang mencoba mengajakku bicara. Tapi, untuk memulai mengeluarkan kata terasa sulit. Aku terlalu banyak menimbang kata.
Aku pun tak mau kalah dengannya. Kusandarkan diriku dan hanya menatap lurus tajam mengikuti aturan mainnya. Aku harus bersikap santai dan serius. Ia tak bisa dianggap sebagai lawan bicara yang main-main. Yang seperti inilah yang tak kusukai. Harus bersikap tak apa adanya.
Tak kutanggapi satu pun kata-katanya. Ia kembali mendesah. Kalau dilihat-lihat tak akan ada yang menyangka kalau ia bukan lelaki biasa. Kesan hedonis kelihatan melekat dalam dirinya. Tapi sesuatu itu aku tak tahu. Atau mungkin karena wajahnya yang tak kalah saing dengan selebriti. Tidak ada tanda hitam di dahinya ataupun baju koko dan isbal. Sama sekali tak mencerminkan kalau dia sedikit fundamental.
“Orang terlalu takut menerima kebenaran. Mereka lebih memilih hidup dengan keenakan yang ada sekarang. Dosa tak penting lagi.” Ia masih bersandar, kemudian mengangkat tangannya dan melipatnya di depan dada.
“Banyak di antara kita yang selalu mengajak kebenaran. Tapi kenapa begitu sulit mengungkapkan kebenaran seperti tadi. Kita tetap membiarkan kemaksiatan berjalan di sekeliling kita. Sungguh ironis.” Kumulai menyulam kata untuk mengimbanginya. Bagiku cukup berhasil. Aku bisa mengikuti caranya itu. Bicara dengan hanya menatap lurus ke depan. Sama saja bicara dengan diri sendiri. Tak ada interaksi. Suara lebih ditekan. Dan kaku.
Dia tak berucap lagi. Segudang misteri masih terbenam dalam keteduhan wajahnya. Baju kemeja kotak-kotak hitam putih begitu padan denganya. Menambah aura cahaya para malaikat di wajahnya. Ah, aku terlalu menempatkannya berlebihan. Dia seharusnya tak kuanggap orang yang istimewa. Ia cuma lelaki biasa yang tak luput dari dosa.
Hujan sedari tadi reda. Namun seperti ada yang menahan kakiku. Serasa tak mau beranjak dari tempat duduk ini. Obrolan panjang di antara kami berakhir dengan kebisuan. Dia akhinya diam. Aku pun ikut diam mengikuti diamnya. Mengapa aku yang mesti ikut dengan skenario permainannya. Bukankah aku dikenal sebagai orang yang mampu mengendalikan pembicaraan. Tiba-tiba aku takluk di depannya.
Dia berdiri. Tubuh jangkungnya kini terlihat. Ada satu makna yang bisa kutangkap dari gerakannya itu. Ingin permisi. Tatapan tajam yang masih terfokus ke satu arah. Aku penasaran, hal apa yang ditatapnya itu. Aku malah menangkap ada sesuatu yang dipikirkan di balik tatapan itu. Aku tahu kalau itu tatapan kosong. Yang berusaha dibuat untuk menggelebungkan hal rumit yang sedang berkontraksi di otaknya. Ah, sudahlah, aku tak perlu menginterpretasi tatapan kosong itu.
Semilir angin dingin yang diciptakan redanya hujan benar-benar menusuk hingga ke tulang. Titik air yang masih tersisa dan jalanan yang masih basah, serta nuansa hijau yang terjepret oleh mata ialah hal yang meninabobokan bahwa bumi telah rusak.
“Assalamu alaikum,” ia melangkah gontai dan melompati selokan di depan kami. Menaiki salah satu pete-pete yang tepat berhenti di depan. Kalimat itu rasanya terlalu singkat untuk mengakhiri pertemuan ini. Namun, aku tak perlu kecewa karena itu adalah sebuah do’a. Dan kubalas lengkap dengan suara lirih. Juga memberi do’a untuknya.

Ahmad Syauqi's Poem

Lagu-lagu pesta menjadi sayu terdengar
Semakin samar terdengar di tengah gegap gempitanya pesta
Ia telah terbalut kain kafan pada malam perkawinan
Dikuburkan saat mentari pagi bersinar terang menyambut hari
Semua mimbar dan menara adzan berguncang karenamu
Seluruh kerajaan di segala penjuru pun menangis untukmu
India dan Mesir bersedih
Mereka menangis dengan derai air mata tak terbendungkan
Syam, Iraq dan Persia bertanya
Apakah khilafah telah dihapuskan dari muka bumi ini ?

Puisi Ahmad Syauqi yang menceritakan tentang kepedihan hatinya menyaksikan runtuhnya Khilafah Islamiyah

Licik Gelitik Sang Pemuda

Kita adalah garda yang diciptakan sebagai pijakan
Pundak kita gagasan tumpuan
Yang menjadi tonggak revolusi di tanah gersang
Benarkah kita adalah cerahnya harapan?
Yang akan selalu menjadi harapan hingga dunia menenggelamkan kita
Banyak yang menjargonkan masa depan di tangan kita
Seolah masa depan cerah begitu dekat dengan kita
Dan mengalir dalam darah kita
Semuanya masih harapan absurd
Tantangan peradaban besar menggempur kita
Mentransformasi kita
Menawarkan kesenangan dunia
Yang merobek idealisme dan identitas kita
Ia bagai pedang bermata dua
Menghunus dari arah mana saja
Ia punya kaki-kaki gurita menjalar hingga palung-palung terkecil
Menggerogoti kita
Tak itu terlelap, tak itu bernafas sempurna
Ia mengintai diam-diam
Membalut lewat selimut kenyamanan
Menawarkan racun yang mengelabui kita dengan secangkir madu
Nafas pun berbau sekularistik
Gaya hidup yang hedonistik
Pergaulan yang liberalistik
Pendidikan kita yang kian materialistik
Semuanya beradu dalam politik oportunistik
Makhluk apa itu
Kami mabuk oleh keenakannya
Sarat budaya pop western-minded
Benarkah ia jelmaan produk rezim kapitalisme?
Makhluk itu invisible
Ia menggema dalam naungan “Globalisasi”

Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Sastra Inggris 2008

AND THE RAIN FALLS

Aku tulis puisi ini untuk mencerna
Untuk apa hujan turun pagi ini
Dari cakrawala yang ceria
Dari cakrawala yang tak bias abu-abu
Dan aku pun menemukan jawabannya
Kau ternyata…..

Perempuan itu bernama Annisa. Aku mendapati kehadirannya dengan sosok aneh di kelas Pak Burhan pagi ini. Wajahnya sewarna dengan buah peer, pucat pasi. Pipinya merosot sedikit. Tulang pipinya sedikit terbentuk. Dan tubuhnya mengurus. Untung saja ia memakai kerudung besar dan baju longgar yang selalu tampak cocok ia padu padankan. Kekurusannya itu sedikit tertutupi oleh hijabnya. Namun aku tetap masih bisa melihat ada yang semakin aneh dengan dirinya pagi ini.
Sebetulnya aku bukanlah tipe pemuja rahasia seperti lagu Sheila On7. Yang akan terus mengawasi gerak-gerikya. Aku lebih suka dibilang spy of love. Julukan yang kuberikan untuk diriku sendiri. Orang bilang aku nakal tapi beriman. Aku bahkan bosan mendengar pertanyaan orang, “Kau ini ikhwan atau bukan?” atau cewek-cewek yang diam-diam menggosipiku “Dia itu ikhwan bukan sih?” aku hanya bersikap apa adanya diriku yang sok misterius.
Annisa mungkin sedikit merubah diriku. Perempuan misterius yang juga kukenal. Dia itu seperti cuaca. Sebentar panas, sebentar mendung, hujan, gerimis, cerah, ceria, dingin. Ya, aku suka dirinya yang berkepribadian triple atau kwartet. Dia akhwat paling cerdas yang pernah kutemui. Jangan mencoba berdebat dengannya. Kau akan dibabat dengan sejumlah jurus ayat al Qur’an. Dosen pun bahkan takut
Aku bahkan penasaran dengan buku yang setiap hari ditentengnya “Feminisme dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer” aku baru paham kalau dia antigender. Tulisannya sering menghiasi media kampus maupun lokal terutama yang bebau isu feminisme, gender, emansipasi, dan perempuan. Ia akan membuat opini tandingan pada kelompok aktivis perempuan liberal yang mewarnai media dengan keliberalnnya.
Ia selalu ceria, dengan tawanya yang ramah. Tutur katanya lembut dan penuh hikmah. Mulia. Suci. Itu terlalu hiperbol bahwa teman-teman seolah menganggapnya seperti malaikat. Lelaki mana yang berani mengusiknya. Mereka pasti diam saja kalau Nisa mulai bicara. Cantik memang. Wajah beraura malaikat. Ia sempurna di mataku. Dan mungkin juga di mata lelaki lain yang juga mengaguminya.
“Nisa, kenapa terlambat lagi?” Pak Burhan yang killer nampak tenang.
“Hukum saja saya pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak.” Jawabannya selalu sama kala ia terlambat. Entah kenapa Pak Burhan selalu luluh di hadapannya. Tak sekiller ketika menghadapi mahasiswa lain yang terlambat. Ia bagai air yang selalu mampu memadamkan api.
Ia tak aktif lagi berargumen di kelas. Akhir-akhir ini ia selalu diam saja dan mengambil tempat duduk paling belakang. Dan selalu menunduk. Aku selalu memperhatikannya. Memperhatikan gerak-geriknya yang nampak mengerang kesakitan. Bibirnya digigit. Matanya dipejam, dan keningnya pun dikerut. Ekspresi sedang mengalami kesakitan luar biasa. Namun, ia selalu nampak biasa kembali setelah fase itu.
***
Usai perkuliahan, semua mahasiswa bersiap pulang. Namun, ia selalu keluar belakangan. Aku pun sengaja mengikutinya. Untuk melihat apa gerangan yang sedang ia lakukan. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Benda kecil berbentuk botol. Ia berjalan keluar dengan langkah yang tak pasti. Seperti dedaunan yang tertiup angin. Semakin lama, semakin nampak ingin roboh.
“Prak” dan akhirnya ia jatuh. Tak ada satu pun orang di sekitar situ. Kampus sudah sepi. Hanya aku yang menyaksikan dirinya. Ia pingsan dan harus segera ditolong. Tapi, aku tak mampu. Bagaimana hukumnya kalau aku menolongnya tapi dengan cara menyentuhnya. Aku juga takut. Bagaimana tanggung jawabnya pada Allah.
***
“Ibu, dimana aku?” ia terbangun dengan wajah cantiknya yang nampak berwarna mayat.
“Tenanglah, Nak. Kau di rumah sakit. Kemarin katanya dirimu pinsang di kampus. Apa kamu tidak ingat?” ia menggeleng.
“Lalu siapa yang membawamu ke rumah sakit?”
“Entahlah, Bu. Aku benar-benar tidak ingat.” Namun matanya bergerak-gerak ke arah salah satu dari kami yang berada di rumah sakit itu. Seolah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan ibunya. Kami semua menggeleng. Dan tak tahu apa-apa.
“Ya. Sudahlah. Yang penting kau selamat. Ibu keluar dulu. Teman-temanmu dari tadi menunggu.”
Aku menyudut, menyandarkan tubuhku di tembok. Melipat tangan. Menundukkan pandangan. Namun sesekali meliriknya yang masih bisa tersenyum ceria. Ternyata ia masih mampu mengeluarkan sepatah kata yang bermakna untuk kita.
“Ratih, kapan mau pakai kerudung?” ia tersenyum.
“Ami, kok masih pake jeans?” kerudungmu cantik sekali. Gak serasi dengan jeansmu itu.” tersenyum lagi…
“Anto, gimana acara baksosnya dengan anak panti asuhan? Aku udah gak sabar berjumpa sama adik-adik di Panti Asuhan Melati.” Masih tersenyum.
Begitulah dirinya yang selalu nampak manis dan ceria. Teman-teman hanya bisa manggut-manggut. Teman-teman sedih melihat kondisinya yang mengenaskan. Kurus dan wajah semakin pucat bak mayat. Hanya aku yang tak dapat teguran. Tapi, ia masih merelakan senyumannya sekali untukku. Akan kukenang itu.
“Ukh..ukh…Ukh” ia batuk dan kembali mengerang kesakitan. Wajahnya memerah. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Menetes di kasur. Kami semua panik. Salah satu dari kami memanggil dokter. Dokter lalu menyuruh kami keluar. Aku masih sempat melihatnya dikawal oleh para suster dan dokter dari balik tirai jendela kamar ICU itu. Kasihan sekali.
***
Sudah dua minggu ia tak masuk kuliah. Kami semua merasa kehilangan sosok yang selalu mendakwahi kami. Teman-teman yang dulunya sangat jengkel ketika diceramahi, justru berbalik rindu akan nasehatnya. Dosen-dosen pun menanyakan kabarnya. Semua merasa kehilangan dirinya.
Tak ada yang tahu kabarnya kali ini. Rumahnya tak berpenghuni lagi. Kami kehilangan kontak. Kabarnya ia dibawa pulang ke kampungnya dan mendapat rawat inap di rumahnya. Aku rindu padanya. Dan semua teman juga rindu padanya. Teman-teman sedikit berubah karena ketidakhadirannya. Teman-teman merasa bersalah mengacaukan nasehatnya.
Oh, Tuhan jangan kau siksa ia dengan penyakit itu. Jangan kau ambil dia secepat itu. Dia masih muda. Dia masih dibutuhkan. Masih banyak hal yang ia bisa lakukan di dunia ini. Dan aku belum sempat meminangnya. Aku sudah jauh hari memutuskan bahwa dialah sosok yang kudambakan untuk menjadi istriku. Namun, aku hanya takut tak pantas mendampinginya. Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, dalam dunia maupun akhirat. Aku ingin dialah yang pertama kali kulihat saat aku bangun tidur. Aku ingin dia yang berada di belakangku saat aku imam dalam shalat. Aku ingin dia yang mengasuh anak-anakku. Oh, Tuhan jangan rebut ia, sebelum keinginanku tercapai.
***
Pagi ini aku ke kampus. Teman-teman sudah ribut membicarakannya. Katanya ia semakin gawat dan perawatannya kembali dipindahkan ke Makassar. Sudah sebulan ia koma, tak berbuat apa-apa. Hanya diam mematung di ranjang. Kami hanya bisa melihatnya di kaca jendela ruang rawatnya. Rambutnya masih dibalut kerudung. Wajahnya pucat namun nampak bercahaya dan jernih. Bagai dikelilingi para malaikat. Aku belum sempat bicara sepatah kata pun dengannya. Sejak pertemuan pertama kami. Sikapnya kepadaku beda dengan sikapnya ke teman-teman laki-laki yang lain. Ia tak pernah sekalipun menegurku, menyapaku, apalagi berbicara denganku. Ia hanya mampu mengurai senyum kepadaku. Tapi bagiku itu cukup. Cukup mengisyaratkan kalau ia tak membenciku.
Aku berjanji setelah ia sadar aku tak pikir panjang lagi untuk segera mengajaknya berbicara. Aku ingin mendengar kata yang keluar dari mulutnya ditujukan kepadaku. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin dia hadir kembali di kehidupanku. Walau bukan milikku seorang.
***
Pagi ketika aku bangun hari ini, nampak begitu cerah dan indah. Langit biru membentang menghiasi cakrawala. Cakrawala yang sesungguhnya absurd. Ia hanyalah tipuan mata yang selalu menghiasi mata dengan kebohongannya. Aku keluar menghirup udara segar, Memandang langit sesaat yang tak secerah perasaanku. Dan menikmati angin sejuk. Matahari begitu bahagianya terbit pagi ini. Aku menengadahkan wajahku, menutup mataku dan menikmati belaian angin.
“Tik.” Satu tetesan air membasahai pipiku. Entah tetesan dari mana itu. Aku membuka mata, ternyata gerimis turun menyapa bumi. Pagi ini aneh. Hujan turun tak ada mendung. Langit masih cerah, namun gerimis semakin banyak. Seperti tangisan bahagia. Tak berkabung dengan langit mendung. Hujan turun dengan cerah. Hari yang jarang kita temukan. Aku seperti melihat Tuhan menangis bahagia.
Telponku berdering, kuraihnya dari sakuku. Terpampang nama Anto, “Apa???” aku tidak percaya apa yang baru saja aku dengar. Telponku terjatuh saja dari tanganku. Ia telah pergi. Nisa telah menghilang untuk selamanya dari kehidupan ini. Dari kehidupanku. Satu keinginan dalam hidupku terhapus. Ia tak mungkin lagi kucapai.
Hujan yang turun pagi ini menipuku dengan keindahannya. Ternyata ia adalah hujan berkabung. Hujan kematian yang pernah diceritakan nenek kepadaku. Hujan ini milik Nisa. Hujan yang mengirinya keceriaan sekaligus kematian Nisa. Hujan yang tak akan kau temui langit mendung yang selalu mengiringinya. And that rain falls….‼!

Makassar, 4 Januari 2010
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris 2008

Akan Datang pada Waktunya

Aku akan datang, pada waktunya
Mengungkapkan segala kenyataan hati
Aku akan memberikan pundakku
Menimang lelahmu
Aku saat ini masih tersenyum jauh
Membayangkan akan seperti apa jika kau berada di dekatku
Barulah aku menyemai cintaku
Kukenang hingga kau terlelap di pangkuanku
Biarlah kita berjalan pada rel yang telah ditentukan
Tak perlu memaksa
Tak perlu berharap berlebih
Tak perlu mencinta berlebih
Aku saat ini masih menimbun cintaku
Dengan cinta Tuhanku
Aku akan menggalimu
Saat semua telah tiba pada waktunya
Karena kuingin kau takdirku
Dan kuingin kau pun menginginkanku jadi takdirmu
Akan kita lihat bersama
Apakah Tuhan memilih takdir itu

Makassar, 12 Januari 2010
Pukul 21.00 WITA

Jangan Datang Malam Ini!

Ya, malamku terlalu banyak bercerita tentang dirimu
Bisikan malam
Angin malam
Bau malam
Semua tiada henti mengagungkan dirimu
Ya, jika hatiku memang memilihmu
Ya, jika pikirku memang menghadirkanmu
Karena kuyakin kau pun menghadirkanku di setiap malam mu
Namun yang salah, tetap saja salah
Benar, jika kata tak henti mengalir membicarakanmu
Seolah hanya ada satu yang memuaskan hati dan akalku
Memang, aku sudah dari dulu tahu
Bahwa yang salah, tetap saja salah
Yang bisa kulakukan, hanya menunggu salah itu menjadi benar
Entah siapa yang salah
Diriku kah yang terlalu bodoh
Atau dirimu yang terlalu membawa ketertarikan
Atau perlukah kita menyalahkan cinta?
Aku ingin berhenti saja sampai waktunya tiba
Tuhan, kuasailah diriku
Jangan Kau serahkan pada hatiku yang goyah
Simpankan saja dia untukku, kelak
Ke mahligai yang Kau ridhoi
Dan, bangunkanlah rumah di surgaMu

Makassar, 13 Januari 2010
Pukul 06.30
_Qiyash_
Diberdayakan oleh Blogger.