Kampus pagi itu gempar dengan simbol aneh. Huruf A berpadu dengan lingkaran. Di simbol itu tersirat pesan arti sebuah perlawanan. Radikal. Simbol itu meninggalkan jejak di perpustakaan, gedung rektorat, ruang kelas, dan sejumlah ruangan penting lainnya di seluruh penjuru kampus. Simbol itu bercat merah, berbau darah. Ada nafas kemarahan, dendam, dan ambisi. Birokrat gerah, mahasiswa saling lempar praduga.
“Bersihkan tembok itu! Dan hilangkan gambar-gambarnya!” Perintah rektor yang terkenal tegas. Kata sebagian orang, dia lembut namun sedikit licik.
Gelagat itu tak sama seperti biasanya. Kali ini rektor tak pernah sedikit pun berusaha mencari pelakunya. Wajahnya tampak biasa saja melihat simbol merah itu. Simbol itu jadi misteri di kampus ini. Namun simbol itu bukan sejarah baru. Sesungguhnya ia telah lama ada. Sejak Adam Smith mengeluarkan teori ekonominya. Simbol ini milik dunia. Dunia dalam refleksi kiri. Yang tak pernah puas dengan sistem. Ya, ia ada di kampus ini. Namun masih menjadi tanda tanya, siapa pelakunya???
***
Aku senang. Mereka kalap. Itu baru permulaan. Teror ini tak akan berhenti sampai rektor licik itu menyerah. Beraninya ia menjadikan universitas ini sebagai pabrik uang. Seenaknya saja membangun area komersil. Hm…, benar tak pernah menjadi mahasiswa. Seperti apa waktu dia masih kuliah. Aku yakin dia adalah orang yang tak pernah merasa tak puas dengan sistem. Dia pasti mahasiswa budak nilai. Yang sehari-hari ke perpustakaan dan meminjam buku sampai bertumpuk-tumpuk. Study oriented. Tak peduli. Apatis. Hidup berjalan mulus. Uang mengalir lancar ke rekening. Tak pernah lapar. Tak pernah merasakan pinjam uang, atau menggadaikan barang. Ya, ia tipe mahasiswa yang tak pernah memberontak. Orang itu tak cocok menjadi pemimpin kita. Mahasiswa.
***
Pagi ini, di kampus tercium aroma darah itu lagi. Yup kejadian yang sama, namun lebih kejam. Perpustakaan telah diserang. Sebagian kacanya pecah. Buku-buku berserakan dan sebagian telah robek. Simbol itu telah berubah menyatakan perang.
Rektor tetap acuh. Ia tak memberi solusi. Para birokrat kesal. Rektor tak setegas biasanya. Wajah rektor selalu penuh kebingungan bukan kemarahan. Wajahnya selalu menampakkan ekspresi aneh kala melihat simbol itu. Pun kejadian hari ini. Ia tambah kaget. Dan langsung pulang ke rumah.
***
“Ma, ini tahun berapa?” Tanya rektor pada istrinya.
“Masa gak ingat sih, Pa. Ini tahun 2010.”
“Aku seperti mengalami Déjà vu.”
“Déjà vu itu biasa, Pa. Mama juga sering.”
“Tapi, déjà vu itu seperti benar-benar telah kualami. Kejadian masa lampau, masa kita kuliah dulu. Tahun berapa itu, Ma?”
“Papa ini ada-ada aja. Kalau gak salah sekitar tahun 1976 sampai 1980.”
“Ah, tak mungkin.”
“Ada apa, Pa?”
“Kejadian di kampus akhir-akhir ini seperti menerorku. Simbol itu ditujukan untukku. Bukan yang lain.”
***
Aku menang lagi. Itu belum seberapa. Targetku selanjutnya adalah gedung rektorat. Singgasana si rektor berbulu domba itu. Aku tak akan membiarkan dia merampas hak mahasiswa miskin untuk kuliah. Aku tak akan membiarkan kampus ini dihuni oleh kalangan borjuis.
“Hey, kau sedang apa, Cakram Radius?” seorang gadis berjilbab menegurku.
Gawat!! aksiku malam ini ketahuan.
“Bukan urusanmu!” bentakku.
“Hal gila apa lagi yang kau lakukan?.”
“Kau tak perlu tahu. Urus saja ranselmu yang berat itu. Kau bahkan tak bisa mengurus dirimu, sok mengurus urusan orang lain.”
Namanya Mutia. Ia selalu mengenakan tas ransel besar. Aku heran kenapa tas ransel itu tak cukup untuk menampung barang-barang yang dibawanya. Dia masih memanfaatkan tas jinjing kecil. Super sibuk atau sok sibuk. Apa yang diurusnya. Dia selalu terlihat kewalahan. Kadang aku ingin membantunya. Tapi, dugaanku pasti benar, kalau ia menolak.
Kita memang punya persamaan, tak suka dengan sistem. Namun idenya mustahil, mau menjadikan agama sebagai ideologi. Ah, benar-benar utopis. Mutia adalah gadis yang selalu menentang argumenku di kelas. Meskipun aku rasa dia selalu benar. Dan aku hampir mengakui idenya itu. Seperti fitrah yang memang melekat di diriku. Aku akui dia hebat. Aku selalu kalah debat olehnya. Dan dia selalu percaya diri dengan idenya itu. Meskipun teman-teman menutup telinga ketika ia berkomentar. Tak akan ada yang berani mendebatnya, kecuali aku. Yang selalu siap ia permalukan.
“Sudah kuduga. Kaulah pelakunya. Buat apa kau lakukan itu. Simbol yang kau tulis dan pengrusakan yang kau lakukan tak akan merubah segalanya. Melawanlah dengan hati, dengan cinta. Jangan pakai fisik.”
“Kau tahu apa tentang diriku. Justru ini denga hati. Dengan cinta. Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selonsong senapan. Tidak kah kau paham slogan itu?”
“Hm..cinta dengan selonsong senapan bukan solusi. Ia akan mati dan lebur bersama dirimu. Melawanlah dengan ide, dengan solusi, dengan indah. Bukan dengan kekerasan.”
“Terseralah. Aku tak peduli. Kita lihat ide siapa yang akan menang. Aku akan mendahuluimu dengan revolusiku.”
***
Lagi, pada hari itu di waktu yang sama. Sebagian gedung rektorat telah terbakar. Respon rektor tetap sama. Dengan ekspresi membingunkannya.
“Pak, ini sudah parah. Kita harus mencari pelakunya.”
“Sulit. Ada berapa mahasiswa di sini. Itu tak mudah.”
“Tapi, kita tak harus membiarkannya seperti ini, Pak.”
“Untuk sementara ini, biar saya pikirkan dulu solusinya. Lagian ini juga bagian gedung yang tua. Sudah lama gak direnovasi.”
Rektor tak betah di kampus. Simbol itu jelas meneror dirinya. Ekspresi pucatnya itu datang lagi dengan sedikit ketakutan. Ia pulang ke rumahnya membawa sejumput kebingungan.
“Ma, hari ini déjà vu itu datang lagi. Gedung rektorat dibakar. Aku seperti pernah mengalaminya. Tapi, entah kapan dan dimana.”
“Sudahlah, Pa. Teman-teman Papa complain mengenai kebijakan Papa yang tidak tegas terhadap pelaku pengrusakan itu. Menurut Mama, Papa harus segera menemukannya. Dan keluarkan dia dari kampus. Payah, menyimpan mahasiswa seperti itu.”
“Sulit, Ma. Ada banyak mahasiswa.”
“Apa, tak ada tanda-tanda yang ditinggalkan mahasiswa itu.”
“Ada. Simbol huruf A dengan lingkaran.”
“Bukankah itu sangat familiar?”
“Ya. Dia sudah melukis simbol itu di beberapa bangunan. Dan bangunan yang memiliki simbol itu akan dirusak atau dibakar. Beberapa bangunan pasti akan menyusul kalau aku segera tak menghentikannya.”
“Ma, tunggu sebentar. Hari ini hari apa?”
“Hari rabu.”
“Bulan?”
“April.”
“Aku ingat sesuatu, Ma.”
***
Malam itu, rektor menghubungi semua birokrasi untuk mencari tahu mengenai organisasi itu. Namun tak ada yang tahu. Hanya saja simbol itu terlalu banyak terpampang di tembok-tembok fakultas FISIP. Kemungkinan besar pelakunya berasal dari fakultas FISIP.
Rektor turun langsung. Dia melewati koridor FISIP. Semakin familiar dengan simbol-simbol itu. Dia kembali mengalami déjà vu. Dia mengamati satu persatu simbol itu. Dan berhenti pada satu simbol. Di bawah simbol itu tertulis inisial CR dalam ukuran kecil. Rektor akhirnya ingat dengan simbol dan inisial itu. Cakram Radius. Itu adalah nama rektor sendiri. Simbol itu dibuat oleh sang rektor 33 tahun yang lalu. Ia dalang pengrusakan ini pada tahun 1977.
“Aneh, Gila. Mustahil. Akulah yang merusak ini semua. Aku sama sekali tidak mengingat diriku ketika masih mahasiswa. Lalu, siapa rektor yang kubenci itu. Aku tidak ingat. Aku tidak ingat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Permainan waktu apa ini???”
“Cakram Radius telah berubah. Cakram Radius telah kehilangan idealismenya. Hah, permasalahan klasik mahasiswa. Inikah diri Papa yang sesungguhnya???”
cerpen ini meraih juara II dalam lomba Penulisan Cerpen Pensil Biru 2010
UKM Menulis FIB Universitas Hasanuddin
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar