Menanti Matahari di Pantai Losari

Matahari tak mengenal absenteisme di kemarau ini. Ia pasti mampir menyalami tanah ini. Begitu menyengat. Radiasinya pasti akan memanggang kulitku dan membuat ubun-ubunku terasa mendidih. Bersama sunnatullah yang terus berjalan mengiringinya. Kadang pula alam ini penat menyaksikannya. Hujan tak mau kehilangan kesempatan mengguyur Kota Makassar. Kala musim hujan datang, setiap harinya hampir tak ditemui matahari mencurat.
Namun pagi ini, sebelum matahari itu berubah ganas, aku tetap meluangkan waktu yang terus mengungkungku. Membuat suatu kewajiban baru dalam hidupku. Menyaksikan perempuan itu. Perempuan yang seumur hidup dalam kesenduan. Tersudut di keindahan pantai, hanya ditemani kursi pelipur laranya. Menjauh dari kerumunan orang yang memenuhi Pantai Losari. Yang selalu ramai di akhir pekan di awal pagi. Dia terduduk dengan tatapan hampir kosong di kursi rodanya. Menatap laut yang belum terjamah mentari utuh di Pantai Losari, aku memproklamirkan kehadiranku.
Cerita apa lagi yang dia ceratai kali ini. Dongeng seribu satu malam kah. Seperti kisah Aladin yang menjadi dongeng favoritnya. Aku hanya takut ia mengidap menerisme seorang schizophrenia. Ingin punya jin seperti Aladin, atau menjadi Cinderella yang punya peri. Namun, ia tak akan meminta pangeran tampan. Hanya satu, yakni harapan hidup. Ia bukan takut menghitung hari, namun lelah. Ya, karena penyakit mematikan itu. Leukosit bagai peluru mencecar tubuhnya.
Meskipun ia tak pernah cerita tentang hidupnya, tapi aku tahu dengan pasti. Dia hanya mampu mengurai kisah indah dan hiburan-hiburan seperti sebuah kamuflase agar tak mengasihaninya. Tak tahukah ia, kalau aku tak akan terbuai dengan kisah yang kamuflase itu. Tahukah ia kalau aku tak bisa menyunggingkan bibir dengan renggut paksa. Atau bahagia yang sesungguhnya pseudo. Kuperhatikan dirinya yang terabrasi satu persatu. Namun, rona itu tetap terlihat cantik di mataku.Secantik kali pertama aku bertemunya, di tempat ini. Aku datang untuknya sebagai hujan menimpa rumput kering hingga segar kembali.
“Aku lelah.Aku ingin pulang ke rumah.” Sosok di sampingku tiba-tiba berujar, selang beberapa menit kami hening tak bersuara.
“Kau menderita?”
“Bukan menderita.Tapi tak bahagia.”
“Dulu kau bilang kau bahagia.”
“Ya, aku bahagia. Lebih tepatnya, berusaha bahagia. Aku bahagia, karena orang-orang yang kusayangi semuanya masih bisa tersenyum bahagia.”
“Tapi, aku ingin membuatmu merasakannya. Rasa bahagia sesungguhnya.”
“Itu tak perlu.Karena kau ada, aku sudah bahagia.”
“Izinkan aku membuat bahagia itu menjadi sungguhan?” ini bukan kali pertama aku memintanya. Entah berapa kalimat yang telah ku puitisasi. Dan aku belum tetap mampu mencerahkan kabut di hatinya. Biarpun kutahu ia wanita tegar bertangan besi. Tapi tangan besi itu kini meleleh berganti kayu dan rapuh.
Matahari nampaknya akan bertransformasi dan kembali menyengat kota Makassar. Cakrawala cerah oleh langit lazuardi. Diselimuti gumpalan awan yang mengaburkan horizon dari arah vertikal pandangku.
Barusan ia melirihkan kata-kata dan itu terngiang di telingaku. Dia ingin keluar dari ruang yang serasa penjara baginya. Aku tak bisa membiarkannya, hingga aku bisa menipiskan laranya. Dialah satu-satunya penyemangat kenapa aku keukeuh kuliah di Fakultas Kedokteran. Meski harus mengorbankan pilihan orang tuaku dan cita-citaku menjadi Arsitek. Tapi, karenanya aku tak pernah kehilangan semangat belajar. Aku mengerahkan segala waktu dan tenagaku. Untuk fokus pada penyakitnya itu. Ya, aku ingin menyeka air mata dan menghapus kegalauannya.
“Aku bahagia dengan rutinitasku. Pekerjaan baru sebagai penawar duka.” Dia hanya tersenyum. Itulah senyum tulus pertama yang tertangkap di retina mataku.
“Bahagia apa yang kau dambakan dari seorang yang hanya membawa kesusahan untukmu?” ungkapnya dengan sorot mata yang tiba-tiba berubah tegas yang kujumpai sesaat menatapnya.
Aku terdiam. Sejak pertemuan pertama kami. Bisa kuhitung berapa kali ia menatapku. Seperti sengaja menyembunyikan derita di balik tatapan itu.
***
Matahari sudah memanggang kulit. Bukan lagi ritmis mentari usai fajar yang ramah. Matahari telah mencuat seutuhnya. Pertanda ia mulai menggulingkan kursi rodanya dan berbalik arah. Kami selalu menantikan sunshine di Pantai Losari. Ia akan berteriak, “Lihat, matahari pagi ini telah terbit.” Dan dia akan menunduk, memejamkan mata, dan mengucap syukur. Lalu tersenyum ke arahku. Bahwa pagi ini ia masih bernafas. Sekali sepekan aku menjumpai kebiasaannya itu. Dan itu yang membuatku rindu padanya.
Aku tahu perasaannya saat ini. Dia pasti enggan ke rumah itu. Rumah yang menurutnya memakai nama yang salah. Ia benci dengan nama ‘rumah sakit’ Karena menurutnya nama itu mengkerdilkan asa untuk sembuh. Ia ingin menyebutnya rumah sehat saja. Ya, rumah untuk orang-orang yang ingin sehat. Dengan begitu ia merasa tenang dan punya harapan sembuh.
***
Tujuh hari berlalu, dia masih ada di kursi itu. Duduk dengan gaya khasnya. Menatap ke atas atau ke bawah. Menatap biru langit atau biru laut. Karena ia suka biru. Kekhawatiranku selama seminggu ini terkikis. Aku masih mendapatinya hari ini. Aku mendekat. Kupandangi rambutnya. Rambut yang semakin hari kian menipis. Aku lalu berdiri di sampingnya. Ia berbalik ke arahku. Dan kulihat matanya yang berbinar. Sedikit menyemburat air mata. Kuperhatikan sesaat wajahnya tampak semakin berwarna mayat. Bibirnya tak lagi seulas delima.
Memang tak pernah kulihat butir air mata hinggap di pipinya. Hanya ekspresi itu. Ia selalu berusaha tegar di hadapanku. Menyembunyikan kerapuhan. Dia tersenyum saja sambil menatap lazuardi. Objek kesukaannya. Mulutku tiba-tiba kelu. Menimbang kata-kata apa yang pantas diucapkan. Sangat ironis jika aku menanyakan kabar yang sebenarnya telah kuketahui.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” sontak, aku kaget. Dia tersenyum. Kalimat itu membuat tubuhku merinding tiba-tiba. Seyum itu pasti palsu.
“Kabarku sama seperti biasa.” Ungkapku dengan nada sederhana.
“Kabarmu yang seperti biasa itu bagaimana? Bagaimana dengan skripsimu? Bagaimana dengan penelitianmu? Apa sudah kau temukan penyembuh itu?” ungkapnya dengan senyum entah penuh harap.
Ini adalah pertanyaan yang tak ingin kujawab. Jawabanku pasti menambah duka. Bahwa aku masih tak menemukan penyembuh itu.
“Kau sungguh bodoh, menyelesaikan aktivitas akademis hanya karena diriku. Aku tak berharap banyak dengan kesembuhanku. Kau harusnya tahu hari ini aku sangat bahagia. Tak pernah aku sebahagia ini.” Benarkah yang diucapkannya? Bukankah kata bahagia sudah terhapus dalam kamus hidupnya. Bahagia menurutnya ialah penderitaan. Dan penderitaan ialah kebahagiaan. Begitu yang sering ia dengungkan.
“Apa yang membuatmu bahagia?” tanyaku seolah mengiringi raut wajah bertopeng bahagia itu.
“Sudah lupakan saja. Cukup aku saja yang tahu. Aku ingin mengenang kebahagiaan ini seorang diri. Kebahagiaan yang sangat dalam.”
Aku menyusuri mata hitam yang mengisyaratkan kebohongan itu. Aku berusaha menemukan arti sebenarnya bibir limau seulas itu dan semburat lensa itu. Ah, betapa sulit menyelami air dalam tonggak.
“Aku akan menolongmu. ”Aku menjahit kata-kata dengan tegas.
“Sekarang aku tak butuh pertolongan apa-apa. Sudah terlambat. Aku sudah memiliki segalanya.” Pikiranku semakin tak tenang. Tidak biasanya ia bersikap begini. Dengan kondisi yang semakin kurus, tak sebanding dengan senyum merekah dari bibirnya. Benarkah telah datang kabut terang dan teduh hujan di harinya?
Hanya sebuah firasat yang tiba-tiba menggeliat di dadaku. Aku takut akan kenyataan esok hari. Kubiarkan dia larut dalam ketenangan raut wajah itu. Raut yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Tak peduli lagi itu palsu atau tulus. Akhirnya aku bisa bahagia. Melihatnya bahagia. Kusandarkan diriku, tepat mengenai kursi rodanya. Dan kuelus rambut hitamnya. Menatap alam Losari. Sepoi angin mengusap wajahku. Terasa sejuk. Daun pepohonan pun bergoyang diterpa angin. Matahari pagi Pantai Losari masih menjadi saksi bahwa dia masih ada untuk hari ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.