AND THE RAIN FALLS

Aku tulis puisi ini untuk mencerna
Untuk apa hujan turun pagi ini
Dari cakrawala yang ceria
Dari cakrawala yang tak bias abu-abu
Dan aku pun menemukan jawabannya
Kau ternyata…..

Perempuan itu bernama Annisa. Aku mendapati kehadirannya dengan sosok aneh di kelas Pak Burhan pagi ini. Wajahnya sewarna dengan buah peer, pucat pasi. Pipinya merosot sedikit. Tulang pipinya sedikit terbentuk. Dan tubuhnya mengurus. Untung saja ia memakai kerudung besar dan baju longgar yang selalu tampak cocok ia padu padankan. Kekurusannya itu sedikit tertutupi oleh hijabnya. Namun aku tetap masih bisa melihat ada yang semakin aneh dengan dirinya pagi ini.
Sebetulnya aku bukanlah tipe pemuja rahasia seperti lagu Sheila On7. Yang akan terus mengawasi gerak-gerikya. Aku lebih suka dibilang spy of love. Julukan yang kuberikan untuk diriku sendiri. Orang bilang aku nakal tapi beriman. Aku bahkan bosan mendengar pertanyaan orang, “Kau ini ikhwan atau bukan?” atau cewek-cewek yang diam-diam menggosipiku “Dia itu ikhwan bukan sih?” aku hanya bersikap apa adanya diriku yang sok misterius.
Annisa mungkin sedikit merubah diriku. Perempuan misterius yang juga kukenal. Dia itu seperti cuaca. Sebentar panas, sebentar mendung, hujan, gerimis, cerah, ceria, dingin. Ya, aku suka dirinya yang berkepribadian triple atau kwartet. Dia akhwat paling cerdas yang pernah kutemui. Jangan mencoba berdebat dengannya. Kau akan dibabat dengan sejumlah jurus ayat al Qur’an. Dosen pun bahkan takut
Aku bahkan penasaran dengan buku yang setiap hari ditentengnya “Feminisme dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer” aku baru paham kalau dia antigender. Tulisannya sering menghiasi media kampus maupun lokal terutama yang bebau isu feminisme, gender, emansipasi, dan perempuan. Ia akan membuat opini tandingan pada kelompok aktivis perempuan liberal yang mewarnai media dengan keliberalnnya.
Ia selalu ceria, dengan tawanya yang ramah. Tutur katanya lembut dan penuh hikmah. Mulia. Suci. Itu terlalu hiperbol bahwa teman-teman seolah menganggapnya seperti malaikat. Lelaki mana yang berani mengusiknya. Mereka pasti diam saja kalau Nisa mulai bicara. Cantik memang. Wajah beraura malaikat. Ia sempurna di mataku. Dan mungkin juga di mata lelaki lain yang juga mengaguminya.
“Nisa, kenapa terlambat lagi?” Pak Burhan yang killer nampak tenang.
“Hukum saja saya pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak.” Jawabannya selalu sama kala ia terlambat. Entah kenapa Pak Burhan selalu luluh di hadapannya. Tak sekiller ketika menghadapi mahasiswa lain yang terlambat. Ia bagai air yang selalu mampu memadamkan api.
Ia tak aktif lagi berargumen di kelas. Akhir-akhir ini ia selalu diam saja dan mengambil tempat duduk paling belakang. Dan selalu menunduk. Aku selalu memperhatikannya. Memperhatikan gerak-geriknya yang nampak mengerang kesakitan. Bibirnya digigit. Matanya dipejam, dan keningnya pun dikerut. Ekspresi sedang mengalami kesakitan luar biasa. Namun, ia selalu nampak biasa kembali setelah fase itu.
***
Usai perkuliahan, semua mahasiswa bersiap pulang. Namun, ia selalu keluar belakangan. Aku pun sengaja mengikutinya. Untuk melihat apa gerangan yang sedang ia lakukan. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Benda kecil berbentuk botol. Ia berjalan keluar dengan langkah yang tak pasti. Seperti dedaunan yang tertiup angin. Semakin lama, semakin nampak ingin roboh.
“Prak” dan akhirnya ia jatuh. Tak ada satu pun orang di sekitar situ. Kampus sudah sepi. Hanya aku yang menyaksikan dirinya. Ia pingsan dan harus segera ditolong. Tapi, aku tak mampu. Bagaimana hukumnya kalau aku menolongnya tapi dengan cara menyentuhnya. Aku juga takut. Bagaimana tanggung jawabnya pada Allah.
***
“Ibu, dimana aku?” ia terbangun dengan wajah cantiknya yang nampak berwarna mayat.
“Tenanglah, Nak. Kau di rumah sakit. Kemarin katanya dirimu pinsang di kampus. Apa kamu tidak ingat?” ia menggeleng.
“Lalu siapa yang membawamu ke rumah sakit?”
“Entahlah, Bu. Aku benar-benar tidak ingat.” Namun matanya bergerak-gerak ke arah salah satu dari kami yang berada di rumah sakit itu. Seolah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan ibunya. Kami semua menggeleng. Dan tak tahu apa-apa.
“Ya. Sudahlah. Yang penting kau selamat. Ibu keluar dulu. Teman-temanmu dari tadi menunggu.”
Aku menyudut, menyandarkan tubuhku di tembok. Melipat tangan. Menundukkan pandangan. Namun sesekali meliriknya yang masih bisa tersenyum ceria. Ternyata ia masih mampu mengeluarkan sepatah kata yang bermakna untuk kita.
“Ratih, kapan mau pakai kerudung?” ia tersenyum.
“Ami, kok masih pake jeans?” kerudungmu cantik sekali. Gak serasi dengan jeansmu itu.” tersenyum lagi…
“Anto, gimana acara baksosnya dengan anak panti asuhan? Aku udah gak sabar berjumpa sama adik-adik di Panti Asuhan Melati.” Masih tersenyum.
Begitulah dirinya yang selalu nampak manis dan ceria. Teman-teman hanya bisa manggut-manggut. Teman-teman sedih melihat kondisinya yang mengenaskan. Kurus dan wajah semakin pucat bak mayat. Hanya aku yang tak dapat teguran. Tapi, ia masih merelakan senyumannya sekali untukku. Akan kukenang itu.
“Ukh..ukh…Ukh” ia batuk dan kembali mengerang kesakitan. Wajahnya memerah. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Menetes di kasur. Kami semua panik. Salah satu dari kami memanggil dokter. Dokter lalu menyuruh kami keluar. Aku masih sempat melihatnya dikawal oleh para suster dan dokter dari balik tirai jendela kamar ICU itu. Kasihan sekali.
***
Sudah dua minggu ia tak masuk kuliah. Kami semua merasa kehilangan sosok yang selalu mendakwahi kami. Teman-teman yang dulunya sangat jengkel ketika diceramahi, justru berbalik rindu akan nasehatnya. Dosen-dosen pun menanyakan kabarnya. Semua merasa kehilangan dirinya.
Tak ada yang tahu kabarnya kali ini. Rumahnya tak berpenghuni lagi. Kami kehilangan kontak. Kabarnya ia dibawa pulang ke kampungnya dan mendapat rawat inap di rumahnya. Aku rindu padanya. Dan semua teman juga rindu padanya. Teman-teman sedikit berubah karena ketidakhadirannya. Teman-teman merasa bersalah mengacaukan nasehatnya.
Oh, Tuhan jangan kau siksa ia dengan penyakit itu. Jangan kau ambil dia secepat itu. Dia masih muda. Dia masih dibutuhkan. Masih banyak hal yang ia bisa lakukan di dunia ini. Dan aku belum sempat meminangnya. Aku sudah jauh hari memutuskan bahwa dialah sosok yang kudambakan untuk menjadi istriku. Namun, aku hanya takut tak pantas mendampinginya. Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, dalam dunia maupun akhirat. Aku ingin dialah yang pertama kali kulihat saat aku bangun tidur. Aku ingin dia yang berada di belakangku saat aku imam dalam shalat. Aku ingin dia yang mengasuh anak-anakku. Oh, Tuhan jangan rebut ia, sebelum keinginanku tercapai.
***
Pagi ini aku ke kampus. Teman-teman sudah ribut membicarakannya. Katanya ia semakin gawat dan perawatannya kembali dipindahkan ke Makassar. Sudah sebulan ia koma, tak berbuat apa-apa. Hanya diam mematung di ranjang. Kami hanya bisa melihatnya di kaca jendela ruang rawatnya. Rambutnya masih dibalut kerudung. Wajahnya pucat namun nampak bercahaya dan jernih. Bagai dikelilingi para malaikat. Aku belum sempat bicara sepatah kata pun dengannya. Sejak pertemuan pertama kami. Sikapnya kepadaku beda dengan sikapnya ke teman-teman laki-laki yang lain. Ia tak pernah sekalipun menegurku, menyapaku, apalagi berbicara denganku. Ia hanya mampu mengurai senyum kepadaku. Tapi bagiku itu cukup. Cukup mengisyaratkan kalau ia tak membenciku.
Aku berjanji setelah ia sadar aku tak pikir panjang lagi untuk segera mengajaknya berbicara. Aku ingin mendengar kata yang keluar dari mulutnya ditujukan kepadaku. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin dia hadir kembali di kehidupanku. Walau bukan milikku seorang.
***
Pagi ketika aku bangun hari ini, nampak begitu cerah dan indah. Langit biru membentang menghiasi cakrawala. Cakrawala yang sesungguhnya absurd. Ia hanyalah tipuan mata yang selalu menghiasi mata dengan kebohongannya. Aku keluar menghirup udara segar, Memandang langit sesaat yang tak secerah perasaanku. Dan menikmati angin sejuk. Matahari begitu bahagianya terbit pagi ini. Aku menengadahkan wajahku, menutup mataku dan menikmati belaian angin.
“Tik.” Satu tetesan air membasahai pipiku. Entah tetesan dari mana itu. Aku membuka mata, ternyata gerimis turun menyapa bumi. Pagi ini aneh. Hujan turun tak ada mendung. Langit masih cerah, namun gerimis semakin banyak. Seperti tangisan bahagia. Tak berkabung dengan langit mendung. Hujan turun dengan cerah. Hari yang jarang kita temukan. Aku seperti melihat Tuhan menangis bahagia.
Telponku berdering, kuraihnya dari sakuku. Terpampang nama Anto, “Apa???” aku tidak percaya apa yang baru saja aku dengar. Telponku terjatuh saja dari tanganku. Ia telah pergi. Nisa telah menghilang untuk selamanya dari kehidupan ini. Dari kehidupanku. Satu keinginan dalam hidupku terhapus. Ia tak mungkin lagi kucapai.
Hujan yang turun pagi ini menipuku dengan keindahannya. Ternyata ia adalah hujan berkabung. Hujan kematian yang pernah diceritakan nenek kepadaku. Hujan ini milik Nisa. Hujan yang mengirinya keceriaan sekaligus kematian Nisa. Hujan yang tak akan kau temui langit mendung yang selalu mengiringinya. And that rain falls….‼!

Makassar, 4 Januari 2010
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.