Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamu Pun Bisa Kuliah ke Luar Negeri




Tulisan ini saya buat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan beberapa mahasiswa saya, “Bagaimana caranya bisa kuliah di luar negeri, Bu?”

Dan tidak sesederhana yang kalian bayangkan untuk bisa menjawab pertanyaan dari anak daerah dengan berbagai keterbatasan yang mereka hadapi. Saya akan mulai menguraikan satu per satu mengapa setiap orang bisa meraih cita-citanya, termasuk kuliah ke luar negeri. Dan tulisan ini akan memberikan tips yang mungkin kebanyakan saya singgung dari perspektif psikologi. Tulisan ini adalah motivasi secara umum yang belum saya jabarkan langkah-langkah praktisnya.

Tidak semua orang memiliki kesempatan bisa kuliah ke luar negeri. Dan ini sangat saya syukuri mengingat saya besar di daerah yang bisa dibilang akses informasi pendidikan sangat terbatas. Beruntung bisa kuliah di salah satu universitas ternama. Akhirnya bisa bertemu dengan orang-orang yang punya semangat juang untuk meraih prestasi dan berkompetisi secara positif.

MINDSET

Baiklah, saya akan mulai dari bagaimana kamu mesti menghapus mental block dari dalam dirimu bahwa kamu “TIDAK BISA.” Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Semua orang memiliki waktu dan potensi yang sama asalkan kamu mau berjuang. Ketika mahasiswa saya menanyakan hal tersebut, saya kemudian bertanya, sudah berapa buku yang kamu baca? kalau pada kenyataannya mereka masih malas membaca, malas menambah ilmu, saya tidak akan lanjut dengan nasihat bahwa kamu harus punya skil bahasa asing. Jika “mindset” saja belum terpola dengan baik, akan sulit bagi kamu untuk bertahan dalam perjuangan ini. Maksud saya daya juang untuk maju dan daya tahan dalam proses ini yang belum dimiliki. Memotivasi mereka yang seperti ini harus dimulai dengan mengubah mindset. Bukan karena mereka tidak bisa dan tidak mau, tetapi mereka belum terbiasa dengan kultur belajar dan berkompetisi.

BAHASA

Nah, jika mindset pembelajar sudah dipahami dan diaplikasikan, saya akan mencoba memberi solusi bahwa kamu harus bisa menguasai bahasa internasional. Banyak orang yang ingin sekali ke luar negeri. Tetapi, ketika ditanya bagaimana dengan kemampuan bahasanya, belum bisa menjawab apa-apa. Padahal kunci dasarnya adalah kemampuan berbahasa asing, minimal bahasa inggris. Untuk belajar bahasa asing tidak didapatkan dalam waktu singkat, tetapi bertahun-tahun. Jadi, anggap sekarang kamu masih duduk di semester 2 atau 4, maka pergunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar bahasa inggris hingga kamu bisa cakap ketika lulus kuliah. Karena kamu akan berkenalan dengan tes seperti TOEFL dan IELTS. Tes ini adalah tiket masuk kuliah ke luar negeri. Tes seperti ini tentu sangat sulit bagi pemula yang baru belajar bahasa inggris. Ada banyak cara mudah dan murah belajar bahasa Inggris. Dengan memanfaatkan media sosial kamu bisa mendapatkan platform belajar bahasa dengan gratis. Kuncinya adalah bersungguh-sungguh.

FINANSIAL (BEASISWA)

Yang tidak kalah penting adalah kemampuan finansial. Kampus manapun sebenarnya bisa menerima kalian jika kemampuan finansialnya mumpuni, karena di sana juga ada istilah bridging (belajar bahasa inggris untuk mencapai standar sebelum masuk kuliah). Tetapi, rata-rata ekonomi rakyat Indonesia tidak mampu untuk membayar biaya kuliah dan biaya hidup di luar negeri yang pendidikannya bagus. Hanya sebagian kecil saja yang berangkat karena beasiswa dari orangtua. Oleh karenanya kita butuh beasiswa untuk mewujudkan mimpi kita bisa belajar ke luar negeri. Beasiswa tentu tidak bisa didapatkan dengan mudah. Karena para penyeleksi akan melihat track record kalian selama ini. Rekam jejak inilah yang menentukan apakah kalian layak jadi penerima beasiswa atau tidak. Bisa dibilang, seperti apa kalian menjalani hidup selama ini dibuktikan dengan curriculum vitae yang menerangkan keterampilan akademis, sosial, dan prestasi-prestasi kalian.

Maka sangat penting untuk mengubah pola pikir dan pola sikap sekarang juga. Jika masih malas-malasan. Seperti malas membaca, malas belajar, malas berdiskusi, malas cari informasi maka jangan harap kamu bisa menciptakan rekam jejak yang baik untuk kehidupan yang kamu impikan. Motivasi juga harus dijaga. Bisa dengan berkumpul dengan orang-orang yang punya semangat belajar, berprestasi dan meraih mimpi. Kuliah ke luar negeri sebenarnya bukanlah suatu keharusan. Tetapi, setidaknya memberikan pengetahuan baru dan pengalaman baru untuk bisa kita aplikasikan di tanah air. Sekaligus ini menjawab pertanyaan orang-orang kepada saya, “Kenapa kamu mau mengajar di daerah, sementara kamu lulusan luar negeri?” Hmm… ini bentuk tanggung jawab moral saya. Termasuk tanggung jawab kepada pemberi beasiswa. Setidaknya saya berbagi ilmu dan pengalaman dulu pada daerah tempat saya dilahirkan. Sejujurnya, saya tidak bisa memberikan apa-apa selain motivasi kepada mahasiswa-mahasiswa. Saya ingin sekali membuka cara pandang mereka, bahwa di luar sana dunia lebih luas untuk dijelajahi. 

Pada akhirnya kita butuh doa dan usaha yang baik. Usaha tidak akan sukses tanpa doa. Sama halnya doa tidak akan terkabul jika usaha biasa-biasa saja. Kita butuh dua modal ini untuk bisa meraih hal yang dicita-citakan. Dan kita harus mengerti bahwa kegagalan adalah bagian dari proses. Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Jadi jangan pernah menyerah jika masih gagal. Karena kegagalan sesungguhnya adalah jika kamu tidak pernah mencoba.

Ramadan Day 3 1439 H

Kita Hidup untuk Belajar


Kalau kita memaknai hidup untuk belajar, maka semestinya tak ada alasan untuk berhenti mencoba. Meski kegagalan demi kegagalan, keputusasaan, dan ketidakpercayaan diri sering kali menyelimuti pikiran kita.

Kadang di suatu masa, kita ingin berhenti saja, kita menganggap diri ini tidak mampu menyamai orang-orang yang telah lebih dulu menekuni dunia yang disukainya. Mereka lebih mumpuni dan telah sukses di bidangnya. Sementara kita masih merangkak dan tak jelas arah kemana akan memberikan manfaat dan kontribusi. Kita masih mencari-cari jati diri dan konsep diri akan seperti apa kita ingin dikenal.

Satu hal yang selalu membuat kita bersemangat, bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar. Keinginan untuk terus-menerus belajar, memperbaiki kesalahan, kembali merangkai mimpi adalah kekuatan agar kita bertahan. Orang-orang yang rendah hati adalah orang yang akan terus belajar tidak peduli seburuk atau sehebat apa karyanya. Orang yang hebat sekalipun tak akan mengutuk orang yang masih belajar. Karena setiap orang menjalani prosesnya masing-masing. Menjalani "time zone" yang berbeda-beda.

Justru yang paling buruk adalah ketika kita sudah kehilangan harapan, kemauan, dan semangat. Kita tak lagi ingin belajar karena merasa rendah diri dan tak pandai-pandai atau selalu gagal. Inilah racun yang paling berbahaya menjangkiti pikiran manusia. Mengutuk dirinya lebih dulu. Hingga alam bawah sadarnya menggerakkan mindanya untuk selalu berpikir negatif. Seolah-olah takdir tak berpihak padanya.

Janganlah mengutuk diri dan berputus asa dengan ketidakjelasan masa depan. Atau ketidaktahuan untuk menggapai kesuksesan yang diinginkan. Setiap orang memiliki zona waktunya masing-masing. Jangan pernah berhenti belajar. Karena hidup adalah tentang belajar, belajar, dan belajar. Tentang berproses menjadi lebih baik, bukan mengejar kesuksesan tanpa makna.

Melbourne, 28 April 2017  

📷 @tutystarlet

Intellectual Journey


Hari ini saya mengikuti launching sekaligus bedah buku "Berlayar" yang ditulis oleh para akademisi ataupun praktisi yang sedang menempuh S3 di universitas-universitas yang ada di Melbourne. Ada juga yang baru saja selesai dalam proses berlayarnya. Saya tidak akan mengupas tentang isi bukunya. Karena bukunya pun baru saja saya miliki tadi. Kelak buku ini akan berguna untuk proses berlayar saya dalam lautan ilmu menuju Doctor of Philosophy someday. InsyaAllah. Tapi ada banyak hal yang menarik yang bisa saya petik.

Saat ini saya sedang berada di fase menuju Master. InshaAllah satu semester lagi. Apa yang saya rasakan adalah benar ini adalah "Intellectual Journey" mengutip pernyataan salah satu pembicara, Prof. Denny Indrayana. Jujur saya bukan tipe akademis. Yang jadwal belajarnya terkontrol. Di sisi lain saya juga bukan orang terlalu banyak main atau mengeksplor banyak hal. Jadi saya tidak tahu saya termasuk tipe mahasiswi apa. Tapi saya suka membaca sesuatu secara random jika itu benar-benar menarik minat saya. Bagi saya memulai S2 ini benar-benar sesuatu yang harus saya mulai dari awal. Saya tidak berasal dari jurusan dan kampus pendidikan. Tapi, berani mengambil jurusan pendidikan hanya karena ada impian dan idealisme kecil saya. Bagaimanapun kita tidak bisa terlepas dari yang namanya pendidikan. Bahkan untuk mengatur diri sendiri dan keluarga kita butuh tercerahkan dengan level berpikir yang sedikit tinggi dari S1 apalagi untuk mengatur masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka yang telah lulus dari program postgraduate bisa lebih sukses dari S1.

Harapan saya sebenarnya sederhana setelah menempuh perjalanan ini. Saya ingin menjadi lebih bijak dengan ilmu yang dimiliki. Bagi saya, setinggi-tingginya gelar pendidikan seseorang kalau ia tidak berkarakter sepertinya ia gagal dalam proses berlayarnya. Karakter yang saya maksud di sini adalah sejauh mana ketundukannya terhadap nilai ketuhanan yang mereka pegang. Semua ini adalah proses, dan kita senantiasa memperbaiki diri untuk menjadi lebih bijak dan bernilai di hadapan Sang Pencipta.

Setiap orang tentu punya suka duka masing-masing dalam meraih gelarnya. Yang bermakna mungkin bukan tentang hasil akhirnya, tetapi proses menuju tujuan akhir itu. Ada berapa banyak ilmu yang kita serap selama proses itu. Termasuk ilmu-ilmu tentang kesabaran, pengendalian diri, kesungguhan, pengorbanan dalam mengerjakan tugas-tugas. Dan bagaimana kita tetap mendahulukan hak dan kewajiban kita sebagai hamba ketika sedang menempuh perjalanan intelektual ini. Meski hasil tidak akan mengkhinati proses. Mereka yang hasilnya di atas rata-rata tentu proses yang dikerahkan juga di atas rata-rata.

Dalam kepala kita mungkin punya tujuan masing-masing akan dibawa kemana gelar ini. Untuk menambah sedikit huruf di belakang nama kita saja, kita perlu banyak pengorbanan. Termasuk negara yang telah mengorbankan anggaran. Maka kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Nasihat kepada diri sendiri. Sejatinya kita harus tetap menyadari bahwa tujuan kita menuntut ilmu mungkin bukan hanya tentang intellectual growth, tetapi juga emotional dan spritual growth.

"I constantly sought knowledge and truth, and it became my belief that for gaining access to the effulgence and closeness to God, there is no better way than that of searching for truth and knowledge.” - Ibn al-Haytham

Melbourne, 28 Oktober 2016

:: the photo was taken in Mba Novi's graduation day last year @MonashUni

Keseimbangan


Sejatinya manusia diciptakan selain sebagai hamba untuk beribadah, tetapi juga sebagai khalifah, pengatur kehidupan. Tentu saja untuk mengatur kehidupan ini semua butuh ilmu. Kesempatan menuntut ilmu dunia di negeri orang adalah sebuah kesyukuran yang tak dimiliki oleh sebagian orang. Saya menganggap ini adalah sebuah jalan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kelak ilmu-ilmu dunia ini kita butuhkan untuk mengatur lingkungan kita atau apa-apa yang bisa kita pengaruhi. Maka beruntunglah orang yang memiliki potensi ini.

Tetapi, ilmu dunia tidak cukup untuk mengatur kehidupan. Kita butuh bimbingan wahyu. Ilmu ini adalah kunci untuk bisa sukses dunia akhirat. Saya tidak menemukan alasan yang lebih logis bagaimana mengatur kehidupan ini tanpa agama. Pencarian-pencarian saya tentang ilmu dunia tidak bisa memuaskan akal dan menentramkan hati saya. Setidaknya kesadaran itu telah muncul untuk menambah bekal perjalanan.

Setelah hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi terpenuhi. Mengubah wajah peradaban mungkin langkah selanjutnya yang bisa kita pikirkan. Potensi kita menjadi saksi untuk apa ia dimanfaatkan. Imam Al Ghazali pernah berpesan, "Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir." Ungkapan ini sangat filosofis. Saya menafsirkannya bahwa kualitas kita hari ini akan menetukan kualitas keturunan kita kelak. Maka menuntut ilmu akhirat maupun dunia oleh setiap individu adalah jalan memperbaiki kualitas generasinya mendatang.

Keseimbangan menjadi kekuatan untuk bisa membalikkan wajah peradaban. Kita tidak miskin, Potensi-potensi kita adalah modal untuk kemaslahatan ummat. Kesempatan menuntut ilmu dunia di negara maju adalah peluang untuk perbaikan ummat. Jangan dianggap ini tidak penting. Menjadi ahli dan profesional di bidang masing-masing adalah jalan untuk mengambil alih peradaban. Hanya saja, semua itu harus tercelup dalam konsep berpikir yang punya orientasi memakmurkan dunia dalam rangka beribadah dan menerapkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Maka sungguh sempurnalah seorang muslim yang ilmu dunia dan akhirat dimiliki sekaligus. Tetapi seseorang baru dikatakan berilmu ketika ia sudah mengamalkannya. Selanjutnya membagikannya.

Melbourne, 161016

Recommended Family Movies



Since I consider that watching movie is one of my ways to spend my leisure time and learn English, I start collecting movies from my friends. Like a book, a movie also can give us moral understandings. I think why some people fond of watching movies is because they not only want to entertain themselves but also get a lesson even new knowledge. Sometimes, through movie, we learn science, psychology, medical term, history and definitely moral lesson.
I am not going to tell Hollywood movies which dominate this world but two highly recommended family movies made by Iranian filmmaker, Majid Majidi. These movies are Children of Heaven and The Color of Paradise. I am sure that many people have watched these movies since they are dearly distinguished. When I was watching them, I cried a lot. I have literally watched them several times and I always shed tears. How magnificent!


The first recommended family movie is Children of Heaven (1997). It tells the story of Ali, a young boy in the suburb of Teheran, Iran, who accidentally loses his sister’s pair of shoes when he is out having them repaired. The whole film focuses on the children’s difficulty to share a pair of shoes while hiding the loss from their parents who are burdened with financial problems. Zahra and Ali are sibling that colorize the conflict of the story which is sharing the same shoes after one of them coming back from school. They are very kindhearted because they don’t want to tell their parents for losing the shoes. I was very impressed by Ali’s expression. His acting precisely shows natural expressions that aim us to shed tears when seeing him. I personally think that his pitiful face adds the sadness of this film.
The ending is a bit disappointing yet touchy because Ali cannot get a new pair of shoes, a present he extremely longs for in the running competition. He is supposed to get the second winner if he wants the shoes. Unfortunately, he gets the number one with such a great effort.
I think this movie indeed deserved the academic award because the plot is profoundly great. It is actually a simple movie but very rich of moral and religious teachings. I have never found such a family movie that is very memorable except this movie. Highly recommended!


The next family movie is The Color of Paradise (1999) which is also an Iranian movie made by Majid Majidi. Like the previous one, this movie is also tearful. I cried a lot as well when I was watching it. The similarity of both movies is use of children as his main protagonist. The Color of Paradise tells the story of Mohammad, a young blind boy who is well educated and grateful. His father is widower, only see Mohammad as a burden. Mohammad is loved by his sister and his grandmother even people around him but his father cannot accept his condition so he sends him to a blind carpenter for learning. Mohammad is a very content boy. He never complains anything although being treated rude by his father. One day, when his father wants to propose a woman, he keeps Mohammad away because of feeling embarrassed of the woman.  At the end, after saving Mohammad sinking in the beach, his father realizes that he do love his son.
         Both movies are incredibly suggested to watch for any family particularly those who want to teach moral and religious values to their children. These movies could be a fascinating and worthy family entertainment at home. It is highly praised for these Iranian movies that teach us abundant lessons.

Institusi Keluarga dan Pendidikan Anak


Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir
(Imam Al Ghazali)
Anak adalah titipan Allah swt. Seseorang bisa mendapatkan kemuliaan surga berkat doa anaknya. Mereka pun bisa dihadiahi mahkota di surga berkat hafalan al Qur’an anaknya. Masalah mendidik anak tidak boleh diabaikan. Bahkan kata Imam Al Ghazali, kita sebaikanya mendidik anak 25 tahun sebelum ia lahir. Maksud perkataan tersebut adalah yang pertama kali harus dididik adalah siapa yang kelak menjadi orang tua. Calon orang tualah yang semestinya mempersiapkan diri untuk melahirkan anak-anak yang cerdas dan bertakwa.
Institusi pendidikan pertama yang dimasuki oleh anak adalah keluarga. Oleh karena itu orang tua harus mengetahui pola pendidikan yang baik untuk anaknya. Islam telah memiliki solusi untuk mendidik anak. Semasa dikandung, orang tua terutama ibu diperintahkan banyak berdoa untuk keselamatan anaknya. Pasca lahir, anak dibacakan azan dan iqamat, ditahnik, diberikan ASI dan sebagainya. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa menerapkan cara islami tersebut berpengaruh terhadap kecerdasan dan kepribadiannya. Belum lama ini tim peneliti dari Universitas Auckland menemukan bahwa anak prematur jika disisipkan sesuatu yang manis di dalam mulutnya (langit-langit atau pipi) saat lahir akan mencegah kerusakan otaknya (http://www.bbc.co.uk/news/health-24224206). Apatah lagi jika diberikan kepada anak yang normal. Ini adalah bukti ilmiah tentang hikmah men-tahnik bayi pasca lahir.
Saat mereka lahir ke dunia maka yang pertama kali mereka kenali adalah ayah dan ibunya. Orang tualah yang berperan sebagai guru. Ibu mendapat peran yang lebih utama. Ibarat perusahaan, ibulah yang menjadi manajernya. Anak akan mencermati tindakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka akan memperoleh banyak contoh dari ayah dan ibunya. Jika institusi keluarga rapuh, keluarga kurang bisa memberikan pendidikan yang baik, maka jangan salahkan jika anaknya terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan. Sekarang sangat banyak tontonan bahkan aksi-aksi yang membuat anak-anak kita dewasa sebelum waktunya. Kebanyakan tidak mendidik, seperti acara goyang “Cesar” yang bahkan menyuruh anak-anak kecil tampil berjoget ria. Kita tidak bisa menghentikan tayangan-tayangan tidak mendidik tanpa bantuan pemerintah. Kita juga tidak bisa menutup diri dari lingkungan sekitar yang variatif. Maka peran orang tua di sini sangat penting. Bagaimana mereka menerapkan pola yang baik dalam mendidik anak-anak mereka untuk menghadapi lingkungan yang sangat dinamis.
Para orang tua semestinya bekerja sama untuk menciptakan institusi keluarga yang kondusif. Oleh karena itu, mereka terlebih dahulu harus berilmu. Yang pertama dan utama adalah mereka harus memiliki pemahaman agama yang baik. Sekolah tidak akan bisa menggantikan pola pendidikan yang diterapkan keluarga. Karakter dan kepribadian seorang anak lebih banyak dipengaruhi oleh didikan orang tuanya. Para orang tua harus bekerja sama bagaimana melindungi anak-anak mereka dari serangan liberalisme barat. Apalagi kehidupan sekarang, dimana dominasi barat sangat besar, membuat sistem sosial kemasyarakatan amburadul. Sebagian besar lingkungan luar rumah kita dilingkupi oleh budaya hedonistik. Nilai-nilai islam dikikis hingga pada struktur terkecil masyarakat, yaitu rumah tangga. Jika di rumah lingkungan sudah buruk, apalagi ditambah dengan lingkungan kita yang sekuler sangat berpotensi untuk menjadikan anak-anak jauh dari nilai-nilai islam.
Ada baiknya orang tua mengambil pelajaran dari Ali bin Abi Thalib dalam mendidik anak mereka. Menurut Ali bin Abi Thalib ra, ada 3 fase dalam mendidik anak. Pada usia 0-7 tahun, usia 7-14 tahun, dan usia 14 tahun ke atas.
Pada 7 tahun pertama, yakni usia 0-7 tahun, posisikan anak sebagai raja. Curahkan sebanyak mungkin kasih sayang. Ajak bermain sesering mungkin. Berikan banyak perhatian. Pada fase ini, otak mereka mengalami perkembangan yang signifikan. Mereka banyak menyerap informasi. Mereka harus lebih banyak bersama ayah dan ibunya, terutama ibu. Usahakan pengasuhannya jangan diserahkan kepada baby sitter, tempat penitipan anak atau nenek. Tetapi bukan berarti juga kita menutup dirinya dari lingkungan luar. Intinya, mereka tidak lepas dari perhatian ekstra dari kedua orang tuanya.
Pada 7 tahun kedua, yakni usia 7-14 tahun, posisikan anak seperti tawanan perang. Maksudnya adalah  ajari mereka untuk disiplin. Tahap ini adalah masa penanaman sikap. Mereka akan memasuki usia baligh. Mereka sudah harus mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang diperintahkan agama, mana yang dilarang agama. Orang tua sebaiknya memberikan pemahaman bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya. Berikan sanksi ketika melanggar, dan berikan reward ketika berhasil melakukan sesuatu yang baik. Rasulullah berpesan agar kita menyuruh anak shalat pada usia 7 tahun dan boleh memukul anak dengan cara-cara tertentu jika pada usia 10 tahun, mereka tidak mau sholat.
Pada 7 tahun ketiga, yakni di atas usia 14 tahun ke atas, posisikan anak sebagai sahabat. Fase ini anak mulai memasuki usia baligh. Telah terjadi perubahan fisik dan emosional pada anak. Mereka hendaknya diperlakukan sebagai orang dewasa. Orang tua memposisikan diri sebagai teman yang bisa diajak curhat. Dengarkan segala curhatan mereka, baik itu masalah sekolah, masalah teman dan lawan jenis, pilihan pendidikan yang akan ditempuh dll. Pada fase ini orang tua hendaknya memberikan pemahaman akan pentingnya terikat dengan hukum syara’. Sehingga setiap tindakan yang diambil dalam mengelola masalah kehidupannya berdasarkan pertimbangan hukum syara’. Orang tua memberikan pemahaman bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk mengelola kehidupannya sesuai aturan agama.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan sepanjang hayat. Pengalaman kehidupan sehari-harinya diperoleh dari ajaran dan contoh dari orang tuanya. Keluarga menjadi benteng yang dapat melindungi anak-anak dari serangan negatif yang berasal dari luar. Keluarga pula yang berperan besar menanamkan nilai-nilai islam dalam keluarganya. Sebagaimana rasulullah yang memerintahkan kita agar kita berdakwah dulu di kalangan keluarga sebelum keluar. Tetapi pendidikan anak tidak akan sempurna dalam asuhan keluarga saja. Pada akhirnya mereka akan bersekolah di sekolah umum, universitas dll. Mereka akan bergaul dengan masyarakat luas. Anak akan menjadi generasi selanjutnya dan berperan dalam proses mengelola kehidupan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan anak-anak yang cerdas, bertakwa dan memiliki skill dalam mengatur tatanan kehidupan ini agar sesuai aturan Allah. Institusi keluarga tidak akan sanggup untuk melahirkan generasi yang berakhlak mulia tanpa diimbangi oleh institusi negara. Negara wajib menerapkan sistem sosial kemasyarakatan yang terlindungi dari nilai-nilai sekularisme dan liberalisme atau serangan-serangan negatif lainnya. Negara wajib memberikan pendidikan yang berkualitas yang berdasarkan aturan Sang Pencipta. Wallahu ‘alam.

Sastra dan Pembentukan Karakter

Oleh: Bulqia Mas’ud

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani (Umar bin Khattab ra)
Berbicara sastra tidak sekadar berbicara mengenai kata-kata indah atau struktur sastra secara umum. Sastra itu luas. Sastra bisa berbicara mengenai refleksi sosial, kemanusiaan, sejarah sosial, perubahan sosial dan nilai-nilai. Sejauh ini, menurut pengamatan penulis, di universitas-universitas, sastra selalu dipandang sebagai ilmu terbelakang yang tidak memberikan kontribusi langsung untuk memperbaiki masyarakat. Hanya menggantung di langit imajinasi, tidak berpijak di bumi, beda dengan ilmu-ilmu lain seperti kedokteran dan teknik. Padahal dalam sebuah karya sastra kita bisa mengenali karakter dan menemukan nilai-nilai yang bisa menunjang pembentukan watak seseorang. Sastra mampu masuk ke hati sehingga memperbaiki moralitas pelajar.
Petuah Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk peduli dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa diungkapkan tanpa kesan menggurui. Bahkan kegemilangan sebuah peradaban bisa dilihat dari sastrawan dan karya-karya sastra yang lahir pada masa itu. Seperti kegemilangan Islam yang melahirkan ulama sekaligus sastrawan seperti Imam Syafi’i, Jalaluddin Rumi, Umar al Khayyam dll. Di Jepang, sastra begitu dinamis seperti munculnya puisi-puisi pendek yang kita kenal dengan haiku.
Fungsi Sastra sendiri menurut Horace adalah Dulce el Utile. Indah dan berguna.  Bahasa sastra adalah bahasa yang estetis yang mampu menghaluskan dan membangkitkan jiwa dan perasaan. Di sinilah fungsi keindahan sastra. Sastra mampu mengungkapkan ide yang rumit menjadi lebih estetis dan memahaminya dengan menggunakan cita rasa. Karena struktur kata yang digunakan lebih estetis, pembaca merasa tidak digurui. Sastra mentransformasi pesan, nilai-nilai, dan menunjukkan karakter melalui sebuah cerita dan kata-kata indah.
Fungsi yang kedua, yaitu berguna. Sastra mengandung pesan yang bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat. Sastra membawa nilai-nilai yang mampu memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat. Jika mereka pembaca sastra, berarti mereka mampu memetik nilai-nilai sehingga memengaruhi karakter pembacanya.
Jika mereka seorang penulis, sastra adalah media positif untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keadaan yang sedang terjadi di kehidupan sosialnya. Seorang sastrawan biasanya lebih bijak bertindak. Mereka mampu mecermati peristiwa-peristiwa sosial. Melakukan perlawanan damai. Mereka memiliki kedalaman berpikir yang tinggi hingga mampu memediasi pemikirannya dalam ungkapan-ungkapan yang lebih halus. Kita mengenal para pemikir yang juga para sastrawan hebat dalam islam seperti Jalalluddin Rumi, Al Ghazali, Umar al Khayyam, Sayyid Qutb, Sir Muhammad Iqbal. Filsuf Eropa, Leo Tolstoy, Nietzsche, dan Soe Hok Gie di Indonesia. Hingga generasi Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail dan Rendra yang karya-karyanya sangat responsif terhadap keadaan.
Dalam buku Metode Pengajaran Sastra, B. Rahmanto mengatakan seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Secara umum lebih lanjut dia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam (Rahmanto, 1988: 25). Dalam karya sastra terkandung nilai-nilai, pesan yang dibungkus dalam cerita yang merefleksikan kehidupan sosial, konflik cerita, serta cara-cara tokoh mengelola konflik. Hal ini tentu saja memberikan pelajaran untuk menghadapi persoalan kehidupan. Melalui pembacaan yang mendalam, sastra pada akhirnya mampu mengubah karakter seseorang.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Hakikat Berpikir, memahami teks-teks sastra membutuhkan cita rasa. Apabila cita rasa itu tidak terwujud maka tidak mungkin seseorang akan memahami teks sastra. Tambahnya lagi, memahami teks sastra akan dapat menggerakkan perasaan dan membangkitkan kita sehingga akan meninggalkan pengaruh pada diri kita. Dengan sedirinya ketika kita membiasakan membaca dan memahami teks-teks sastra, maka cita rasa itu muncul sendiri dan mengubah pola sikap kita.
Jadi sastra adalah sumber nilai yang dapat memberikan kesan religius. Mempelajari sastra mampu menyentuh bahkan menggerakkan perasaan kita hingga mengubah pola sikap dan membentuk karakter. Di dalamnya terkandung pesan-pesan moral, ungkapan kata-katanya menimbulkan kesan estetis. Nilai-nilai yang baik tentu akan kita temukan jika karya sastranya juga mengandung ruh spiritual dan kebaikan.
"Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra" 
(Buya Hamka)

Mahasiswa Sastra Inggris Unhas 2008

Sekilas Sistem Pembelajaran di Amerika

Tulisan ini sudah lama saya buat, tapi tidak tahu mau dimasukkan di media mana. Ya, ada baiknya saya posting di blog biar pembaca bisa tahu bagaimana proses pembelajaran di USA

Pendidikan merupakan pilar yang penting untuk membangun SDM yang berkualitas. Pendidikan suatu bangsa juga akan menentukan nasib suatu bangsa. Universitas sebagai salah satu pabrik sumber daya manusia seharusnya memiliki sistem pendidikan yang dapat menciptkan kefokusan dan kenyamanan study untuk para mahasiswanya. Sebagai seorang mahasiswa yang berkesempatan menempuh pendidikan selama 2 bulan di Amerika tepatnya di Colorado State Universty, Fort Collins Colorado, saya mempelajari beberapa hal tentang pendidikannya. Selama 2 bulan berada di kelas immersion bersama mahasiswa internasional lainnya saya mencatat beberapa perbandingan yang membuat negara tersebut maju dalam segi pendidikannya. Mereka fokus dalam mengajar. Dosen-dosen mempersiapkan segala sesuatunya sebelum masuk kelas. Dosen-dosen sangat mudah ditemui untuk diajak berdiskusi dan sharing informasi. Mereka juga amat sederhana dan dengan senang hati membantu mahasiswanya jika ada kesulitan. Fasiltas-fasilitas belajar juga sangat memuaskan.
Ketika saya menempuh kuliah singkat di sana, saya sangat menikmati pelajaran saya. Saya benar-benar memahami apa yang diajarkan. Mereka fokus dalam mengajarkan sesuatu. Misalkan, hari ini kita belajar tentang cara menyusun paragrap. Maka, seminggu penuh kita hanya akan membahas tentang paragraph. Jika ada pertanyaan di luar dari topik pelajaran, maka para dosen dengan sangat mohon maaf tidak ingin menjawabnya. Bukanya mereka tidak tahu, tapi, mereka ingin fokus dan menghindari kebingungan jika ada dua hal yang berlainan dipelajari. Mereka tidak ingin keluar dari topik yang dibahas. Mereka ingin memahamkan semua mahasiswa dulu sebelum melangkah ke topik selanjutnya. Dengan begitu kualitas siswa menjadi merata. Yang tidak terlalu cepat menangkap bisa mengikuti yang pintar. Tetapi, yang memiliki kemampuan yang lebih juga dapat dilihat dengan jelas dari partisipasinya di kelas. Jadi, ketika pelajaran fokus dan mendetail, maka siswa akan mudah menangkap dan mengerti dengan baik.
Pembelajaran di kelas sangat efektif. Sebelum pelajaran dimulai, dosen akan mempersiapkan segalanya. Mereka akan mempersiapkan materi apa yang akan mereka bawakan di kelas. Pada saat di kelas mereka bahkan menulis agenda hari itu. Misalkan, di kelas reading: 1.Reading novel 2. Discuss the book with group 3.Vocabulary, 4.Writing Summary. Tidak jarang mereka juga telah menetapkan homework untuk hari berikutnya di awal. Benar-benar selama semester itu semua telah direncanakan. Itu salah satu list agenda dan biasanya mereka menetapkannya dengan timing. Jadi porsi setiap topik bahasan seimbang dan tidak ada waktu yang terbuang percuma. Singkat tapi padat, terstruktur dan rapi. Dosen juga telah mempersiapkan worksheet yang akan diberikan kepada mahasiswa hari itu. Worksheet tersebut diharapkan membantu mahasiswa untuk lebih memahami topik pembahasan hari itu. Semakin banyak latihan, maka mahasiswa akan semakin mengerti. Dosen juga telah menyiapkan games-games khusus dan siap dimainkan di kelas. Ini untuk mencegah kebosanan dan untuk lebih menghidupkan kelas. Jadi, kita benar-benar enjoy mengerjakan tugas-tugas dan tidak merasa stres.
Selain itu, keefektifan kelas juga dipengaruhi oleh jumlah mahasiswa dalam satu kelas, yakni maksimal 15 orang. Penerimaan ilmu merata karena semua mahasiswa mendapatkan banyak kesempatan untuk berpartisipasi aktif, bertanya dan menjawab pertanyaan. Dosen juga mengenal seluruh mahasiswanya. bukan hanya mengenal nama, tapi juga mengenal kepribadian, keunggulan, dan kekurangan mahasiswanya. Jadi ketika mereka melakukan penilaian, hasilnya akan sangat mendetail, spesifik dan tepat sasaran. Mahasiswa jadi tahu mana kekurangannya, mana yang harus diperbaiki dan ditingkatkan lagi.
Cara dosen menilai juga sangat objektif. Mereka menilai secara detail, spesifik, dan jelas. Jadi seluruh assignment akan di-list secara rinci. Mulai dari homework dan tugas di kelas, test/quiz, midterm, final project, final exam, tergantung apa yang dipelajari di kelas masing-masing. Semuanya akan ter-list dalam selembar kertas nilai kita. Itu semacam rapor. Rapor akan diberikan dua kali, setelah midterm dan setelah final exam. Di rapor tersebut akan ditampilkan berapa bobot tugas, homework dll. lalu di samping bobot akan ditampilkan nilai kita. Jadi kita akan tahu betul dimana letak kekurangan kita, adakah homework dan tugas yang tidak dikumpul dsb. Selain itu, dosen juga akan memberikan komentarnya mengenai kinerja mahasiswanya dalam bentuk kalimat. Dosen tidak sembarang memberi nilai. Mereka benar objektif, tahu dimana kekurangan dan kelebihan mahasiswanya satu persatu. Contohnya saja saya mendapat nilai yang rendah di pelajaran listening. Karena saya tahu dengan spesifik apa yang membuat listening saya rendah, maka saya mulai meningkatan bagian mana yang saya kurang. Hal ini tentu saja membuat mahasiswa akan lebih serius. Masalah kehadiran juga sangat penting. Dua kali terlambat akan dihitung satu kali absen. Hal ini akan mempengaruhi nilai kita. Apalagi masalah copy-paste alias nyontek. Nyontek di Amerika adalah kriminal. Dan itu adalah perbuatan yang sangat memalukan.
Saya hanya menuliskan apa yang saya alami. Entah apakah ini terjadi pada mahasiswa lain yang pernah ke luar negeri. Ini mengenai perilaku para dosen. Dosen-dosen di sana sangat ramah. Gampang ditemui atau diajak berdiskusi. Kita hanya perlu membuat janji, karena mereka juga punya jadwal yang padat. Setelah menemui dosen, kita bisa tanya apa saja tentang pelajaran. Dimana kekurangan kita. Bagian mana yang perlu ditingkatkan. Di kelas pun demikian, jika kita bertanya, mereka akan dengan senang hati menjawab. Mereka tidak pernah menyepelekan pertanyaan kita. Mereka mendukung dan terus memotivasi mahasiswa. Mereka tidak menjatuhkan, namun terus memuji. Meskipun kita salah, mereka tidak langsung men-judge itu salah. Mereka akan meluruskan dan memperbaiki.
Terakhir, kita merasa nyaman belajar karena fasilitasnya lengkap. Pertama, ruangan yang bersih membuat mahasiswa nyaman. Kedua, fasilitas seperti LCD proyektor, layar untuk menangkap, dan over head proyektor telah built-in dengan ruangan. Semuanya telah tersedia di ruangan. Jadi kita tidak perlu lagi pulang balik pinjam LCD. Tidak terlalu banyak menggunakan papan tulis. Mau putar video, mau lihat sesuatu di buku tinggal ditampilkan di over head proyektor. Fasilitas-fasilitas yang memadai sangat menunjang kenyamanan dan konsentrasi belajar.
Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan output yang juga berkualitas. Salah satu bagian dari pendidikan yang berkualitas ialah bagaimana sistem pembelajaran yang digunakan dalam kelas. Efektifkah atau tidak. Ada baiknya kita menengok sistem pembelajaran dari negara Amerika. Tidak ada salahnya kita mengambil contoh. Meskipun sebenarnya negara tersebut maju dari segi pendidikannya karena dana yang mendukung. Dan bukan rahasia lagi kalau negara ini banyak merampok kekayaan alam negeri-negeri muslim seperti Indonesia. Justru seharusnya kita yang maju karena memiliki sumber daya alam melimpah yang bisa digunakan untuk megratiskan dan memperbaiki pendidikan di Indonesia. Apalagi ditunjang oleh putra-putri bangsa yang cerdas. Tidak ada salahnya kita mengambil yang baik-baik dan membuang yang buruk.
Diberdayakan oleh Blogger.