By: Bulqia Mas’ud
Beberapa waktu lalu terdengar sebuah isu yang cukup menggemparkan. Tak jauh dari tanah gemerlap Makassar, sebuah daerah penghasil beras terkemuka di nusantara menyimpan duka. Tiga bocah terbaring di RSU Lasinrang Kab. Pinrang, akibat tak mendapatkan suplai makanan yang layak. Sang Ibu pun memperlihatkan kondisi yang tak menyehatkan. Wajah yang keriput kerontangnya bukanlah wajah menua tapi wajah kelaparan. Merekalah salah salah satu dari sekian banyak rakyat Indonesia minus gizi. Kemiskinan meronta di negeri ini. Semakin banyak fakta yang timbul tenggelam mengiringi prahara kemiskinan ini. Sebuah usikan yang mempertanyakan layakkah sistem ekonomi sekarang ini?
Kemiskinan menggejolak di Indonesia
Kapankah kita akan melihat wajah Indonesia tersenyum ceria. Kala kenyataan seolah mengutuknya sebagai negara miskin. Betapa nestapanya negara ini. Banyak hal yang bisa memantapkan gaungnya sebagai negara berada. Ia kaya sumber daya. Ia kaya budaya. Dan Ia kaya suku dan bahasa. Namun, seolah menggerus satu persatu jiwa manusia yang hidup di dalamnya, bahwa terimalah kenyataan, negara ini miskin.
Survei sosial ekonomi nasional 2008 menguak fakta penduduk miskin di Indonesia mencapai titik 35 juta. Keironisan ini semakin memantapkan kita bahwa kita kerdil asa. Kita tak mau belajar dari kesalahan. Kita mau terus dibodohi. Sekali lagi terimalah kenyataan bahwa kita bodoh. Betapa tidak, semua tahu bahwa kita kaya. Namun yang terkuak hanyalah kemiskinan.
Negara seolah menghapuskan jejaknya dalam gelanggang kemelut ini. Subsidi yang diharapkan mampu membawa kita pada realitas harapan ternyata tak menuai kegemilangan. Tak pelak lagi, serentetan solusi kapitalis hanya makin melabirinkan kita dengan taktiknya. Perdagangan bebas, privatisasi, pengutamaan sektor non riil yang memandegan ekonomi riil. Perbankan ribawi, penggunaan flat money, liberalisasi perdagangan, dan gali lobang tutup lobang terhadap kaki tangan kapitalis yang menjadi daftar panjang bobroknya ekonomi kita.
Pemerintah masih bermental kacung. Kecenderungan untuk diseret-seret begitu leluasanya. Mental babu tak bisa melawan. Entah berapa kali tahun berganti tahun, namun tetap masih saja melolong kemiskinan. Sudah nampak batu besar yang siap menggilasnya, ia tetap tak mau meminggirkannya. Negara ini tetap keukeuh dengan sistem thagut yang menyengsarakan. Andai mereka mau membuka mata, untuk melihat bahwa ada sistem yang paripurna. Yang membuat nafas kita tak terasa sesak. Itulah sistem yang diciptakan oleh Allah SWT yaitu sistem ekonomi islam.
Sistem Ekonomi Islam Meruntuhkan Kesenjangan
Islam hadir menghembuskan ruh-ruh kedamaian. Begitu pula dalam sistem ekonominya. Berasaskan untuk tak tega melihat setiap tetes kenistaan. Merobek kesenjangan. Dan menumbuhkan semangat berbagi. Orientasinya bukanlah materi. Ataupun menimbun harta dan memperkaya diri. Ia hanyalah kerangka bertindak untuk mencapai ridha Allah. Merangkai senyum dari setiap masyarakat yang kesusahan. Memenuhi hajatul uduwiyah.
Berzakat dan bersedekah ialah inti economic equilibrium islam. Karenanya, akan mengeratkan kasih sayang. Dan meringankan yang dulunya terasa berat. Pengaliran kekayaan ini menyulam solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Menyusupi setiap jiwa-jiwa kerontang. Dan mengenyangkan setiap perut yang kelaparan. Itulah sistem ekonomi islam yang tak sekadar solusi. Tapi jalan menuju takwa ilahi.
Distribusi Kekayaan Menciptakan Economic Equilibrium
Islam agama penuh kasih sayang. Setiap tindak-tanduk senantiasa dibungkus oleh parameter syar’i. Yang tak rela membiarkan kita merana. Apalagi merana karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Maka islam hadir untuk mewujudkan pemerataan. Pemerataan yang akan terwujud dalam distribusi kekayaan. Rakyat kasta kaya memainkan perannya dalam agama dan negara. Ia menyisihkan kekayaannya. Negara mengulur tangannya untuk rakyat yang menangis kekurangan.
Karena butuh adalah naluri manusia, maka banyak yang tak mampu mengecap pahitnya naluri yang terbatasi. Makanan, pakaian dan tempat tinggal ialah hajatul uduwiyah yang ditempatkan di posisi teratas. Hidup dijemput maut jika melewatkan kebutuhan ini. Ia sungguh mutlak ada dalam diri setiap pribadi. Tak mengenal kaya, juga miskin. Karena tubuh akan menjasad tak berjiwa tanpanya. Hatta, kekayaan orang-orang berpunya tersisip hak orang-orang tak berpunya. Mereka tersimbiosis mutualisme untuk saling melengkapi. Duka si miskin termuntahkan. Dan si kaya meraih kemuliaan.
Teranyamlah sudah pemerataan itu. Negara menembus batas buram rakyat miskin. Lewat Baitul Mal (Kas Negara) untuk pengalirannya. Terpenuhilah hak setiap jiwa-jiwa gerusan peradaban. Yang diambil dari kasta kaya penakluk peradaban. Bersandinglah kewajiban dan hak. Tak ada tembok batas si kaya dan si miskin. Keseimbangan ekonomi pun termaktub dalam goresan ekonomi islam.
Segala Kebutuhan Pun Terpenuhi
Sistem ekonomi islam berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, baik berupa barang maupun jasa. Peran vitalnya dipegang oleh negara. Dalam hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan berupa barang.
Hal pertama yang dilakukan negara ialah menyeru kepada setiap kepala keluarga untuk berusaha mencari nafkah. Kedua, negara menyeru kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk menyisihkan kekayaannya kepada orang tak mampu. Dengan alasan, mereka yang kepala keluarganya tak mampu menanggung. Ketiga, negara menyediakan fasilitas lapangan kerja. Keempat, negara menyeru kepada para tetangga yang berada untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan.
Jika keempatnya tak mampu diemban oleh rakyat, maka negara akan mengambil alih. Lewat Baitul Mal (Kas Negara), pemerintah akan menghimpun kekayaan dari orang-orang mampu, untuk disalurkan pada rakyat miskin. Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Q.S At Taubah: 103]
Tak serupa dengan kebutuhan pokok berupa barang, kebutuhan berupa jasa ditangani langsung oleh negara. Keinginan rakyat untuk mengenyam pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, dan keamanan yang terjamin adalah tugas negara. Tak satu pun dibebankan kepada rakyat. Karena sifatnya sebagai pelayanan umum. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak rakyatnya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang digratiskan.
Di sinilah letak keagungan islam yang juga terimplementasi dalam sistem ekonominya. Semua elemen yang berpunya, sudi menyisihkan kekayaannya pada masyarakat tak berpunya. Ia adalah salah satu manifestasi takwa kepada Allah, yakni bersedekah. Bukan hanya menuntaskan kewajiban bagi negara, tetapi juga melepaskan kewajibannya pada Allah Swt. Islam menebarkan kekayaan untuk seluruh masyarakat dan mencegah sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Sesuai firman Allah:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Q.S Al-Hasyr:7)
Maka tak pantas lagi kita mengingkari hukum Allah dalam kehidupan kita. Yakni, penerapan sistem ekonomi islam. Sistem yang menjamin kesejahteraan rakyat. Karena ia adalah hukum buatan Allah, bukan hukum buatan manusia. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Divisi Penulisan dan Penerbitan
Esai ini meraih juara 1 lomba penulisan esai yang diadakan oleh FoSEI Unhas
Home / Archive for 2009
Islam dalam Economic Equilibrium
EKSISTENSI PEMUDA DALAM GAUNG GLOBALISASI
Oleh: Bulqia Mas’ud
Selalu ada yang menggelitik saat mengistilahkan sosok pemuda. Ia begitu heroik dengan kekuatan idealismenya. Matanya mampu menatap tajam setiap keabsurdan dan kekejian. Telinganya mampu mendengar riuh tolongan dari proletar. Mulutnya mampu menaklukkan sang penguasa tirani. Tangannya mampu menangkis kegalauan sekitar. Kakinya terbalut langkah yang tak surut oleh langgam penindasan. Setiap hembusan nafasnya mengisyaratkan perubahan dan semangat yang menggebu-gebu. Mereka adalah sang revolusioner sejati. Namun, mereka berada antara jurang kelabilan dan maturity. Coba renungkan perkataan sejarawan besar Indonesia Ong Hok Ham yang mengartikan sosok seorang pemuda. Menurutnya kata ‘pemuda’ adalah tafsiran dari konstruksi kolonial yang berarti pengacau, ekstrimis, teroris. Adopsi yang diambil dari pemikiran orang Jawa bahwa Orang Muda adalah ketidakmatangan yang pada akhirnya akan menuju tingkat kedewasaan. Ia mendefinisikan kata pemuda yaitu berumur di bawah 30 tahun memegang peranan penting pada saat-saat tertentu, dan secara sendiri belum termasuk dalam kesatuan-kesatuan sosial produktif. Sementara remaja dalam pendefenisian para ahli hampir bertemu pada satu simpul. Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993). Zakiah Darajad mendefinisikan remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Darajad, 1990).
Ketidakmatangan itu yang diujicobakan oleh gempuran besar yang abstrak, yaitu globalisasi. Hedonisme, terasa akrab di telinga kita karena volumenya diperbesar oleh pemuda. Free sex menjadi istilah kacung dari orang tak berpendidikan karena gaungnya juga dilolongkan oleh pemuda. Globalisasi mengantarkan budaya hedonisme, konsumtif, dan surinya kreativitas pada pemuda Indonesia. Jejak prestasi pemuda seketika lenyap oleh deburan brutalismenya. Ujung tombak itu kian goyah oleh makhluk invisble globalisasi. Pemuda adalah motor bangsa ke depan. Lihatlah setetes perubahan akibat tumbangnya rezim tirani yang dimotori pemuda pada peristiwa Mei 1998. Kediktatoran vanish oleh nafas intifadhah yang mengembun di setiap kuku-kuku mereka. Hingga di era instan sekarang, globalisasi yang merupakan perpanjangan tangan capitalism nista itu datang dengan membawa segudang luxury. Pemudalah menjadi mangsa superlatif. Menyerbu mereka dengan ke-inconsistent-an oleh produk globalisasi capitalism itu. Ia bak pedang bermata dua. Yang mehunus dari sisi mana saja.
Jargon globalisasi itu tak memiliki defenisi mapan. Ia multitafsir tergantung bidang yang menyinggungnya. Globalisasi, globalisation, atau globalization diambil dari kata global yang artinya universal tanpa batas ruang dan waktu. Adalah Theodore Levitte merupakan orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Globalisasi itu akhirnya merambah ke seluruh bidang kehidupan. Dan yang paling menyentuh sisi lemah pemuda ialah globalisasi kebudayaan dan ekonomi. Ia bagai heroin yang mencandukan kita atau pil tidur yang memulaskan. Memanjakan kita dengan teknologi praktis bersesuaian dengan spirit kepemudaan. Contoh yang paling hebat ialah internet. Dan yang terkini ialah sang fenomenal Facebook dan Blackberry.
Berkaca dari kata-kata Stiglitz, “Kita boleh mengambil manfaat dari globalisasi tetapi tidak boleh dimanfaatkan globalisasi.”
Kalimat itu memposisikan pemuda pada dua jalur. Ada yang mampu memanfaatkan globalisasi, adapula yang terkikis hingga lebur karena globalisasi. Globalisasi hanyalah hasil dari suatu periode masa. Ia mungkin liar sekarang, tapi suatu saat bisa berglobalisasi dengan cara yang ma’ruf. Dan pemuda tetap harus melewati masa itu. Berjalan pada sisi mata pedang yang mereka pilih. Inilah yang membawa perpekstif tersendiri bagi mereka. Dengan keintelektualannya mereka mampu membahasakan dan merasakan hingga merasukkaan globalisasi itu. Ironis juga, karena banyak juga pemuda tak tahu menahu makhluk apa globalisasi. Merekalah sasaran empuk globalisasi. Ada pula yang mampu mendefinisikan globalisasi. Namun kesadaran mereka terkafani oleh kemudahan dan keasyikkan globalisasi. Padahal globalisasi menggerus satu-persatu jasad mereka. Adapula pemuda yang termarginalisasi globalisasi. Mereka adalah residu globalisasi yang juga buta globalisasi. Lalu, inilah pemuda yang sesungguhnya. Inilah pemuda harapan. Mereka mampu menaklukkan globalisasi. Mereka memposisikan globalisasi sebagai pendukung gerak maju mereka.
Mereka yang menjadi sasaran empuk globalisasi.
Bukalah mata dan pandang di sekeliling. Ada begitu banyak pemandangan yang berkolerasi dengan globalisasi. Saat kita terbangun, di meja sudah tergeletak laptop atau komputer. Produk globalisasi yang memuluskan langkah kita sebagai mahasiswa. Itu hanyalah ujung kuku globalisasi. Cobalah lihat pada lingkungan sosial tempat pemuda bergelut. Yaitu dunia kampus. Kampus ialah sarang pemuda. Temukanlah variannya di sana. Ada yang menjadikan kampus sebagai stage tempat model berlenggak-lenggok. Merekalah para pemuda dan pemudi hedonis. Produk kosmetik dalam dan luar negeri laris manis terekspose pada pipi-pipi dan bibir-bibir mereka yang ranum. Style erotisme begitu lekat pada balutan busana mereka untuk mencari ilmu di dunia perkuliahan. Target media massiv berideologi kapitalis.
Sementara pemuda enjoy dengan punk style Gerard Way, leader My Chemical Romance. Ikon emo (emotional hardcore atau emocore) aliran musik hardrock-punk. Yang kemudian merambat pada bidang kebudayaan. Bermetamorfosis menjadi istilah hubungan khusus antara penggemar dan artis, pola berbusana, budaya, dan tingkah laku. Hitam adalah simbolisasinya. Skinny ketat, kaos oblong super ketat, tatanan rambut bagai sarang burung dan menutupi mata.
Menyinggung dari sisi tekhnologi, Blackberry menjadi bukti dan landasan bahwa kita pemuda yang up to date teknologi. Istilah browsing, e-mail, website, blog, dan yang fenomenal facebook temuan Mark Elliot Zuckerberg. Globalisasi jaringan informasi membuat mereka mampu menerima segala informasi yang western-minded dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Musik, film, dan situs pornografi yang diobral murah di internet menjadi konsumsi hari-hari pemuda. Sebuah data menunjukkan 60% pemuda perkotaan di bawah 30 tahun menjadi pengguna internet. Maka tak heran jika indonesia dinobatkan sebagai juara ketiga yang menaruh kata “seks” pada search engine. Hasil dari globalisasi informasi ini merambah pada globalisasi kebudayaan. Pergaulan bebas, narkoba, hamil di luar nikah, abortus dan derivat yang lain adalah gempuran budaya yang mereka anggap patut dicontoh. Merekalah orang-orang yang termanfaatkan globalisasi. Meskipun mereka mampu membahasakan globalisasi dengan mulut berbusa-busa, tetap saja keintelektualan mereka tak mampu menghindari kelenaan globalisasi.
Merekalah yang taklid media. Awam globalisasi dan tergerus globalisasi budaya.
Inilah golongan pemuda yang hidup di kampung. Wawasan tidaklah penting bagi mereka. Meskipun di antaranya ada yang mengenyam bangku sekolah, namun ketika ditanya mengenai globalisasi mulut akan ternganga. Mereka adalah budak salah satu instrumen globalisasi, yakni televisi. Televisi memberikan gambaran bahwa seperti inilah kehidupan kota. Mereka pun taklid dengan alasan ingin dicap sebagai manusia modern miniatur manusia kota. Suguhan informasi yang dominan westernisasi langsung dilahap mentah-mentah dan diintegrasikan dengan kehidupan sehari-harinya. Sajian musik, reality show dan sinetron lebih kerap bagi mereka. Tren acara televisi itu menjadi buku panduan untuk bertindak. Busana bintang opera sabun menjadi pola pakaian mereka. Kesan modern yang ingin mereka eksiskan, namun tetap norak. Free sex pun tak kalah hebat. Pergaulan bebas dan kesempitan ekonomi mengantarkan mereka pada dunia sang kupu-kupu malam. Globalisasi pun meleburkan mereka tanpa pernah tahu makhluk apa penghancur dahsyat itu.
Merekalah residu globalisasi
Pengamen, pengemis, pemulung yang masih mampu produktif merupakan gilasan globalisasi, yaitu kemiskinan. Mereka hidup tanpa visi ke depan. Harapan bagi mereka adalah bisa makan di esok hari. Hidup adalah bekerja untuk mengenyangkan perut. Globalisasi tak ada dalam kamus mereka. Mereka seharusnya aset yang menambah kuantitas energi muda bangsa ini. Namun mereka pasrah dalam kunkungan kultur buangan, sampah, dan ampas globalisasi ekonomi. Mereka menjadi pemuda yang hidup tanpa cita-cita. Hidup itu hanyalah aliran mengikuti arus. Mereka menjadi orang bodoh selamanya. Bahkan miskin selamanya. Mereka tak tahu arah perubahan. Hanya kelu terkutuk bodoh dan mati tanpa meraih cita-cita dan harapan.
Mereka yang mampu memanfaatkan globalisasi. Namun melupakan hakikat hidup manusia.
Inilah kelompok pemuda yang mampu menaklukkan globalisasi. Merekalah sutradara dalam panggung global. Ada begitu banyak mimpi, harapan dan cita-cita yang mengalir dalam darah mereka. Hembusan nafasnya adalah kerja keras untuk menjadi yang terbaik. Mereka menjadi Einstein dengan temuan-temuan baru mereka. Haus kreativitas adalah spirit jiwa mereka. Tak ada kata vakum belajar. Teknologi adalah teman setia mereka yang tak menjadikan mereka budak. Bersaing secara global internasional adalah panggung gerak mereka. Jargon “Time is Money” melekat kuat dalam diri mereka. Mereka mampu menapis budaya barat sehingga yang tersisa adalah gaya hidup disiplin dan kerja kerasnya. Mereka tidak terninabobokan oleh kemewahan globalisasi. Mereka mampu menyongsong masa depan dengan cerah. Namun sayang, mereka terlena akan kerja keras, prestasi dan pencapaian itu. Mereka lupa kalau mereka adalah manusia. Hamba dari sang pencipta. Mereka lupa hakikat mereka diciptakan. Agama baginya adalah perkara kedua setelah dunia. Kepositifan western-minded membawa mereka mampu menerima opini sesat ateisme. Agama tak pernah menjadi daya tarik. Liberal thinking telah merasuk ke serebrum otaknya. Waktu untuk belajar agama telah tergantikan oleh cita-cita besar yang belum dicapai. Agama dikesampingkan. Arah busur panah hidup hanya tertuju pada materialisme capitalism, mengantongi uang sebanyak-banyaknya. Lupa esensi kelahiran mereka di dunia.
Merekalah yang menaklukkan globalisasi dengan syariat.
Jika globalisasi adalah pedang bermata dua. Maka pemuda jenis ini mampu memberi sarung "pedang cina" yang bermata dua itu dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar", hulu pedangnya dibalut baik dan kuat dengan ‘akhlaqul karimah.’ Mereka mampu menaklukan globalisasi. Mampu bersaing dengan budaya global namun tak membiarkan dirinya terabrasi. Pelindung mereka adalah syariat. Teknologi pun menjadi teman setia untuk mencapai keseimbangan dunia dan akhirat. Wawasan mereka luas. Globalisasi hanyalah alat atau faktor pendukung dalam mempermudah hidup untuk lebih banyak beribadah. Kesuksesan dan cita-cita hidup tetap digenggaman mereka. Merekalah pemuda yang paling sukses dalam pentas globalisasi.
Bagaimana seharusnya pemuda menghadapi globalisasi?
“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru. Tapi kalau sepuluh pemuda bersemangat diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” [Soekarno]
Bukanlah hal yang hiperbol dengan tegasan yang dipenggalkan oleh sang Singa Podium. Bahwa pemuda memiliki energi perubahan. Mereka punya karbondioksid segar untuk meneguhkan pohon idealisme. Keidentikkan antara globalisasi dan pemuda adalah dua sisi mata uang yang inseparable. Mereka boleh saja menjadi ikan oleh pancingan globalisasi, namun mereka juga mampu menjadi mesin perahu yang menaklukkan samudra.
Adalah perkara kesadaran yang meninabobokan mereka. Namun untuk membangunkan singa tertidur itu haruslah berasal dari azzam yang kuat oleh mindset intelektual mereka. Kemandirian dan mental tak ingin terjajah adalah mindset awal yang harus dimiliki oleh para pemuda kita. Globalisasi haruslah disikapi dengan wise. Karena menolak globalisasi adalah menolak hidup. Pemuda haruslah punya prinsip. Tak ada salahnya menggaungkan kalimat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menciutkan globalisasi, "Kita ambil yang baiknya dan yang jeleknya kita lawan dan kita cegah,"
Adapula jurus manjur racikan Menneg Pora Adhyaksa Dault untuk mengerdilkan globalisai. Jurus itu disebut “Doraemon”. Jurus Pertama, 'Dream,' yakni memiliki visi ke depan. Kedua, 'Oppurtunity', pandai melihat kesempatan untuk maju. Ketiga, 'Reformasi' dalam artian mereformasi diri dengan standar serta patokan yang jelas. Keempat, 'Action', yakni setiap keprihatinan harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Kelima, Energi, yaitu memanfaatkan energi sebaik-baiknya. Keenam, melakukan 'Mapping', yakni pemetaan yang jelas terhadap situasi sekitar. Tujuh, 'Organizing', yakni membangun sumber daya berdasarkan aturan yang baik. Kedelapan adalah 'Network', pemuda harus membangun jaringan seluasnya.
Masih banyak jalan menuju roma. Banyak cara untuk menghadapi globalisasi. Pertama, ialah pemuda harus punya awareness terhadap carut-marut globalisasi. Namun juga mampu mengamati dan mencungkil sisi positif globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai pemanis tujuan menuju kesuksesan. Hati-hati dengan jebakan keasyikkan dan kemewahannya. Lihatlah globalisasi sebagai ladang untuk berinovasi dan berkreatifitas. Taklukkan globalisasi dengan mendayagunakan produk teknologi untuk menemukan grand desain, utamanya teknologi informasi.
Yang paling urgen ialah jadikan agama sebagai pembatas gerak langkah kita. Agama mampu menampakkan mana keabsurdan dan kepantasan yang mengawasi jejak kaki kita saat merintangi ruang globalisasi. Agama menjadi penopang untuk tetap maju dan inovatif tanpa ditelan mentah globalisasi. Ia penentu nomor satu untuk setiap pemuda yang tak ingin tergerus. Globalisasi capitalism suatu saat akan berganti menjadi globalisasi bernafas dakwah Ilallah andaikan kita segera meletakkan agama dan ruh syariat pada setiap gerak langkah kita.
Selalu ada yang menggelitik saat mengistilahkan sosok pemuda. Ia begitu heroik dengan kekuatan idealismenya. Matanya mampu menatap tajam setiap keabsurdan dan kekejian. Telinganya mampu mendengar riuh tolongan dari proletar. Mulutnya mampu menaklukkan sang penguasa tirani. Tangannya mampu menangkis kegalauan sekitar. Kakinya terbalut langkah yang tak surut oleh langgam penindasan. Setiap hembusan nafasnya mengisyaratkan perubahan dan semangat yang menggebu-gebu. Mereka adalah sang revolusioner sejati. Namun, mereka berada antara jurang kelabilan dan maturity. Coba renungkan perkataan sejarawan besar Indonesia Ong Hok Ham yang mengartikan sosok seorang pemuda. Menurutnya kata ‘pemuda’ adalah tafsiran dari konstruksi kolonial yang berarti pengacau, ekstrimis, teroris. Adopsi yang diambil dari pemikiran orang Jawa bahwa Orang Muda adalah ketidakmatangan yang pada akhirnya akan menuju tingkat kedewasaan. Ia mendefinisikan kata pemuda yaitu berumur di bawah 30 tahun memegang peranan penting pada saat-saat tertentu, dan secara sendiri belum termasuk dalam kesatuan-kesatuan sosial produktif. Sementara remaja dalam pendefenisian para ahli hampir bertemu pada satu simpul. Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993). Zakiah Darajad mendefinisikan remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Darajad, 1990).
Ketidakmatangan itu yang diujicobakan oleh gempuran besar yang abstrak, yaitu globalisasi. Hedonisme, terasa akrab di telinga kita karena volumenya diperbesar oleh pemuda. Free sex menjadi istilah kacung dari orang tak berpendidikan karena gaungnya juga dilolongkan oleh pemuda. Globalisasi mengantarkan budaya hedonisme, konsumtif, dan surinya kreativitas pada pemuda Indonesia. Jejak prestasi pemuda seketika lenyap oleh deburan brutalismenya. Ujung tombak itu kian goyah oleh makhluk invisble globalisasi. Pemuda adalah motor bangsa ke depan. Lihatlah setetes perubahan akibat tumbangnya rezim tirani yang dimotori pemuda pada peristiwa Mei 1998. Kediktatoran vanish oleh nafas intifadhah yang mengembun di setiap kuku-kuku mereka. Hingga di era instan sekarang, globalisasi yang merupakan perpanjangan tangan capitalism nista itu datang dengan membawa segudang luxury. Pemudalah menjadi mangsa superlatif. Menyerbu mereka dengan ke-inconsistent-an oleh produk globalisasi capitalism itu. Ia bak pedang bermata dua. Yang mehunus dari sisi mana saja.
Jargon globalisasi itu tak memiliki defenisi mapan. Ia multitafsir tergantung bidang yang menyinggungnya. Globalisasi, globalisation, atau globalization diambil dari kata global yang artinya universal tanpa batas ruang dan waktu. Adalah Theodore Levitte merupakan orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Globalisasi itu akhirnya merambah ke seluruh bidang kehidupan. Dan yang paling menyentuh sisi lemah pemuda ialah globalisasi kebudayaan dan ekonomi. Ia bagai heroin yang mencandukan kita atau pil tidur yang memulaskan. Memanjakan kita dengan teknologi praktis bersesuaian dengan spirit kepemudaan. Contoh yang paling hebat ialah internet. Dan yang terkini ialah sang fenomenal Facebook dan Blackberry.
Berkaca dari kata-kata Stiglitz, “Kita boleh mengambil manfaat dari globalisasi tetapi tidak boleh dimanfaatkan globalisasi.”
Kalimat itu memposisikan pemuda pada dua jalur. Ada yang mampu memanfaatkan globalisasi, adapula yang terkikis hingga lebur karena globalisasi. Globalisasi hanyalah hasil dari suatu periode masa. Ia mungkin liar sekarang, tapi suatu saat bisa berglobalisasi dengan cara yang ma’ruf. Dan pemuda tetap harus melewati masa itu. Berjalan pada sisi mata pedang yang mereka pilih. Inilah yang membawa perpekstif tersendiri bagi mereka. Dengan keintelektualannya mereka mampu membahasakan dan merasakan hingga merasukkaan globalisasi itu. Ironis juga, karena banyak juga pemuda tak tahu menahu makhluk apa globalisasi. Merekalah sasaran empuk globalisasi. Ada pula yang mampu mendefinisikan globalisasi. Namun kesadaran mereka terkafani oleh kemudahan dan keasyikkan globalisasi. Padahal globalisasi menggerus satu-persatu jasad mereka. Adapula pemuda yang termarginalisasi globalisasi. Mereka adalah residu globalisasi yang juga buta globalisasi. Lalu, inilah pemuda yang sesungguhnya. Inilah pemuda harapan. Mereka mampu menaklukkan globalisasi. Mereka memposisikan globalisasi sebagai pendukung gerak maju mereka.
Mereka yang menjadi sasaran empuk globalisasi.
Bukalah mata dan pandang di sekeliling. Ada begitu banyak pemandangan yang berkolerasi dengan globalisasi. Saat kita terbangun, di meja sudah tergeletak laptop atau komputer. Produk globalisasi yang memuluskan langkah kita sebagai mahasiswa. Itu hanyalah ujung kuku globalisasi. Cobalah lihat pada lingkungan sosial tempat pemuda bergelut. Yaitu dunia kampus. Kampus ialah sarang pemuda. Temukanlah variannya di sana. Ada yang menjadikan kampus sebagai stage tempat model berlenggak-lenggok. Merekalah para pemuda dan pemudi hedonis. Produk kosmetik dalam dan luar negeri laris manis terekspose pada pipi-pipi dan bibir-bibir mereka yang ranum. Style erotisme begitu lekat pada balutan busana mereka untuk mencari ilmu di dunia perkuliahan. Target media massiv berideologi kapitalis.
Sementara pemuda enjoy dengan punk style Gerard Way, leader My Chemical Romance. Ikon emo (emotional hardcore atau emocore) aliran musik hardrock-punk. Yang kemudian merambat pada bidang kebudayaan. Bermetamorfosis menjadi istilah hubungan khusus antara penggemar dan artis, pola berbusana, budaya, dan tingkah laku. Hitam adalah simbolisasinya. Skinny ketat, kaos oblong super ketat, tatanan rambut bagai sarang burung dan menutupi mata.
Menyinggung dari sisi tekhnologi, Blackberry menjadi bukti dan landasan bahwa kita pemuda yang up to date teknologi. Istilah browsing, e-mail, website, blog, dan yang fenomenal facebook temuan Mark Elliot Zuckerberg. Globalisasi jaringan informasi membuat mereka mampu menerima segala informasi yang western-minded dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Musik, film, dan situs pornografi yang diobral murah di internet menjadi konsumsi hari-hari pemuda. Sebuah data menunjukkan 60% pemuda perkotaan di bawah 30 tahun menjadi pengguna internet. Maka tak heran jika indonesia dinobatkan sebagai juara ketiga yang menaruh kata “seks” pada search engine. Hasil dari globalisasi informasi ini merambah pada globalisasi kebudayaan. Pergaulan bebas, narkoba, hamil di luar nikah, abortus dan derivat yang lain adalah gempuran budaya yang mereka anggap patut dicontoh. Merekalah orang-orang yang termanfaatkan globalisasi. Meskipun mereka mampu membahasakan globalisasi dengan mulut berbusa-busa, tetap saja keintelektualan mereka tak mampu menghindari kelenaan globalisasi.
Merekalah yang taklid media. Awam globalisasi dan tergerus globalisasi budaya.
Inilah golongan pemuda yang hidup di kampung. Wawasan tidaklah penting bagi mereka. Meskipun di antaranya ada yang mengenyam bangku sekolah, namun ketika ditanya mengenai globalisasi mulut akan ternganga. Mereka adalah budak salah satu instrumen globalisasi, yakni televisi. Televisi memberikan gambaran bahwa seperti inilah kehidupan kota. Mereka pun taklid dengan alasan ingin dicap sebagai manusia modern miniatur manusia kota. Suguhan informasi yang dominan westernisasi langsung dilahap mentah-mentah dan diintegrasikan dengan kehidupan sehari-harinya. Sajian musik, reality show dan sinetron lebih kerap bagi mereka. Tren acara televisi itu menjadi buku panduan untuk bertindak. Busana bintang opera sabun menjadi pola pakaian mereka. Kesan modern yang ingin mereka eksiskan, namun tetap norak. Free sex pun tak kalah hebat. Pergaulan bebas dan kesempitan ekonomi mengantarkan mereka pada dunia sang kupu-kupu malam. Globalisasi pun meleburkan mereka tanpa pernah tahu makhluk apa penghancur dahsyat itu.
Merekalah residu globalisasi
Pengamen, pengemis, pemulung yang masih mampu produktif merupakan gilasan globalisasi, yaitu kemiskinan. Mereka hidup tanpa visi ke depan. Harapan bagi mereka adalah bisa makan di esok hari. Hidup adalah bekerja untuk mengenyangkan perut. Globalisasi tak ada dalam kamus mereka. Mereka seharusnya aset yang menambah kuantitas energi muda bangsa ini. Namun mereka pasrah dalam kunkungan kultur buangan, sampah, dan ampas globalisasi ekonomi. Mereka menjadi pemuda yang hidup tanpa cita-cita. Hidup itu hanyalah aliran mengikuti arus. Mereka menjadi orang bodoh selamanya. Bahkan miskin selamanya. Mereka tak tahu arah perubahan. Hanya kelu terkutuk bodoh dan mati tanpa meraih cita-cita dan harapan.
Mereka yang mampu memanfaatkan globalisasi. Namun melupakan hakikat hidup manusia.
Inilah kelompok pemuda yang mampu menaklukkan globalisasi. Merekalah sutradara dalam panggung global. Ada begitu banyak mimpi, harapan dan cita-cita yang mengalir dalam darah mereka. Hembusan nafasnya adalah kerja keras untuk menjadi yang terbaik. Mereka menjadi Einstein dengan temuan-temuan baru mereka. Haus kreativitas adalah spirit jiwa mereka. Tak ada kata vakum belajar. Teknologi adalah teman setia mereka yang tak menjadikan mereka budak. Bersaing secara global internasional adalah panggung gerak mereka. Jargon “Time is Money” melekat kuat dalam diri mereka. Mereka mampu menapis budaya barat sehingga yang tersisa adalah gaya hidup disiplin dan kerja kerasnya. Mereka tidak terninabobokan oleh kemewahan globalisasi. Mereka mampu menyongsong masa depan dengan cerah. Namun sayang, mereka terlena akan kerja keras, prestasi dan pencapaian itu. Mereka lupa kalau mereka adalah manusia. Hamba dari sang pencipta. Mereka lupa hakikat mereka diciptakan. Agama baginya adalah perkara kedua setelah dunia. Kepositifan western-minded membawa mereka mampu menerima opini sesat ateisme. Agama tak pernah menjadi daya tarik. Liberal thinking telah merasuk ke serebrum otaknya. Waktu untuk belajar agama telah tergantikan oleh cita-cita besar yang belum dicapai. Agama dikesampingkan. Arah busur panah hidup hanya tertuju pada materialisme capitalism, mengantongi uang sebanyak-banyaknya. Lupa esensi kelahiran mereka di dunia.
Merekalah yang menaklukkan globalisasi dengan syariat.
Jika globalisasi adalah pedang bermata dua. Maka pemuda jenis ini mampu memberi sarung "pedang cina" yang bermata dua itu dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar", hulu pedangnya dibalut baik dan kuat dengan ‘akhlaqul karimah.’ Mereka mampu menaklukan globalisasi. Mampu bersaing dengan budaya global namun tak membiarkan dirinya terabrasi. Pelindung mereka adalah syariat. Teknologi pun menjadi teman setia untuk mencapai keseimbangan dunia dan akhirat. Wawasan mereka luas. Globalisasi hanyalah alat atau faktor pendukung dalam mempermudah hidup untuk lebih banyak beribadah. Kesuksesan dan cita-cita hidup tetap digenggaman mereka. Merekalah pemuda yang paling sukses dalam pentas globalisasi.
Bagaimana seharusnya pemuda menghadapi globalisasi?
“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru. Tapi kalau sepuluh pemuda bersemangat diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” [Soekarno]
Bukanlah hal yang hiperbol dengan tegasan yang dipenggalkan oleh sang Singa Podium. Bahwa pemuda memiliki energi perubahan. Mereka punya karbondioksid segar untuk meneguhkan pohon idealisme. Keidentikkan antara globalisasi dan pemuda adalah dua sisi mata uang yang inseparable. Mereka boleh saja menjadi ikan oleh pancingan globalisasi, namun mereka juga mampu menjadi mesin perahu yang menaklukkan samudra.
Adalah perkara kesadaran yang meninabobokan mereka. Namun untuk membangunkan singa tertidur itu haruslah berasal dari azzam yang kuat oleh mindset intelektual mereka. Kemandirian dan mental tak ingin terjajah adalah mindset awal yang harus dimiliki oleh para pemuda kita. Globalisasi haruslah disikapi dengan wise. Karena menolak globalisasi adalah menolak hidup. Pemuda haruslah punya prinsip. Tak ada salahnya menggaungkan kalimat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menciutkan globalisasi, "Kita ambil yang baiknya dan yang jeleknya kita lawan dan kita cegah,"
Adapula jurus manjur racikan Menneg Pora Adhyaksa Dault untuk mengerdilkan globalisai. Jurus itu disebut “Doraemon”. Jurus Pertama, 'Dream,' yakni memiliki visi ke depan. Kedua, 'Oppurtunity', pandai melihat kesempatan untuk maju. Ketiga, 'Reformasi' dalam artian mereformasi diri dengan standar serta patokan yang jelas. Keempat, 'Action', yakni setiap keprihatinan harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Kelima, Energi, yaitu memanfaatkan energi sebaik-baiknya. Keenam, melakukan 'Mapping', yakni pemetaan yang jelas terhadap situasi sekitar. Tujuh, 'Organizing', yakni membangun sumber daya berdasarkan aturan yang baik. Kedelapan adalah 'Network', pemuda harus membangun jaringan seluasnya.
Masih banyak jalan menuju roma. Banyak cara untuk menghadapi globalisasi. Pertama, ialah pemuda harus punya awareness terhadap carut-marut globalisasi. Namun juga mampu mengamati dan mencungkil sisi positif globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai pemanis tujuan menuju kesuksesan. Hati-hati dengan jebakan keasyikkan dan kemewahannya. Lihatlah globalisasi sebagai ladang untuk berinovasi dan berkreatifitas. Taklukkan globalisasi dengan mendayagunakan produk teknologi untuk menemukan grand desain, utamanya teknologi informasi.
Yang paling urgen ialah jadikan agama sebagai pembatas gerak langkah kita. Agama mampu menampakkan mana keabsurdan dan kepantasan yang mengawasi jejak kaki kita saat merintangi ruang globalisasi. Agama menjadi penopang untuk tetap maju dan inovatif tanpa ditelan mentah globalisasi. Ia penentu nomor satu untuk setiap pemuda yang tak ingin tergerus. Globalisasi capitalism suatu saat akan berganti menjadi globalisasi bernafas dakwah Ilallah andaikan kita segera meletakkan agama dan ruh syariat pada setiap gerak langkah kita.
Huruf "A" Sebesar Tedong
Sebuah cerita motivator dari tentor supercamp Britania
“Huruf A sebesar Tedong”
Pernahkah anda membayangkan sebuah huruf A sebesar tedong (baca:kerbau) di depan Anda dan Anda tidak menyadarinya. Lebih tepatnya Anda tidak melihat huruf A sebesar tedong itu persis di depan Anda. Selangkah di depan Anda. Maka saya dapat katakan betapa bodohnya Anda. Semua pasti mengatakan hal yang sama yaitu “Bodoh” karena Anda tidak buta.
Sebuah cerita yang saya dapat dari salah satu tentor di supercamp Britania. Cerita yang sangat memotivasi. Beliau sengaja menceritakan untuk memotivasi kami. Saat itu para peserta dalam keadaan down dan malas untuk melakukan sesuatu yang menantang, brilian, amazing, fantastis, spektakuler,
Kisah nyata dari seorang temannya sewaktu mengenyam bangku sekolah dasar. Cerita ini berlatar di sebuah daerah di Palapo. Saya kurang ingat apa nama tempatnya. Hanya terselip di memori ingatan saya. Oke, ceritanya seperti ini.
Teman si tentor ini adalah siswa yang sangat bodoh di kelasnya waktu itu. Teman-temannya sering mengatainya bodoh. It’s still fine for him. Suatu kelaziman kalau teman mengejek kita, juga sebaliknya. Tapi apa yang terjadi? Ini sungguh tak pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar pendidik. Yupz, gurunya justru kebih kejam. Lebih tak berpendidikan. Seorang guru yang sangat diharap membangun mentalitas yang baik bagi muridnya. Bukan berposisi sebagai guru yang kerjanya hanya mentransfer ilmu. Kurang mementingkan heart to heart. Tak menempatkan aspek perasaan sebagai metode utama untuk mengajar anak didiknya. Itulah yang terjadi. Dunia berubah 180 derajat dalam pandangan anak itu. Saat sang guru mengeluarkan sebuah kalimat yang tak diduga membawa pengaruh besar pada psikologinya, dan kehidupan anak itu selanjutnya.
Sang guru itu mengatakan, “Bodo’mu itu, huruf A sama besar tedong di depanmu tidak kau lihat.” Betapa kerasnya kritikan itu. Kalau dipikir orang memang pantas dikatai bodoh jika dia tidak bisa mengenali huruf A yang sebesar tedong itu. Bahkan sangat bodoh, ridiculous, stupid, fool, idiot. Sejak saat itu. Anak itu memutuskan untuk berhenti sekolah. Dan tidak pernah lagi mau menginjak bangku sekolah dasar. Betapa besar beban moral yang mengguncang batin anak itu. Ini pelajaran bagi setiap guru menghadapi murid-muridnya.
Lanjut cerita teman si tentor itu akhirnya melanjutkan kehidupannya bekerja sebagai pengayuh rakit yang penumpangnya kebanyakan bule’ (saya kurang tahu apa tujuan bule-bule itu ke daerahnya. So jangan tanya ya?). Dia sangat senang dengan kegiatan barunya. Bahasa inggris menjadi hobi baru baginya. Dia tak pernah melewatkan untuk datang bercakap-cakap dan belajar bahasa inggris dengan bule-bule itu. Semangatnya sangat tinggi. Seperti api yang membara. Seakan-akan telah lupa oleh kejadian yang meruntuhkan semangatnya belajar.
Hari berganti hari, anak itu tumbuh dengan kemauan yang kuat untuk belajar bahasa inggris. Dengan uang yang ia kumpulkan sendiri, ia mencoba menimba ilmu di Makassar satu-satunya kota yang dianggap paling strategis mengembangkan minatnya itu. Akhirnya ia datang ke Makassar dan bergabung di semacam English course juga perkampungan bahasa inggris.
Anda bisa membayangkan seseorang yang tidak tamat SD. (sekarang saya kurang tahu bagaimana ia melanjutkan pendidikannya) bisa melakukan hal yang brilliant seperti itu. Ya semua bermula dari kejadian yang membuatnya trauma psikis berat.
Dia pun dinobatkan sebagai peserta terbaik, begitu atraktifnya dan bersemangatnya dia mengikuti kegiatan camp itu. Walhasil sekarang ia menjadi salah satu tentor terbaik di lembaga kursus itu. (Saya tidak tahu apa nama tempat kursus itu)
Anda bisa menarik kesimpulan. Kejadian traumatik akan merubah hidup sesorang 180 derajat. Tapi yang saya tangkap dari cerita ini ialah kemauan untuk bangkit kembali hingga menjadi yang terbaik. Sesorang bisa saja down pada saat-saat tertentu. Tapi hanya sedikit orang yang mampu belajar dari pengalaman, membuat sesuatu yang baru dalam hidupnya, menetapkan mindset baru. Tentu saja kemauan besar untuk terus belajar dan mempertahankan semangat itu.
Juga cacatan untuk para pendidik yang tidak sedikit saya temukan mereka salah mendidik. Menggunakan ungkapan-ungkapan pembunuh semangat, men-down-kan motivasi. Juga sekaligus membunuh karakter. Bahkan tak jarang menggunakan cara-cara yang keras. Metode mengajarnya pun hanya transfer ilmu dari kepala yang satu ke kepala yang lainnya. Mentransfer pikiran ke kepala yang lain. Mereka yang masih mementingkan aspek rasio. Terfokus pada penguatan kecerdasan. Tapi lupa dengan segumpal daging merah yang diciptakan di tubuhnya. Itula hati. Mereka lupa kalau aspek,emotional-lah yang lebih urgen dalam proses mendidik seseorang. Dalam proses membangun dan menemukan jati diri.
“Huruf A sebesar Tedong”
Pernahkah anda membayangkan sebuah huruf A sebesar tedong (baca:kerbau) di depan Anda dan Anda tidak menyadarinya. Lebih tepatnya Anda tidak melihat huruf A sebesar tedong itu persis di depan Anda. Selangkah di depan Anda. Maka saya dapat katakan betapa bodohnya Anda. Semua pasti mengatakan hal yang sama yaitu “Bodoh” karena Anda tidak buta.
Sebuah cerita yang saya dapat dari salah satu tentor di supercamp Britania. Cerita yang sangat memotivasi. Beliau sengaja menceritakan untuk memotivasi kami. Saat itu para peserta dalam keadaan down dan malas untuk melakukan sesuatu yang menantang, brilian, amazing, fantastis, spektakuler,
Kisah nyata dari seorang temannya sewaktu mengenyam bangku sekolah dasar. Cerita ini berlatar di sebuah daerah di Palapo. Saya kurang ingat apa nama tempatnya. Hanya terselip di memori ingatan saya. Oke, ceritanya seperti ini.
Teman si tentor ini adalah siswa yang sangat bodoh di kelasnya waktu itu. Teman-temannya sering mengatainya bodoh. It’s still fine for him. Suatu kelaziman kalau teman mengejek kita, juga sebaliknya. Tapi apa yang terjadi? Ini sungguh tak pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar pendidik. Yupz, gurunya justru kebih kejam. Lebih tak berpendidikan. Seorang guru yang sangat diharap membangun mentalitas yang baik bagi muridnya. Bukan berposisi sebagai guru yang kerjanya hanya mentransfer ilmu. Kurang mementingkan heart to heart. Tak menempatkan aspek perasaan sebagai metode utama untuk mengajar anak didiknya. Itulah yang terjadi. Dunia berubah 180 derajat dalam pandangan anak itu. Saat sang guru mengeluarkan sebuah kalimat yang tak diduga membawa pengaruh besar pada psikologinya, dan kehidupan anak itu selanjutnya.
Sang guru itu mengatakan, “Bodo’mu itu, huruf A sama besar tedong di depanmu tidak kau lihat.” Betapa kerasnya kritikan itu. Kalau dipikir orang memang pantas dikatai bodoh jika dia tidak bisa mengenali huruf A yang sebesar tedong itu. Bahkan sangat bodoh, ridiculous, stupid, fool, idiot. Sejak saat itu. Anak itu memutuskan untuk berhenti sekolah. Dan tidak pernah lagi mau menginjak bangku sekolah dasar. Betapa besar beban moral yang mengguncang batin anak itu. Ini pelajaran bagi setiap guru menghadapi murid-muridnya.
Lanjut cerita teman si tentor itu akhirnya melanjutkan kehidupannya bekerja sebagai pengayuh rakit yang penumpangnya kebanyakan bule’ (saya kurang tahu apa tujuan bule-bule itu ke daerahnya. So jangan tanya ya?). Dia sangat senang dengan kegiatan barunya. Bahasa inggris menjadi hobi baru baginya. Dia tak pernah melewatkan untuk datang bercakap-cakap dan belajar bahasa inggris dengan bule-bule itu. Semangatnya sangat tinggi. Seperti api yang membara. Seakan-akan telah lupa oleh kejadian yang meruntuhkan semangatnya belajar.
Hari berganti hari, anak itu tumbuh dengan kemauan yang kuat untuk belajar bahasa inggris. Dengan uang yang ia kumpulkan sendiri, ia mencoba menimba ilmu di Makassar satu-satunya kota yang dianggap paling strategis mengembangkan minatnya itu. Akhirnya ia datang ke Makassar dan bergabung di semacam English course juga perkampungan bahasa inggris.
Anda bisa membayangkan seseorang yang tidak tamat SD. (sekarang saya kurang tahu bagaimana ia melanjutkan pendidikannya) bisa melakukan hal yang brilliant seperti itu. Ya semua bermula dari kejadian yang membuatnya trauma psikis berat.
Dia pun dinobatkan sebagai peserta terbaik, begitu atraktifnya dan bersemangatnya dia mengikuti kegiatan camp itu. Walhasil sekarang ia menjadi salah satu tentor terbaik di lembaga kursus itu. (Saya tidak tahu apa nama tempat kursus itu)
Anda bisa menarik kesimpulan. Kejadian traumatik akan merubah hidup sesorang 180 derajat. Tapi yang saya tangkap dari cerita ini ialah kemauan untuk bangkit kembali hingga menjadi yang terbaik. Sesorang bisa saja down pada saat-saat tertentu. Tapi hanya sedikit orang yang mampu belajar dari pengalaman, membuat sesuatu yang baru dalam hidupnya, menetapkan mindset baru. Tentu saja kemauan besar untuk terus belajar dan mempertahankan semangat itu.
Juga cacatan untuk para pendidik yang tidak sedikit saya temukan mereka salah mendidik. Menggunakan ungkapan-ungkapan pembunuh semangat, men-down-kan motivasi. Juga sekaligus membunuh karakter. Bahkan tak jarang menggunakan cara-cara yang keras. Metode mengajarnya pun hanya transfer ilmu dari kepala yang satu ke kepala yang lainnya. Mentransfer pikiran ke kepala yang lain. Mereka yang masih mementingkan aspek rasio. Terfokus pada penguatan kecerdasan. Tapi lupa dengan segumpal daging merah yang diciptakan di tubuhnya. Itula hati. Mereka lupa kalau aspek,emotional-lah yang lebih urgen dalam proses mendidik seseorang. Dalam proses membangun dan menemukan jati diri.
Finally, I could be a meteor
Tanggal 21, juli 2009 saya mencatat sejarah. Sejarah diriku sendiri. Akan kuabadikan dalam sebuah tulisan. Tulisan tentang sebuah pencarian keberanian. Biasa. Tapi, bagiku luar biasa. Hal yang tak pernah kubayangkan ketika masih di SMA. Saya hanyalah seorang anak yang minderan. berjalan di kerumunan orang pun malunya minta ampun. Apalagi harus berbicara di depan umum. Juga masih ragu-ragu mengacungkan tangan ketika proses belajar mengajar di kelas. Sedikit demi sedikit. Satu pengalaman ditambah pengalaman yang lain jadilah pengalaman yang besar dan menjadi sejarah yang pantas dicatat dan diabadikan. Permulaan diriku menjadi meteor ketika bergelut dengan orang-orang yang produktif, bergelut dengan bacaan-bacaan inspiratif dan tentu saja karena semakin mengenal islam. Islamlah yang membuat diriku menjadi semakin percaya diri. bahwa aku bisa. Ya, itulah yang terjadi siang tadi. Aku akhirnya keluar dari lintasan dan menjadi meteor. Mengikuti meteor-meteor yang lain. Pengalaman pertama menjadi penanya di seminar terbesar yang saya ikuti. International conference Japan-Indonesia. Saya akhirnya maju melewati beberapa orang. Bukan hanya orang biasa. Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan akademis, mahasiswa, dosen, wartawan, Dengan bangga dan sedikit tersipu malu melewati mereka, meskipun hanya seorang penanya. Tapi, tak ada yang berani melakukannya. Akhirnya aku bisa menjadi meteor! Keluar dari lintasan yang mengkunkungnya dalam keterbiasaan tanpa kemajuan. Keluar dari zona aman, jalur normal, dan menjadi berbeda dari kebanyakan orang, menjadi luar biasa hingga akhirnya meninggalkan jejak sejarah seperti meteor membuat kawah yang sangat besar saat menabrak bumi.
12 Days in Britania
12 hari di Britania. Eh jangan misunderstanding dulu. Ini bukan di Great Britain yang akrab di telinga kalian. Seperti England, Scotland, Ireland, dan Walesh. Tapi ini adalah supercamp English yang dilaksanakan tanggal 1-12 juli, terletak di BTP. Britania, school of English, tempatku menimba ilmu dan pengalaman baru. Meskipun udah kuliah tapi masih pantes juga sih gabung sama anak-anak elementary, junior, and senior high school.
Disebut Britania,ya gak jauh beda juga sih sama Britania raya karena di Britania BTP kita juga speaking English lho, meskipun sedikit mixing-mixing hehe…. Saya ikut camp itu dengan 2 orang teman saya. Kami sama-sama dari jurusan Sastra Inggris Unhas. Dan hanya 4 diantaranya yang berstatus mahasiswa. Yang satunya dari jurusan Peternakan.
Mendengar kata sastra Inggris, tidak sedikit dari mereka yang terhenyak, “Lho, mahasiswa sastra inggris kok mau ikut camp sama anak-anak under senior high school. Itu kan gak level…!” “Kenapa nggak ikut English meeting di kampus atau di tempat lain, kan menjamur tuh!” kata-kata seperti itu ditanyakan oleh adik-adik di Britania juga tentor-tentor. Sempat malu juga sih membongkar identitas kami yang notabene dari sastra inggris. Kan udah nggak level….!
Tapi itu bukanlah penghalang, karena saya tidak hanya dapat ilmu English-nya, tapi justru pengalaman bersama adik-adik yang membuatku mengenang masa SMA, SMP, bahkan SD. Ini ujian juga bagi saya. Di mana saya harus tetap memposisikan diri saya yang akademis tapi tetap sepadan dengan jiwa-jiwa muda mereka. Menantang kemampuan saya untuk memahami mereka, menggali karakter mereka, yang ternyata telat saya sadari bahwa ini adalah pengalaman pertama dihormati sebagai senior. Dipanggil kakak, senior, sister.
Ternyata susah juga menyesuaikan diri dengan karakter mereka yang cheerful, dan masih dihiasi dengan canda tawa khas anak remaja. Sementara saya sudah melewati masa-masa itu. Willy Nelly, saya harus sedikit mengubah karakter dan cemplung mengikuti gaya khas mereka yang masih tidak malu-malu untuk bersikap apa adanya dan gokil. Terpaksa gaya gokil yang agak maksa itu saya keluarkan. Terlebih ketika disuruh membuat yel-yel dengan gerakan-gerakan aneh ciptaan teenagers itu, belum lagi harus mengulangi slogan-slogan khusus di Britania yang hanya pantas diucapkan oleh anak SD, SMP, mungkin juga SMA. Contohnya, “I can speak English and you too.” Juga “I love you, I love you, I love you Britania, Mmmuachh…” kebayang gak kami disuruh ngikutin slogan itu. Slogan khas anak SD. Mahasiswa nggak zaman lagi. Ada lagi sesi games yang lucu, gokilz, and seru abizzz!!! Gak pantes juga dilakuin oleh mahasiswa. Ini salah satu picture-nya! Which am I?
Apa lagi ya? Kesan yang paling melekat ialah ternyata susah juga mengalahkan rasa percaya diri mereka. Saya agak drop melihat mereka yang overconfident. Kenapa tiba-tiba saya jadi minder, malas ngomong, padahal di kampus nggak jarang saya juga angkat bicara. Tapi di hadapan mereka kok agak minder gitu ya??? Gaya saya yang sudah bermetamorfosa jadi agent of change, social control, akademisi yang bawaannya pengen serius terus. Nggak bisa mengimbangi gaya belajar mereka yang masih suka bercanda. Tahu kan? Bagi teman-teman mahasiswa, terasa banget kan keseriusan pada saat lecturing. Belajar dengan candaan khas remaja itu udah nggak jaman. Itu menurut saya sih?
Nah, di hadapan adik-adik itu koq nyali saya ciut. Ini factor apa? Saya juga bingung. Ini mungkin datang dari diri saya. Akhirnya saya mulai belajar bagaimana supaya saya bisa menjadi diri saya tetapi nggak berlebihan di mata mereka. Itu pelajaran yang paling berharga yang saya dapatkan. Berbaur dan akrab dengan mereka sebagai seorang senior, kakak, teman sebaya yang membuat saya mendapat ilmu psikologis baru yang mesti diterapkan oleh orang-orang yang suatu saat mendapat kondisi seperti saya.
Britania mengajarkan brotherhood and sisterhood. 12 hari bersama adik-adik ternyata menyulam benang persaudaraan yang kuat. Telah terbentuk keluarga baru di Britania. 12 juli adalah momen banjir air mata di Britania. Ternyata kata perpisahan begitu menyakitkan. Britania berhasil merobohkan dinding individualis dalam setiap jiwa kami, dan adik-adik. Tak satupun yang tak meneteskan air mata. Britania telah berhasil mengeluarkan kecengengan laki-laki. Ternyata kata perpisahan akan persaudaraan mampu meruntuhkan kekuatan laki-laki. mereka juga ikut rapuh serapuh wanita.
PAY IT FORWARD
Senada dengan judulnya yang saya angkat dari sebuah judul film. Film yang saya nonton secara gak sengaja di HBO. Sst…. Jangan negative thinking dulu. Gak semua kan film jelek. Tergantung kitanya aja yang mesti pandai-pandai memilah-milih. Apa salahnya nonton kalau toh bermanfaat, tapi ingat jangan yang nudity dan tentunya kita bisa ambil pelajaran.
Nah, judul film tersebut ialah “Pay It Forward”, berkisah tentang seorang anak berumur 11 tahun yang ingin mengubah dunia. Keinginan tersebut berawal dari perintah gurunya yang memberi tugas dalam waktu satu tahun. Tugas itu berbunyi seperti ini: “Think of idea to change the world and action!”
Jargonnya keren gak tuh. Coba deh kalau kita bertindak seperti itu. Kita pikirkan satu ide untuk merubah dunia. Ide apa pun itu. Mulailah dari hal kecil. Tapi jangan cuma dipikirkan. Segera laksanakan. Gak sulit kan merubah dunia? tinggal pakai otak dan tangan kita aja…!
Sempat sih saya berpikiran, andai waktu kecil guru saya memberi tugas seperti itu. Atau paling tidak punya cara-cara yang jitu untuk mengajar anak didiknya. Bukan pelajaran yang monoton yang gak memberi pengaruh pada dunia. Andai setiap guru kreatif kayak gurunya si anak tadi, yakin deh hasilnya pun akan bagus. Gak utopis kok tugas yang kayak gitu. Menurutku malah mempercepat perubahan. Gak nunggu sampai kita sarjana hingga profesor. Lebih cepat lebih baik kan? Hehe… awas black campaign!
Udah ngelantur nih… Yup, kembali ke cerita film tadi. Habis menerima tugas. Anak itu pulang. Trus di jalan dia melihat sekumpulan gelandangan kelaparan yang mencari makan di tempat-tempat yang tak layak. Trus anak itu tergerak hatinya dan membawa salah satu gelandangan itu ke rumahnya. Ide anak itu mulai muncul. Dia menmberikan semua makanan di rumahnya kepada si gelandangan tadi. Wal hasil makanannya ludes hingga ibunya kaget.
Kok dari tadi gak nyambung ya sama judulnya.???
Eits… tenang dulu! Nyambungnya kayak gini, setelah berbuat baik kepada gelandangan itu dengan maksud untuk merubah dunia. Maka satu gelandangan telah terselamatkan. Dan semakin hari gelandangan semakin berkurang jika satu orang di dunia memungut satu gelandangan dan mengajarinya, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tapi nyambungnya di sini. Anak itu memberitahu ke si gelandang kalau kebaikan yang sudah dilakukan anak itu, dia harus balas ke orang lain. Ya that’s the point. Rumusnya ialah kita mengubah paling sedikit 3 orang. Maka 3 orang tadi juga merubah atau membalas kebaikan kita ke 3 orang yang lain. Begitu seterusnya. Masuk akal kan? Semakin banyak orang yang berubah, secara otomatis dunia juga ikut berubah. Haha.. kayaknya utopis ya? Gak kok selama kita stop dreaming but start action, Insya Allah itu semua bisa terwujud.
Coba deh kita lakukan hal-hal kecil di sekeliling kita. Memberi pengemis, mengajar anak-anak jalanan, membuang sampah di tempatnya atau memungut satu saja sampah yang ada di jalanan. Kalau setiap orang memungut satu sampah kan sampah-sampah di jalan makin berkurang tuh. Otomatis lingkungan kita menjadi bersih. Sama halnya dengan sistem tarbiyah. Satu orang merubah minimal 5 orang. Maka orang-orang yang sudah tertarbiyah tadi lalu mentarbiyah 5 orang yang lain. Dan begitu seterusnya. Insya Allah kita akan merasakan perubahan pada dunia. Pay It Forward maka kamu akan merubah dunia!!!
Nah, judul film tersebut ialah “Pay It Forward”, berkisah tentang seorang anak berumur 11 tahun yang ingin mengubah dunia. Keinginan tersebut berawal dari perintah gurunya yang memberi tugas dalam waktu satu tahun. Tugas itu berbunyi seperti ini: “Think of idea to change the world and action!”
Jargonnya keren gak tuh. Coba deh kalau kita bertindak seperti itu. Kita pikirkan satu ide untuk merubah dunia. Ide apa pun itu. Mulailah dari hal kecil. Tapi jangan cuma dipikirkan. Segera laksanakan. Gak sulit kan merubah dunia? tinggal pakai otak dan tangan kita aja…!
Sempat sih saya berpikiran, andai waktu kecil guru saya memberi tugas seperti itu. Atau paling tidak punya cara-cara yang jitu untuk mengajar anak didiknya. Bukan pelajaran yang monoton yang gak memberi pengaruh pada dunia. Andai setiap guru kreatif kayak gurunya si anak tadi, yakin deh hasilnya pun akan bagus. Gak utopis kok tugas yang kayak gitu. Menurutku malah mempercepat perubahan. Gak nunggu sampai kita sarjana hingga profesor. Lebih cepat lebih baik kan? Hehe… awas black campaign!
Udah ngelantur nih… Yup, kembali ke cerita film tadi. Habis menerima tugas. Anak itu pulang. Trus di jalan dia melihat sekumpulan gelandangan kelaparan yang mencari makan di tempat-tempat yang tak layak. Trus anak itu tergerak hatinya dan membawa salah satu gelandangan itu ke rumahnya. Ide anak itu mulai muncul. Dia menmberikan semua makanan di rumahnya kepada si gelandangan tadi. Wal hasil makanannya ludes hingga ibunya kaget.
Kok dari tadi gak nyambung ya sama judulnya.???
Eits… tenang dulu! Nyambungnya kayak gini, setelah berbuat baik kepada gelandangan itu dengan maksud untuk merubah dunia. Maka satu gelandangan telah terselamatkan. Dan semakin hari gelandangan semakin berkurang jika satu orang di dunia memungut satu gelandangan dan mengajarinya, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Tapi nyambungnya di sini. Anak itu memberitahu ke si gelandang kalau kebaikan yang sudah dilakukan anak itu, dia harus balas ke orang lain. Ya that’s the point. Rumusnya ialah kita mengubah paling sedikit 3 orang. Maka 3 orang tadi juga merubah atau membalas kebaikan kita ke 3 orang yang lain. Begitu seterusnya. Masuk akal kan? Semakin banyak orang yang berubah, secara otomatis dunia juga ikut berubah. Haha.. kayaknya utopis ya? Gak kok selama kita stop dreaming but start action, Insya Allah itu semua bisa terwujud.
Coba deh kita lakukan hal-hal kecil di sekeliling kita. Memberi pengemis, mengajar anak-anak jalanan, membuang sampah di tempatnya atau memungut satu saja sampah yang ada di jalanan. Kalau setiap orang memungut satu sampah kan sampah-sampah di jalan makin berkurang tuh. Otomatis lingkungan kita menjadi bersih. Sama halnya dengan sistem tarbiyah. Satu orang merubah minimal 5 orang. Maka orang-orang yang sudah tertarbiyah tadi lalu mentarbiyah 5 orang yang lain. Dan begitu seterusnya. Insya Allah kita akan merasakan perubahan pada dunia. Pay It Forward maka kamu akan merubah dunia!!!
Kado Cinta Untukku
Inilah air mata pertamaku kala aku mengingat kejadian itu. Awalnya aku tidak pernah menangis ketika mengingat masa itu. Entah kenapa malam ini berbeda. Aku menangis sejadi-jadinya ketika mendengar lantunan lagu religi yang sengaja kuputar di komputerku. Akhir-akhir ini memang aneh. Aku merasakan perubahan dalam diriku. Tiba-tiba saja, aku jadi sangat suka lagu religi. Padahal dulu sangat membosankan. Dulu, aku lebih suka mengoleksi lagu-lagu barat milik orang kafir.
Aku menangisi dosa-dosaku. Dosa-dosaku padah Tuhanku. Tuhan yang sangat menyayangiku. Dosa-dosaku pada ibuku. Ibu yang sangat mencintaiku. Yang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Yang selalu mendukungku. Yang tidak memarahiku meski aku sering menyakitinya.
Ayahku telah tiada. Itu artinya aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbakti langsung kepadanya. Padahal surga itu ada di telapak kaki kedua orang tua apalagi seorang ibu. Kalau sekiranya surga itu bisa digenggam, maka birrulwalidain-lah yang dapat menjawabnya. Tapi aku tidak pernah menyadarinya. Nasehat berbakti kepada orang tua bukanlah hal asing bagiku. Dari SD setiap pelajaran agama pasti kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua. SMP hingga SMA nasehat itu masih tetap terngiang di telingaku. Tapi masuk di telinga kiri, keluar di telinga kanan. Aku tidak bisa menangkap esensi sesungguhnya.
Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tinggal satu. Yaitu ibuku. Kalau bisa, aku ingin terus hidup bersama ibuku. Jikalaupun aku sudah memiliki suami, aku tetap ingin ibuku selalu berada di sisiku, di sampingku, membelai rambutku dengan sentuhan kasih sayangnya. Aku ingin selalu mendekapnya, memeluknya ketika tidur.
“Apakah Ibu bahagia?” pertanyaan yang sering kulontarkan pada ibuku.
“Bukankah kau sudah sering menanyakan itu. Ibu ini sangat bahagia. Sangat bahagia karena memiliki anak sepertimu.” Ibu memang selalu menyenangkanku. Belum pernah kutemukan orang yang suka menyenangkan orang lain seperti ibuku.
“Ibu, apakah ibu tidak merasa lelah?” keriput kulitnya sangat mengisyaratkan kalau dia lelah menjalani kehidupan. Bagaimana iya mengurusi anak-anaknya. Juga mengurusiku. Belum lagi permintaan tolong keluarga, tetangga, ataupun orang terdekat ibu. Ibu tidak pernah menolak jika ada yang minta tolong. Selama ibu mampu dan selama permintaan tolong itu baik. Tapi aku malah sering menegurnya. Kataku, ibu ini terlalu gila urusan. Kakakku juga protes. Semua diurusi sama ibu. Sampai-samapai masalah keluarga orang lain juga diurusinya. Sehingga yang jadi korban adalah kita. Tidak makan kalau ibu tidak memasak.
“Ibu tidak pernah merasa lelah. Bagi Ibu, hidup itu memang penuh kelelahan. Tapi kalau kita menganggap hidup itu indah. Maka semuanya akan terasa indah. Tak ada kepenatan sama sekali. Kuncinya ikhlas dan sabar.” Berulang kali nasihat itu didengungkan di telingaku. Ikhlas dan sabar adalah resep hidup Ibuku. Dia tidak pernah mengeluh. Dia selalau sabar. Pasrah. Tawakkal jikalau semua sudah dilakukan dengan ikhtiar.
“Kenapa aku merasa Ibu tak bahagia. Apa karena aku melihat guratan wajah yang semakin menua diwajah Ibu. Apakah Ibu tidak menyesal memiliki anak seperti kami. Maaf Ibu, kami belum bisa memberi apa-apa pada ibu. Kami belum bisa menghajikan ibu. Belum bisa membahagiakan Ibu.”
“Berulang kali Ibu bilang. Bahagiaku tidak bisa diukur dari materi. Cukuplah aku yang tahu bahagiaku. Dan saat ini Ibu benar-benar bahagia. Jangan kau tanyakan lagi hal bodoh itu, Nak!”
“Tapi Ibu, aku masih merasa bersalah. Aku belum bisa memberikan pakaian bagus untuk ibu. Perhiasan yang mewah. Dan naik haji yang merupakan impian semua anak kepada orang tuanya.”
“Sudahlah, Nak! Apa kau tidak lelah? Seharian kau kerja keras. Hingga selarut ini, kau masih mau menemani Ibu ngobrol. Bukankah ini suatu kebahagiaan yang diinginkan setiap orang tua? Aku cukup bahagia dengan kau di sisi Ibu. Para Ibu lain tidak merasakan kebahagiaan yang Ibu rasakan. Lantaran anak mereka punya kasih hanya sepanjang kepentingan. Menelantarkan Ibu mereka ketika tidak dibutuhkan lagi.”
“Aku lelah. Tapi cuma sedikit. Lelah itu hilang ketika mendengar suara Ibu.” Ibu tersenyum mendengar aku memujinya. Bahagia sekali diriku melihat Ibuku tersenyum.
“Tidurlah, Nak! Bukankah pagi menanti kita untuk menyapanya?”
“Aku ingin tidur di samping Ibu. Memeluk Ibu. Ibu membelai rambutku. Hingga aku terlelap dalam belaian Ibu. Bolehkan Bu?”
“Ibu teringat masa kecilmu dulu. Kau selalu tidur di samping Ibu. Bahkan mengigau sampai ngompol. Ibu akan selalu ada saat kau butuh. Akan terus ada jika kau meminta Ibu untuk menyanyikan lagu ninabobo untukmu dan mendekapmu saat tidur.”
Malam berikutnya, sebelum tidur, aku tetap mengajak ibuku mengobrol. Tidak lupa pertanyaan yang sering kutanyakan. Aku juga menanyakan bagaimana ibu bertemu dengan ayah. Bagaimana dia meninggalkan orang tuanya karena mengikuti suaminya. Sedihkah Ibu atau bahagiakah?
“Ibu, bagaimana caranya aku bisa berbakti kepada Ayah? Saat ayah meninggal umurku masih 10 tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku juga ingin berbakti pada ayahku, Bu!” mata ibuku tiba-tiba memerah. Mungkin aku mengingatkannya pada pria yang sangat dicintainya. Ditambah dia melihat anaknya sangat mendambakan kasih sayang seorang ayah.
“Ayahmu itu sangat sayang kepadamu. Bahkan mungkin melebihi sayangnya terhadap kakak-kakakmu. Dia sering membelikanmu mainan dan pakaian bagus. Mengajakmu jalan-jalan bersama Ibu. Ingat tidak, kalau sandalmu itu sering terjatuh di jalan waktu Ibu dan Ayah membawamu naik motor. Hampir sebulan sekali kamu sering dibelikan sandal baru. Kau cepat sekali tertidur kalau sudah di atas motor.” Kata-kata yang barusan ibu ucapkan memang tidak pernah kulupakan. Aku selalu ingat tentang sandalku yang sering terjatuh di jalan. Karena itulah kenangan yang tak terlupakan antara aku, ibu, dan ayahku. Bahkan mereka rela kembali lagi memungut sandalku yang jatuh itu, meskipun sudah jauh. Ayahku memberhentikan motornya, dan Ibuku yang turun memungutnya. Itu pertanda kalau mereka sangat menyayangiku.
“Ibu cuma berpesan jangan pernah kau melupakan ayahmu. Meskipun dia sudah tiada. Tapi hidupkanlah dia di hatimu. Doakan ayahmu. Mudah-mudahan dia tenang di alam sana. Kuburannya lapang, disinari cahaya, dan amalnya diterima.”
“Pasti Bu, itu pasti. Mungkin itulah bentuk baktiku kepadanya. Ayah tidak pernah mati bagiku, karena ayah selalu hidup di hatiku. Begitu pula sayangku kepada Ibu, tidak akan pernah sirna”
***
Akhirnya aku menikah. Ibuku tiada henti menahan isak tangisnya. Saat ustadz membacakan nasihat perkawinan. Saat ucapan “sah” keluar dari bibir penghulu. Matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Saat ijab qabul itu, aku pun ikut menangis. Aku tertuduk dan terisak. Aku melihat ibu menangis tersedu-sedu. Kini aku bukan milik orang tuaku lagi. Aku telah menjadi milik seorang pria. Seorang istri yang telah menjadi milik suaminya. Seorang istri yang harus mematuhi perintah suaminya. Mengabdikan seluruh hidup pada suami dan keluarga untuk mencari ridho Allah.
Malam itu, malam setelah pernikahan kami. Acara resepsi telah selesai. Sebelumnya, aku sudah meminta satu hal pada suamiku. Aku ingin melewati malam ini dengan Ibuku. Malam yang seharusnya adalah malam pertama suamiku boleh menyentuhku. Tapi aku memilih ibuku. Karena toh, akhirnya aku akan melewati hari-hariku dengannya. Awalnya suamiku agak sedikit keberatan. Tapi aku memohon. Akhirnya dia setuju. Meski aku tahu dia kecewa dan sakit hati. Karena mendapatkan malam pertama yang berbeda dari pasangan suami istri lainnya. Aku juga tidak tega melihatnya. Tapi aku tahu dia pria yang sabar dan pengertian. Di sisi lain, aku beruntung menjadi istrinya. Tapi, di sisi lain ada Ibuku. Aku tidak rela berpisah dengannya.
Hari-hari yang kulalui telah berbeda. Saat ini aku tidak tinggal bersama ibuku. Aku menuruti perintah suamiku untuk tinggal di rumahnya sementara, bersama mertua. Sampai kita punya rumah sendiri. Awalnya aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan ibuku seorang diri.
Sebelum menikah, sebenarnya hanya akulah yang dipunyai ibuku. Aku anak bungsu. Semua kakakku sudah menikah. Jadi tinggal aku yang menemani ibu di rumah. Rumah yang dulunya ramai. Tapi satu persatu anggota keluarga pergi mengikuti suami masing-masing. Sempat ada kakakku yang menolak tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Karena kakakku juga masih ingin tinggal bersama ibu. Biar suaminya saja yang tinggal di rumah kami. Tapi ibu membiarkan. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Lebih baik ibu mengalah dan membiarkan anaknya pergi.
Berkali-kali kutanyakan pada suamiku. Kenapa tidak tinggal di rumahku saja. Rumahku masih cukup luas untuk menampung kita. Alasannya, tetap sama. Rumahku terlalu jauh dari tempat kerjanya. Aku kasihan pada ibuku. Siapa yang kini dia ajak bicara. Tiada lagi orang yang bisa diajak ngobrol. Hanya ada sepupuku, itu pun dia memiliki keterbelakangan mental. Aku tidak tega. Di sini, aku melayani Ibu suamiku. Sementara ibuku, siapa yang melayaninya.
Aku rindu saat-saat dimana aku berbicang-bincang bersama ibuku. Obrolan pengantar tidur kami. Rindu akan sentuhan tangannya membelai rambutku. Sudah 2 bulan berlalu. Aku belum pernah mengunjungi ibuku. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana raut wajahnya? Tambah keriputkah? bertambahkah rambut putih di kepalanya. Aku harap Ibu masih seperti terakhir aku meninggalkannya. Masih kelihatan segar. Kini, aku hanya bisa mendengar suara ibu lewat telepon.
Terakhir aku melihatnya, saat malam pesta pernikahan itu. Berkali-kali aku meminta suamiku untuk mengunjungi ibuku. Tapi dia belum bisa. Katanya, pekerjaannya menumpuk. Tapi aku tetap bersyukur untuk yang satu ini. Aku tidak perlu bekerja lagi. Suamiku menyuruhku berhenti. Gajinya sudah sangat cukup untuk membiayai kehidupan kami, bahkan masih berlebih. Dia mapan. Pekerjaannya sangat bagus untuk ukuran keluargaku yang sangat pas-pasan. Tapi kenapa, aku merasa tidak bahagia?
Kata-kata penolakan masih sering terdengar di telingaku, “Iya, nanti saat pekerjaanku sudah selesai.” Atau kata-kata bernada yang sama saat aku memaksa untuk pergi sendiri, “Sabar dulu Ma! nggak baik istri pergi sendiri tanpa suami. Apalagi orang-orang tahunya kita baru menikah. Nanti terjadi fitnah.” Aku tahu semua itu, tapi sampai kapan aku harus menunda pertemuanku dengan ibuku. Aku sudah sangat merindukannya. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Sudah hampir empat bulan berlalu. Tapi janji itu belum juga ditepati.
“Ma, aku ingin mengajak Mama pergi berduaan.” Kata-kata rayuan itu keluar dari mulut suamiku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Akhir-akhir ini aku memang ngambek. Itu karenanya. Mungkin itu salah satu caranya untuk mengembalikan senyumanku. Tapi itu tidak akan mampan. Aku tetap diam saja.
“Mama tahu ini hari apa?” Tanyanya lagi dengan nada merayu.
“Tidak tahu.” Jawabku singkat.
“Oh, saya kira Mama tahu. Tapi mau kan saya ajak jalan-jalan?”
“Terserah!” kataku dengan nada yang cuek.
Malam itu habis sholat isya, suamiku mengajakku keluar. Dalam keadaan yang tidak sadar, mobil terus melaju. Aku tidak kuat menahan kantukku. Seperti ada pemberat yang ditaruh di pelupuk mataku. Aku tidak tahu kemana suamiku membawaku pergi. Subuh dini hari, aku terbangun. Dengan suasana yang berbeda, tapi tidak asing bagiku. Ya. Ini adalah kamarku sebelum menikah. Ternyata suamiku telah membawaku ke rumahku. Ke rumah Ibu. Aku senang. Senang sekali. Sejumput senyum terurai dari bibirku mengingat perlakuanku semalam pada suamiku. Aku melihat Ibu sedang sholat di kamarku. Berarti semalam Ibu sudah tidur di sampingku. Aku menitikkan air mata. Betapa bahagianya aku. Ingin segera kupeluk ibuku. Kulihat tanggal hari ini. Ternyata hari adalah hari ulang tahunku. Tidak salah aku memilih pria seperti suamiku. Terima kasih suamiku. Terima kasih Ibu.
Aku menangisi dosa-dosaku. Dosa-dosaku padah Tuhanku. Tuhan yang sangat menyayangiku. Dosa-dosaku pada ibuku. Ibu yang sangat mencintaiku. Yang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Yang selalu mendukungku. Yang tidak memarahiku meski aku sering menyakitinya.
Ayahku telah tiada. Itu artinya aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbakti langsung kepadanya. Padahal surga itu ada di telapak kaki kedua orang tua apalagi seorang ibu. Kalau sekiranya surga itu bisa digenggam, maka birrulwalidain-lah yang dapat menjawabnya. Tapi aku tidak pernah menyadarinya. Nasehat berbakti kepada orang tua bukanlah hal asing bagiku. Dari SD setiap pelajaran agama pasti kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua. SMP hingga SMA nasehat itu masih tetap terngiang di telingaku. Tapi masuk di telinga kiri, keluar di telinga kanan. Aku tidak bisa menangkap esensi sesungguhnya.
Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tinggal satu. Yaitu ibuku. Kalau bisa, aku ingin terus hidup bersama ibuku. Jikalaupun aku sudah memiliki suami, aku tetap ingin ibuku selalu berada di sisiku, di sampingku, membelai rambutku dengan sentuhan kasih sayangnya. Aku ingin selalu mendekapnya, memeluknya ketika tidur.
“Apakah Ibu bahagia?” pertanyaan yang sering kulontarkan pada ibuku.
“Bukankah kau sudah sering menanyakan itu. Ibu ini sangat bahagia. Sangat bahagia karena memiliki anak sepertimu.” Ibu memang selalu menyenangkanku. Belum pernah kutemukan orang yang suka menyenangkan orang lain seperti ibuku.
“Ibu, apakah ibu tidak merasa lelah?” keriput kulitnya sangat mengisyaratkan kalau dia lelah menjalani kehidupan. Bagaimana iya mengurusi anak-anaknya. Juga mengurusiku. Belum lagi permintaan tolong keluarga, tetangga, ataupun orang terdekat ibu. Ibu tidak pernah menolak jika ada yang minta tolong. Selama ibu mampu dan selama permintaan tolong itu baik. Tapi aku malah sering menegurnya. Kataku, ibu ini terlalu gila urusan. Kakakku juga protes. Semua diurusi sama ibu. Sampai-samapai masalah keluarga orang lain juga diurusinya. Sehingga yang jadi korban adalah kita. Tidak makan kalau ibu tidak memasak.
“Ibu tidak pernah merasa lelah. Bagi Ibu, hidup itu memang penuh kelelahan. Tapi kalau kita menganggap hidup itu indah. Maka semuanya akan terasa indah. Tak ada kepenatan sama sekali. Kuncinya ikhlas dan sabar.” Berulang kali nasihat itu didengungkan di telingaku. Ikhlas dan sabar adalah resep hidup Ibuku. Dia tidak pernah mengeluh. Dia selalau sabar. Pasrah. Tawakkal jikalau semua sudah dilakukan dengan ikhtiar.
“Kenapa aku merasa Ibu tak bahagia. Apa karena aku melihat guratan wajah yang semakin menua diwajah Ibu. Apakah Ibu tidak menyesal memiliki anak seperti kami. Maaf Ibu, kami belum bisa memberi apa-apa pada ibu. Kami belum bisa menghajikan ibu. Belum bisa membahagiakan Ibu.”
“Berulang kali Ibu bilang. Bahagiaku tidak bisa diukur dari materi. Cukuplah aku yang tahu bahagiaku. Dan saat ini Ibu benar-benar bahagia. Jangan kau tanyakan lagi hal bodoh itu, Nak!”
“Tapi Ibu, aku masih merasa bersalah. Aku belum bisa memberikan pakaian bagus untuk ibu. Perhiasan yang mewah. Dan naik haji yang merupakan impian semua anak kepada orang tuanya.”
“Sudahlah, Nak! Apa kau tidak lelah? Seharian kau kerja keras. Hingga selarut ini, kau masih mau menemani Ibu ngobrol. Bukankah ini suatu kebahagiaan yang diinginkan setiap orang tua? Aku cukup bahagia dengan kau di sisi Ibu. Para Ibu lain tidak merasakan kebahagiaan yang Ibu rasakan. Lantaran anak mereka punya kasih hanya sepanjang kepentingan. Menelantarkan Ibu mereka ketika tidak dibutuhkan lagi.”
“Aku lelah. Tapi cuma sedikit. Lelah itu hilang ketika mendengar suara Ibu.” Ibu tersenyum mendengar aku memujinya. Bahagia sekali diriku melihat Ibuku tersenyum.
“Tidurlah, Nak! Bukankah pagi menanti kita untuk menyapanya?”
“Aku ingin tidur di samping Ibu. Memeluk Ibu. Ibu membelai rambutku. Hingga aku terlelap dalam belaian Ibu. Bolehkan Bu?”
“Ibu teringat masa kecilmu dulu. Kau selalu tidur di samping Ibu. Bahkan mengigau sampai ngompol. Ibu akan selalu ada saat kau butuh. Akan terus ada jika kau meminta Ibu untuk menyanyikan lagu ninabobo untukmu dan mendekapmu saat tidur.”
Malam berikutnya, sebelum tidur, aku tetap mengajak ibuku mengobrol. Tidak lupa pertanyaan yang sering kutanyakan. Aku juga menanyakan bagaimana ibu bertemu dengan ayah. Bagaimana dia meninggalkan orang tuanya karena mengikuti suaminya. Sedihkah Ibu atau bahagiakah?
“Ibu, bagaimana caranya aku bisa berbakti kepada Ayah? Saat ayah meninggal umurku masih 10 tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku juga ingin berbakti pada ayahku, Bu!” mata ibuku tiba-tiba memerah. Mungkin aku mengingatkannya pada pria yang sangat dicintainya. Ditambah dia melihat anaknya sangat mendambakan kasih sayang seorang ayah.
“Ayahmu itu sangat sayang kepadamu. Bahkan mungkin melebihi sayangnya terhadap kakak-kakakmu. Dia sering membelikanmu mainan dan pakaian bagus. Mengajakmu jalan-jalan bersama Ibu. Ingat tidak, kalau sandalmu itu sering terjatuh di jalan waktu Ibu dan Ayah membawamu naik motor. Hampir sebulan sekali kamu sering dibelikan sandal baru. Kau cepat sekali tertidur kalau sudah di atas motor.” Kata-kata yang barusan ibu ucapkan memang tidak pernah kulupakan. Aku selalu ingat tentang sandalku yang sering terjatuh di jalan. Karena itulah kenangan yang tak terlupakan antara aku, ibu, dan ayahku. Bahkan mereka rela kembali lagi memungut sandalku yang jatuh itu, meskipun sudah jauh. Ayahku memberhentikan motornya, dan Ibuku yang turun memungutnya. Itu pertanda kalau mereka sangat menyayangiku.
“Ibu cuma berpesan jangan pernah kau melupakan ayahmu. Meskipun dia sudah tiada. Tapi hidupkanlah dia di hatimu. Doakan ayahmu. Mudah-mudahan dia tenang di alam sana. Kuburannya lapang, disinari cahaya, dan amalnya diterima.”
“Pasti Bu, itu pasti. Mungkin itulah bentuk baktiku kepadanya. Ayah tidak pernah mati bagiku, karena ayah selalu hidup di hatiku. Begitu pula sayangku kepada Ibu, tidak akan pernah sirna”
***
Akhirnya aku menikah. Ibuku tiada henti menahan isak tangisnya. Saat ustadz membacakan nasihat perkawinan. Saat ucapan “sah” keluar dari bibir penghulu. Matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Saat ijab qabul itu, aku pun ikut menangis. Aku tertuduk dan terisak. Aku melihat ibu menangis tersedu-sedu. Kini aku bukan milik orang tuaku lagi. Aku telah menjadi milik seorang pria. Seorang istri yang telah menjadi milik suaminya. Seorang istri yang harus mematuhi perintah suaminya. Mengabdikan seluruh hidup pada suami dan keluarga untuk mencari ridho Allah.
Malam itu, malam setelah pernikahan kami. Acara resepsi telah selesai. Sebelumnya, aku sudah meminta satu hal pada suamiku. Aku ingin melewati malam ini dengan Ibuku. Malam yang seharusnya adalah malam pertama suamiku boleh menyentuhku. Tapi aku memilih ibuku. Karena toh, akhirnya aku akan melewati hari-hariku dengannya. Awalnya suamiku agak sedikit keberatan. Tapi aku memohon. Akhirnya dia setuju. Meski aku tahu dia kecewa dan sakit hati. Karena mendapatkan malam pertama yang berbeda dari pasangan suami istri lainnya. Aku juga tidak tega melihatnya. Tapi aku tahu dia pria yang sabar dan pengertian. Di sisi lain, aku beruntung menjadi istrinya. Tapi, di sisi lain ada Ibuku. Aku tidak rela berpisah dengannya.
Hari-hari yang kulalui telah berbeda. Saat ini aku tidak tinggal bersama ibuku. Aku menuruti perintah suamiku untuk tinggal di rumahnya sementara, bersama mertua. Sampai kita punya rumah sendiri. Awalnya aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan ibuku seorang diri.
Sebelum menikah, sebenarnya hanya akulah yang dipunyai ibuku. Aku anak bungsu. Semua kakakku sudah menikah. Jadi tinggal aku yang menemani ibu di rumah. Rumah yang dulunya ramai. Tapi satu persatu anggota keluarga pergi mengikuti suami masing-masing. Sempat ada kakakku yang menolak tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Karena kakakku juga masih ingin tinggal bersama ibu. Biar suaminya saja yang tinggal di rumah kami. Tapi ibu membiarkan. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Lebih baik ibu mengalah dan membiarkan anaknya pergi.
Berkali-kali kutanyakan pada suamiku. Kenapa tidak tinggal di rumahku saja. Rumahku masih cukup luas untuk menampung kita. Alasannya, tetap sama. Rumahku terlalu jauh dari tempat kerjanya. Aku kasihan pada ibuku. Siapa yang kini dia ajak bicara. Tiada lagi orang yang bisa diajak ngobrol. Hanya ada sepupuku, itu pun dia memiliki keterbelakangan mental. Aku tidak tega. Di sini, aku melayani Ibu suamiku. Sementara ibuku, siapa yang melayaninya.
Aku rindu saat-saat dimana aku berbicang-bincang bersama ibuku. Obrolan pengantar tidur kami. Rindu akan sentuhan tangannya membelai rambutku. Sudah 2 bulan berlalu. Aku belum pernah mengunjungi ibuku. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana raut wajahnya? Tambah keriputkah? bertambahkah rambut putih di kepalanya. Aku harap Ibu masih seperti terakhir aku meninggalkannya. Masih kelihatan segar. Kini, aku hanya bisa mendengar suara ibu lewat telepon.
Terakhir aku melihatnya, saat malam pesta pernikahan itu. Berkali-kali aku meminta suamiku untuk mengunjungi ibuku. Tapi dia belum bisa. Katanya, pekerjaannya menumpuk. Tapi aku tetap bersyukur untuk yang satu ini. Aku tidak perlu bekerja lagi. Suamiku menyuruhku berhenti. Gajinya sudah sangat cukup untuk membiayai kehidupan kami, bahkan masih berlebih. Dia mapan. Pekerjaannya sangat bagus untuk ukuran keluargaku yang sangat pas-pasan. Tapi kenapa, aku merasa tidak bahagia?
Kata-kata penolakan masih sering terdengar di telingaku, “Iya, nanti saat pekerjaanku sudah selesai.” Atau kata-kata bernada yang sama saat aku memaksa untuk pergi sendiri, “Sabar dulu Ma! nggak baik istri pergi sendiri tanpa suami. Apalagi orang-orang tahunya kita baru menikah. Nanti terjadi fitnah.” Aku tahu semua itu, tapi sampai kapan aku harus menunda pertemuanku dengan ibuku. Aku sudah sangat merindukannya. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Sudah hampir empat bulan berlalu. Tapi janji itu belum juga ditepati.
“Ma, aku ingin mengajak Mama pergi berduaan.” Kata-kata rayuan itu keluar dari mulut suamiku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Akhir-akhir ini aku memang ngambek. Itu karenanya. Mungkin itu salah satu caranya untuk mengembalikan senyumanku. Tapi itu tidak akan mampan. Aku tetap diam saja.
“Mama tahu ini hari apa?” Tanyanya lagi dengan nada merayu.
“Tidak tahu.” Jawabku singkat.
“Oh, saya kira Mama tahu. Tapi mau kan saya ajak jalan-jalan?”
“Terserah!” kataku dengan nada yang cuek.
Malam itu habis sholat isya, suamiku mengajakku keluar. Dalam keadaan yang tidak sadar, mobil terus melaju. Aku tidak kuat menahan kantukku. Seperti ada pemberat yang ditaruh di pelupuk mataku. Aku tidak tahu kemana suamiku membawaku pergi. Subuh dini hari, aku terbangun. Dengan suasana yang berbeda, tapi tidak asing bagiku. Ya. Ini adalah kamarku sebelum menikah. Ternyata suamiku telah membawaku ke rumahku. Ke rumah Ibu. Aku senang. Senang sekali. Sejumput senyum terurai dari bibirku mengingat perlakuanku semalam pada suamiku. Aku melihat Ibu sedang sholat di kamarku. Berarti semalam Ibu sudah tidur di sampingku. Aku menitikkan air mata. Betapa bahagianya aku. Ingin segera kupeluk ibuku. Kulihat tanggal hari ini. Ternyata hari adalah hari ulang tahunku. Tidak salah aku memilih pria seperti suamiku. Terima kasih suamiku. Terima kasih Ibu.
Senyum Sang Akhwat
Malam ini aku tidak bisa tidur. Bayang-bayang gadis berjilbab itu selalu menghantui pikiranku. Gadis yang kutemui di perpustakaan sebulan yang lalu. Dia tidak pernah lenyap dalam ingatanku. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, kami berpapasan di jalan. Padahal dia orang yang sama sekali tak kukenal. Tiap bertemu, gadis itu pasti tersenyum padaku. Seperti mengisyaratkan kalau dia sudah kenal aku sebelumnya.
Malam ini dan malam-malam sebelumnya sama saja. Selalu bayangan gadis itu yang hinggap di pikiranku. Kata orang, kalau kita sering berpapasan dengan orang yang tak dikenal, bisa jadi orang itu yang akan menjadi jodoh kita nantinya. Tapi mitos syirik itu kubuang jauh-jauh. Tidak ada yang lebih tahu rencana Allah kecuali Allah sendiri. Aku berusaha membuang bayangan gadis itu. Aku tidak mau hal-hal buruk terjadi padaku. Tetap tidak bisa. Hari-hari berikutnya dia selalu mengingatkanku kembali karena kehadirannya yang tak pernah alpa di mataku. Pertemuan di mana lagi aku akan melihat gadis itu? Itu saja yang selalu ada dalam pikiranku. Takdir apa ini? Kenapa dia tidak pernah menjauh dari hari-hariku. Mahasiswa fakultas apa dia? jurusan apa? dan angkatan berapa? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu saja tak mampu kujawab.
Aku memang tidak tahu siapa dia. Dan aku memang tidak pernah mau cari tahu. Aku sudah punya pacar. Tapi yang ada di pikiranku bukan pacarku. Melainkan dia. Tak pernah kuceritakan hal ini pada teman-temanku. Lantaran mereka dekat dengan pacarku. Di sisi lain aku takut kalau mereka menyampaikannya. Kuakui, aku masih sayang dengan pacarku. Teringat betapa susah payahnya aku mengejar dia. Masa’ untuk hal yang seperti ini aku malah melupakannya. Tapi, dasar aku tidak pandai menyimpan rahasia seorang diri. Akhirnya kuceritakan jua ke temanku. Laki-laki memang senang membicarakan wanita. Wanita apa saja. Dari yang suci, sok suci, sampai murahan, laki-laki sangat senang membicarakan makhluk yang satu ini.
“Bro, gue mau curhat nih” pernyataan yang kesannya agak melankolis baru saja keluar dari mulutku.
“Waduh, pagi-pagi gini mau curhat apa Pak?” sambut temanku jamal yang paling terlihat sering menyindir di antara lainnya.
“Mau cerita tentang Nina lagi. Perasaan kalian adem-adem aja deh?” ujar Rafly yang paling dewasa di antara kami. Itulah teman-temanku meski kami laki-laki, tapi juga saling perhatian layaknya wanita yang menjalin persahabatan.
“Bukan. Bukan tentang Nina. Nina sih baik-baik aja. Tapi wanita lain.”
“Hah.. wanita lain. Lo punya WIL. Lo jatuh cinta sama wanita lain.” Sambung si Jamal dengan nada keheranan.
“Apa-apan sih lo. WIL apaan lagi. Mank gue dah nikah.”
“Trus apa donk. Wanita lain itu cantik gak, seksi gak?” Gufron yang genit selalu saja tertarik jika membahas wanita cantik nan seksi.
“Cantik sih bukan masalah. Seksi, gak sama sekali.”
“Ih, lo naksir sama cewek gendut atau cewek kurus kerempeng?” tambah Gufron miris.
“Lo ini, pikirannya cewek seksi mulu…”
“Ya udah, tadi mau cerita apa. Lanjutin ceritamu tentang cewek itu. Siapa tahu kami bisa bantu” Rafly yang bijak pun menambahkan.
“Begini, akhir-akhir ini gue sering berpapasan dengan seorang cewek. Kira-kira pertemuan itu dimulai sebulan yang lalu. Setiap ingin tidur pasti terbayang wajah gadis itu. Gue nggak tahu. Gue jatuh cinta atau nggak. Tapi yang selalu dalam pikiran gue hanya gadis itu. Sementara pacarku malah gak pernah. Gue nggak tahu rencana apa yang ingin Tuhan berikan kepadaku. Tapi kenapa ada kebetulan yang seperti itu. Gue nggak tahu siapa gadis itu. Sama sekali nggak tahu. Dia jurusan dan angkatan berapa juga nggak tahu.”
“Trus apa yang bisa kami bantu?” Tanya Rafly. Teman yang selalu memberikan solusi.
“Gue tanya sekali lagi. Cewek itu cakep gak? Seksi gak?”
“Lo ini, gak ada pertanyaan lain apa selain cantik dan seksi. Tapi,cantik sih. Seksi gak sama sekali.”
“Cantik mah ogah kalau gak seksi” pikiran Gufron memang tidak pernah berubah.
“Gimana mau seksi, dia berjilbab!!!”
“Hah… berjilbab!!!!!” serentak teman-teman heran.
“Gak salah loh naksir cewek berjilbab.” Sindir Jamal.
“Berjilbab juga gak papa kali. Sekarang kan cewek berjilbab nan seksi juga banyak bertebaran di mana-mana.” Tambah Gufron yang pikirannya piktor mulu’.
“Itu sih, kalau dibilang bukan berjilbab. Tapi cuman nutup kepala doang. Gini-gini juga gue tahu, kayak gimana jilbab yang disyariatkan agama.” Sok tahu jamal mulai muncul.
“Dia Muslimah tulen. Jilbabnya bukan jilbab yang ngikutin tren. Memang yang disyariatkan agama. Jilbabnya besar. Bajunya longgar. Pokoknya jauh sekali deh dari kesan seksi yang ada di kepala si Gufron itu.”
“Berarti dia seorang akhwat donk.” Sontak Jamal.
“Akhwat apaan bro? Tanya Gufron yang begonnya minta ampun.
“Akhwat itu seorang perempuan yang bisa dibilang taat agama, dan kerudung mereka besar-besar, baju mereka pun besar dan longgar. Tipe-tipe cewek yang disukai Rafly.” Jamal pun nimbrung lagi dengan sok tahu-nya.
“Kurang tepat! Akhwat itu sebenarnya perempuan. Perempuan apa saja. Yang penting jangan perempuan jadi-jadian. Si Nina, Tari, Linda itu, semua juga akhwat. Cuma sekarang lebih dikhususkan bagi perempuan yang seperti Jamal bilang tadi. Kalau dalam bahasa Indonesia, terjadi penyempitan makna.” Rafly pun meluruskan kesalahpahaman itu.
“Lalu kalau cowok yang celananya tergantung itu namanya apa Bro? tentu ada sebutannnya juga kan? Ada juga kan pengkhususannya? Tentu beda dengan cowok-cowok kayak kita.”
“Yang itu namanya ikhwan.”
“Keren ya sebutannya! Ikhwan dan akhwat. Serasi B-G-T deh! Jadi kalau kamu suka sama akhwat harus jadi ikhwan dulu.”
“Ngaco lo, Guf! Lalu tadi lo minta bantuan apa, Lang?” Tanya Rafly.
“Bukan bantuan sih. Cuma sekedar mau tahu. Perasaanku ini bagaiman ya? Selama ini gue memang gak pernah tertarik dengan cewek seperti itu. Karena gue tahu diri. Gak pantas kan cowok kayak kita bersanding dengan mereka. Cewek baik-baik kan hanya untuk cowok baik-baik pula.”
“Nyadar lo…” sindir Jamal lagi.
“Menurut gue sih itu cuma perasaan sesaat karena lo sering bertemu. Sendainya tidak, ya mana mungkin. Gue kasih tahu ya, jangan pernah deh naksir sama cewek seperti itu. Masa muda lo gak bakalan fun.” Ucap si Gufron.
“Kalau gue sih. Mungkin cuma kagum doank karena penampilannya yang sopan. Nggak mungkin cinta. Gue tahu cowok macam lo ini. Ingat gak betapa setengah matinya dirimu waktu ngejar-ngejar si Nina yang notabene modis, gaul, dan cantik itu. Lo sampai-sampai rela ngorbanin apapun demi mendapatkan hatinya. Itu baru namanya cinta.” Betul juga apa yang dikatakan Jamal.
“Menurutku sih. Bisa kagum bisa juga cinta. Gak mungkin kan kamu pikirkan terus menerus kalau gak ada sesuatu yang kamu rasakan dalam hatimu. Pikiran itu gak datang dengan sendirinya. Sebenarnya dirimulah yang membawa bayang-bayang wanita itu ke dalam pikiranmu. Kalau kamu gak suka, mana mungkin kamu rela mengorbankan waktu tidurmu hanya untuk mengingatnya. Kalau kamu mengingatnya berarti memang perasaanmu mau mengingatnya. Simpati, kagum dan lain sebagainya bisa juga. Karena kamu belum mengorbankan apa-apa untuk menindaklanjutinya seperti waktu kamu kejar-kejar Nina.” Nasehat Rafly agak masuk akal.
“Hati-hati bung, Nina mau dikemanain. Ntar si Gufron nyosor loh. Apa lo mau si Nina yang disambar sama si gufron. Gufron gak kalah cakep lho dari kamu. Bisa-bisa Nina naksir juga.”
“Apa-apaan sih lo Mal, nggak mungkin kali gue rebut pacar sahabat sendri.”
“Uh.. jangan sok suci deh lo. Lo naksir juga kan sama si Nina, tapi sayang Nina cuma pilih Galang. Karena lo kalah saing ma Galang.”
“Kalian ini, ributin Nina mulu. Ambil aja kalau mau. Gue dah bosan dengan Nina”
“Apa bukan gara-gara gadis berjilbab misterius itu.” Tanya Jamal sekaligus menyindir.
“Sebenarnya dia kayak gimana sih kok lo bisa segitunya.” Gufron pun bertanya dengan nada penasaran.
“Masalahnya dia selalu tersenyum ketika berjumpa denganku. Mana bisa gue melupakan senyuman manisnya itu. Senyum yang langka lho. Cewek seperti itu gak sembarang ngasih senyuman.”
“Jadi penasaran, sama dia. Kalau ketemu, bilang-bilang ya!” pinta Gufron.
“Kalian sering ada kok, waktu dia lewat.”
“Yang mana Lang, siapa tahu gue pernah lihat.” Ujar Jamal.
“Dia sering lewat di koridor FISIP. Di ekonomi juga sering muncul. Ingat nggak waktu kita duduk-duduk di koridor depan kelas waktu itu dia juga lewat bareng temannya.”
“Yang mana ya. Kok gue gak tahu.” Gufron semakin penasaran.
“Gimana mau tahu, yang lo perhatikan cuma cewek yang dandanannya menor aja. Apalagi yang seksi-seksi, makanan lo banget,” Umpan si Jamal.
“Mungkin Rafly pernah lihat. Dia kan dari dulu suka ngelihat cewek-cewek berjilbab. Tipe ceweknya kan tipe cewek seperti itu. Gimana Raf ?” Sindir Gufron.
“Gak tahu juga sih. Cewek berjilbab kan banyak . Tapi mungkin saja gue pernah lihat. Who Knows?”
“Tapi anehnya, kenapa tiba-tiba perasaan gue ke Nina jadi biasa-biasa saja. Tahu kan kalau gue tu cinta banget sama dia. Sial, gadis itu membuat gue seperti ini.”
***
Pagi menjelang siang itu kami bercengkerama di kantin. Aku dan ketiga sahabatku yang lain masih mengobrol soal wanita. Apalagi mahasiswi-mahasiswi cantik yang sedang makan di kantin itu hampir semua kita gosipkan. Ada yang gayanya seleb wanna be gitu dech. Sepatunya berhak 5 cm. kayak mau ke kondangan aja. Make up-nya tebal banget, Rambutnya dkriting-lah, rebonding-lah, ekstension-lah pokoknya komplit deh. Cewek memang lebih rumit daripada cowok. Entah berapa uang yang mereka habiskan hanya untuk itu. Bergaya ala seleb. Cewek-cewek seperti itu yang selalu menjadi target obrolan kami apalagi Gufron sangat antusias. Kecuali Rafly yang gak bersemangat. Dia malah suka ngebahas cewek alim. Yang jelas-jelas kami anti sekali.
“Gimana Lang, dah pernah ketemu cewek itu lagi?” Tanya Jamal.
“Belum. Sudah 3 hari ini gue jarang ngelihat dia lagi.”
“Lo kecewa ya? Mank lo sangat menantikan bertemu dengannya lagi. Jangan-jangan lo naksir benar lagi.” Ucapan Gufron membuatku salah tingkah.
“Ah gak mungkin. Gue gak naksir. Dan gue gak mungkin naksir sama cewek kayak gitu. Lo sendiri kan yang bilang mencintai cewek seperti itu gak ada fun-nya. Betul gak, Raf?”
Rafly diam saja. Dia tidak ikut dengan percakapan kami. Dia memang tidak suka membahas cewek-cewek seperti itu. Menurutnya hanya akan membawa mudharat. Sebenarnya aku iri dengannya. Dia aktif di lembaga dakwah kampus. Meskipun masih jadi anggota biasa. Karena katanya dia masih dalam proses. Belum mampu merubah penampilannya layaknya ikhwan-ikhwan kampus.
Pergaulan Rafly lebih terjaga. Selain bersama kami, dia juga berteman dengan ikhwan-ikhwan kampus. Wanita yang dikenalnya pun adalah wanita baik-baik yang sangat menjaga kehormatan. Tapi tetap menjaga pergaulan. Karena tidak bisa berinteraksi secara langsung. Ketika bertemu dengan gadis berjilbab itu, ada keinginan dalam diriku untuk lebih mengenal wanita seperti mereka. Seperti apa mereka menghabiskan hari-harinya. Seperti apa mereka menjalani pergaulan terutama dengan lawan jenis. Sungguh teduh rasanya melihat wajah bersih yang terpancar cahaya dari dalam hati.
Aku bosan dengan hidupku yang hanya memikirkan kesenangan, pacaran, hunting-hunting cewek-cewek high class. Aku sudah bosan. Tiada gunanya. Rasa penasaranku terhadap gadis-gadis berjilbab membuatku ingin mengenalnya. Gadis berjilbab yang sering menghantui mimpi-mimpiku itu ialah awal dari ketertarikanku mengenal dunia mereka. Juga mengenal agamaku sendiri yang sering kulalaikan.
“Lagi ngeliatin siapa, Raf?” sapaku pada Rafly yang dari tadi diam saja.
“Ah, gak kok. Gak ada apa-apa” terlihat jelas kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia berbohong.
“Tadi lo tertegun gitu. Lagi ngelihatin apa sih?” tanyaku lagi yang penasaran. Rafly memang agak sedikit pendiam di antara kami. Dia lebih dewasa, pintar, juga baik. Tapi heran dia mau saja bergaul dengan anak-anak kocak seperti kami. Dia memang paling ganteng di antara kami. Tapi aku gak kalah ganteng juga sih. Kalau kami berjalan berempat, pasti dia yang jadi sasaran pandangan cewek-cewek modis. Tapi dia cuek aja. Karena dia memang gak suka tipe cewek macam itu. Cara berpakaiannya pun lebih sopan diantara kami. Baju andalannya kemeja. Tidak seperti kami yang selalu update dengan busana cowok yang lagi tren. Ditambah kacamatanya ala Afgan yang semakin membuat dia kelihatan berwibawa dan cool. Cewek mana coba yang gak tertarik sama dia. Di antara kami bertiga, cuma dia yang jomblo. Katanya, dia belum mendapatkan yang cocok. Tapi entahlah gadis berjilbab yang mana yang sedang dia tunggu. Lagian gadis jilbaber itu kan anti pacaran. Gak mungkin mau menjalin hubungan yang tidak halal.
***
Sudah seminggu aku tidak pernah bertemu dengan gadis berjilbab itu. Tapi bayang-bayangnya tidak pernah hilang dalam pikiranku. Ingin sekali aku berkenalan dengan gadis itu. Walaupun hanya dengan tahu namanya. Tapi rasa takutku lebih tinggi, nanti dia enggan. Rasa penasaranku terhadap gadis itu begitu kuat. Akhirnya kuputuskan kalau bertemu dengan gadis itu, aku akan menyapanya. Keesokan harinya, aku mencoba ke perpustakaan. Aku tahu ini adalah tempat yang sering dia kunjungi. Tapi hasilnya nihil. Aku tak menemukannya. Lalu aku mencoba melewati tempat-tempat yang sering dia lewati. Siap tahu dia ada di situ. Tetap saja nihil.
Tak lama kemudian, aku melihat gadis itu berjalan tidak jauh dariku. Dia bertemu sapa dengan seorang kawan lainnya. Juga gadis berjilbab sama sepertinya. Mereka bersalaman dan cipika-cipiki. Aku sering menemukan gadis-gadis berjilbab sepertinya melakukan itu jika bertemu dan bertegur sapa. Kebiasaan apa itu? Kenapa mesti cipika-cipiki? Lalu, kenapa cuma orang seperti mereka yang cipika-cipiki. Sungguh indah rasanya melihat pemandangan tersebut. Keramahan, rasa saling menyayangi yang terpancar dari kebiasaan itu. Akhirnya mereka berpisah. Gadis itu semakin dekat ke arahku. Dari tadi aku sudah memperhatikannya, tapi gadis itu mungkin belum menyadari keberadaanku. Akhirnya kami pun semakin mendekat. Gadis itu membalas tatapanku. Kami pun bertemu pandang. Tapi hanya sekejap. Dia lalu menunduk kembali.
“Assalamu alaikum,” sapaku, kupikir kalimat itu bakalan manjur untuk memulai percakapan dengan gadis sepertinya.
“Waalaikum salam.” Jawabnya. Terlihat jelas kalau dia tidak nyaman dengan caraku mendekatinya. Dia menunduk saja. Dan diam di tempat. Tidak berani melangkah. Mungkin caraku salah. Aku mundur beberapa langkah, supaya dia lebih leluasa.
“Maaf, apa kita pernah bertemu?” Sebuah pertanyaan sopan dan terkesan spekulasi keluar dari bibirku. Aku sangat grogi menyapanya seperti ini. Image betul-betul dijaga. Aku merasa bukan diriku. Tidak bertingkah apa adanya.
“Ya, aku tahu. Aku sering bertemu denganmu secara tidak sengaja.” Ucapnya.
“Oh, iya. Aku kira kau tidak mengingatnya lagi. Apa kau mengenalku sebelumnya?”
“Hanya kenal wajah.”
“Tapi, kenapa kau sering tersenyum padaku ketika berpapasan. Menurutku itu aneh. Tambah aneh jika dlihat yang melakukannya seorang gadis seperti kamu”
“Aneh kenapa? Itu bukan apa-apa. Kamu hanya terlihat mirip dengan Almarhum ayahku. Waktu masih muda dulu, wajah ayahku mirip dengan wajahmu. Ketika bertemu denganmu, aku jadi senang. Itu artinya aku bisa mengenang kembali wajah ayahku yang sudah lama tidak kulihat. Kau mengingatkanku pada dia.”
“Assalamu alaikum Aulia, gimana bakti sosial itu?” suara Rafly terdengar menghampiri kita berdua. Aku Heran. Rafly ternyata lebih dulu kenal dengan Dia. Ternyata namanya Aulia. Mungkin cewek ini yang Rafly lihat dulu di kantin. Mungkin sesama anggota Lembaga Dakwah Kampus.
Dari tatapan Rafly aku bisa tahu kalau dia naksir. Aku tidak jadi memperkenalkan diriku. Akhirnya keinginanku selama ini sudah terlaksanakan. Yang penting aku sudah bisa mengobrol dengannya walaupun hanya sebentar. Aku memilih mundur. Kubiarkan mereka menyelesaikan urusannya. Aku malah bersyukur, dia menganggapku penting. Mungkin lebih penting dari Rafly. Aku senang, aku bisa memberi kebahagiaan untuknya, walaupun sedikit. Gadis itu aneh, tapi yang pertama kali membuatku jatuh cinta dengan rasa dan cara yang berbeda. Entah sampai kapan pertemuan itu akan terus berlanjut dan berhenti sampai di mana. Aku harap aku masih bisa melihatnya. Walaupun dari kejauhan.
Malam ini dan malam-malam sebelumnya sama saja. Selalu bayangan gadis itu yang hinggap di pikiranku. Kata orang, kalau kita sering berpapasan dengan orang yang tak dikenal, bisa jadi orang itu yang akan menjadi jodoh kita nantinya. Tapi mitos syirik itu kubuang jauh-jauh. Tidak ada yang lebih tahu rencana Allah kecuali Allah sendiri. Aku berusaha membuang bayangan gadis itu. Aku tidak mau hal-hal buruk terjadi padaku. Tetap tidak bisa. Hari-hari berikutnya dia selalu mengingatkanku kembali karena kehadirannya yang tak pernah alpa di mataku. Pertemuan di mana lagi aku akan melihat gadis itu? Itu saja yang selalu ada dalam pikiranku. Takdir apa ini? Kenapa dia tidak pernah menjauh dari hari-hariku. Mahasiswa fakultas apa dia? jurusan apa? dan angkatan berapa? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu saja tak mampu kujawab.
Aku memang tidak tahu siapa dia. Dan aku memang tidak pernah mau cari tahu. Aku sudah punya pacar. Tapi yang ada di pikiranku bukan pacarku. Melainkan dia. Tak pernah kuceritakan hal ini pada teman-temanku. Lantaran mereka dekat dengan pacarku. Di sisi lain aku takut kalau mereka menyampaikannya. Kuakui, aku masih sayang dengan pacarku. Teringat betapa susah payahnya aku mengejar dia. Masa’ untuk hal yang seperti ini aku malah melupakannya. Tapi, dasar aku tidak pandai menyimpan rahasia seorang diri. Akhirnya kuceritakan jua ke temanku. Laki-laki memang senang membicarakan wanita. Wanita apa saja. Dari yang suci, sok suci, sampai murahan, laki-laki sangat senang membicarakan makhluk yang satu ini.
“Bro, gue mau curhat nih” pernyataan yang kesannya agak melankolis baru saja keluar dari mulutku.
“Waduh, pagi-pagi gini mau curhat apa Pak?” sambut temanku jamal yang paling terlihat sering menyindir di antara lainnya.
“Mau cerita tentang Nina lagi. Perasaan kalian adem-adem aja deh?” ujar Rafly yang paling dewasa di antara kami. Itulah teman-temanku meski kami laki-laki, tapi juga saling perhatian layaknya wanita yang menjalin persahabatan.
“Bukan. Bukan tentang Nina. Nina sih baik-baik aja. Tapi wanita lain.”
“Hah.. wanita lain. Lo punya WIL. Lo jatuh cinta sama wanita lain.” Sambung si Jamal dengan nada keheranan.
“Apa-apan sih lo. WIL apaan lagi. Mank gue dah nikah.”
“Trus apa donk. Wanita lain itu cantik gak, seksi gak?” Gufron yang genit selalu saja tertarik jika membahas wanita cantik nan seksi.
“Cantik sih bukan masalah. Seksi, gak sama sekali.”
“Ih, lo naksir sama cewek gendut atau cewek kurus kerempeng?” tambah Gufron miris.
“Lo ini, pikirannya cewek seksi mulu…”
“Ya udah, tadi mau cerita apa. Lanjutin ceritamu tentang cewek itu. Siapa tahu kami bisa bantu” Rafly yang bijak pun menambahkan.
“Begini, akhir-akhir ini gue sering berpapasan dengan seorang cewek. Kira-kira pertemuan itu dimulai sebulan yang lalu. Setiap ingin tidur pasti terbayang wajah gadis itu. Gue nggak tahu. Gue jatuh cinta atau nggak. Tapi yang selalu dalam pikiran gue hanya gadis itu. Sementara pacarku malah gak pernah. Gue nggak tahu rencana apa yang ingin Tuhan berikan kepadaku. Tapi kenapa ada kebetulan yang seperti itu. Gue nggak tahu siapa gadis itu. Sama sekali nggak tahu. Dia jurusan dan angkatan berapa juga nggak tahu.”
“Trus apa yang bisa kami bantu?” Tanya Rafly. Teman yang selalu memberikan solusi.
“Gue tanya sekali lagi. Cewek itu cakep gak? Seksi gak?”
“Lo ini, gak ada pertanyaan lain apa selain cantik dan seksi. Tapi,cantik sih. Seksi gak sama sekali.”
“Cantik mah ogah kalau gak seksi” pikiran Gufron memang tidak pernah berubah.
“Gimana mau seksi, dia berjilbab!!!”
“Hah… berjilbab!!!!!” serentak teman-teman heran.
“Gak salah loh naksir cewek berjilbab.” Sindir Jamal.
“Berjilbab juga gak papa kali. Sekarang kan cewek berjilbab nan seksi juga banyak bertebaran di mana-mana.” Tambah Gufron yang pikirannya piktor mulu’.
“Itu sih, kalau dibilang bukan berjilbab. Tapi cuman nutup kepala doang. Gini-gini juga gue tahu, kayak gimana jilbab yang disyariatkan agama.” Sok tahu jamal mulai muncul.
“Dia Muslimah tulen. Jilbabnya bukan jilbab yang ngikutin tren. Memang yang disyariatkan agama. Jilbabnya besar. Bajunya longgar. Pokoknya jauh sekali deh dari kesan seksi yang ada di kepala si Gufron itu.”
“Berarti dia seorang akhwat donk.” Sontak Jamal.
“Akhwat apaan bro? Tanya Gufron yang begonnya minta ampun.
“Akhwat itu seorang perempuan yang bisa dibilang taat agama, dan kerudung mereka besar-besar, baju mereka pun besar dan longgar. Tipe-tipe cewek yang disukai Rafly.” Jamal pun nimbrung lagi dengan sok tahu-nya.
“Kurang tepat! Akhwat itu sebenarnya perempuan. Perempuan apa saja. Yang penting jangan perempuan jadi-jadian. Si Nina, Tari, Linda itu, semua juga akhwat. Cuma sekarang lebih dikhususkan bagi perempuan yang seperti Jamal bilang tadi. Kalau dalam bahasa Indonesia, terjadi penyempitan makna.” Rafly pun meluruskan kesalahpahaman itu.
“Lalu kalau cowok yang celananya tergantung itu namanya apa Bro? tentu ada sebutannnya juga kan? Ada juga kan pengkhususannya? Tentu beda dengan cowok-cowok kayak kita.”
“Yang itu namanya ikhwan.”
“Keren ya sebutannya! Ikhwan dan akhwat. Serasi B-G-T deh! Jadi kalau kamu suka sama akhwat harus jadi ikhwan dulu.”
“Ngaco lo, Guf! Lalu tadi lo minta bantuan apa, Lang?” Tanya Rafly.
“Bukan bantuan sih. Cuma sekedar mau tahu. Perasaanku ini bagaiman ya? Selama ini gue memang gak pernah tertarik dengan cewek seperti itu. Karena gue tahu diri. Gak pantas kan cowok kayak kita bersanding dengan mereka. Cewek baik-baik kan hanya untuk cowok baik-baik pula.”
“Nyadar lo…” sindir Jamal lagi.
“Menurut gue sih itu cuma perasaan sesaat karena lo sering bertemu. Sendainya tidak, ya mana mungkin. Gue kasih tahu ya, jangan pernah deh naksir sama cewek seperti itu. Masa muda lo gak bakalan fun.” Ucap si Gufron.
“Kalau gue sih. Mungkin cuma kagum doank karena penampilannya yang sopan. Nggak mungkin cinta. Gue tahu cowok macam lo ini. Ingat gak betapa setengah matinya dirimu waktu ngejar-ngejar si Nina yang notabene modis, gaul, dan cantik itu. Lo sampai-sampai rela ngorbanin apapun demi mendapatkan hatinya. Itu baru namanya cinta.” Betul juga apa yang dikatakan Jamal.
“Menurutku sih. Bisa kagum bisa juga cinta. Gak mungkin kan kamu pikirkan terus menerus kalau gak ada sesuatu yang kamu rasakan dalam hatimu. Pikiran itu gak datang dengan sendirinya. Sebenarnya dirimulah yang membawa bayang-bayang wanita itu ke dalam pikiranmu. Kalau kamu gak suka, mana mungkin kamu rela mengorbankan waktu tidurmu hanya untuk mengingatnya. Kalau kamu mengingatnya berarti memang perasaanmu mau mengingatnya. Simpati, kagum dan lain sebagainya bisa juga. Karena kamu belum mengorbankan apa-apa untuk menindaklanjutinya seperti waktu kamu kejar-kejar Nina.” Nasehat Rafly agak masuk akal.
“Hati-hati bung, Nina mau dikemanain. Ntar si Gufron nyosor loh. Apa lo mau si Nina yang disambar sama si gufron. Gufron gak kalah cakep lho dari kamu. Bisa-bisa Nina naksir juga.”
“Apa-apaan sih lo Mal, nggak mungkin kali gue rebut pacar sahabat sendri.”
“Uh.. jangan sok suci deh lo. Lo naksir juga kan sama si Nina, tapi sayang Nina cuma pilih Galang. Karena lo kalah saing ma Galang.”
“Kalian ini, ributin Nina mulu. Ambil aja kalau mau. Gue dah bosan dengan Nina”
“Apa bukan gara-gara gadis berjilbab misterius itu.” Tanya Jamal sekaligus menyindir.
“Sebenarnya dia kayak gimana sih kok lo bisa segitunya.” Gufron pun bertanya dengan nada penasaran.
“Masalahnya dia selalu tersenyum ketika berjumpa denganku. Mana bisa gue melupakan senyuman manisnya itu. Senyum yang langka lho. Cewek seperti itu gak sembarang ngasih senyuman.”
“Jadi penasaran, sama dia. Kalau ketemu, bilang-bilang ya!” pinta Gufron.
“Kalian sering ada kok, waktu dia lewat.”
“Yang mana Lang, siapa tahu gue pernah lihat.” Ujar Jamal.
“Dia sering lewat di koridor FISIP. Di ekonomi juga sering muncul. Ingat nggak waktu kita duduk-duduk di koridor depan kelas waktu itu dia juga lewat bareng temannya.”
“Yang mana ya. Kok gue gak tahu.” Gufron semakin penasaran.
“Gimana mau tahu, yang lo perhatikan cuma cewek yang dandanannya menor aja. Apalagi yang seksi-seksi, makanan lo banget,” Umpan si Jamal.
“Mungkin Rafly pernah lihat. Dia kan dari dulu suka ngelihat cewek-cewek berjilbab. Tipe ceweknya kan tipe cewek seperti itu. Gimana Raf ?” Sindir Gufron.
“Gak tahu juga sih. Cewek berjilbab kan banyak . Tapi mungkin saja gue pernah lihat. Who Knows?”
“Tapi anehnya, kenapa tiba-tiba perasaan gue ke Nina jadi biasa-biasa saja. Tahu kan kalau gue tu cinta banget sama dia. Sial, gadis itu membuat gue seperti ini.”
***
Pagi menjelang siang itu kami bercengkerama di kantin. Aku dan ketiga sahabatku yang lain masih mengobrol soal wanita. Apalagi mahasiswi-mahasiswi cantik yang sedang makan di kantin itu hampir semua kita gosipkan. Ada yang gayanya seleb wanna be gitu dech. Sepatunya berhak 5 cm. kayak mau ke kondangan aja. Make up-nya tebal banget, Rambutnya dkriting-lah, rebonding-lah, ekstension-lah pokoknya komplit deh. Cewek memang lebih rumit daripada cowok. Entah berapa uang yang mereka habiskan hanya untuk itu. Bergaya ala seleb. Cewek-cewek seperti itu yang selalu menjadi target obrolan kami apalagi Gufron sangat antusias. Kecuali Rafly yang gak bersemangat. Dia malah suka ngebahas cewek alim. Yang jelas-jelas kami anti sekali.
“Gimana Lang, dah pernah ketemu cewek itu lagi?” Tanya Jamal.
“Belum. Sudah 3 hari ini gue jarang ngelihat dia lagi.”
“Lo kecewa ya? Mank lo sangat menantikan bertemu dengannya lagi. Jangan-jangan lo naksir benar lagi.” Ucapan Gufron membuatku salah tingkah.
“Ah gak mungkin. Gue gak naksir. Dan gue gak mungkin naksir sama cewek kayak gitu. Lo sendiri kan yang bilang mencintai cewek seperti itu gak ada fun-nya. Betul gak, Raf?”
Rafly diam saja. Dia tidak ikut dengan percakapan kami. Dia memang tidak suka membahas cewek-cewek seperti itu. Menurutnya hanya akan membawa mudharat. Sebenarnya aku iri dengannya. Dia aktif di lembaga dakwah kampus. Meskipun masih jadi anggota biasa. Karena katanya dia masih dalam proses. Belum mampu merubah penampilannya layaknya ikhwan-ikhwan kampus.
Pergaulan Rafly lebih terjaga. Selain bersama kami, dia juga berteman dengan ikhwan-ikhwan kampus. Wanita yang dikenalnya pun adalah wanita baik-baik yang sangat menjaga kehormatan. Tapi tetap menjaga pergaulan. Karena tidak bisa berinteraksi secara langsung. Ketika bertemu dengan gadis berjilbab itu, ada keinginan dalam diriku untuk lebih mengenal wanita seperti mereka. Seperti apa mereka menghabiskan hari-harinya. Seperti apa mereka menjalani pergaulan terutama dengan lawan jenis. Sungguh teduh rasanya melihat wajah bersih yang terpancar cahaya dari dalam hati.
Aku bosan dengan hidupku yang hanya memikirkan kesenangan, pacaran, hunting-hunting cewek-cewek high class. Aku sudah bosan. Tiada gunanya. Rasa penasaranku terhadap gadis-gadis berjilbab membuatku ingin mengenalnya. Gadis berjilbab yang sering menghantui mimpi-mimpiku itu ialah awal dari ketertarikanku mengenal dunia mereka. Juga mengenal agamaku sendiri yang sering kulalaikan.
“Lagi ngeliatin siapa, Raf?” sapaku pada Rafly yang dari tadi diam saja.
“Ah, gak kok. Gak ada apa-apa” terlihat jelas kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia berbohong.
“Tadi lo tertegun gitu. Lagi ngelihatin apa sih?” tanyaku lagi yang penasaran. Rafly memang agak sedikit pendiam di antara kami. Dia lebih dewasa, pintar, juga baik. Tapi heran dia mau saja bergaul dengan anak-anak kocak seperti kami. Dia memang paling ganteng di antara kami. Tapi aku gak kalah ganteng juga sih. Kalau kami berjalan berempat, pasti dia yang jadi sasaran pandangan cewek-cewek modis. Tapi dia cuek aja. Karena dia memang gak suka tipe cewek macam itu. Cara berpakaiannya pun lebih sopan diantara kami. Baju andalannya kemeja. Tidak seperti kami yang selalu update dengan busana cowok yang lagi tren. Ditambah kacamatanya ala Afgan yang semakin membuat dia kelihatan berwibawa dan cool. Cewek mana coba yang gak tertarik sama dia. Di antara kami bertiga, cuma dia yang jomblo. Katanya, dia belum mendapatkan yang cocok. Tapi entahlah gadis berjilbab yang mana yang sedang dia tunggu. Lagian gadis jilbaber itu kan anti pacaran. Gak mungkin mau menjalin hubungan yang tidak halal.
***
Sudah seminggu aku tidak pernah bertemu dengan gadis berjilbab itu. Tapi bayang-bayangnya tidak pernah hilang dalam pikiranku. Ingin sekali aku berkenalan dengan gadis itu. Walaupun hanya dengan tahu namanya. Tapi rasa takutku lebih tinggi, nanti dia enggan. Rasa penasaranku terhadap gadis itu begitu kuat. Akhirnya kuputuskan kalau bertemu dengan gadis itu, aku akan menyapanya. Keesokan harinya, aku mencoba ke perpustakaan. Aku tahu ini adalah tempat yang sering dia kunjungi. Tapi hasilnya nihil. Aku tak menemukannya. Lalu aku mencoba melewati tempat-tempat yang sering dia lewati. Siap tahu dia ada di situ. Tetap saja nihil.
Tak lama kemudian, aku melihat gadis itu berjalan tidak jauh dariku. Dia bertemu sapa dengan seorang kawan lainnya. Juga gadis berjilbab sama sepertinya. Mereka bersalaman dan cipika-cipiki. Aku sering menemukan gadis-gadis berjilbab sepertinya melakukan itu jika bertemu dan bertegur sapa. Kebiasaan apa itu? Kenapa mesti cipika-cipiki? Lalu, kenapa cuma orang seperti mereka yang cipika-cipiki. Sungguh indah rasanya melihat pemandangan tersebut. Keramahan, rasa saling menyayangi yang terpancar dari kebiasaan itu. Akhirnya mereka berpisah. Gadis itu semakin dekat ke arahku. Dari tadi aku sudah memperhatikannya, tapi gadis itu mungkin belum menyadari keberadaanku. Akhirnya kami pun semakin mendekat. Gadis itu membalas tatapanku. Kami pun bertemu pandang. Tapi hanya sekejap. Dia lalu menunduk kembali.
“Assalamu alaikum,” sapaku, kupikir kalimat itu bakalan manjur untuk memulai percakapan dengan gadis sepertinya.
“Waalaikum salam.” Jawabnya. Terlihat jelas kalau dia tidak nyaman dengan caraku mendekatinya. Dia menunduk saja. Dan diam di tempat. Tidak berani melangkah. Mungkin caraku salah. Aku mundur beberapa langkah, supaya dia lebih leluasa.
“Maaf, apa kita pernah bertemu?” Sebuah pertanyaan sopan dan terkesan spekulasi keluar dari bibirku. Aku sangat grogi menyapanya seperti ini. Image betul-betul dijaga. Aku merasa bukan diriku. Tidak bertingkah apa adanya.
“Ya, aku tahu. Aku sering bertemu denganmu secara tidak sengaja.” Ucapnya.
“Oh, iya. Aku kira kau tidak mengingatnya lagi. Apa kau mengenalku sebelumnya?”
“Hanya kenal wajah.”
“Tapi, kenapa kau sering tersenyum padaku ketika berpapasan. Menurutku itu aneh. Tambah aneh jika dlihat yang melakukannya seorang gadis seperti kamu”
“Aneh kenapa? Itu bukan apa-apa. Kamu hanya terlihat mirip dengan Almarhum ayahku. Waktu masih muda dulu, wajah ayahku mirip dengan wajahmu. Ketika bertemu denganmu, aku jadi senang. Itu artinya aku bisa mengenang kembali wajah ayahku yang sudah lama tidak kulihat. Kau mengingatkanku pada dia.”
“Assalamu alaikum Aulia, gimana bakti sosial itu?” suara Rafly terdengar menghampiri kita berdua. Aku Heran. Rafly ternyata lebih dulu kenal dengan Dia. Ternyata namanya Aulia. Mungkin cewek ini yang Rafly lihat dulu di kantin. Mungkin sesama anggota Lembaga Dakwah Kampus.
Dari tatapan Rafly aku bisa tahu kalau dia naksir. Aku tidak jadi memperkenalkan diriku. Akhirnya keinginanku selama ini sudah terlaksanakan. Yang penting aku sudah bisa mengobrol dengannya walaupun hanya sebentar. Aku memilih mundur. Kubiarkan mereka menyelesaikan urusannya. Aku malah bersyukur, dia menganggapku penting. Mungkin lebih penting dari Rafly. Aku senang, aku bisa memberi kebahagiaan untuknya, walaupun sedikit. Gadis itu aneh, tapi yang pertama kali membuatku jatuh cinta dengan rasa dan cara yang berbeda. Entah sampai kapan pertemuan itu akan terus berlanjut dan berhenti sampai di mana. Aku harap aku masih bisa melihatnya. Walaupun dari kejauhan.
Kisah Uang Seribuan
Di atas angkot yang cukup padat itu, seorang gadis berkerudung duduk di hadapan pintu masuk angkot. Malam itu hujan turun. Dia baru saja menghadiri pernikahan teman karibnya yang masih sesama mahasiswa. Pernikahan untuk menutupi aib. Gadis itu termenung. Mengingat betapa malang nasib temannya. Yang akan segera menggendong bayi sementara ia masih freshman di sebuah universitas. Dia tidak habis pikir akan dirinya. Rasa bersalah yang selalu menderanya. Lantaran tak mampu menjadi teman yang baik. Sudah tiga orang teman karibnya menjadi budak nafsu. Dua orang di antaranya yang juga MBA (Married by Accident) tidak lagi merasakan manisnya cinta. Perceraian sudah di ambang pintu. Kuliah tertunda. Suami minggat entah ke mana. Ada anak yang mesti dirawat dan dibesarkan. Belum lagi kebutuhan hidup anak yang juga mesti dipenuhi.
Gadis itu masih sempat berucap syukur dalam kemalangan teman-temannya. Dia masih suci. Untung saja, dia dilahirkan dalam keluarga yang lumayan terdidik. Padahal ia juga hampir terjebak dalam lingkaran setan itu. Tiba-tiba mobil berhenti dan menyadarkannya dari lamunannya. Ya, tidak lain karena lampu merah yang kini sudah menjadi tempat mengais rejeki. Beberapa anak berlari mengerumuni setiap mobil yang berhenti. Sungguh menyedihkan. Di antara mereka ada yang sedang menggendong adiknya. Yang lain bertubuh kurus, berwajah kusam, dan berpakaian rombengan. Anak kecil yang seharusnya sekolah, terpaksa turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi.
Salah seorang dari mereka menghampiri angkot yang dikendarai gadis berkerudung itu. “Ibu, Pak, Kak minta uangnya!” ucapnya dengan wajah memelas sambil menengadahkan sebelah tangannya. Sebelahnya lagi menahan agar adik kecil yang digendongnya dengan sarung tidak jatuh. Kasihan adiknya itu. Umurnya masih sekitar 7 bulanan sudah diajak mencari rejeki. Adik bayinya itu tertidur pulas. Begitu pulasnya, ia sampai tidak merasakan rintik hujan yang menerpa wajahnya.
Gadis itu lalu mengeluarkan selembar duit seribu dan 2 buah koin 500-an. Belum sampai uang itu ke tangan si bocah, tiba-tiba seorang ibu berkata, “Mbak, jangan dikasih. Mereka itu cuma suruhan. Lagian pemerintah sudah mengeluarkan larangan memberikan uang pada anak-anak pengemis seperti mereka.” Gadis itu terdiam. Dia tidak mau membalas ucapan si Ibu. Tapi rasa kasihannya lebih tinggi daripada ancaman ibu tadi.
“Benar, Mbak. Jangan dikasih. Nanti mereka akan mengemis selamanya. Tidak mau berusaha. Toh nggak baik kalau kita mengajarkan anak kecil untuk jadi peminta-minta.” Tambah seorang Ibu yang kira-kira umurnya hanya berselang 3 tahun di bawah ibu pertama tadi. Nuraninya pun berkata itu ada benarnya. Uang itu masih belum sampai ke tangan bocah tadi. Wajah-wajah penumpang angkot seolah setuju dengan pendapat kedua ibu tadi. Ia pun urung.
“Dek, minggir-minggir. Mobil mau jalan. Ntar kalian ketabrak. Trus saya lagi yang disalahin.” Sang supir tak mau ketinggalan mengeluarkan ungkapan jengkelnya. Dia pun ikut memaki bocah tadi. Mobil akhirnya melaju. Tak sempat ia menyerahkan uang itu. Gadis itu semakin heran. Ada apa dengan orang-orang ini. Mengapa mereka sangat miris terhadap bocah tadi. Bukankah menolong mereka akan mengurangi beban mereka. Timbul pikiran dalam benak gadis itu, andai saja kedua ibu tadi adalah ibu dari anak itu. Dan Pak supir tadi adalah ayahnya, masih bisakah mereka berkata seperti tadi pada bocah itu.
Satu persatu kejadian yang baru saja dilalui gadis itu hari ini, mulai direnungkannya. Kebanyakan ialah perilaku amoral. Dia tidak henti-hentinya berpikir. Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan negara ini? Ada apa dengan orang-orang yang hidup di negara ini? Masih banyak hal yang tak mampu dijangkau oleh akalnya. Imajinasinya pun melayang-layang. Seiiring laju mobil yang melewati beberapa baliho yang masih tertempel. Andai baliho-baliho itu mampu mendengar jeritan anak-anak jalanan tadi. Dan ia membayangkan jika makhluk yang ada dalam baliho itu bergerak memberikan uang kepada siapa saja anak jalanan yang melaluinya. Tapi sayangnya makhluk itu hanya mampu menyunggingkan senyum. Tidak tahu, tuluskah atau palsukah?
Tiba di rumah. Gadis itu tak bisa memejamkan mata. Dia teringat akan bocah tadi yang tak jadi ia beri uang. Uang yang sudah dipersiapkan itu, ia raba di kantongnya. “Hanya 2 ribu rupiah, kenapa aku tak kasih saja?” gumamnya dalam hati. Andai saja tadi ia tak menghiraukan ucapan ibu itu.
Rasa bersalahnya, membawanya kembali ke tempat yang sama di keesokan harinya. Ia menunggu di trotoar tempat biasa anak-anak seperti itu mangkal. Beberapa lama menunggu. Tak dijumpainya anak itu. Seorang wanita paruh baya mendekat. Tubuhnya dibalut dengan pakaian sobek dan kotor. Wajahnya hitam akibat debu jalanan yang tak pilih-pilih.
“Assalamu alaikum…” kata itu cukup mampu mengisyaratkan kalau ibu itu meminta sesuatu. Terlihat dari tangannya yang menengadah di hadapan gadis itu. Gadis itu tertegun sejenak, memandangi ibu itu. Satu lagi masalah yang memenuhi otaknya. Masalah semua orang yang hidup di negara ini.
“Waalaikum salam…” jawab gadis itu seraya merekahkan bibirnya. Diberi atau tidak. Pergolakan batin yang maju mundur dalam hatinya. Kalau diberi, nanti dia tidak akan berhenti meminta dan jadi pemalas. Justru menambah populasi pengemis. Kata-kata ibu itu semalam masih menganggu pikirannya. Tidak diberi, mana tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang diserukan untuk berbagi.
Ikhlas. Dia mantapkan dalam hatinya, bahwa niat itu hanya untuk bersedekah. Toh, tidak ada larangan dalam agama untuk tidak memberi golongan fakir miskin seperti mereka. Dia merogoh sakunya. Mengambil 2 lembar uang seribu. Lalu memberikannya pada ibu itu.
“Terima kasih, Nak.” Ucap ibu itu pelan dengan suara terbata-bata.
Gadis itu mengangguk dan kembali mengulurkan senyuman. Ibu itu berlalu dengan langkah yang tertatih-tatih. Hari semakin panas. Tak sedikit pun ia melihat batang hidung anak yang mengacaukan pikirannya semalam. Hingga hampir tak bisa memejamkan mata. Dia masih keukeuh menunggu. Niat yang sudah tertancap dengan baik, tidak boleh ia robohkan begitu saja.
Jam 15.00 lewat, anak itu tak kunjung muncul. Ia sudah dongkol menunggu ditemani terik matahari yang menyengat kulitnya yang mulus. Niat itu harus tetap ditunaikan. Kalau tidak, entah karma apa yang ia dapat.
***
Bayang-bayang tentang anak itu belum hilang. Ia masih menggelayut dalam pikirannya. Di kampus pun ia masih memikirkan niat yang belum sempat ditunaikan pada anak itu. Kuliah usai. Seperti kebiasannya, ia duduk di bawa pohon di taman kampus. Tertegun kosong memandang satu arah. Pikirannya masih terpenuhi oleh anak itu. Ada beberapa anak bernasib sama yang lewat di hadapannya, bahkan singgah untuk menawarkan jasa yang berbeda-beda. Ada anak pemulung sampah, anak penjual manisan, anak penjual roti, anak penjual jalangkote’ (baca:pastel), anak penjual koran. Ada banyak anak yang sebetulnya bisa ia beri tanpa menunggu anak malam itu. Tapi tetap tak bisa meruntuhkan niat yang sudah terpatri.
Tiba-tiba lamunannya buyar oleh sosok yang sedang berada di depannya. Seorang anak penjual koran. Mirip sekali. Ya, dia adalah anak yang sama. Anak yang menggantungkan niatnya. Tapi kenapa ia harus mengemis, padahal ia bisa meloper koran. Pekerjaan ini lebih bagus daripada mengemis. Dia adalah pahlawan. Pahlawan pembawa informasi. Sudah cukup bagi gadis itu untuk melamun lagi. Niatnya atas uang seribuan itu terlaksana. Anak itu cukup heran. Ia tak bermaksud meminta. Koran yang menumpuk di tangannya pun tak diambil oleh gadis itu.
“Terima Kasih, kak.” Ucap bocah itu dengan tulus. Ditambah pancaran kebahagiaan dari wajahnya yang berseri-seri. Tak tahu kalau gadis ini yang urung memberinya uang malam itu.
“Iya. Terima kasih kembali.” Jawab gadis itu dengan sejumput senyum bahagia. Tak pernah ia sebahagia ini. Bisa melihat anak seperti itu tersenyum merekah. Hanya karena mendapat uang lebih dari yang seharusnya mereka terima.
Gadis itu masih sempat berucap syukur dalam kemalangan teman-temannya. Dia masih suci. Untung saja, dia dilahirkan dalam keluarga yang lumayan terdidik. Padahal ia juga hampir terjebak dalam lingkaran setan itu. Tiba-tiba mobil berhenti dan menyadarkannya dari lamunannya. Ya, tidak lain karena lampu merah yang kini sudah menjadi tempat mengais rejeki. Beberapa anak berlari mengerumuni setiap mobil yang berhenti. Sungguh menyedihkan. Di antara mereka ada yang sedang menggendong adiknya. Yang lain bertubuh kurus, berwajah kusam, dan berpakaian rombengan. Anak kecil yang seharusnya sekolah, terpaksa turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi.
Salah seorang dari mereka menghampiri angkot yang dikendarai gadis berkerudung itu. “Ibu, Pak, Kak minta uangnya!” ucapnya dengan wajah memelas sambil menengadahkan sebelah tangannya. Sebelahnya lagi menahan agar adik kecil yang digendongnya dengan sarung tidak jatuh. Kasihan adiknya itu. Umurnya masih sekitar 7 bulanan sudah diajak mencari rejeki. Adik bayinya itu tertidur pulas. Begitu pulasnya, ia sampai tidak merasakan rintik hujan yang menerpa wajahnya.
Gadis itu lalu mengeluarkan selembar duit seribu dan 2 buah koin 500-an. Belum sampai uang itu ke tangan si bocah, tiba-tiba seorang ibu berkata, “Mbak, jangan dikasih. Mereka itu cuma suruhan. Lagian pemerintah sudah mengeluarkan larangan memberikan uang pada anak-anak pengemis seperti mereka.” Gadis itu terdiam. Dia tidak mau membalas ucapan si Ibu. Tapi rasa kasihannya lebih tinggi daripada ancaman ibu tadi.
“Benar, Mbak. Jangan dikasih. Nanti mereka akan mengemis selamanya. Tidak mau berusaha. Toh nggak baik kalau kita mengajarkan anak kecil untuk jadi peminta-minta.” Tambah seorang Ibu yang kira-kira umurnya hanya berselang 3 tahun di bawah ibu pertama tadi. Nuraninya pun berkata itu ada benarnya. Uang itu masih belum sampai ke tangan bocah tadi. Wajah-wajah penumpang angkot seolah setuju dengan pendapat kedua ibu tadi. Ia pun urung.
“Dek, minggir-minggir. Mobil mau jalan. Ntar kalian ketabrak. Trus saya lagi yang disalahin.” Sang supir tak mau ketinggalan mengeluarkan ungkapan jengkelnya. Dia pun ikut memaki bocah tadi. Mobil akhirnya melaju. Tak sempat ia menyerahkan uang itu. Gadis itu semakin heran. Ada apa dengan orang-orang ini. Mengapa mereka sangat miris terhadap bocah tadi. Bukankah menolong mereka akan mengurangi beban mereka. Timbul pikiran dalam benak gadis itu, andai saja kedua ibu tadi adalah ibu dari anak itu. Dan Pak supir tadi adalah ayahnya, masih bisakah mereka berkata seperti tadi pada bocah itu.
Satu persatu kejadian yang baru saja dilalui gadis itu hari ini, mulai direnungkannya. Kebanyakan ialah perilaku amoral. Dia tidak henti-hentinya berpikir. Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan negara ini? Ada apa dengan orang-orang yang hidup di negara ini? Masih banyak hal yang tak mampu dijangkau oleh akalnya. Imajinasinya pun melayang-layang. Seiiring laju mobil yang melewati beberapa baliho yang masih tertempel. Andai baliho-baliho itu mampu mendengar jeritan anak-anak jalanan tadi. Dan ia membayangkan jika makhluk yang ada dalam baliho itu bergerak memberikan uang kepada siapa saja anak jalanan yang melaluinya. Tapi sayangnya makhluk itu hanya mampu menyunggingkan senyum. Tidak tahu, tuluskah atau palsukah?
Tiba di rumah. Gadis itu tak bisa memejamkan mata. Dia teringat akan bocah tadi yang tak jadi ia beri uang. Uang yang sudah dipersiapkan itu, ia raba di kantongnya. “Hanya 2 ribu rupiah, kenapa aku tak kasih saja?” gumamnya dalam hati. Andai saja tadi ia tak menghiraukan ucapan ibu itu.
Rasa bersalahnya, membawanya kembali ke tempat yang sama di keesokan harinya. Ia menunggu di trotoar tempat biasa anak-anak seperti itu mangkal. Beberapa lama menunggu. Tak dijumpainya anak itu. Seorang wanita paruh baya mendekat. Tubuhnya dibalut dengan pakaian sobek dan kotor. Wajahnya hitam akibat debu jalanan yang tak pilih-pilih.
“Assalamu alaikum…” kata itu cukup mampu mengisyaratkan kalau ibu itu meminta sesuatu. Terlihat dari tangannya yang menengadah di hadapan gadis itu. Gadis itu tertegun sejenak, memandangi ibu itu. Satu lagi masalah yang memenuhi otaknya. Masalah semua orang yang hidup di negara ini.
“Waalaikum salam…” jawab gadis itu seraya merekahkan bibirnya. Diberi atau tidak. Pergolakan batin yang maju mundur dalam hatinya. Kalau diberi, nanti dia tidak akan berhenti meminta dan jadi pemalas. Justru menambah populasi pengemis. Kata-kata ibu itu semalam masih menganggu pikirannya. Tidak diberi, mana tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang diserukan untuk berbagi.
Ikhlas. Dia mantapkan dalam hatinya, bahwa niat itu hanya untuk bersedekah. Toh, tidak ada larangan dalam agama untuk tidak memberi golongan fakir miskin seperti mereka. Dia merogoh sakunya. Mengambil 2 lembar uang seribu. Lalu memberikannya pada ibu itu.
“Terima kasih, Nak.” Ucap ibu itu pelan dengan suara terbata-bata.
Gadis itu mengangguk dan kembali mengulurkan senyuman. Ibu itu berlalu dengan langkah yang tertatih-tatih. Hari semakin panas. Tak sedikit pun ia melihat batang hidung anak yang mengacaukan pikirannya semalam. Hingga hampir tak bisa memejamkan mata. Dia masih keukeuh menunggu. Niat yang sudah tertancap dengan baik, tidak boleh ia robohkan begitu saja.
Jam 15.00 lewat, anak itu tak kunjung muncul. Ia sudah dongkol menunggu ditemani terik matahari yang menyengat kulitnya yang mulus. Niat itu harus tetap ditunaikan. Kalau tidak, entah karma apa yang ia dapat.
***
Bayang-bayang tentang anak itu belum hilang. Ia masih menggelayut dalam pikirannya. Di kampus pun ia masih memikirkan niat yang belum sempat ditunaikan pada anak itu. Kuliah usai. Seperti kebiasannya, ia duduk di bawa pohon di taman kampus. Tertegun kosong memandang satu arah. Pikirannya masih terpenuhi oleh anak itu. Ada beberapa anak bernasib sama yang lewat di hadapannya, bahkan singgah untuk menawarkan jasa yang berbeda-beda. Ada anak pemulung sampah, anak penjual manisan, anak penjual roti, anak penjual jalangkote’ (baca:pastel), anak penjual koran. Ada banyak anak yang sebetulnya bisa ia beri tanpa menunggu anak malam itu. Tapi tetap tak bisa meruntuhkan niat yang sudah terpatri.
Tiba-tiba lamunannya buyar oleh sosok yang sedang berada di depannya. Seorang anak penjual koran. Mirip sekali. Ya, dia adalah anak yang sama. Anak yang menggantungkan niatnya. Tapi kenapa ia harus mengemis, padahal ia bisa meloper koran. Pekerjaan ini lebih bagus daripada mengemis. Dia adalah pahlawan. Pahlawan pembawa informasi. Sudah cukup bagi gadis itu untuk melamun lagi. Niatnya atas uang seribuan itu terlaksana. Anak itu cukup heran. Ia tak bermaksud meminta. Koran yang menumpuk di tangannya pun tak diambil oleh gadis itu.
“Terima Kasih, kak.” Ucap bocah itu dengan tulus. Ditambah pancaran kebahagiaan dari wajahnya yang berseri-seri. Tak tahu kalau gadis ini yang urung memberinya uang malam itu.
“Iya. Terima kasih kembali.” Jawab gadis itu dengan sejumput senyum bahagia. Tak pernah ia sebahagia ini. Bisa melihat anak seperti itu tersenyum merekah. Hanya karena mendapat uang lebih dari yang seharusnya mereka terima.
Gadis Malang itu Bernama "Farah"
Namanya Farah. Teman sekampusku yang tak begitu kukenal. Cantik. Semua laki-laki abnormal, jika tak menyebutnya cantik. Dandanannya yang modis. Dibalut pakaian yang super seksi, make up tebal, rambut dengan model bervariasi tiap harinya. Mirip artis. Siap yang tak mengenalnya. Junior maupun senior di fakultasku semua mengenalnya. Dia memang baik bahkan sangat ramah. Tak seperti wanita-wanita lain sepertinya, yang pandang bulu memilih teman.
Aku tak mampu menyembunyikan kekesalanku saat teman-teman priaku tak mengindahkannya sebagai perempuan. Dia selalu menjadi sasaran teman-teman priaku. Sasaran omongan-omongan kotor dan tingkah laku tak sopan yang ditujukan kepadanya. Sering kali dia dikatai dengan sebutan jorok. Atau bahkan mereka tak segan-segan menyentuhnya secara tak normal. Pernah suatu kali ada temanku yang minta dicium, Farah malah santai saja memberikan ciuman itu. Kasihan sekali. Dia bisanya diam saja. Tak pernah marah jadi objek ejekan teman-teman. Padahal hal itu sungguh di luar batas kesopanan.
Hari ini dia ke kampus. Seperti biasa dengan pakaian yang minim, baju ketat dan celana skinny ketat. Sebagai seorang pria aku mengakui dia memang cantik. Semua orang bahkan menjulukinya Farah Hilton lantaran cantik dan penampilannya yang terkesan seksi menyamai Paris Hilton. Dia malah asyik saja dan bangga dengan julukan itu, tanpa pernah menyangka kalau hal itu malah menjatuhkan derajatnya di mata pria.
Aku agak miris jika melihat dia duduk berdampingan dengan Zahra yang notabene seorang jilbaber besar. Anggota LDM (Lembaga Dakwah Kampus). Sangat berbeda 180 derajat. Tak pernah kah ia merasa rendah diri berhadapan atau berdekatan dengan Zahra. Zahra adalah sosok wanita yang begitu disegani di kelas. Sampai-sampai teman lelakiku menaruh hormat kepadanya. Tak berani mengajaknya bicara apalagi menyentuhnya. Aku memang simpatik sama Zahra. Dia sebenarnya tak begitu cantik, tapi karena ia menutup auratnya maka pancaran aura yang keluar begitu teduh dan bercahaya.
Aku mungkin berbeda dengan teman laki-lakiku yang lain, yang terlalu menaruh hormat pada Zahra. Aku tidak begitu segan pada Zahra. Karena ia tahu bagaimana menjaga diri dan bersikap pada lawan jenis. Namun, beda dengan Farah. Aku justru sangat menghormatinya. Tidak membeda-bedakan kedudukan dengan Zahra sebagai seorang wanita. Justru wanita seperti Farahlah yang mesti dijaga. Bukan semakin dilecehkan. Tapi, itu nampaknya tidak berlaku. Melihat Farah memang terkesan ingin diperlakukan seperti itu.
“Farhan, boleh jelaskan sekali lagi apa yang tadi kau paparkan.” Pinta Farah kepadaku agak sedikit kaku. Penjelasan barusan yang kukemukakan tidak ia pahami. Aku asisten dosen sehingga mau tidak mau aku harus bertindak layaknya dosen yang berusaha memahamkan materi yang dibawakan. Aku menolaknya. Bukan takut. Tapi sebagai rasa hormatku pada dia sebagai seorang wanita.
“Maaf, minta dijelaskan sama Zahra aja atau Maya.” Aku menghindarinya. Dia heran. Tapi tak mengucapkan apa-apa. Kutawarkan Zahra dan Maya mengingat mereka berdua seorang akhwat yang cerdas dan baik.
***
Malamnya, ia mengirimiku sms. Bermaksud ingin meminta penjelasan atas tindakanku tadi siang. Sms itu berbunyi:
“Aku tahu diriku tidak seperti Zahra ataupun Maya yang mungkin kau idamkan. Tapi setidaknya kau menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa kau tak mau bicara denganku? Aku tak meminta mengobrol berlam-lama denganmu. Karena aku tahu diri dan juga tahu dirimu. Aku hanya ingin dianggap ada olehmu. Mungkin kau memang tak menganggapku sebagai teman karena aku sama sekali memang tak pantas jadi temanmu. Mungkin aku hina di matamu. Tapi aku sangat menaruh hormat kepadamu.”
Tak pernah kubayangkan ia akan menulis sms seperti itu. 2 tahun kami sekelas, namun baru kali ini aku berinteraksi dengannya walaupun cuma lewat sms. Selama ini aku memang menghindarinya. Namun sangat mengkhawatirkannya dari belakang. Kenapa dia berpikir aku tak menghargainya. Apakah pengertian menghargai bagi dirinya adalah dengan memperlakukannya secara tak sopan. seperti laki-laki lain memperlakukannya? Justru aku sangat menghargainya. Aku bukannya tak ingin berteman dengannya. Tapi dia mengundang banyak maksiat. Ingin kubalas sms itu, tapi tak tahu harus berkata apa. Kubaca berkali-kali. Lalu kudiamkan saja.
Esoknya. Terasa aneh. Dia bahkan tak seceria biasanya. Apakah karena semalam? Entahlah. Dia selalu menatapku dengan tatapan aneh. Yang memaksaku untuk selalu menunduk. Tetap harus kuhindari. Penampilannya yang berlebihan dan bisa mengundang siapa saja untuk menganggunya masih melekat di dirinya. Tetap saja, teman-teman laki-lakiku usil terhadapnya. Itu menambah rasa kasihanku kepadanya. Harus kuapakan orang ini. Aku tidak tega ia diperlakukan seperti itu. Bukan karena aku menyukainya atau tertarik kepadanya, Namun dia adalah wanita yang semestinya dijaga.
“Hai Farah, makin cantik aja. Kok hari ini gak seceria biasanya?” Doni salah satu temanku menghampirinya. Dia terlalu berani mengganggu Farah. Dia bahkan tak segan-segan berbuat tak sopan pada Farah. Mungkin bukan salahnya. Atau salah laki-laki manapun. Farah sendiri yang mengundang mereka berbuat demikian. Nafsu tak akan muncul jika tak dipancing.
“Iya, Don. Ada apa?” gayung bersambut. Farah masih tetap meladeni lelaki hidung belang seperti Doni dengan gayanya yang centil. Begitulah tabiatnya yang memprihatinkan. Aku tak habis pikir. Kenapa dia masih saja bersikap begitu. Padahal ia tahu apa akibatnya.
Aku sudah tak konsen lagi. Tindakan mereka membuyarkan kefokusanku. Kemesraan itu tak semestinya diumbar. Apalagi ini adalah jam kuliah. Mereka tak sadar mata dosen sering kali menipu. Kelakuan itu mengingatkanku ketika Farah malah asyik bercengkerama di belakang kami dengan dosen, saat mata kuliah berlangsung. Dosen genit itu pun merasa senang karena disambut oleh Farah yang memang suka memancing.
***
Terus terang ini semakin tak bisa kubiarkan. Tingkahnya tak pernah berubah. Ingin sekali kuberitahu Zahra untuk mengajak Farah ikut kajian. Tapi aku takut Zahra berpikiran macam-macam. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu kutakutkan, karena hanya menghambatku beramar ma’ruf nahi munkar. Zahra seharusnya peka terhadap orang seperti Farah. Tapi aku juga tak mau menyalahkannya, mungkin saja ia sudah menegur Farah dan mengajaknya ikut kajian.
Yang selalu terbayag-bayang di pikiranku, pikiran buruk yang sebetulnya tak boleh ada. Sangatlah kutakutkan terjadi kepadanya. Mungkin aku sudah berlebihan memikirkannya. Tapi aku tak pernah berpikir macam-macam tentangnya. Aku hanya menginginkan sesuatu yang baik pada dirinya. Dia begitu polos dan jauh dari agama. Mesti disirami terus-menerus. Tapi aku tak tahu apakah ada yang memedulikannya.
Pernah ketika aku berjalan di koridor fakultasku, dan dia berjalan tak jauh di depanku. Para mahasiswa yang sedang kumpul-kumpul tak jelas. Bersuit-suit kepadanya. Bahkan mengeluarkan kata-kata gombal kurang sopan. Hatiku benar-benar panas, melihat itu. Tidak adakah yang peduli pada gadis ini. Setiap harinya mungkin saja menimbulkan dosa zina. Andai aku seorang wanita sudah dari dulu aku menyadarkannya. Kulihat sebenarnya ia lembut, dan gampang rapuh. Gampang saja bagi wanita seperti itu dipengaruhi. Dia hanya terlalu baik dan pasrah untuk diperlakukan tak sopan. Tapi sayang, aku tak tahu yang harus kulakukan. Diharapnya ibadah, tapi bernilai dosa di sisi Allah.
***
Malam ini, dia mengirimkan sms lagi kepadaku. Tak tahu apalagi maksudnya. Sms itu berisi:
“Assalamu alaikum, Aku semakin iri dengan Zahra, yang begitu disegani dan dihormati. Aku juga ingin menjadi orang yang kau anggap sebagai teman. Dan tak segan kau ajak bicara. Mungkin aku hina mengirimkan sms ini. Aku merasa tak pantas. Tak apa-apa kalau kau tidak mau membacanya. Hanya sekedar memberitahumu kalau inilah yang kualami. Ada pergolakan hebat dalam batinku bahwa aku juga ingin berubah.”
Sama seperti sebelumnya, aku tetap mendiamkan sms itu. Tak tahu bertindak bagaimana. Aku tidak peduli dia salah paham terhadapku. Menganggapku jahat atau apa. Tapi, aku tidak ingin hanya karena ini, aku bermaksiat kepada Allah. Dia sebenarnya ingin sekali berubah. Apakah hanya di bibir? kulihat tak ada sama sekali tanda-tanda kalau ia mau berubah. Dia masih tetap berpenampilan jahiliah yang membuat dirinya semakin ternodai. Tapi, di sisi lain, ia perlu disadarkan segera. Ia sudah bersedia.
Sejak sms itu tiba di tanganku, aku jadi berpandangan lain terhadapnya. Keinginanku untuk melihatnya berubah, semakin besar. Sampai-sampai aku memimpikannya. Ia berubah menjadi sosok muslimah yang santun. Penampilannya dibalut dengan jilbab syar’i. Dia bahkan mengalahkan kecantikan Zahra. Jauh di atas Zahra. Sungguh aneh mimpi itu. Mungkin mimpi itu pertanda baik baginya. Pikiranku pun melayang-layang. Apakah esok aku sudah melihatnya berubah. Apakah esok dia sudah menutup auratnya? Begitulah perasaanku setelah memimpikannya.
Di kampus aku datang dengan perasaan biasa-biasa saja. Bahkan tekesan lebih semangat. Apakah mimpiku benar adanya. Sungguh berkebalikan 360 derajat bahkan 1000 derajat. Seantero kampus membicaraknnya. Inilah yang dari dulu tak kuinginkan terjadi padanya. Dia diperkosa oleh seorang tukang becak yang mengantarnya pulang. Pakaiannya yang sangat minim di tambah wajahnya yang cantik membangkitkan hasrat tukang becak itu. Setelah itu dia sama sekali tak pernah kulihat lagi. Kekhawatiran terbesarku akhirnya terjadi. Belum sempat kulihat dirinya berubah. Dia sudah jatuh pada akibat terparah. Apakah ini Isyarat mimpi semalam?
Aku tak mampu menyembunyikan kekesalanku saat teman-teman priaku tak mengindahkannya sebagai perempuan. Dia selalu menjadi sasaran teman-teman priaku. Sasaran omongan-omongan kotor dan tingkah laku tak sopan yang ditujukan kepadanya. Sering kali dia dikatai dengan sebutan jorok. Atau bahkan mereka tak segan-segan menyentuhnya secara tak normal. Pernah suatu kali ada temanku yang minta dicium, Farah malah santai saja memberikan ciuman itu. Kasihan sekali. Dia bisanya diam saja. Tak pernah marah jadi objek ejekan teman-teman. Padahal hal itu sungguh di luar batas kesopanan.
Hari ini dia ke kampus. Seperti biasa dengan pakaian yang minim, baju ketat dan celana skinny ketat. Sebagai seorang pria aku mengakui dia memang cantik. Semua orang bahkan menjulukinya Farah Hilton lantaran cantik dan penampilannya yang terkesan seksi menyamai Paris Hilton. Dia malah asyik saja dan bangga dengan julukan itu, tanpa pernah menyangka kalau hal itu malah menjatuhkan derajatnya di mata pria.
Aku agak miris jika melihat dia duduk berdampingan dengan Zahra yang notabene seorang jilbaber besar. Anggota LDM (Lembaga Dakwah Kampus). Sangat berbeda 180 derajat. Tak pernah kah ia merasa rendah diri berhadapan atau berdekatan dengan Zahra. Zahra adalah sosok wanita yang begitu disegani di kelas. Sampai-sampai teman lelakiku menaruh hormat kepadanya. Tak berani mengajaknya bicara apalagi menyentuhnya. Aku memang simpatik sama Zahra. Dia sebenarnya tak begitu cantik, tapi karena ia menutup auratnya maka pancaran aura yang keluar begitu teduh dan bercahaya.
Aku mungkin berbeda dengan teman laki-lakiku yang lain, yang terlalu menaruh hormat pada Zahra. Aku tidak begitu segan pada Zahra. Karena ia tahu bagaimana menjaga diri dan bersikap pada lawan jenis. Namun, beda dengan Farah. Aku justru sangat menghormatinya. Tidak membeda-bedakan kedudukan dengan Zahra sebagai seorang wanita. Justru wanita seperti Farahlah yang mesti dijaga. Bukan semakin dilecehkan. Tapi, itu nampaknya tidak berlaku. Melihat Farah memang terkesan ingin diperlakukan seperti itu.
“Farhan, boleh jelaskan sekali lagi apa yang tadi kau paparkan.” Pinta Farah kepadaku agak sedikit kaku. Penjelasan barusan yang kukemukakan tidak ia pahami. Aku asisten dosen sehingga mau tidak mau aku harus bertindak layaknya dosen yang berusaha memahamkan materi yang dibawakan. Aku menolaknya. Bukan takut. Tapi sebagai rasa hormatku pada dia sebagai seorang wanita.
“Maaf, minta dijelaskan sama Zahra aja atau Maya.” Aku menghindarinya. Dia heran. Tapi tak mengucapkan apa-apa. Kutawarkan Zahra dan Maya mengingat mereka berdua seorang akhwat yang cerdas dan baik.
***
Malamnya, ia mengirimiku sms. Bermaksud ingin meminta penjelasan atas tindakanku tadi siang. Sms itu berbunyi:
“Aku tahu diriku tidak seperti Zahra ataupun Maya yang mungkin kau idamkan. Tapi setidaknya kau menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa kau tak mau bicara denganku? Aku tak meminta mengobrol berlam-lama denganmu. Karena aku tahu diri dan juga tahu dirimu. Aku hanya ingin dianggap ada olehmu. Mungkin kau memang tak menganggapku sebagai teman karena aku sama sekali memang tak pantas jadi temanmu. Mungkin aku hina di matamu. Tapi aku sangat menaruh hormat kepadamu.”
Tak pernah kubayangkan ia akan menulis sms seperti itu. 2 tahun kami sekelas, namun baru kali ini aku berinteraksi dengannya walaupun cuma lewat sms. Selama ini aku memang menghindarinya. Namun sangat mengkhawatirkannya dari belakang. Kenapa dia berpikir aku tak menghargainya. Apakah pengertian menghargai bagi dirinya adalah dengan memperlakukannya secara tak sopan. seperti laki-laki lain memperlakukannya? Justru aku sangat menghargainya. Aku bukannya tak ingin berteman dengannya. Tapi dia mengundang banyak maksiat. Ingin kubalas sms itu, tapi tak tahu harus berkata apa. Kubaca berkali-kali. Lalu kudiamkan saja.
Esoknya. Terasa aneh. Dia bahkan tak seceria biasanya. Apakah karena semalam? Entahlah. Dia selalu menatapku dengan tatapan aneh. Yang memaksaku untuk selalu menunduk. Tetap harus kuhindari. Penampilannya yang berlebihan dan bisa mengundang siapa saja untuk menganggunya masih melekat di dirinya. Tetap saja, teman-teman laki-lakiku usil terhadapnya. Itu menambah rasa kasihanku kepadanya. Harus kuapakan orang ini. Aku tidak tega ia diperlakukan seperti itu. Bukan karena aku menyukainya atau tertarik kepadanya, Namun dia adalah wanita yang semestinya dijaga.
“Hai Farah, makin cantik aja. Kok hari ini gak seceria biasanya?” Doni salah satu temanku menghampirinya. Dia terlalu berani mengganggu Farah. Dia bahkan tak segan-segan berbuat tak sopan pada Farah. Mungkin bukan salahnya. Atau salah laki-laki manapun. Farah sendiri yang mengundang mereka berbuat demikian. Nafsu tak akan muncul jika tak dipancing.
“Iya, Don. Ada apa?” gayung bersambut. Farah masih tetap meladeni lelaki hidung belang seperti Doni dengan gayanya yang centil. Begitulah tabiatnya yang memprihatinkan. Aku tak habis pikir. Kenapa dia masih saja bersikap begitu. Padahal ia tahu apa akibatnya.
Aku sudah tak konsen lagi. Tindakan mereka membuyarkan kefokusanku. Kemesraan itu tak semestinya diumbar. Apalagi ini adalah jam kuliah. Mereka tak sadar mata dosen sering kali menipu. Kelakuan itu mengingatkanku ketika Farah malah asyik bercengkerama di belakang kami dengan dosen, saat mata kuliah berlangsung. Dosen genit itu pun merasa senang karena disambut oleh Farah yang memang suka memancing.
***
Terus terang ini semakin tak bisa kubiarkan. Tingkahnya tak pernah berubah. Ingin sekali kuberitahu Zahra untuk mengajak Farah ikut kajian. Tapi aku takut Zahra berpikiran macam-macam. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu kutakutkan, karena hanya menghambatku beramar ma’ruf nahi munkar. Zahra seharusnya peka terhadap orang seperti Farah. Tapi aku juga tak mau menyalahkannya, mungkin saja ia sudah menegur Farah dan mengajaknya ikut kajian.
Yang selalu terbayag-bayang di pikiranku, pikiran buruk yang sebetulnya tak boleh ada. Sangatlah kutakutkan terjadi kepadanya. Mungkin aku sudah berlebihan memikirkannya. Tapi aku tak pernah berpikir macam-macam tentangnya. Aku hanya menginginkan sesuatu yang baik pada dirinya. Dia begitu polos dan jauh dari agama. Mesti disirami terus-menerus. Tapi aku tak tahu apakah ada yang memedulikannya.
Pernah ketika aku berjalan di koridor fakultasku, dan dia berjalan tak jauh di depanku. Para mahasiswa yang sedang kumpul-kumpul tak jelas. Bersuit-suit kepadanya. Bahkan mengeluarkan kata-kata gombal kurang sopan. Hatiku benar-benar panas, melihat itu. Tidak adakah yang peduli pada gadis ini. Setiap harinya mungkin saja menimbulkan dosa zina. Andai aku seorang wanita sudah dari dulu aku menyadarkannya. Kulihat sebenarnya ia lembut, dan gampang rapuh. Gampang saja bagi wanita seperti itu dipengaruhi. Dia hanya terlalu baik dan pasrah untuk diperlakukan tak sopan. Tapi sayang, aku tak tahu yang harus kulakukan. Diharapnya ibadah, tapi bernilai dosa di sisi Allah.
***
Malam ini, dia mengirimkan sms lagi kepadaku. Tak tahu apalagi maksudnya. Sms itu berisi:
“Assalamu alaikum, Aku semakin iri dengan Zahra, yang begitu disegani dan dihormati. Aku juga ingin menjadi orang yang kau anggap sebagai teman. Dan tak segan kau ajak bicara. Mungkin aku hina mengirimkan sms ini. Aku merasa tak pantas. Tak apa-apa kalau kau tidak mau membacanya. Hanya sekedar memberitahumu kalau inilah yang kualami. Ada pergolakan hebat dalam batinku bahwa aku juga ingin berubah.”
Sama seperti sebelumnya, aku tetap mendiamkan sms itu. Tak tahu bertindak bagaimana. Aku tidak peduli dia salah paham terhadapku. Menganggapku jahat atau apa. Tapi, aku tidak ingin hanya karena ini, aku bermaksiat kepada Allah. Dia sebenarnya ingin sekali berubah. Apakah hanya di bibir? kulihat tak ada sama sekali tanda-tanda kalau ia mau berubah. Dia masih tetap berpenampilan jahiliah yang membuat dirinya semakin ternodai. Tapi, di sisi lain, ia perlu disadarkan segera. Ia sudah bersedia.
Sejak sms itu tiba di tanganku, aku jadi berpandangan lain terhadapnya. Keinginanku untuk melihatnya berubah, semakin besar. Sampai-sampai aku memimpikannya. Ia berubah menjadi sosok muslimah yang santun. Penampilannya dibalut dengan jilbab syar’i. Dia bahkan mengalahkan kecantikan Zahra. Jauh di atas Zahra. Sungguh aneh mimpi itu. Mungkin mimpi itu pertanda baik baginya. Pikiranku pun melayang-layang. Apakah esok aku sudah melihatnya berubah. Apakah esok dia sudah menutup auratnya? Begitulah perasaanku setelah memimpikannya.
Di kampus aku datang dengan perasaan biasa-biasa saja. Bahkan tekesan lebih semangat. Apakah mimpiku benar adanya. Sungguh berkebalikan 360 derajat bahkan 1000 derajat. Seantero kampus membicaraknnya. Inilah yang dari dulu tak kuinginkan terjadi padanya. Dia diperkosa oleh seorang tukang becak yang mengantarnya pulang. Pakaiannya yang sangat minim di tambah wajahnya yang cantik membangkitkan hasrat tukang becak itu. Setelah itu dia sama sekali tak pernah kulihat lagi. Kekhawatiran terbesarku akhirnya terjadi. Belum sempat kulihat dirinya berubah. Dia sudah jatuh pada akibat terparah. Apakah ini Isyarat mimpi semalam?
Perpisahan di Awal Pertemuan
Perpisahan itulah awal dari pertemuan kami yang tertunda sekian lama. Kami bertemu dan berpisah saat itu juga. Ada rasa puas sekaligus kecewa dalam hatiku. Bisa bertemu dengannya dari sekian lama tak bertemu. Dan berpisah untuk waktu yang entah kapan bertemu lagi. Kami bertemu di tempat kenangan kami. Tempat kami sering bermain di waktu kecil. Di bawah pohon yang tetap tegak hingga kami beranjak dewasa. Kami tidak tahu apa nama pohon itu. Tapi kami menamainya pohon kesepian. Pergi pagi dan pulang sore. Itu lah yang kami lakukan. Dia bahkan sudah kuanggap kakak kandungku. Maklum, aku putri tunggal. Begitupun dia, menganggapku adiknya. Dia bahkan sering menggendongku di punggungnya jika aku kelelahan berjalan. Sampai suatu saat kami berjanji lagi untuk bermain di tempat itu. Tapi, hingga sore dia tak kunjung datang. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Pulang ke rumah seorang diri. Di tengah hari yang sudah mulai gelap. Berhari-hari aku tak hentinya meneteskan air mata. Kucari dia, tapi tak kutemukan. Dia hilang tanpa memberi kabar. Saat itu, kuputuskan untuk membenci dia.
Hari ini. Di tempat kenangan kami. Tepat 15 tahun dia meninggalkanku. Saat di mana kedatangannya 15 tahun yang lalu itu sangat kunantikan. Tapi dia tak kunjung datang. Dan malah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku duduk di kursi tepat di bawah pohon kesepian itu. Sama seperti diriku yang juga kesepian. Aku menatap pemandangan di hadapanku. Sangat hijau. Semilir angin yang meniup rambutku hingga menerpa wajahku. Terasa sejuk sekali. Aku mengingat kenanganku bersamanya. Bersama pria yang baru saja akan kucintai tapi berubah sangat membencinya. Apa kabarnya dia sekarang? Apakah sudah sukses? Sudah menikah? Atau punya anak?
“Hai Tiara, bagaimana kabarmu?” tiba-tiba suara seorang pria dari belakang membuyarkanku dari lamunanku. Suara yang terdengar tak asing.
Aku berbalik, dan berdiri. Tiba-tiba air mataku jatuh. Entah kenapa air mata itu jatuh begitu saja. Aku hanya bisa tertegun oleh sosok pria di hadapanku. Dialah pria pertama yang membuatku merasakan cinta. Sekaligus merasakan benci. Aku tidak mengerti saat ini perasaanku. Bencikah atau rindukah?
“Halo, kok nangis? Apa kau tidak bahagia bertemu denganku?” ucapnya dengan senyum lembut.
Aku tetap diam. Bisa-bisanya dia bersikap ceria seperti itu. Apa dia tidak tahu sakit yang selama ini kurasakan. Rindu yang selama ini menyesakkan dadaku. Dan cinta yang selama ini kupendam.
Air mataku bahkan mengucur lebih deras lagi. Dia mendekatiku dan memapahku. Kami berdua lalu duduk di kursi kayu itu. Dia kemudian menaruh kepalaku di pundaknya.
“Menangislah. Menangislah sepuasmu. Marahlah. Marahlah kepadaku sekuat tenagamu. Maaf, aku baru bisa menepatinya sekarang. Menepati janjiku untuk bertemu kamu 15 tahun yang lalu itu.”
Bibirku sudah tidak bisa berucap lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan menangis.
“Ada begitu banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Termasuk ketidakdatanganku 15 tahun yang lalu itu. Kenapa kau tidak bicara. Cobalah katakan sesuatu.”
“Aku benci kau Reza. Kenapa kau meninggalkanku waktu itu? Tidakkah kau merasa bersalah, meninggalkan gadis kecil seorang diri. Dan membiarkannya pulang sendiri di saat hampir malam.”
“Semuanya terpaksa. Kau tidak akan bisa mengerti. Begitu banyak yang tidak kau ketahui tentangku. Ada banyak rahasia yang tak mampu kukatakan kepadamu.”
“Lalu, kenapa kau tiba-tiba hadir lagi di hadapanku? Di saat aku sudah ingin melupakanmu, kau malah hadir dan merusak segalanya.”
“Apa benar kau sudah melupakanku? Lalu kenapa kau datang di tempat yang seharusnya tidak kau injak lagi. Kau tahu Tiara, aku tidak akan pernah bisa melupakanku. Mencoba melupakanmu pun tidak bisa. Ada begitu banyak yang hilang jika aku melupakanmu. Bahkan bagian terindah dari hidupku akan hilang. Tapi kau tidak perlu khawatir karena kau akan segera melupakanku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku heran atas perkataannya barusan.
“Hari ini aku hanya datang menepati janjiku. Dan tak kusangka kau pun ada. Itulah takdir hidup kita. Tapi, aku akan segera berangkat ke Amerika. Malam ini. Menempuh beasiswa S2-ku. Aku terpilih atas prestasiku meraih cum laude dan lulusan terbaik di Universitas Indonesia. Dan mungkin akan menetap di sana. Jadi kau tidak perlu khawatir. Kau pasti akan segera melupakanku. Tapi yang pasti aku tidak akan pernah melupakanmu. Karena aku percaya, kita pasti bertemu lagi.”
Aku memelukny sekuat tenaga dengan tangisan yang semakin mengucur deras. Di saat hatiku terbuka lagi untuknya, dia malah memutuskan untuk meninggalkanku lagi. Dia benar-benar kejam padaku. Sungguh kejam. Aku bahkan tidak mampu mendengar kata perpisahan darinya. Aku ingin tahu bagaimana perasaannya saat ini. Apakah dia merasakan seperti yang kurasakan. Rasa berkecamuk di dalam dadaku. Dia melepas pelukanku. Dan menatapku dengan lembut. Mengusap air mataku. Dan kemudian mendaratkan bibirnya di keningku. Itulah ucapan perpisahan itu.
NB: iseng-iseng buat cerpen ngepop dikit. Soalnya sebelum bergabung di FLP gaya nulisQ agak ngepop gitu yang didominasi percintaan remaja. Boleh dibaca, tapi hanya sekedar dibaca jangan dibawa ke kehidupan nyata. Soalnya nggak syar’i hehe…^_^
Hari ini. Di tempat kenangan kami. Tepat 15 tahun dia meninggalkanku. Saat di mana kedatangannya 15 tahun yang lalu itu sangat kunantikan. Tapi dia tak kunjung datang. Dan malah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku duduk di kursi tepat di bawah pohon kesepian itu. Sama seperti diriku yang juga kesepian. Aku menatap pemandangan di hadapanku. Sangat hijau. Semilir angin yang meniup rambutku hingga menerpa wajahku. Terasa sejuk sekali. Aku mengingat kenanganku bersamanya. Bersama pria yang baru saja akan kucintai tapi berubah sangat membencinya. Apa kabarnya dia sekarang? Apakah sudah sukses? Sudah menikah? Atau punya anak?
“Hai Tiara, bagaimana kabarmu?” tiba-tiba suara seorang pria dari belakang membuyarkanku dari lamunanku. Suara yang terdengar tak asing.
Aku berbalik, dan berdiri. Tiba-tiba air mataku jatuh. Entah kenapa air mata itu jatuh begitu saja. Aku hanya bisa tertegun oleh sosok pria di hadapanku. Dialah pria pertama yang membuatku merasakan cinta. Sekaligus merasakan benci. Aku tidak mengerti saat ini perasaanku. Bencikah atau rindukah?
“Halo, kok nangis? Apa kau tidak bahagia bertemu denganku?” ucapnya dengan senyum lembut.
Aku tetap diam. Bisa-bisanya dia bersikap ceria seperti itu. Apa dia tidak tahu sakit yang selama ini kurasakan. Rindu yang selama ini menyesakkan dadaku. Dan cinta yang selama ini kupendam.
Air mataku bahkan mengucur lebih deras lagi. Dia mendekatiku dan memapahku. Kami berdua lalu duduk di kursi kayu itu. Dia kemudian menaruh kepalaku di pundaknya.
“Menangislah. Menangislah sepuasmu. Marahlah. Marahlah kepadaku sekuat tenagamu. Maaf, aku baru bisa menepatinya sekarang. Menepati janjiku untuk bertemu kamu 15 tahun yang lalu itu.”
Bibirku sudah tidak bisa berucap lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan menangis.
“Ada begitu banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Termasuk ketidakdatanganku 15 tahun yang lalu itu. Kenapa kau tidak bicara. Cobalah katakan sesuatu.”
“Aku benci kau Reza. Kenapa kau meninggalkanku waktu itu? Tidakkah kau merasa bersalah, meninggalkan gadis kecil seorang diri. Dan membiarkannya pulang sendiri di saat hampir malam.”
“Semuanya terpaksa. Kau tidak akan bisa mengerti. Begitu banyak yang tidak kau ketahui tentangku. Ada banyak rahasia yang tak mampu kukatakan kepadamu.”
“Lalu, kenapa kau tiba-tiba hadir lagi di hadapanku? Di saat aku sudah ingin melupakanmu, kau malah hadir dan merusak segalanya.”
“Apa benar kau sudah melupakanku? Lalu kenapa kau datang di tempat yang seharusnya tidak kau injak lagi. Kau tahu Tiara, aku tidak akan pernah bisa melupakanku. Mencoba melupakanmu pun tidak bisa. Ada begitu banyak yang hilang jika aku melupakanmu. Bahkan bagian terindah dari hidupku akan hilang. Tapi kau tidak perlu khawatir karena kau akan segera melupakanku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku heran atas perkataannya barusan.
“Hari ini aku hanya datang menepati janjiku. Dan tak kusangka kau pun ada. Itulah takdir hidup kita. Tapi, aku akan segera berangkat ke Amerika. Malam ini. Menempuh beasiswa S2-ku. Aku terpilih atas prestasiku meraih cum laude dan lulusan terbaik di Universitas Indonesia. Dan mungkin akan menetap di sana. Jadi kau tidak perlu khawatir. Kau pasti akan segera melupakanku. Tapi yang pasti aku tidak akan pernah melupakanmu. Karena aku percaya, kita pasti bertemu lagi.”
Aku memelukny sekuat tenaga dengan tangisan yang semakin mengucur deras. Di saat hatiku terbuka lagi untuknya, dia malah memutuskan untuk meninggalkanku lagi. Dia benar-benar kejam padaku. Sungguh kejam. Aku bahkan tidak mampu mendengar kata perpisahan darinya. Aku ingin tahu bagaimana perasaannya saat ini. Apakah dia merasakan seperti yang kurasakan. Rasa berkecamuk di dalam dadaku. Dia melepas pelukanku. Dan menatapku dengan lembut. Mengusap air mataku. Dan kemudian mendaratkan bibirnya di keningku. Itulah ucapan perpisahan itu.
NB: iseng-iseng buat cerpen ngepop dikit. Soalnya sebelum bergabung di FLP gaya nulisQ agak ngepop gitu yang didominasi percintaan remaja. Boleh dibaca, tapi hanya sekedar dibaca jangan dibawa ke kehidupan nyata. Soalnya nggak syar’i hehe…^_^
Pria di Halte Itu
Hari itu hujan. Aku baru saja keluar dari kampus setelah menyelesaikan studiku. Karena payung tak ada, terpaksa aku memutuskan untuk berteduh sejenak di halte, sambil menunggu angkot. Aku merapikan baju dan kerudungku yang kusut. Di halte itu aku tidak sendiri. Ada tiga orang lainnya. Ada sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Satunya lagi seorang pria yang kelihatannya serius. Tak pernah kutemukan guratan wajah serius, tenang, kaku seperti itu. Tak sedikitpun terlihat tanda-tanda kalau dia orang yang ramah, suka senyum. Dari tadi kuperhatikan ada tanda-tanda ketidaksenangan di wajahnya melihat sepasang kekasih itu bermesaraan. Ketawa-ketiwi. Dunia seolah milik mereka berdua. Sangat mengganggu dirinya.
Pria berkacamata dan berkulit putih itu semakin memperlihatkan rasa tidak sukanya. Sesekali ia menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Seperti isyarat yang bermaksud menyinggung. Tapi masih bisa tertahankan. Akan dianggap gila urusan jika reaksi yang keluar berlebihan.
Aku pun tidak setuju dengan tindakan mereka yang mengombar kemesraan di depan umum. Aku merasakan sesak di dadaku melihat perbuatan terlarang itu. Semakin sesak rasanya. Ingin sekali aku menegur. Tapi sifat kelumrahan itu bagi kebanyakan orang menjadikanku urung.
“Kalau saja hari ini kiamat, apa kalian tidak takut mati dalam keadaan berdosa?” pertanyaan yang menyinggung akhirnya keluar juga dari bibir pria berkacamata itu. Terlalu berani tapi tepat sasaran.
“Maksud kamu apa? tidak suka dengan kami? Apa kamu terganggu dengan kehadiaran kami? Emang tempat ini milik nenekmu apa?” pria itu malah menyindir. Dia sama sekali tidak merasa bersalah bahkan menganggu.
“Nggak usah diladeni sayang. Biarkan saja. Orang seperti itu cuma iri dengan kita. Orang seperti itu sudah sering saya temukan. Mereka adalah orang-orang susah mendapatkan cinta. Kesannya idealis tapi sebenarnya mereka cuma miskin cinta. Ganteng-ganteng kok nggak laku.” Sang wanita malah berkomentar sedikit menantang dan menyinggung.
“Wanita zaman sekarang memang bodoh. Mereka mau saja tunduk pada nafsu lelaki. Apa kamu tidak tahu kalau pacarmu yang sekarang kau puja-puja itu, suatu saat nanti akan menendangmu jauh-jauh. Setelah dia mendapatkan yang lebih cantik dari kamu. Dan kamu akan menangis merengek-rengek meminta pertanggungjawaban setelah kamu merasa telah dirugikan.” Pria berkacamata itu membalas dan semakin menyudutkan sang wanita. Wanita itu marah. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang menunjukkan ekspresi emosi yang tak tertahankan. Tapi tak satu pun kata balasan yang keluar dari bibirnya. Kekasihnya pun membiarkan. Seolah merasa dipojokkan oleh pria berkacamata itu.
Aku hanya menjadi pendengar dalam perselisihan itu. Aku belum mampu bertindak berani seperti itu. Aku salut. Masih ada yang mau berbuat nekat. Padahal sudah sering kutemukan kasus seperti ini. Aku tahu itu dosa, tapi aku membiarkan. Orang-orang pun membiarkan. Mengingat hal seperti ini adalah suatu kelaziman.
Sepasang kekasih itu diam. Mereka mematung. Mau beranjak tapi hujan belum juga reda. Kemesraan yang tadinya diumbar terhentikan oleh ucapan dari pria berkacamata itu. Angkot pun sudah banyak yang berlalu lalang. Tapi tak satu pun kuperhatikan. Aku puas sekali. Kegeramanku mereda. Sosok pria yang ada di sampingku itu mengingatkanku pada Soe Hok Gie. Seorang aktivis mahasiswa pengkritik pemerintah yang sangat idelis. Apakah dia seorang aktivis? Mungkin saja.
“Ayo sayang kita pergi. Jangan berlama-lama di tempat ini. Ada orang sok suci. Nanti dia juga akan tahu rasanya pacaran. Kalau dia tidak tergoda sama sekali, berarti dia itu malaikat. Aku tidak yakin dia mampu menahan hasratnya. Dasar sok suci!” ungkapan kasar keluar dari bibir pria itu sebelum ia beranjak. Hujan memang sudah reda. Pasangan kekasih itu pun berlalu dengan mengendarai sebuah motor sambil bergandengan mesra.
Tinggal kami berdua yang ada di halte itu. Ingin rasanya kumulai percakapan dengan pria itu. Tapi aku takut. Dia terlalu serius dan kritisis. Apalagi jika yang mengajak ngobrol duluan adalah seorang perempuan. Mungkin dia lebih tidak suka. Bayang-bayang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya sudah kukira-kira. Ah, aku terlalu dini buruk sangka. Tapi biarkan saja. Diam pun tak mengapa. Tidak ada ruginya juga jika aku tidak mengajak mengobrol.
“Apa jadinya ya jika pria tadi memukulku? Mungkin aku sudah terluka. Aku tidak pandai berkelahi. Tapi mulutku terlalu berani dan selalu mengundang dunia persilatan.” dia berbicara kepadaku. Dia tertawa. Lebih kelihatan manis kalau dia seperti ini. Sifatnya yang serius tadi mencair seketika. Tak kusangka pria ini bisa juga tersenyum.
“Jadi kau cuma berani di mulut doank. Hebat. Tak terlihat sedikit pun kalau kau juga takut. Kok bisa ya, cuma dengan kata-katamu mereka ciut dan mengalah. Ditambah dengan gaya yang tadi kamu lakukan. Tidak ada yang akan menyangka kalau kau pun sebenarnya takut dan deg-degan.” Kusambut dengan tanggapan yang sok akrab. Persangkaanku salah. Ternyata malah dia yang lebih dulu mengajakku mengobrol.
“Sebenarnya itu cuma strategiku. Biar mereka ciut duluan. Aku malah bersyukur, mereka cepat pergi. Aku tadi berdoa jangan sampai pria itu mengajakku berkelahi. Aku bisa mampus.” Dia kembali tersenyum.
“Tapi tindakanmu terlalu berani. Kalau pria tadi mengajak berantem. Kau bisa bahaya. Bahkan nyawamu pun bisa terancam. Zaman sekarang, nyawa bukanlah perkara berharga. Orang gampang saja menghilangkan nyawa seseorang untuk alasan yang sepele. Dunia ini semakin hari semakin menuju kehancuran. Sunnatullah itu tidak akan berubah. Kebaikan yang kita lakukan hanya akan mengurangi kehacuran bukan memperbaiki kehancuran yang terus berjalan.”
“Betul juga sih. Tapi sejuah ini strategi yang kulakukan belum ada yang gagal. Mudah-mudahan Allah selalu menolongku dalam kebenaran. Aku yakin kalau kita benar insya Allah jalannya terbuka.” Aku mengiyakan ucapannya dengan senyuman. Tak berani memandangnya.
Hening sesaat… aku menunduk.
“Dari tadi kuperhatikan, kau pun segan padaku. Apa kau berpikir yang macam-macam tentang aku? Terlalu cepat menilai seseorang, padahal belum tahu siapa orang itu adalah sikap yang menurutku keliru. Seperti kamu tadi.” Dia menertawaiku. Lagi-lagi kubalas dengan senyuman atas kekeliruanku tadi. Aku tetap tidak bisa menahan rasa maluku. Aku memilih diam.
“Mungkin orang mengaggapku aneh. Tapi aku tidak pernah merasa aneh. Banyak orang yang tidak menyukaiku. Tapi aku tidak pernah khawatir. Kenapa mesti melihat pandangan manusia? Kalau pandangan Allah itu lebih utama. Tidak pantas kita mengukur sesuatu atas persepsi manusia. Kalau mereka bilang aku radikal dan idealis. Biarlah, aku memang seperti itu. Apa salahnya?. Kalau mereka bilang aku anti pacaran dan anti wanita, silahkan! aku memang anti. Aku hanya akan mencintai istriku kelak.” Kalimat terkhirnya membuatku merinding. Siapakah wanita beruntung itu? Punya suami tampan, cerdas, berakhlak seperti dia, rasanya tidak akan ada yang menolak. Astagfirullah! pikiran buruk itu kubuang jauh-jauh.
Kalau dilihat-lihat tidak akan ada yang menyangka kalau pemikirannya sedalam itu. Dia lebih terkesan hedonis. Wajah tampan, tak kalah saing dengan selebriti, menciptakan image seperti itu. Tidak ada tanda hitam di dahinya ataupun baju koko dengan celana tergantung. Sama sekali tidak mencerminkan kalau dia sedikit fundamental. Terus terang, aku salut, kagum, simpatik. Masih ada pria seperti itu.
“Siapa bilang kamu aneh? Hanya orang aneh yang bilang kamu aneh. Kalau itu suatu kebaikan kenapa mesti dianggap aneh. Kalau tidak ada yang seperti kamu. Apa bisa orang akan sadar akan kesalahannya. Aku malah salut. Aku juga berharap bisa berani menyampaikan kebenaran. Tapi aku belum mampu dengan jalan seperti itu. Ketakutan mengalahkan tekadku.”
“Aku mengerti. Lebih terlihat aneh lagi jika yang melakukannya seorang wanita. Nanti dianggap radikal atau ekstermlah. Kan gak bagus. Nanti orang pada ilfeel. Trus gak ada yang naksir deh.” Candanya kepadaku.
“Kamu sendiri gak takut, orang pada ilfeel sama kamu. Trus gak ada yang naksir?”
“Ya, nggak apa-apa. Biar aku saja yang naksir orang. Orang gak perlu naksir aku. Ada nggak ya wanita yang betul-betul berani melawan kebathilan seperti itu?”
“Jangankan wanita, laki-laki saja jarang.” Tambahku.
“Tapi kalau masalah gender, mereka lantang bersuara. Aneh ya? masalah mereka dieksploitasi. Mereka diam saja. Terkesan mereka sendiri yang sengaja menodai dirinya sendiri. Susah sih dapatkan wanita yang betul-betul berjuang di jalan Allah. Kalau kamu gimana? Tapi aku rasa wanita sepertimu tidak akan mampu.”
Aku bisa menangkap kalau dia mendambakan seorang wanita yang rela berjuang untuk sebuah dakwah. Demi tegaknya nilai-nilai islam. Kata-kata yang barusan dia lontarkan terasa janggal di telingaku. Apa dia mengharapkan aku menjadi wanita seperti itu? Kalimat terakhirnya itu memang tepat. Aku lemah. Keberanianku kecil. Kepolosan dan keluguan yang dia tangkap dari wajahku membuatnya berpikir kalau aku tidak akan mampu melakukan itu. Lebih tepatnya, dia meremehkanku.
Hujan dari tadi reda. Tapi mengapa aku belum juga mau pulang? Serasa diriku tidak mau beranjak dari tempat duduk ini. Obrolan panjang di antara kami berakhir dengan kebisuan. Dia akhinya diam. Aku pun ikut diam. Ada banyak permasalahan yang sudah kami diskusikan. Ada ikatan komunikasi yang nyambung di antara kami.. Tak tahu lagi apakah masih bisa mengobrol dengannya seperti ini. Atau inikah yang pertama sekaligus yang terakhir. Aku tidak pernah kenal bahkan lihat orang ini sebelumnya. Ini pertemuan pertama kami, tapi tidak asing bagiku.
Dia ingin permisi lebih dahulu. Alasannya untuk tetap di sini sudah tidak menghalang lagi. Hujan yang baru saja turun adalah hujan yang menjembatani pertemuan kami. Apakah dia berpikir sama denganku. Ataukah dia tidak mengharapkan lagi pertemuan kami selanjutnya. Aku tidak tahu. Terlalu cepat untuk berpikir yang aneh-aneh. Biarkan takdir yang berbicara.
“Terima kasih sudah mau mendengarkanku. Baru pertama kali aku menemukan orang yang setuju dengan pemikiranku. Mengobrol denganmu adalah pengalaman yang mengasyikkan bagiku. Semoga kita masih bisa berdiskusi. Entah kapan. Sampai ketemu lagi. Assalamu alaikum.”
Senyuman itu tidak tahu kapan lagi bisa kulihat. Dia berucap sambil berjalan menuju angkot yang berhenti di depan kami. Bagaimana mungkin bisa bertemu kalau hanya sekedar ucapan sampai ketemu. Belum saling mengenal. Bahkan dia jurusan dan angkatan berapa aku tidak tahu. Sebenarnya ingin sekali kuminta nomor ponselnya, tapi menurutku itu tidak etis. Apalagi aku seorang wanita. Tambah tidak etis. Biarkan saja hari ini berlalu. Biarlah takdir yang mempertemukan kita lagi. Ataukah hujan selanjutnya. Aku membiarkannya berlalu begitu saja. Ucapan salamnya kusambut dengan senyuman sambil menjawab di dalam hati. Juga terima kasih kembali!
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.