Pria di Halte Itu
Hari itu hujan. Aku baru saja keluar dari kampus setelah menyelesaikan studiku. Karena payung tak ada, terpaksa aku memutuskan untuk berteduh sejenak di halte, sambil menunggu angkot. Aku merapikan baju dan kerudungku yang kusut. Di halte itu aku tidak sendiri. Ada tiga orang lainnya. Ada sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Satunya lagi seorang pria yang kelihatannya serius. Tak pernah kutemukan guratan wajah serius, tenang, kaku seperti itu. Tak sedikitpun terlihat tanda-tanda kalau dia orang yang ramah, suka senyum. Dari tadi kuperhatikan ada tanda-tanda ketidaksenangan di wajahnya melihat sepasang kekasih itu bermesaraan. Ketawa-ketiwi. Dunia seolah milik mereka berdua. Sangat mengganggu dirinya.
Pria berkacamata dan berkulit putih itu semakin memperlihatkan rasa tidak sukanya. Sesekali ia menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Seperti isyarat yang bermaksud menyinggung. Tapi masih bisa tertahankan. Akan dianggap gila urusan jika reaksi yang keluar berlebihan.
Aku pun tidak setuju dengan tindakan mereka yang mengombar kemesraan di depan umum. Aku merasakan sesak di dadaku melihat perbuatan terlarang itu. Semakin sesak rasanya. Ingin sekali aku menegur. Tapi sifat kelumrahan itu bagi kebanyakan orang menjadikanku urung.
“Kalau saja hari ini kiamat, apa kalian tidak takut mati dalam keadaan berdosa?” pertanyaan yang menyinggung akhirnya keluar juga dari bibir pria berkacamata itu. Terlalu berani tapi tepat sasaran.
“Maksud kamu apa? tidak suka dengan kami? Apa kamu terganggu dengan kehadiaran kami? Emang tempat ini milik nenekmu apa?” pria itu malah menyindir. Dia sama sekali tidak merasa bersalah bahkan menganggu.
“Nggak usah diladeni sayang. Biarkan saja. Orang seperti itu cuma iri dengan kita. Orang seperti itu sudah sering saya temukan. Mereka adalah orang-orang susah mendapatkan cinta. Kesannya idealis tapi sebenarnya mereka cuma miskin cinta. Ganteng-ganteng kok nggak laku.” Sang wanita malah berkomentar sedikit menantang dan menyinggung.
“Wanita zaman sekarang memang bodoh. Mereka mau saja tunduk pada nafsu lelaki. Apa kamu tidak tahu kalau pacarmu yang sekarang kau puja-puja itu, suatu saat nanti akan menendangmu jauh-jauh. Setelah dia mendapatkan yang lebih cantik dari kamu. Dan kamu akan menangis merengek-rengek meminta pertanggungjawaban setelah kamu merasa telah dirugikan.” Pria berkacamata itu membalas dan semakin menyudutkan sang wanita. Wanita itu marah. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang menunjukkan ekspresi emosi yang tak tertahankan. Tapi tak satu pun kata balasan yang keluar dari bibirnya. Kekasihnya pun membiarkan. Seolah merasa dipojokkan oleh pria berkacamata itu.
Aku hanya menjadi pendengar dalam perselisihan itu. Aku belum mampu bertindak berani seperti itu. Aku salut. Masih ada yang mau berbuat nekat. Padahal sudah sering kutemukan kasus seperti ini. Aku tahu itu dosa, tapi aku membiarkan. Orang-orang pun membiarkan. Mengingat hal seperti ini adalah suatu kelaziman.
Sepasang kekasih itu diam. Mereka mematung. Mau beranjak tapi hujan belum juga reda. Kemesraan yang tadinya diumbar terhentikan oleh ucapan dari pria berkacamata itu. Angkot pun sudah banyak yang berlalu lalang. Tapi tak satu pun kuperhatikan. Aku puas sekali. Kegeramanku mereda. Sosok pria yang ada di sampingku itu mengingatkanku pada Soe Hok Gie. Seorang aktivis mahasiswa pengkritik pemerintah yang sangat idelis. Apakah dia seorang aktivis? Mungkin saja.
“Ayo sayang kita pergi. Jangan berlama-lama di tempat ini. Ada orang sok suci. Nanti dia juga akan tahu rasanya pacaran. Kalau dia tidak tergoda sama sekali, berarti dia itu malaikat. Aku tidak yakin dia mampu menahan hasratnya. Dasar sok suci!” ungkapan kasar keluar dari bibir pria itu sebelum ia beranjak. Hujan memang sudah reda. Pasangan kekasih itu pun berlalu dengan mengendarai sebuah motor sambil bergandengan mesra.
Tinggal kami berdua yang ada di halte itu. Ingin rasanya kumulai percakapan dengan pria itu. Tapi aku takut. Dia terlalu serius dan kritisis. Apalagi jika yang mengajak ngobrol duluan adalah seorang perempuan. Mungkin dia lebih tidak suka. Bayang-bayang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya sudah kukira-kira. Ah, aku terlalu dini buruk sangka. Tapi biarkan saja. Diam pun tak mengapa. Tidak ada ruginya juga jika aku tidak mengajak mengobrol.
“Apa jadinya ya jika pria tadi memukulku? Mungkin aku sudah terluka. Aku tidak pandai berkelahi. Tapi mulutku terlalu berani dan selalu mengundang dunia persilatan.” dia berbicara kepadaku. Dia tertawa. Lebih kelihatan manis kalau dia seperti ini. Sifatnya yang serius tadi mencair seketika. Tak kusangka pria ini bisa juga tersenyum.
“Jadi kau cuma berani di mulut doank. Hebat. Tak terlihat sedikit pun kalau kau juga takut. Kok bisa ya, cuma dengan kata-katamu mereka ciut dan mengalah. Ditambah dengan gaya yang tadi kamu lakukan. Tidak ada yang akan menyangka kalau kau pun sebenarnya takut dan deg-degan.” Kusambut dengan tanggapan yang sok akrab. Persangkaanku salah. Ternyata malah dia yang lebih dulu mengajakku mengobrol.
“Sebenarnya itu cuma strategiku. Biar mereka ciut duluan. Aku malah bersyukur, mereka cepat pergi. Aku tadi berdoa jangan sampai pria itu mengajakku berkelahi. Aku bisa mampus.” Dia kembali tersenyum.
“Tapi tindakanmu terlalu berani. Kalau pria tadi mengajak berantem. Kau bisa bahaya. Bahkan nyawamu pun bisa terancam. Zaman sekarang, nyawa bukanlah perkara berharga. Orang gampang saja menghilangkan nyawa seseorang untuk alasan yang sepele. Dunia ini semakin hari semakin menuju kehancuran. Sunnatullah itu tidak akan berubah. Kebaikan yang kita lakukan hanya akan mengurangi kehacuran bukan memperbaiki kehancuran yang terus berjalan.”
“Betul juga sih. Tapi sejuah ini strategi yang kulakukan belum ada yang gagal. Mudah-mudahan Allah selalu menolongku dalam kebenaran. Aku yakin kalau kita benar insya Allah jalannya terbuka.” Aku mengiyakan ucapannya dengan senyuman. Tak berani memandangnya.
Hening sesaat… aku menunduk.
“Dari tadi kuperhatikan, kau pun segan padaku. Apa kau berpikir yang macam-macam tentang aku? Terlalu cepat menilai seseorang, padahal belum tahu siapa orang itu adalah sikap yang menurutku keliru. Seperti kamu tadi.” Dia menertawaiku. Lagi-lagi kubalas dengan senyuman atas kekeliruanku tadi. Aku tetap tidak bisa menahan rasa maluku. Aku memilih diam.
“Mungkin orang mengaggapku aneh. Tapi aku tidak pernah merasa aneh. Banyak orang yang tidak menyukaiku. Tapi aku tidak pernah khawatir. Kenapa mesti melihat pandangan manusia? Kalau pandangan Allah itu lebih utama. Tidak pantas kita mengukur sesuatu atas persepsi manusia. Kalau mereka bilang aku radikal dan idealis. Biarlah, aku memang seperti itu. Apa salahnya?. Kalau mereka bilang aku anti pacaran dan anti wanita, silahkan! aku memang anti. Aku hanya akan mencintai istriku kelak.” Kalimat terkhirnya membuatku merinding. Siapakah wanita beruntung itu? Punya suami tampan, cerdas, berakhlak seperti dia, rasanya tidak akan ada yang menolak. Astagfirullah! pikiran buruk itu kubuang jauh-jauh.
Kalau dilihat-lihat tidak akan ada yang menyangka kalau pemikirannya sedalam itu. Dia lebih terkesan hedonis. Wajah tampan, tak kalah saing dengan selebriti, menciptakan image seperti itu. Tidak ada tanda hitam di dahinya ataupun baju koko dengan celana tergantung. Sama sekali tidak mencerminkan kalau dia sedikit fundamental. Terus terang, aku salut, kagum, simpatik. Masih ada pria seperti itu.
“Siapa bilang kamu aneh? Hanya orang aneh yang bilang kamu aneh. Kalau itu suatu kebaikan kenapa mesti dianggap aneh. Kalau tidak ada yang seperti kamu. Apa bisa orang akan sadar akan kesalahannya. Aku malah salut. Aku juga berharap bisa berani menyampaikan kebenaran. Tapi aku belum mampu dengan jalan seperti itu. Ketakutan mengalahkan tekadku.”
“Aku mengerti. Lebih terlihat aneh lagi jika yang melakukannya seorang wanita. Nanti dianggap radikal atau ekstermlah. Kan gak bagus. Nanti orang pada ilfeel. Trus gak ada yang naksir deh.” Candanya kepadaku.
“Kamu sendiri gak takut, orang pada ilfeel sama kamu. Trus gak ada yang naksir?”
“Ya, nggak apa-apa. Biar aku saja yang naksir orang. Orang gak perlu naksir aku. Ada nggak ya wanita yang betul-betul berani melawan kebathilan seperti itu?”
“Jangankan wanita, laki-laki saja jarang.” Tambahku.
“Tapi kalau masalah gender, mereka lantang bersuara. Aneh ya? masalah mereka dieksploitasi. Mereka diam saja. Terkesan mereka sendiri yang sengaja menodai dirinya sendiri. Susah sih dapatkan wanita yang betul-betul berjuang di jalan Allah. Kalau kamu gimana? Tapi aku rasa wanita sepertimu tidak akan mampu.”
Aku bisa menangkap kalau dia mendambakan seorang wanita yang rela berjuang untuk sebuah dakwah. Demi tegaknya nilai-nilai islam. Kata-kata yang barusan dia lontarkan terasa janggal di telingaku. Apa dia mengharapkan aku menjadi wanita seperti itu? Kalimat terakhirnya itu memang tepat. Aku lemah. Keberanianku kecil. Kepolosan dan keluguan yang dia tangkap dari wajahku membuatnya berpikir kalau aku tidak akan mampu melakukan itu. Lebih tepatnya, dia meremehkanku.
Hujan dari tadi reda. Tapi mengapa aku belum juga mau pulang? Serasa diriku tidak mau beranjak dari tempat duduk ini. Obrolan panjang di antara kami berakhir dengan kebisuan. Dia akhinya diam. Aku pun ikut diam. Ada banyak permasalahan yang sudah kami diskusikan. Ada ikatan komunikasi yang nyambung di antara kami.. Tak tahu lagi apakah masih bisa mengobrol dengannya seperti ini. Atau inikah yang pertama sekaligus yang terakhir. Aku tidak pernah kenal bahkan lihat orang ini sebelumnya. Ini pertemuan pertama kami, tapi tidak asing bagiku.
Dia ingin permisi lebih dahulu. Alasannya untuk tetap di sini sudah tidak menghalang lagi. Hujan yang baru saja turun adalah hujan yang menjembatani pertemuan kami. Apakah dia berpikir sama denganku. Ataukah dia tidak mengharapkan lagi pertemuan kami selanjutnya. Aku tidak tahu. Terlalu cepat untuk berpikir yang aneh-aneh. Biarkan takdir yang berbicara.
“Terima kasih sudah mau mendengarkanku. Baru pertama kali aku menemukan orang yang setuju dengan pemikiranku. Mengobrol denganmu adalah pengalaman yang mengasyikkan bagiku. Semoga kita masih bisa berdiskusi. Entah kapan. Sampai ketemu lagi. Assalamu alaikum.”
Senyuman itu tidak tahu kapan lagi bisa kulihat. Dia berucap sambil berjalan menuju angkot yang berhenti di depan kami. Bagaimana mungkin bisa bertemu kalau hanya sekedar ucapan sampai ketemu. Belum saling mengenal. Bahkan dia jurusan dan angkatan berapa aku tidak tahu. Sebenarnya ingin sekali kuminta nomor ponselnya, tapi menurutku itu tidak etis. Apalagi aku seorang wanita. Tambah tidak etis. Biarkan saja hari ini berlalu. Biarlah takdir yang mempertemukan kita lagi. Ataukah hujan selanjutnya. Aku membiarkannya berlalu begitu saja. Ucapan salamnya kusambut dengan senyuman sambil menjawab di dalam hati. Juga terima kasih kembali!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar