By: Bulqia Mas’ud
Beberapa waktu lalu terdengar sebuah isu yang cukup menggemparkan. Tak jauh dari tanah gemerlap Makassar, sebuah daerah penghasil beras terkemuka di nusantara menyimpan duka. Tiga bocah terbaring di RSU Lasinrang Kab. Pinrang, akibat tak mendapatkan suplai makanan yang layak. Sang Ibu pun memperlihatkan kondisi yang tak menyehatkan. Wajah yang keriput kerontangnya bukanlah wajah menua tapi wajah kelaparan. Merekalah salah salah satu dari sekian banyak rakyat Indonesia minus gizi. Kemiskinan meronta di negeri ini. Semakin banyak fakta yang timbul tenggelam mengiringi prahara kemiskinan ini. Sebuah usikan yang mempertanyakan layakkah sistem ekonomi sekarang ini?
Kemiskinan menggejolak di Indonesia
Kapankah kita akan melihat wajah Indonesia tersenyum ceria. Kala kenyataan seolah mengutuknya sebagai negara miskin. Betapa nestapanya negara ini. Banyak hal yang bisa memantapkan gaungnya sebagai negara berada. Ia kaya sumber daya. Ia kaya budaya. Dan Ia kaya suku dan bahasa. Namun, seolah menggerus satu persatu jiwa manusia yang hidup di dalamnya, bahwa terimalah kenyataan, negara ini miskin.
Survei sosial ekonomi nasional 2008 menguak fakta penduduk miskin di Indonesia mencapai titik 35 juta. Keironisan ini semakin memantapkan kita bahwa kita kerdil asa. Kita tak mau belajar dari kesalahan. Kita mau terus dibodohi. Sekali lagi terimalah kenyataan bahwa kita bodoh. Betapa tidak, semua tahu bahwa kita kaya. Namun yang terkuak hanyalah kemiskinan.
Negara seolah menghapuskan jejaknya dalam gelanggang kemelut ini. Subsidi yang diharapkan mampu membawa kita pada realitas harapan ternyata tak menuai kegemilangan. Tak pelak lagi, serentetan solusi kapitalis hanya makin melabirinkan kita dengan taktiknya. Perdagangan bebas, privatisasi, pengutamaan sektor non riil yang memandegan ekonomi riil. Perbankan ribawi, penggunaan flat money, liberalisasi perdagangan, dan gali lobang tutup lobang terhadap kaki tangan kapitalis yang menjadi daftar panjang bobroknya ekonomi kita.
Pemerintah masih bermental kacung. Kecenderungan untuk diseret-seret begitu leluasanya. Mental babu tak bisa melawan. Entah berapa kali tahun berganti tahun, namun tetap masih saja melolong kemiskinan. Sudah nampak batu besar yang siap menggilasnya, ia tetap tak mau meminggirkannya. Negara ini tetap keukeuh dengan sistem thagut yang menyengsarakan. Andai mereka mau membuka mata, untuk melihat bahwa ada sistem yang paripurna. Yang membuat nafas kita tak terasa sesak. Itulah sistem yang diciptakan oleh Allah SWT yaitu sistem ekonomi islam.
Sistem Ekonomi Islam Meruntuhkan Kesenjangan
Islam hadir menghembuskan ruh-ruh kedamaian. Begitu pula dalam sistem ekonominya. Berasaskan untuk tak tega melihat setiap tetes kenistaan. Merobek kesenjangan. Dan menumbuhkan semangat berbagi. Orientasinya bukanlah materi. Ataupun menimbun harta dan memperkaya diri. Ia hanyalah kerangka bertindak untuk mencapai ridha Allah. Merangkai senyum dari setiap masyarakat yang kesusahan. Memenuhi hajatul uduwiyah.
Berzakat dan bersedekah ialah inti economic equilibrium islam. Karenanya, akan mengeratkan kasih sayang. Dan meringankan yang dulunya terasa berat. Pengaliran kekayaan ini menyulam solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Menyusupi setiap jiwa-jiwa kerontang. Dan mengenyangkan setiap perut yang kelaparan. Itulah sistem ekonomi islam yang tak sekadar solusi. Tapi jalan menuju takwa ilahi.
Distribusi Kekayaan Menciptakan Economic Equilibrium
Islam agama penuh kasih sayang. Setiap tindak-tanduk senantiasa dibungkus oleh parameter syar’i. Yang tak rela membiarkan kita merana. Apalagi merana karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Maka islam hadir untuk mewujudkan pemerataan. Pemerataan yang akan terwujud dalam distribusi kekayaan. Rakyat kasta kaya memainkan perannya dalam agama dan negara. Ia menyisihkan kekayaannya. Negara mengulur tangannya untuk rakyat yang menangis kekurangan.
Karena butuh adalah naluri manusia, maka banyak yang tak mampu mengecap pahitnya naluri yang terbatasi. Makanan, pakaian dan tempat tinggal ialah hajatul uduwiyah yang ditempatkan di posisi teratas. Hidup dijemput maut jika melewatkan kebutuhan ini. Ia sungguh mutlak ada dalam diri setiap pribadi. Tak mengenal kaya, juga miskin. Karena tubuh akan menjasad tak berjiwa tanpanya. Hatta, kekayaan orang-orang berpunya tersisip hak orang-orang tak berpunya. Mereka tersimbiosis mutualisme untuk saling melengkapi. Duka si miskin termuntahkan. Dan si kaya meraih kemuliaan.
Teranyamlah sudah pemerataan itu. Negara menembus batas buram rakyat miskin. Lewat Baitul Mal (Kas Negara) untuk pengalirannya. Terpenuhilah hak setiap jiwa-jiwa gerusan peradaban. Yang diambil dari kasta kaya penakluk peradaban. Bersandinglah kewajiban dan hak. Tak ada tembok batas si kaya dan si miskin. Keseimbangan ekonomi pun termaktub dalam goresan ekonomi islam.
Segala Kebutuhan Pun Terpenuhi
Sistem ekonomi islam berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, baik berupa barang maupun jasa. Peran vitalnya dipegang oleh negara. Dalam hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan berupa barang.
Hal pertama yang dilakukan negara ialah menyeru kepada setiap kepala keluarga untuk berusaha mencari nafkah. Kedua, negara menyeru kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk menyisihkan kekayaannya kepada orang tak mampu. Dengan alasan, mereka yang kepala keluarganya tak mampu menanggung. Ketiga, negara menyediakan fasilitas lapangan kerja. Keempat, negara menyeru kepada para tetangga yang berada untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan.
Jika keempatnya tak mampu diemban oleh rakyat, maka negara akan mengambil alih. Lewat Baitul Mal (Kas Negara), pemerintah akan menghimpun kekayaan dari orang-orang mampu, untuk disalurkan pada rakyat miskin. Sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Q.S At Taubah: 103]
Tak serupa dengan kebutuhan pokok berupa barang, kebutuhan berupa jasa ditangani langsung oleh negara. Keinginan rakyat untuk mengenyam pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, dan keamanan yang terjamin adalah tugas negara. Tak satu pun dibebankan kepada rakyat. Karena sifatnya sebagai pelayanan umum. Negara berkewajiban memenuhi hak-hak rakyatnya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang digratiskan.
Di sinilah letak keagungan islam yang juga terimplementasi dalam sistem ekonominya. Semua elemen yang berpunya, sudi menyisihkan kekayaannya pada masyarakat tak berpunya. Ia adalah salah satu manifestasi takwa kepada Allah, yakni bersedekah. Bukan hanya menuntaskan kewajiban bagi negara, tetapi juga melepaskan kewajibannya pada Allah Swt. Islam menebarkan kekayaan untuk seluruh masyarakat dan mencegah sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Sesuai firman Allah:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Q.S Al-Hasyr:7)
Maka tak pantas lagi kita mengingkari hukum Allah dalam kehidupan kita. Yakni, penerapan sistem ekonomi islam. Sistem yang menjamin kesejahteraan rakyat. Karena ia adalah hukum buatan Allah, bukan hukum buatan manusia. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Divisi Penulisan dan Penerbitan
Esai ini meraih juara 1 lomba penulisan esai yang diadakan oleh FoSEI Unhas
Islam dalam Economic Equilibrium
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar