Perpisahan itulah awal dari pertemuan kami yang tertunda sekian lama. Kami bertemu dan berpisah saat itu juga. Ada rasa puas sekaligus kecewa dalam hatiku. Bisa bertemu dengannya dari sekian lama tak bertemu. Dan berpisah untuk waktu yang entah kapan bertemu lagi. Kami bertemu di tempat kenangan kami. Tempat kami sering bermain di waktu kecil. Di bawah pohon yang tetap tegak hingga kami beranjak dewasa. Kami tidak tahu apa nama pohon itu. Tapi kami menamainya pohon kesepian. Pergi pagi dan pulang sore. Itu lah yang kami lakukan. Dia bahkan sudah kuanggap kakak kandungku. Maklum, aku putri tunggal. Begitupun dia, menganggapku adiknya. Dia bahkan sering menggendongku di punggungnya jika aku kelelahan berjalan. Sampai suatu saat kami berjanji lagi untuk bermain di tempat itu. Tapi, hingga sore dia tak kunjung datang. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Pulang ke rumah seorang diri. Di tengah hari yang sudah mulai gelap. Berhari-hari aku tak hentinya meneteskan air mata. Kucari dia, tapi tak kutemukan. Dia hilang tanpa memberi kabar. Saat itu, kuputuskan untuk membenci dia.
Hari ini. Di tempat kenangan kami. Tepat 15 tahun dia meninggalkanku. Saat di mana kedatangannya 15 tahun yang lalu itu sangat kunantikan. Tapi dia tak kunjung datang. Dan malah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku duduk di kursi tepat di bawah pohon kesepian itu. Sama seperti diriku yang juga kesepian. Aku menatap pemandangan di hadapanku. Sangat hijau. Semilir angin yang meniup rambutku hingga menerpa wajahku. Terasa sejuk sekali. Aku mengingat kenanganku bersamanya. Bersama pria yang baru saja akan kucintai tapi berubah sangat membencinya. Apa kabarnya dia sekarang? Apakah sudah sukses? Sudah menikah? Atau punya anak?
“Hai Tiara, bagaimana kabarmu?” tiba-tiba suara seorang pria dari belakang membuyarkanku dari lamunanku. Suara yang terdengar tak asing.
Aku berbalik, dan berdiri. Tiba-tiba air mataku jatuh. Entah kenapa air mata itu jatuh begitu saja. Aku hanya bisa tertegun oleh sosok pria di hadapanku. Dialah pria pertama yang membuatku merasakan cinta. Sekaligus merasakan benci. Aku tidak mengerti saat ini perasaanku. Bencikah atau rindukah?
“Halo, kok nangis? Apa kau tidak bahagia bertemu denganku?” ucapnya dengan senyum lembut.
Aku tetap diam. Bisa-bisanya dia bersikap ceria seperti itu. Apa dia tidak tahu sakit yang selama ini kurasakan. Rindu yang selama ini menyesakkan dadaku. Dan cinta yang selama ini kupendam.
Air mataku bahkan mengucur lebih deras lagi. Dia mendekatiku dan memapahku. Kami berdua lalu duduk di kursi kayu itu. Dia kemudian menaruh kepalaku di pundaknya.
“Menangislah. Menangislah sepuasmu. Marahlah. Marahlah kepadaku sekuat tenagamu. Maaf, aku baru bisa menepatinya sekarang. Menepati janjiku untuk bertemu kamu 15 tahun yang lalu itu.”
Bibirku sudah tidak bisa berucap lagi. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis dan menangis.
“Ada begitu banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Termasuk ketidakdatanganku 15 tahun yang lalu itu. Kenapa kau tidak bicara. Cobalah katakan sesuatu.”
“Aku benci kau Reza. Kenapa kau meninggalkanku waktu itu? Tidakkah kau merasa bersalah, meninggalkan gadis kecil seorang diri. Dan membiarkannya pulang sendiri di saat hampir malam.”
“Semuanya terpaksa. Kau tidak akan bisa mengerti. Begitu banyak yang tidak kau ketahui tentangku. Ada banyak rahasia yang tak mampu kukatakan kepadamu.”
“Lalu, kenapa kau tiba-tiba hadir lagi di hadapanku? Di saat aku sudah ingin melupakanmu, kau malah hadir dan merusak segalanya.”
“Apa benar kau sudah melupakanku? Lalu kenapa kau datang di tempat yang seharusnya tidak kau injak lagi. Kau tahu Tiara, aku tidak akan pernah bisa melupakanku. Mencoba melupakanmu pun tidak bisa. Ada begitu banyak yang hilang jika aku melupakanmu. Bahkan bagian terindah dari hidupku akan hilang. Tapi kau tidak perlu khawatir karena kau akan segera melupakanku.”
“Apa maksudmu?” tanyaku heran atas perkataannya barusan.
“Hari ini aku hanya datang menepati janjiku. Dan tak kusangka kau pun ada. Itulah takdir hidup kita. Tapi, aku akan segera berangkat ke Amerika. Malam ini. Menempuh beasiswa S2-ku. Aku terpilih atas prestasiku meraih cum laude dan lulusan terbaik di Universitas Indonesia. Dan mungkin akan menetap di sana. Jadi kau tidak perlu khawatir. Kau pasti akan segera melupakanku. Tapi yang pasti aku tidak akan pernah melupakanmu. Karena aku percaya, kita pasti bertemu lagi.”
Aku memelukny sekuat tenaga dengan tangisan yang semakin mengucur deras. Di saat hatiku terbuka lagi untuknya, dia malah memutuskan untuk meninggalkanku lagi. Dia benar-benar kejam padaku. Sungguh kejam. Aku bahkan tidak mampu mendengar kata perpisahan darinya. Aku ingin tahu bagaimana perasaannya saat ini. Apakah dia merasakan seperti yang kurasakan. Rasa berkecamuk di dalam dadaku. Dia melepas pelukanku. Dan menatapku dengan lembut. Mengusap air mataku. Dan kemudian mendaratkan bibirnya di keningku. Itulah ucapan perpisahan itu.
NB: iseng-iseng buat cerpen ngepop dikit. Soalnya sebelum bergabung di FLP gaya nulisQ agak ngepop gitu yang didominasi percintaan remaja. Boleh dibaca, tapi hanya sekedar dibaca jangan dibawa ke kehidupan nyata. Soalnya nggak syar’i hehe…^_^
Perpisahan di Awal Pertemuan
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar