Senyum Sang Akhwat

Malam ini aku tidak bisa tidur. Bayang-bayang gadis berjilbab itu selalu menghantui pikiranku. Gadis yang kutemui di perpustakaan sebulan yang lalu. Dia tidak pernah lenyap dalam ingatanku. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, kami berpapasan di jalan. Padahal dia orang yang sama sekali tak kukenal. Tiap bertemu, gadis itu pasti tersenyum padaku. Seperti mengisyaratkan kalau dia sudah kenal aku sebelumnya.
Malam ini dan malam-malam sebelumnya sama saja. Selalu bayangan gadis itu yang hinggap di pikiranku. Kata orang, kalau kita sering berpapasan dengan orang yang tak dikenal, bisa jadi orang itu yang akan menjadi jodoh kita nantinya. Tapi mitos syirik itu kubuang jauh-jauh. Tidak ada yang lebih tahu rencana Allah kecuali Allah sendiri. Aku berusaha membuang bayangan gadis itu. Aku tidak mau hal-hal buruk terjadi padaku. Tetap tidak bisa. Hari-hari berikutnya dia selalu mengingatkanku kembali karena kehadirannya yang tak pernah alpa di mataku. Pertemuan di mana lagi aku akan melihat gadis itu? Itu saja yang selalu ada dalam pikiranku. Takdir apa ini? Kenapa dia tidak pernah menjauh dari hari-hariku. Mahasiswa fakultas apa dia? jurusan apa? dan angkatan berapa? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu saja tak mampu kujawab.
Aku memang tidak tahu siapa dia. Dan aku memang tidak pernah mau cari tahu. Aku sudah punya pacar. Tapi yang ada di pikiranku bukan pacarku. Melainkan dia. Tak pernah kuceritakan hal ini pada teman-temanku. Lantaran mereka dekat dengan pacarku. Di sisi lain aku takut kalau mereka menyampaikannya. Kuakui, aku masih sayang dengan pacarku. Teringat betapa susah payahnya aku mengejar dia. Masa’ untuk hal yang seperti ini aku malah melupakannya. Tapi, dasar aku tidak pandai menyimpan rahasia seorang diri. Akhirnya kuceritakan jua ke temanku. Laki-laki memang senang membicarakan wanita. Wanita apa saja. Dari yang suci, sok suci, sampai murahan, laki-laki sangat senang membicarakan makhluk yang satu ini.
“Bro, gue mau curhat nih” pernyataan yang kesannya agak melankolis baru saja keluar dari mulutku.
“Waduh, pagi-pagi gini mau curhat apa Pak?” sambut temanku jamal yang paling terlihat sering menyindir di antara lainnya.
“Mau cerita tentang Nina lagi. Perasaan kalian adem-adem aja deh?” ujar Rafly yang paling dewasa di antara kami. Itulah teman-temanku meski kami laki-laki, tapi juga saling perhatian layaknya wanita yang menjalin persahabatan.
“Bukan. Bukan tentang Nina. Nina sih baik-baik aja. Tapi wanita lain.”
“Hah.. wanita lain. Lo punya WIL. Lo jatuh cinta sama wanita lain.” Sambung si Jamal dengan nada keheranan.
“Apa-apan sih lo. WIL apaan lagi. Mank gue dah nikah.”
“Trus apa donk. Wanita lain itu cantik gak, seksi gak?” Gufron yang genit selalu saja tertarik jika membahas wanita cantik nan seksi.
“Cantik sih bukan masalah. Seksi, gak sama sekali.”
“Ih, lo naksir sama cewek gendut atau cewek kurus kerempeng?” tambah Gufron miris.
“Lo ini, pikirannya cewek seksi mulu…”
“Ya udah, tadi mau cerita apa. Lanjutin ceritamu tentang cewek itu. Siapa tahu kami bisa bantu” Rafly yang bijak pun menambahkan.
“Begini, akhir-akhir ini gue sering berpapasan dengan seorang cewek. Kira-kira pertemuan itu dimulai sebulan yang lalu. Setiap ingin tidur pasti terbayang wajah gadis itu. Gue nggak tahu. Gue jatuh cinta atau nggak. Tapi yang selalu dalam pikiran gue hanya gadis itu. Sementara pacarku malah gak pernah. Gue nggak tahu rencana apa yang ingin Tuhan berikan kepadaku. Tapi kenapa ada kebetulan yang seperti itu. Gue nggak tahu siapa gadis itu. Sama sekali nggak tahu. Dia jurusan dan angkatan berapa juga nggak tahu.”
“Trus apa yang bisa kami bantu?” Tanya Rafly. Teman yang selalu memberikan solusi.
“Gue tanya sekali lagi. Cewek itu cakep gak? Seksi gak?”
“Lo ini, gak ada pertanyaan lain apa selain cantik dan seksi. Tapi,cantik sih. Seksi gak sama sekali.”
“Cantik mah ogah kalau gak seksi” pikiran Gufron memang tidak pernah berubah.
“Gimana mau seksi, dia berjilbab!!!”
“Hah… berjilbab!!!!!” serentak teman-teman heran.
“Gak salah loh naksir cewek berjilbab.” Sindir Jamal.
“Berjilbab juga gak papa kali. Sekarang kan cewek berjilbab nan seksi juga banyak bertebaran di mana-mana.” Tambah Gufron yang pikirannya piktor mulu’.
“Itu sih, kalau dibilang bukan berjilbab. Tapi cuman nutup kepala doang. Gini-gini juga gue tahu, kayak gimana jilbab yang disyariatkan agama.” Sok tahu jamal mulai muncul.
“Dia Muslimah tulen. Jilbabnya bukan jilbab yang ngikutin tren. Memang yang disyariatkan agama. Jilbabnya besar. Bajunya longgar. Pokoknya jauh sekali deh dari kesan seksi yang ada di kepala si Gufron itu.”
“Berarti dia seorang akhwat donk.” Sontak Jamal.
“Akhwat apaan bro? Tanya Gufron yang begonnya minta ampun.
“Akhwat itu seorang perempuan yang bisa dibilang taat agama, dan kerudung mereka besar-besar, baju mereka pun besar dan longgar. Tipe-tipe cewek yang disukai Rafly.” Jamal pun nimbrung lagi dengan sok tahu-nya.
“Kurang tepat! Akhwat itu sebenarnya perempuan. Perempuan apa saja. Yang penting jangan perempuan jadi-jadian. Si Nina, Tari, Linda itu, semua juga akhwat. Cuma sekarang lebih dikhususkan bagi perempuan yang seperti Jamal bilang tadi. Kalau dalam bahasa Indonesia, terjadi penyempitan makna.” Rafly pun meluruskan kesalahpahaman itu.
“Lalu kalau cowok yang celananya tergantung itu namanya apa Bro? tentu ada sebutannnya juga kan? Ada juga kan pengkhususannya? Tentu beda dengan cowok-cowok kayak kita.”
“Yang itu namanya ikhwan.”
“Keren ya sebutannya! Ikhwan dan akhwat. Serasi B-G-T deh! Jadi kalau kamu suka sama akhwat harus jadi ikhwan dulu.”
“Ngaco lo, Guf! Lalu tadi lo minta bantuan apa, Lang?” Tanya Rafly.
“Bukan bantuan sih. Cuma sekedar mau tahu. Perasaanku ini bagaiman ya? Selama ini gue memang gak pernah tertarik dengan cewek seperti itu. Karena gue tahu diri. Gak pantas kan cowok kayak kita bersanding dengan mereka. Cewek baik-baik kan hanya untuk cowok baik-baik pula.”
“Nyadar lo…” sindir Jamal lagi.
“Menurut gue sih itu cuma perasaan sesaat karena lo sering bertemu. Sendainya tidak, ya mana mungkin. Gue kasih tahu ya, jangan pernah deh naksir sama cewek seperti itu. Masa muda lo gak bakalan fun.” Ucap si Gufron.
“Kalau gue sih. Mungkin cuma kagum doank karena penampilannya yang sopan. Nggak mungkin cinta. Gue tahu cowok macam lo ini. Ingat gak betapa setengah matinya dirimu waktu ngejar-ngejar si Nina yang notabene modis, gaul, dan cantik itu. Lo sampai-sampai rela ngorbanin apapun demi mendapatkan hatinya. Itu baru namanya cinta.” Betul juga apa yang dikatakan Jamal.
“Menurutku sih. Bisa kagum bisa juga cinta. Gak mungkin kan kamu pikirkan terus menerus kalau gak ada sesuatu yang kamu rasakan dalam hatimu. Pikiran itu gak datang dengan sendirinya. Sebenarnya dirimulah yang membawa bayang-bayang wanita itu ke dalam pikiranmu. Kalau kamu gak suka, mana mungkin kamu rela mengorbankan waktu tidurmu hanya untuk mengingatnya. Kalau kamu mengingatnya berarti memang perasaanmu mau mengingatnya. Simpati, kagum dan lain sebagainya bisa juga. Karena kamu belum mengorbankan apa-apa untuk menindaklanjutinya seperti waktu kamu kejar-kejar Nina.” Nasehat Rafly agak masuk akal.
“Hati-hati bung, Nina mau dikemanain. Ntar si Gufron nyosor loh. Apa lo mau si Nina yang disambar sama si gufron. Gufron gak kalah cakep lho dari kamu. Bisa-bisa Nina naksir juga.”
“Apa-apaan sih lo Mal, nggak mungkin kali gue rebut pacar sahabat sendri.”
“Uh.. jangan sok suci deh lo. Lo naksir juga kan sama si Nina, tapi sayang Nina cuma pilih Galang. Karena lo kalah saing ma Galang.”
“Kalian ini, ributin Nina mulu. Ambil aja kalau mau. Gue dah bosan dengan Nina”
“Apa bukan gara-gara gadis berjilbab misterius itu.” Tanya Jamal sekaligus menyindir.
“Sebenarnya dia kayak gimana sih kok lo bisa segitunya.” Gufron pun bertanya dengan nada penasaran.
“Masalahnya dia selalu tersenyum ketika berjumpa denganku. Mana bisa gue melupakan senyuman manisnya itu. Senyum yang langka lho. Cewek seperti itu gak sembarang ngasih senyuman.”
“Jadi penasaran, sama dia. Kalau ketemu, bilang-bilang ya!” pinta Gufron.
“Kalian sering ada kok, waktu dia lewat.”
“Yang mana Lang, siapa tahu gue pernah lihat.” Ujar Jamal.
“Dia sering lewat di koridor FISIP. Di ekonomi juga sering muncul. Ingat nggak waktu kita duduk-duduk di koridor depan kelas waktu itu dia juga lewat bareng temannya.”
“Yang mana ya. Kok gue gak tahu.” Gufron semakin penasaran.
“Gimana mau tahu, yang lo perhatikan cuma cewek yang dandanannya menor aja. Apalagi yang seksi-seksi, makanan lo banget,” Umpan si Jamal.
“Mungkin Rafly pernah lihat. Dia kan dari dulu suka ngelihat cewek-cewek berjilbab. Tipe ceweknya kan tipe cewek seperti itu. Gimana Raf ?” Sindir Gufron.
“Gak tahu juga sih. Cewek berjilbab kan banyak . Tapi mungkin saja gue pernah lihat. Who Knows?”
“Tapi anehnya, kenapa tiba-tiba perasaan gue ke Nina jadi biasa-biasa saja. Tahu kan kalau gue tu cinta banget sama dia. Sial, gadis itu membuat gue seperti ini.”
***
Pagi menjelang siang itu kami bercengkerama di kantin. Aku dan ketiga sahabatku yang lain masih mengobrol soal wanita. Apalagi mahasiswi-mahasiswi cantik yang sedang makan di kantin itu hampir semua kita gosipkan. Ada yang gayanya seleb wanna be gitu dech. Sepatunya berhak 5 cm. kayak mau ke kondangan aja. Make up-nya tebal banget, Rambutnya dkriting-lah, rebonding-lah, ekstension-lah pokoknya komplit deh. Cewek memang lebih rumit daripada cowok. Entah berapa uang yang mereka habiskan hanya untuk itu. Bergaya ala seleb. Cewek-cewek seperti itu yang selalu menjadi target obrolan kami apalagi Gufron sangat antusias. Kecuali Rafly yang gak bersemangat. Dia malah suka ngebahas cewek alim. Yang jelas-jelas kami anti sekali.
“Gimana Lang, dah pernah ketemu cewek itu lagi?” Tanya Jamal.
“Belum. Sudah 3 hari ini gue jarang ngelihat dia lagi.”
“Lo kecewa ya? Mank lo sangat menantikan bertemu dengannya lagi. Jangan-jangan lo naksir benar lagi.” Ucapan Gufron membuatku salah tingkah.
“Ah gak mungkin. Gue gak naksir. Dan gue gak mungkin naksir sama cewek kayak gitu. Lo sendiri kan yang bilang mencintai cewek seperti itu gak ada fun-nya. Betul gak, Raf?”
Rafly diam saja. Dia tidak ikut dengan percakapan kami. Dia memang tidak suka membahas cewek-cewek seperti itu. Menurutnya hanya akan membawa mudharat. Sebenarnya aku iri dengannya. Dia aktif di lembaga dakwah kampus. Meskipun masih jadi anggota biasa. Karena katanya dia masih dalam proses. Belum mampu merubah penampilannya layaknya ikhwan-ikhwan kampus.
Pergaulan Rafly lebih terjaga. Selain bersama kami, dia juga berteman dengan ikhwan-ikhwan kampus. Wanita yang dikenalnya pun adalah wanita baik-baik yang sangat menjaga kehormatan. Tapi tetap menjaga pergaulan. Karena tidak bisa berinteraksi secara langsung. Ketika bertemu dengan gadis berjilbab itu, ada keinginan dalam diriku untuk lebih mengenal wanita seperti mereka. Seperti apa mereka menghabiskan hari-harinya. Seperti apa mereka menjalani pergaulan terutama dengan lawan jenis. Sungguh teduh rasanya melihat wajah bersih yang terpancar cahaya dari dalam hati.
Aku bosan dengan hidupku yang hanya memikirkan kesenangan, pacaran, hunting-hunting cewek-cewek high class. Aku sudah bosan. Tiada gunanya. Rasa penasaranku terhadap gadis-gadis berjilbab membuatku ingin mengenalnya. Gadis berjilbab yang sering menghantui mimpi-mimpiku itu ialah awal dari ketertarikanku mengenal dunia mereka. Juga mengenal agamaku sendiri yang sering kulalaikan.
“Lagi ngeliatin siapa, Raf?” sapaku pada Rafly yang dari tadi diam saja.
“Ah, gak kok. Gak ada apa-apa” terlihat jelas kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia berbohong.
“Tadi lo tertegun gitu. Lagi ngelihatin apa sih?” tanyaku lagi yang penasaran. Rafly memang agak sedikit pendiam di antara kami. Dia lebih dewasa, pintar, juga baik. Tapi heran dia mau saja bergaul dengan anak-anak kocak seperti kami. Dia memang paling ganteng di antara kami. Tapi aku gak kalah ganteng juga sih. Kalau kami berjalan berempat, pasti dia yang jadi sasaran pandangan cewek-cewek modis. Tapi dia cuek aja. Karena dia memang gak suka tipe cewek macam itu. Cara berpakaiannya pun lebih sopan diantara kami. Baju andalannya kemeja. Tidak seperti kami yang selalu update dengan busana cowok yang lagi tren. Ditambah kacamatanya ala Afgan yang semakin membuat dia kelihatan berwibawa dan cool. Cewek mana coba yang gak tertarik sama dia. Di antara kami bertiga, cuma dia yang jomblo. Katanya, dia belum mendapatkan yang cocok. Tapi entahlah gadis berjilbab yang mana yang sedang dia tunggu. Lagian gadis jilbaber itu kan anti pacaran. Gak mungkin mau menjalin hubungan yang tidak halal.

***
Sudah seminggu aku tidak pernah bertemu dengan gadis berjilbab itu. Tapi bayang-bayangnya tidak pernah hilang dalam pikiranku. Ingin sekali aku berkenalan dengan gadis itu. Walaupun hanya dengan tahu namanya. Tapi rasa takutku lebih tinggi, nanti dia enggan. Rasa penasaranku terhadap gadis itu begitu kuat. Akhirnya kuputuskan kalau bertemu dengan gadis itu, aku akan menyapanya. Keesokan harinya, aku mencoba ke perpustakaan. Aku tahu ini adalah tempat yang sering dia kunjungi. Tapi hasilnya nihil. Aku tak menemukannya. Lalu aku mencoba melewati tempat-tempat yang sering dia lewati. Siap tahu dia ada di situ. Tetap saja nihil.
Tak lama kemudian, aku melihat gadis itu berjalan tidak jauh dariku. Dia bertemu sapa dengan seorang kawan lainnya. Juga gadis berjilbab sama sepertinya. Mereka bersalaman dan cipika-cipiki. Aku sering menemukan gadis-gadis berjilbab sepertinya melakukan itu jika bertemu dan bertegur sapa. Kebiasaan apa itu? Kenapa mesti cipika-cipiki? Lalu, kenapa cuma orang seperti mereka yang cipika-cipiki. Sungguh indah rasanya melihat pemandangan tersebut. Keramahan, rasa saling menyayangi yang terpancar dari kebiasaan itu. Akhirnya mereka berpisah. Gadis itu semakin dekat ke arahku. Dari tadi aku sudah memperhatikannya, tapi gadis itu mungkin belum menyadari keberadaanku. Akhirnya kami pun semakin mendekat. Gadis itu membalas tatapanku. Kami pun bertemu pandang. Tapi hanya sekejap. Dia lalu menunduk kembali.
“Assalamu alaikum,” sapaku, kupikir kalimat itu bakalan manjur untuk memulai percakapan dengan gadis sepertinya.
“Waalaikum salam.” Jawabnya. Terlihat jelas kalau dia tidak nyaman dengan caraku mendekatinya. Dia menunduk saja. Dan diam di tempat. Tidak berani melangkah. Mungkin caraku salah. Aku mundur beberapa langkah, supaya dia lebih leluasa.
“Maaf, apa kita pernah bertemu?” Sebuah pertanyaan sopan dan terkesan spekulasi keluar dari bibirku. Aku sangat grogi menyapanya seperti ini. Image betul-betul dijaga. Aku merasa bukan diriku. Tidak bertingkah apa adanya.
“Ya, aku tahu. Aku sering bertemu denganmu secara tidak sengaja.” Ucapnya.
“Oh, iya. Aku kira kau tidak mengingatnya lagi. Apa kau mengenalku sebelumnya?”
“Hanya kenal wajah.”
“Tapi, kenapa kau sering tersenyum padaku ketika berpapasan. Menurutku itu aneh. Tambah aneh jika dlihat yang melakukannya seorang gadis seperti kamu”
“Aneh kenapa? Itu bukan apa-apa. Kamu hanya terlihat mirip dengan Almarhum ayahku. Waktu masih muda dulu, wajah ayahku mirip dengan wajahmu. Ketika bertemu denganmu, aku jadi senang. Itu artinya aku bisa mengenang kembali wajah ayahku yang sudah lama tidak kulihat. Kau mengingatkanku pada dia.”
“Assalamu alaikum Aulia, gimana bakti sosial itu?” suara Rafly terdengar menghampiri kita berdua. Aku Heran. Rafly ternyata lebih dulu kenal dengan Dia. Ternyata namanya Aulia. Mungkin cewek ini yang Rafly lihat dulu di kantin. Mungkin sesama anggota Lembaga Dakwah Kampus.
Dari tatapan Rafly aku bisa tahu kalau dia naksir. Aku tidak jadi memperkenalkan diriku. Akhirnya keinginanku selama ini sudah terlaksanakan. Yang penting aku sudah bisa mengobrol dengannya walaupun hanya sebentar. Aku memilih mundur. Kubiarkan mereka menyelesaikan urusannya. Aku malah bersyukur, dia menganggapku penting. Mungkin lebih penting dari Rafly. Aku senang, aku bisa memberi kebahagiaan untuknya, walaupun sedikit. Gadis itu aneh, tapi yang pertama kali membuatku jatuh cinta dengan rasa dan cara yang berbeda. Entah sampai kapan pertemuan itu akan terus berlanjut dan berhenti sampai di mana. Aku harap aku masih bisa melihatnya. Walaupun dari kejauhan.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.