Kado Cinta Untukku

Inilah air mata pertamaku kala aku mengingat kejadian itu. Awalnya aku tidak pernah menangis ketika mengingat masa itu. Entah kenapa malam ini berbeda. Aku menangis sejadi-jadinya ketika mendengar lantunan lagu religi yang sengaja kuputar di komputerku. Akhir-akhir ini memang aneh. Aku merasakan perubahan dalam diriku. Tiba-tiba saja, aku jadi sangat suka lagu religi. Padahal dulu sangat membosankan. Dulu, aku lebih suka mengoleksi lagu-lagu barat milik orang kafir.
Aku menangisi dosa-dosaku. Dosa-dosaku padah Tuhanku. Tuhan yang sangat menyayangiku. Dosa-dosaku pada ibuku. Ibu yang sangat mencintaiku. Yang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Yang selalu mendukungku. Yang tidak memarahiku meski aku sering menyakitinya.
Ayahku telah tiada. Itu artinya aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbakti langsung kepadanya. Padahal surga itu ada di telapak kaki kedua orang tua apalagi seorang ibu. Kalau sekiranya surga itu bisa digenggam, maka birrulwalidain-lah yang dapat menjawabnya. Tapi aku tidak pernah menyadarinya. Nasehat berbakti kepada orang tua bukanlah hal asing bagiku. Dari SD setiap pelajaran agama pasti kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua. SMP hingga SMA nasehat itu masih tetap terngiang di telingaku. Tapi masuk di telinga kiri, keluar di telinga kanan. Aku tidak bisa menangkap esensi sesungguhnya.
Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tinggal satu. Yaitu ibuku. Kalau bisa, aku ingin terus hidup bersama ibuku. Jikalaupun aku sudah memiliki suami, aku tetap ingin ibuku selalu berada di sisiku, di sampingku, membelai rambutku dengan sentuhan kasih sayangnya. Aku ingin selalu mendekapnya, memeluknya ketika tidur.
“Apakah Ibu bahagia?” pertanyaan yang sering kulontarkan pada ibuku.
“Bukankah kau sudah sering menanyakan itu. Ibu ini sangat bahagia. Sangat bahagia karena memiliki anak sepertimu.” Ibu memang selalu menyenangkanku. Belum pernah kutemukan orang yang suka menyenangkan orang lain seperti ibuku.
“Ibu, apakah ibu tidak merasa lelah?” keriput kulitnya sangat mengisyaratkan kalau dia lelah menjalani kehidupan. Bagaimana iya mengurusi anak-anaknya. Juga mengurusiku. Belum lagi permintaan tolong keluarga, tetangga, ataupun orang terdekat ibu. Ibu tidak pernah menolak jika ada yang minta tolong. Selama ibu mampu dan selama permintaan tolong itu baik. Tapi aku malah sering menegurnya. Kataku, ibu ini terlalu gila urusan. Kakakku juga protes. Semua diurusi sama ibu. Sampai-samapai masalah keluarga orang lain juga diurusinya. Sehingga yang jadi korban adalah kita. Tidak makan kalau ibu tidak memasak.
“Ibu tidak pernah merasa lelah. Bagi Ibu, hidup itu memang penuh kelelahan. Tapi kalau kita menganggap hidup itu indah. Maka semuanya akan terasa indah. Tak ada kepenatan sama sekali. Kuncinya ikhlas dan sabar.” Berulang kali nasihat itu didengungkan di telingaku. Ikhlas dan sabar adalah resep hidup Ibuku. Dia tidak pernah mengeluh. Dia selalau sabar. Pasrah. Tawakkal jikalau semua sudah dilakukan dengan ikhtiar.
“Kenapa aku merasa Ibu tak bahagia. Apa karena aku melihat guratan wajah yang semakin menua diwajah Ibu. Apakah Ibu tidak menyesal memiliki anak seperti kami. Maaf Ibu, kami belum bisa memberi apa-apa pada ibu. Kami belum bisa menghajikan ibu. Belum bisa membahagiakan Ibu.”
“Berulang kali Ibu bilang. Bahagiaku tidak bisa diukur dari materi. Cukuplah aku yang tahu bahagiaku. Dan saat ini Ibu benar-benar bahagia. Jangan kau tanyakan lagi hal bodoh itu, Nak!”
“Tapi Ibu, aku masih merasa bersalah. Aku belum bisa memberikan pakaian bagus untuk ibu. Perhiasan yang mewah. Dan naik haji yang merupakan impian semua anak kepada orang tuanya.”
“Sudahlah, Nak! Apa kau tidak lelah? Seharian kau kerja keras. Hingga selarut ini, kau masih mau menemani Ibu ngobrol. Bukankah ini suatu kebahagiaan yang diinginkan setiap orang tua? Aku cukup bahagia dengan kau di sisi Ibu. Para Ibu lain tidak merasakan kebahagiaan yang Ibu rasakan. Lantaran anak mereka punya kasih hanya sepanjang kepentingan. Menelantarkan Ibu mereka ketika tidak dibutuhkan lagi.”
“Aku lelah. Tapi cuma sedikit. Lelah itu hilang ketika mendengar suara Ibu.” Ibu tersenyum mendengar aku memujinya. Bahagia sekali diriku melihat Ibuku tersenyum.
“Tidurlah, Nak! Bukankah pagi menanti kita untuk menyapanya?”
“Aku ingin tidur di samping Ibu. Memeluk Ibu. Ibu membelai rambutku. Hingga aku terlelap dalam belaian Ibu. Bolehkan Bu?”
“Ibu teringat masa kecilmu dulu. Kau selalu tidur di samping Ibu. Bahkan mengigau sampai ngompol. Ibu akan selalu ada saat kau butuh. Akan terus ada jika kau meminta Ibu untuk menyanyikan lagu ninabobo untukmu dan mendekapmu saat tidur.”
Malam berikutnya, sebelum tidur, aku tetap mengajak ibuku mengobrol. Tidak lupa pertanyaan yang sering kutanyakan. Aku juga menanyakan bagaimana ibu bertemu dengan ayah. Bagaimana dia meninggalkan orang tuanya karena mengikuti suaminya. Sedihkah Ibu atau bahagiakah?
“Ibu, bagaimana caranya aku bisa berbakti kepada Ayah? Saat ayah meninggal umurku masih 10 tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku juga ingin berbakti pada ayahku, Bu!” mata ibuku tiba-tiba memerah. Mungkin aku mengingatkannya pada pria yang sangat dicintainya. Ditambah dia melihat anaknya sangat mendambakan kasih sayang seorang ayah.
“Ayahmu itu sangat sayang kepadamu. Bahkan mungkin melebihi sayangnya terhadap kakak-kakakmu. Dia sering membelikanmu mainan dan pakaian bagus. Mengajakmu jalan-jalan bersama Ibu. Ingat tidak, kalau sandalmu itu sering terjatuh di jalan waktu Ibu dan Ayah membawamu naik motor. Hampir sebulan sekali kamu sering dibelikan sandal baru. Kau cepat sekali tertidur kalau sudah di atas motor.” Kata-kata yang barusan ibu ucapkan memang tidak pernah kulupakan. Aku selalu ingat tentang sandalku yang sering terjatuh di jalan. Karena itulah kenangan yang tak terlupakan antara aku, ibu, dan ayahku. Bahkan mereka rela kembali lagi memungut sandalku yang jatuh itu, meskipun sudah jauh. Ayahku memberhentikan motornya, dan Ibuku yang turun memungutnya. Itu pertanda kalau mereka sangat menyayangiku.
“Ibu cuma berpesan jangan pernah kau melupakan ayahmu. Meskipun dia sudah tiada. Tapi hidupkanlah dia di hatimu. Doakan ayahmu. Mudah-mudahan dia tenang di alam sana. Kuburannya lapang, disinari cahaya, dan amalnya diterima.”
“Pasti Bu, itu pasti. Mungkin itulah bentuk baktiku kepadanya. Ayah tidak pernah mati bagiku, karena ayah selalu hidup di hatiku. Begitu pula sayangku kepada Ibu, tidak akan pernah sirna”
***
Akhirnya aku menikah. Ibuku tiada henti menahan isak tangisnya. Saat ustadz membacakan nasihat perkawinan. Saat ucapan “sah” keluar dari bibir penghulu. Matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Saat ijab qabul itu, aku pun ikut menangis. Aku tertuduk dan terisak. Aku melihat ibu menangis tersedu-sedu. Kini aku bukan milik orang tuaku lagi. Aku telah menjadi milik seorang pria. Seorang istri yang telah menjadi milik suaminya. Seorang istri yang harus mematuhi perintah suaminya. Mengabdikan seluruh hidup pada suami dan keluarga untuk mencari ridho Allah.
Malam itu, malam setelah pernikahan kami. Acara resepsi telah selesai. Sebelumnya, aku sudah meminta satu hal pada suamiku. Aku ingin melewati malam ini dengan Ibuku. Malam yang seharusnya adalah malam pertama suamiku boleh menyentuhku. Tapi aku memilih ibuku. Karena toh, akhirnya aku akan melewati hari-hariku dengannya. Awalnya suamiku agak sedikit keberatan. Tapi aku memohon. Akhirnya dia setuju. Meski aku tahu dia kecewa dan sakit hati. Karena mendapatkan malam pertama yang berbeda dari pasangan suami istri lainnya. Aku juga tidak tega melihatnya. Tapi aku tahu dia pria yang sabar dan pengertian. Di sisi lain, aku beruntung menjadi istrinya. Tapi, di sisi lain ada Ibuku. Aku tidak rela berpisah dengannya.
Hari-hari yang kulalui telah berbeda. Saat ini aku tidak tinggal bersama ibuku. Aku menuruti perintah suamiku untuk tinggal di rumahnya sementara, bersama mertua. Sampai kita punya rumah sendiri. Awalnya aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan ibuku seorang diri.
Sebelum menikah, sebenarnya hanya akulah yang dipunyai ibuku. Aku anak bungsu. Semua kakakku sudah menikah. Jadi tinggal aku yang menemani ibu di rumah. Rumah yang dulunya ramai. Tapi satu persatu anggota keluarga pergi mengikuti suami masing-masing. Sempat ada kakakku yang menolak tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Karena kakakku juga masih ingin tinggal bersama ibu. Biar suaminya saja yang tinggal di rumah kami. Tapi ibu membiarkan. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Lebih baik ibu mengalah dan membiarkan anaknya pergi.
Berkali-kali kutanyakan pada suamiku. Kenapa tidak tinggal di rumahku saja. Rumahku masih cukup luas untuk menampung kita. Alasannya, tetap sama. Rumahku terlalu jauh dari tempat kerjanya. Aku kasihan pada ibuku. Siapa yang kini dia ajak bicara. Tiada lagi orang yang bisa diajak ngobrol. Hanya ada sepupuku, itu pun dia memiliki keterbelakangan mental. Aku tidak tega. Di sini, aku melayani Ibu suamiku. Sementara ibuku, siapa yang melayaninya.
Aku rindu saat-saat dimana aku berbicang-bincang bersama ibuku. Obrolan pengantar tidur kami. Rindu akan sentuhan tangannya membelai rambutku. Sudah 2 bulan berlalu. Aku belum pernah mengunjungi ibuku. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana raut wajahnya? Tambah keriputkah? bertambahkah rambut putih di kepalanya. Aku harap Ibu masih seperti terakhir aku meninggalkannya. Masih kelihatan segar. Kini, aku hanya bisa mendengar suara ibu lewat telepon.
Terakhir aku melihatnya, saat malam pesta pernikahan itu. Berkali-kali aku meminta suamiku untuk mengunjungi ibuku. Tapi dia belum bisa. Katanya, pekerjaannya menumpuk. Tapi aku tetap bersyukur untuk yang satu ini. Aku tidak perlu bekerja lagi. Suamiku menyuruhku berhenti. Gajinya sudah sangat cukup untuk membiayai kehidupan kami, bahkan masih berlebih. Dia mapan. Pekerjaannya sangat bagus untuk ukuran keluargaku yang sangat pas-pasan. Tapi kenapa, aku merasa tidak bahagia?
Kata-kata penolakan masih sering terdengar di telingaku, “Iya, nanti saat pekerjaanku sudah selesai.” Atau kata-kata bernada yang sama saat aku memaksa untuk pergi sendiri, “Sabar dulu Ma! nggak baik istri pergi sendiri tanpa suami. Apalagi orang-orang tahunya kita baru menikah. Nanti terjadi fitnah.” Aku tahu semua itu, tapi sampai kapan aku harus menunda pertemuanku dengan ibuku. Aku sudah sangat merindukannya. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Sudah hampir empat bulan berlalu. Tapi janji itu belum juga ditepati.
“Ma, aku ingin mengajak Mama pergi berduaan.” Kata-kata rayuan itu keluar dari mulut suamiku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Akhir-akhir ini aku memang ngambek. Itu karenanya. Mungkin itu salah satu caranya untuk mengembalikan senyumanku. Tapi itu tidak akan mampan. Aku tetap diam saja.
“Mama tahu ini hari apa?” Tanyanya lagi dengan nada merayu.
“Tidak tahu.” Jawabku singkat.
“Oh, saya kira Mama tahu. Tapi mau kan saya ajak jalan-jalan?”
“Terserah!” kataku dengan nada yang cuek.
Malam itu habis sholat isya, suamiku mengajakku keluar. Dalam keadaan yang tidak sadar, mobil terus melaju. Aku tidak kuat menahan kantukku. Seperti ada pemberat yang ditaruh di pelupuk mataku. Aku tidak tahu kemana suamiku membawaku pergi. Subuh dini hari, aku terbangun. Dengan suasana yang berbeda, tapi tidak asing bagiku. Ya. Ini adalah kamarku sebelum menikah. Ternyata suamiku telah membawaku ke rumahku. Ke rumah Ibu. Aku senang. Senang sekali. Sejumput senyum terurai dari bibirku mengingat perlakuanku semalam pada suamiku. Aku melihat Ibu sedang sholat di kamarku. Berarti semalam Ibu sudah tidur di sampingku. Aku menitikkan air mata. Betapa bahagianya aku. Ingin segera kupeluk ibuku. Kulihat tanggal hari ini. Ternyata hari adalah hari ulang tahunku. Tidak salah aku memilih pria seperti suamiku. Terima kasih suamiku. Terima kasih Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.