Oleh: Bulqia Mas’ud
Secara sederhana kaum intelektual dapat diartikan kaum yang berakal dan mau berpikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intelektual berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Sedangkan Max Adler, memberikan konsep bahwa kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Merujuk pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa dan dosen adalah kaum intelektual yang sebagian besar kerjanya menggunakan otak. Kampus adalah basis kaum intelektual, pabrik dan pencetak kaum intelektual.
Institusi kampus sendiri memberikan peluang penuh kepada para insan terpelajar untuk mengembangkan seluruh potensinya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 tujuan pendidikan nasional adalah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengkritisi tujuan yang dimaksud, ada ketidaksesuaian antara tujuan awal dengan hasil yang diinginkan. Kenyataan membuktikan ilmuwan-ilmuwan hasil institusi kampus saat ini melahirkan ilmuwan yang cenderung kapitalistik. Bukan ilmuwan yang beriman dan bertakwa.
Islam telah mewariskan peradaban emas yang sangat maju. Kemajuan tersebut bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak penemuan-penemuan baru hasil racikan ilmuwan muslim yang tidak hanya cerdas tetapi juga beriman dan bertakwa. Kaum intelektual muslim tidak ketinggalan mewariskan ilmu pengetahuan kepada manusia di abad modern saat ini. Ciri kaum intelektual yang dihasilkan oleh sebuah peradaban tergantung dengan sistem kehidupan yang digunakan oleh peradaban tersebut. Berikut indikator untuk membandingkan kaum intelektual dalam peradaban kapitalisme dan peradaban islam.
Aqidah dan Kepribadian
Dalam pandangan kapitalisme, agama tidak boleh dicampuradukkan dalam pengambilan keputusan dalam kehidupan atau biasa kita sebut dengan istilah sekularisme. Dunia pendidikan milik kaum intelektual memiliki dunia tersendiri dan tidak ada hubungannya dengan agama. Sehingga dalam proses mengelola pendidikan terjadinya reduksi peran Tuhan dalam memberikan solusi untuk sebuah masalah. Akhirnya lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang berakidah sekuler. Pencarian ilmu dipandang terpisah dengan agama. Ilmu dicari untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Keahlian dijual semata untuk menghasilkan materi. Kaum intelektual berpikiran bahwa keahlian yang diperoleh bukan untuk membantu manusia dalam rangka beribadah kepada Allah swt, melainkan proyeksi materi dan kesejahteraan pribadi semata. Dampaknya, lahirlah kaum intelektual yang tidak berkepribadian islami.
Sementara dalam pandangan islam, tauhidullah adalah akidah yang mendasari proses pencarian ilmu. Tauhidullah terpatri dalam setiap benak kaum intelektual. Dimanapun pencarian ilmu itu berlangsung, tauhidullah selalu terbawa. Tidak ada pemisahan dalam ranah ibadah ritual dan proses pencarian ilmu. Agama islam dipandang mampu mengatur semua sendi-sendi kehidupan termasuk dunia pendidikan, dunia para pemikir dan penemu. Akidah islam akan senantiasa terpancar dari kaum-kaum intelektualnya. Proses berpikir, belajar dan menemukan sesuatu semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Keahlian dan penemuan-penemuan kaum intelektual yang berakidah islam diperuntukkan untuk masyarakat dalam rangka bertakwa kepada Allah. Sehingga menghasilkan kaum-kaum intelektual yang berkepribadian islam.
Orientasi
Dalam kapitalisme, yang berakidah sekuler, kaum intelektual secara tidak langsung dipaksa untuk mengejar materi dalam pemanfaatan ilmunya. Ilmu dan keahlian dipandang sebagai komoditas untuk menghasilkan materi (uang). Pengejaran sertifikasi dan akreditasi ditujukan untuk memperoleh gaji dan pengakuan yang lebih tinggi, tapi cenderung mengabaikan peningkatan kualitas pendidikan. Tak bisa disalahkan bahwa ini mutlak kesalahan individu yakni dosen atau pengajar. Kondisilah yang memaksa mereka untuk berbuat demikian demi memperoleh upah yang lebih memuaskan. Gaji para dosen dianggap tidaklah seimbang dengan keahlian yang telah mereka tekuni dengan belajar mati-matian. Di sisi lain, gaji tersebut terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan keluarga.
Kondisi ini juga membuat para kaum intelektual terbelenggu oleh syarat-syarat akademis. Tujuan mencari dan meningkatkan ilmu semata untuk meraih gelar, prestige, dan tuntutan kesejahteraan. Benar-benar mengabaikan fungsi seorang akademisi yang murni memanfaatkan ilmunya untuk membantu dan memperbaiki masyarakat. Kesimpulannya, kondisi ini menciptakan kaum intelektual yang berilmu untuk memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya. Niat orientasi materi ini cenderung lebih tinggi daripada niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan apalagi meraih ridho Allah. Sistem yang kapitalistik ini menghasilkan kaum intelektual yang jauh dari kesalehan sosial.
Sementara, mahasiswa juga diarahkan untuk berpikir bahwa proses pencarian ilmu di institusi kampus adalah bekal untuk meraih materi sebanyak-banyaknya di dunia kerja kelak. Dampaknya, banyak mahasiswa yang ingin mengakhiri masa studinya dengan cepat. Mereka tak lagi peduli apakah ilmu dan keahlian yang mereka miliki bisa berguna untuk masyarakat. Yang terpenting mereka bisa meraih kesejahteraan pribadi dengan gelar yang sudah diraih. Sangat jarang mahasiswa yang ingin berlam-lama di kampus karena menikmati menimba ilmu. Lagi-lagi, ini bukan kesalahan individu semata, tapi kondisi yang membuat kita berpikiran bahwa menuntut ilmu semasa perkuliahan untuk memperoleh pekerjaan kelak.
Dalam pandangan islam, tujuan menuntut ilmu ialah untuk memperoleh ridho Allah. Para ilmuwan di zaman kekhilafahan atau biasa kita dengar dengan zaman keemasan islam telah mencontohkannya. Telah disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Mujaadilah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Islam menyandingkan ilmu dengan iman. Ilmu dan iman dalam islam ibarat saudara kembar. Tidak bisa dipisahkan. Iman akan senantiasa mengikuti proses pencarian ilmu. Ilmu dijadikan sarana untuk beribadah dan mengenal Allah (ma’rifatullah). Sehingga kaum intelektual yang tercipta berorientasi semata-mata untuk meraih derajat yang lebih tinggi di mata Allah swt. Ilmu dan penemuan-penemuan yang dihasilkan semata-mata ditujukan untuk kepentingan umat dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
Salah satu contoh hasil temuan oleh Maryam al Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis) di zaman kekhilafahan. Alat ini kemudian dikenal sebagai kompas untuk menentukan arah. Hasil temuan tersebut telah memudahkan kaum muslimin untuk menentukan arah sholat. Selain karena dorongan takwa ilallah, kaum intelektual dalam peradaban islam ditopang dengan sistem hidup yang islami. Sehingga pemanfaatan ilmu pengetahuan yang dimiliki para kaum intelektualnya semata-mata ditujukan untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah umat dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
Kondisi Kekinian dan Solusi
Peradaban dunia saat ini sedang berada di tangan kapitalisme. Peradaban yang memenjarakan manusia dengan konsep hidup untuk mengejar materi. Tak ketinggalan ranah pendidikan juga tengah terbelenggu dengan anggapan ilmu sebagai komoditas. Dalam kapitalisme, ilmu adalah salah satu jalan untuk meraup materi. Bentukan kaum intelektual peradaban ini ialah intelektual yang memisahkan dirinya sebagai hamba Allah yang seharusnya menginginkan ridho Allah swt. Dan proses pencarian hingga pengaplikasian ilmunya sesuai aturan Allah. Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia tak juga lepas dari belenggu sistem kapitalis ini. Sehingga, meskipun kaum intelektualnya muslim, tetap saja menghasilkan profil intelektual muslim yang kapitalis. Satu-satunya cara ialah mengembalikan sistem kehidupan yang islami. Sebagai kaum intelektual muslim, mari satukan tujuan untuk mengawal perubahan menuju sistem islam. Ibarat sebuah bola salju yang terus menggelinding hingga membesar. Begitupula analogi yang akan mengawal perubahan ini. mulai dari diri sendiri, masyarakat, negara, hingga wilayah yang lebih luas, global state, demi tegaknya sistem kehidupan islami di dunia ini. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
Mahasiswa Sastra Inggris Unhas Angkatan 2008
0 komentar:
Posting Komentar