ALHAMDULILLAH yang kemudian terucapkan setelah mengenal mabda ini. Di saat aku hampir terseret oleh tipuan hedonisme yang tidak sadar membuai sebagian besar generasi muda di jagad raya. Tak ketinggalan di negeri kita tercinta. Terimakasih kepada Allah, kita terlahir sebagai umat rasulullah dan berada pada barisan yang memperjuangkan agama Allah. Nikmat mana lagi yang paling sempurna selain islam dan keimanan dalam dada.
Sempat aku merasa muak kenapa ada begitu banyak fakta, masalah, yang tak bisa diselesaikan hanya dengan membuat berlembar-lembar draft undang-undang. Apalagi dengan satu hembusan nafas atau kedipan mata. Jangan mimpi. Kenapa pula bangsa ini dengan mudahnya menghabiskan dana bermilyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun atas sebuah pesta yang hanya mampu kuungkapkan dengan barisan makna mubazzir. Tak pernah berujung pada sebuah solusi dan resolusi. Justru menjaring pribadi-pribadi korup. Ah, mungkin bukan karena pestanya karena pesta itu hanyalah sebuah uslub. Ada yang memang salah dari akar.
Ini yang sering kutanyakan. Mengenai posisi yang 3 tahun belakangan telah kulewati dalam perjalanan hidupku. Tersisa setahun lagi, mungkin. Aku terlalu polos. Sangat-sangat polos ketika menginjakkan kakiku di kampus nan megah lalu berharap aku akan sukses setelah keluar dari kampus ini. Bekerja yang layak, gaji yang tinggi, karir sempurna, menikah, punya anak, bahagia. Standar mainstream saat ini. Terlalu keduniaan. Cukuplah diriku menjadi contoh bahwa ada beribu mahasiswa lain yang egoisentris. Hanya memikirkan dirinya dan kebahagiannya. Tidak memikirkan bahwa ada sesuatu yang mesti kita ubah. Termasuk mengubah diri sendiri agar lebih layak meraih surga Allah. Itu sebelum aku mengenal mabda ini.
Kenapa mahasiswa harus ada untuk menyelesaikan masalah? Bukankah tugas kita hanya belajar. Dan setelah menghirup udara bebas dari belenggu akademik yang menjenuhkan, akan menggantikan angkatan tua untuk membangun bangsa. Kenapa ada pula yang memilih jalur komersil dengan retorika-retorika absurd hanya untuk meraup pundi-pundi rupiah. Menjanjikan kita dengan bintang 4, 5, 6 atau 7 yang sama sekali tidak masuk dalam logikaku. Ya, semua butuh penyambung hidup. Benarlah kalau kemudian muncul ungkapan. Segalanya butuh uang, kawan!
Lalu kemana para pejabat dan pegawai sipil bangsa ini yang kerjanya mengatur administrasi dan tugas-tugas struktural kenegaraan. Justru ternyata hanya menghabiskan waktunya tidur di ruang kerja, bergosip atau pegawai-wati yang memilih berbelanja ke mal atau ke pasar. Tak adakah yang bisa disentuh oleh tangan-tangan mereka. Kenapa justru selalu mahasiswa yang membuat serangkaian program memberantas kemiskinan, memberantas buta huruf, menggalang dana untuk operasi tumor, katarak. Aku masih tetap berdiri sambil mengerutkan dahi dan bertanya-tanya kemana departemen-departemen dan dinas-dinas itu. Apa yang dilakukan orang-orang di dalamnya. Kalau ternyata, mahasiswa selalu dibutuhkan untuk mengambil peran. Hey, sadarkah, bukankah itu tugas negara? Apakah karena masalah yang semakin menggunung hingga negara tak mampu menyelesaikannya dengan kedua kaki dan tangan sendiri? Lalu pemerintah tanpa rasa kasihan pada rakyat malah menyerahkan permasalahan bangsa kepada korporasi asing. Aset terus dijual tanpa rem pengendali. Dan tak sadar, inilah titik awal munculnya masalah sistematis.
Kadang aku hanya bisa mengelus dada melihat Open recruitment yang terus-menerus diprogramkan pemerintah dan hanya mampu kuterjemahkan masih dengan kata mubazzir. Maaf, bukannya aku anti, tapi banyak yang berjalan tak sesuai logika. Ada yang seenaknya mendapatkan gaji setiap bulan tanpa harus kerja payah. Belum lagi para pendidik bangsa ini atau yang kita gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Meski sekarang entahlah masih pantaskah kita menyebut itu. Sungguh, aku tak ingin men-generalisir karena generalisasi adalah sintesis fatal kalau hanya bersumber dari fakta. Memang tak semua seperti itu. Tapi, kenapa yang tidak baik itu selau lebih banyak dari yang baik. Atas dasar apa mereka berhak mendapatkan sertifikasi tanpa berusaha memperbaiki kualitas. Kenapa anak-anak bangsa justru semakin kecanduan pornografi. Naudzubillah. Kemudian, kita hanya bisa kasihan karena ternyata upah sebagai P N S tak pula cukup untuk mengganjal kebutuhan nafsu manusia.
Tinta tidak akan pernah berhenti jika harus menguraikan masalah-masalah bangsa ini dalam lembaran-lembaran kertas. Ia mungkin akan lebih pajang dari epik I Lagaligo. Apa yang sesungguhnya salah? Selalu, kita hanya bisa menambal sulam. Memperbaiki pijakan sedikit demi sedikit. Lalu mengatasi rumah yang hampir roboh dengan memperbaiki pintu, palang jendela, plafon, tidak melihat adakah yang salah dengan pondasinya. Bagaimana kalau kita berbicara mengenai demokrasi?
Logikaku memang mengatakan bahwa demokrasi sudah cacat dari awal. Vos populi, vos dei. Suara rakyat suara tuhan. Dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Dimana kedaulatan Sang Pencipta? Bukankah hanya Sang Penciptalah yang tahu apa yang terbaik untuk sesuatu yang diciptakannya. Analogi, sebuah telepon genggam yang dibuat oleh pakarnya, penciptanya. Mereka menciptkan handphone beserta manual instructionnya. Apa gunanya? Agar kita menggunakan handphone itu sebagaimana mestinya, baik, benar, hingga tidak mudah rusak. Begitupula Allah menurunkan Al Qur’an untuk manusia sebagai manual instruction. Agar tidak dijadikan sebagai penghias lemari atau hafalan-hafalan belaka, tapi kembali menerapkannya secara utuh.
Tak usalah saling memalingkan wajah hanya karena demokrasi. Meski saya tidak setuju dengan demokrasi, tapi saya tidak pernah mencela orang-orang yang memperjuangkannya atau orang-orang yang memanfaatkannya. Karena saya tahu dengan jelas untuk apa sebagian orang memilih terjun ke parlemen, karena mereka ingin beramar ma’ruf nahi munkar. Tentu tujuan yang sangat mulia. Bukankah itu tujuan awal partai islam didirikan. Meski pada akhirnya semua banting stir menjadi partai terbuka karena memang kekuatan sistem dan ideologi besar yang menggenggam tidak bisa dikalahkan oleh segelintir kelompok. Partai yang dulunya sangat kental memperjuangkan islam akhirnya tereduksi atas dominasi partai sekuler. Bahkan sempat kubaca beberapa kader partai yang kental beramar ma’ruf nahi munkar ingin dicopot kursinya hanya karena membangkang terhadap koalisi. Kenapa itu bisa terjadi? Karena kondisi sistem yang tidak pernah memberi kita ruang untuk meng-goal-kan apa yang kita anggap solusi terbaik. Islam.
Perubahan tidak dengan harus masuk parlemen. Berjuang untuk kepentingan negara tidak mesti dalam pemerintahan. Orasi, aksi, dialog juga tidak bisa dijadikan standar untuk bisa mengubah segalanya. Banyak di antara kita yang turun ke jalan memprotes kapitalisme, tapi sesungguhnya kita pun tidak bisa lepas dari belenggu kapitalisme. Kita pun selalu memprotes demokrasi, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menyadarkan. Kita hanya bisa bergerak di ranah yang bisa kita jangkau. Kenapa kita tidak bisa lepas dari cengkeraman kapitalisme. Kenapa bangsa ini tidak bisa lepas dari ketergantungan bangsa lain, terutama Amerika.
Sebenarnya aku cukup kagum dengan Bung Karno yang anti kapitalisme, anti Amerika. Tapi, sayang dia lebih memilih komunis. Mengutip pernyataan seorang teman, “Kau tahu, kenapa Soekarno akhirnya memilih komunis? Menurutku, itu karena kesalahpahaman yang selama ini terjadi. Konspirasi menjadi tabir sejarah masa lalu. Benar jika ada pernyataan ‘darah itu merah, jenderal’. Apa lagi ketika ukuran kebenaran benar-benar sudah berubah menjadi antroposentris. Mungkin, jika Soekarno tahu apa ideologi yang akan membuatnya terkenal di kalangan para Nabi dan Syuhada, mungkin sudah lama ia memperjuangkannya. Tapi, ternyata ia tidak tahu dan tidak mau tahu.”
Aku terperangah. Benar apa katanya. Bung Karno adalah salah satu aset terbaik bangsa ini. Namun, dia tidak memilih untuk menjadi aset islam yang memperjuangkan agama Allah. Andai pun para pemuja Marxis tahu kehebatan rasullullah dan risalah yang dibawanya, kecerdasan khulafaur rasyidin, sahabat-sahabat, keberanian dan kecemerlangan berpikir para pemimpin hebat islam, Salahuddin Al Ayyubi, Khalid bin Walid, Tariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih, dan janji yang ditawarkan Allah, surga! Tentu mereka akan memilih memperjuangkan agama Allah. Jihad fi sabilillah. Tapi, mereka tidak tahu, dan mereka memilih untuk tidak tahu dan tidak mau tahu. Bahkan sudah menutup telinga dari jarak beribu kilometer ketika kata islam didengungkan. Mereka bahkan mengumpat bahwa ideologi ini tahi kucing, tahi anjing. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Memang, kita tidak perlu menunggu revolusi struktural untuk mengubah. Revolusi pun bisa dilakukan dengan revolusi komunal dan personal. Teringat sebuah artikel yang belum lama ini kubaca. Sebuah keluarga sederhana yang memilih untuk menyelesaikan sendiri apa yang masih bisa mereka selesaikan. Mobil mereka rusak. Tapi, mereka tidak memilih membawanya ke bengkel, malah memperbaikinya sendiri dengan gotong royong bersama anggota keluarga lain. Sang istri melahirkan, tapi ia tidak membawa istrinya ke rumah sakit atau pun memanggil bidan. Cukup kusimpulkan bahwa mereka tidak ingin bergantung pada orang lain. Namun, bukan berarti kita tidak butuh orang lain. Hanya sebuah kisah yang cukup logis bahwa kita bisa melakukan revolusi sendiri. Revolusi dari rumah kita. Revolusi dari pribadi kita.
Apakah pemerintah pernah berpikir sekejap saja bagaimana memutus hegemoni barat yang diam-diam menggeledah bumi pertiwi. Aku tidak pernah membayangkan kalau kita tengah menjadi kacung di negeri sendiri. Bahkan kaum intelektual negeri ini berbangga hati bekerja sebagai buruh di korporasi asing yang terang-terangan mencuri harta kita di depan mata kita sendiri. Sebutlah yang paling tersohor, Freeport. Kenapa kemudian penguasa tak bisa berkutik sama sekali. Negeri ini sudah terlalu lama menjadi pembantu di rumah sendiri. Aku hanya bisa berhipotesis bahwa melepas diri dari jerat kapitalisme bagai pungguk merindukan bulan. Itu jika aku tidak mengetahui bisyarah rasulullah.
Dunia ini butuh revolusi. Dan andai penguasa berkenan membuka mata, Allah dan rasul-Nya menawarkan islam. Islam rahmatan lil ‘alamin. Tiada jalan lain selain mengganti sistem, jika pun dalam hati kecil kalian masih peduli dengan nasib umat islam di bumi ini, terlebih di Palestina, Afganistan, Irak. Hingga kita bergabung bersama penggenggam bara islam di seluruh dunia untuk mengembalikan kejayaan islam, imperium agung yang runtuh 1924 karena konspirasi kaum kafir. Tidakkah kita rindu berada dalam kehidupan islami. Tentu kita semua ingin mengembalikan kehidupan islam. Menegakkan kalimat Allah. Allahu ‘alam.
“Satu hal yang amat saya tegaskan di sini adalah keharusan kita untuk kembali kepada islam. Islam yang benar. Islam yang menyeluruh yang mengembalikan diri kita – sebagaimana yang dulu pernah terjadi – menjadi sebaik-baik ummat yang pernah dihadirkan untuk seluruh ummat manusia. Tanpa kembali kepada islam, maka nasib yang akan kita alami, sungguh amat mengerikan, dan masa depan pun akan demikian gelap gulitanya” (Dr. Yusuf Qaradhawi, Mengapa Kita Kalah di Palestina?)
Bulqia Mas’ud
Polewali, 23 Ramadhan 1432 H