Singgah



Aku ingin lebih lama lagi di sini. Suara yang entah datangnya darimana ini yang seringkali kuulang dalam setiap perenunganku. Mungkin, aku bahagia di sini. Rasa bahagia yang ingin kubagi padamu. Tapi, aku tidak tahu caranya. 


Andai kau bisa pinjam hatiku, coba rasakan bahagia yang kurasakan. Adakah ia semu atau ini adalah bahagia yang tertuntun?

Pagi ini aku menghubungimu. Suaramu di seberang sana terdengar tenang. Dan aku selalu bahagia setelah itu. Aku sedang berusaha memperbaiki segalanya. Termasuk menjahit luka yang belum bisa kau sembuhkan. Aku juga masih berusaha memperbaiki diriku sendiri. Tapi, mohon bantu aku. Bantu aku dengan doamu. 

Maafkan aku yang sedang menempuh perjalanan ini. Jika aku tidak menghubungimu beberapa saat, mungkin aku sedang menambah pengetahuanku. Aku berharap matahari akan selalu mengiringi langkahmu. Ketika malam, bulan akan menggantikannya. 

Aku hanya singgah di sini. Ketika waktunya tiba, jalan-jalan yang berbatu dan berkerikil itu akan kulalui lagi. Seperti yang selalu kau tapaki usai sholat subuh. Menunggu warna ungu di atas sana berganti cerah. Tapi kau sering kembali sebelum matahari benar-benar terbit. Katamu, kau bahagia dengan itu.

Bukankah selalu ada cara lain untuk menuntaskan rindu? Kita punya bahasa doa. Dan sepertinya doa adalah cara menuntaskan rindu yang paling romantis. Karena kau meneruskan namaku sampai ke langit. Bisa jadi karena doamu. Aku terhindar dari keburukan. Meski kau tak benar-benar ada di depan mataku untuk menolongku. 

Sungguh, bahasa-bahasa yang keluar dari bibirmu itu adalah hal yang selalu bisa menenangkan kegelisahanku? Lalu aku butuh apa setelah itu?

Kata Kahlil Gibran, “Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia. Dan ‘Ibuku’ adalah sebutan terindah.”


Melbourne, 27 September 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.