Perempuan dan Harapan


Kalau saja bahagia itu berwujud, 
mungkin ia akan menyerupai senyummu yang tertangkap oleh mataku

Kalau saja cinta itu berwujud,
mungkin ia menjelma bunga-bunga yang selalu kau kagumi

Kalau saja rindu itu berwujud,
mungkin ia menjelma hujan yang jatuh di halaman rumahmu

Apa yang membuat seorang perempuan memiliki harapan?
Aku bertanya
mungkin hatinya ingin menyentuh kebaikan
mungkin langkah kakinya sedang menapaki mimpi-mimpi
Bahwa ia sedang mempersiapkan surga di dalam rumahnya

Tiba-tiba matamu berkaca-kaca
Tak berapa lama kemudian, senyummu merekah
seperti hujan yang baru saja menghapus kemarau panjang
Dan kamu baru saja melupakan kesedihanmu
begitulah hati mengajarkan hidup

Semoga berkah umurmu, duhai saudariku
Terimakasih atas inspirasinya
Aku menyayangimu karena Allah!



Melbourne, 28 September 2016 

Singgah



Aku ingin lebih lama lagi di sini. Suara yang entah datangnya darimana ini yang seringkali kuulang dalam setiap perenunganku. Mungkin, aku bahagia di sini. Rasa bahagia yang ingin kubagi padamu. Tapi, aku tidak tahu caranya. 


Andai kau bisa pinjam hatiku, coba rasakan bahagia yang kurasakan. Adakah ia semu atau ini adalah bahagia yang tertuntun?

Pagi ini aku menghubungimu. Suaramu di seberang sana terdengar tenang. Dan aku selalu bahagia setelah itu. Aku sedang berusaha memperbaiki segalanya. Termasuk menjahit luka yang belum bisa kau sembuhkan. Aku juga masih berusaha memperbaiki diriku sendiri. Tapi, mohon bantu aku. Bantu aku dengan doamu. 

Maafkan aku yang sedang menempuh perjalanan ini. Jika aku tidak menghubungimu beberapa saat, mungkin aku sedang menambah pengetahuanku. Aku berharap matahari akan selalu mengiringi langkahmu. Ketika malam, bulan akan menggantikannya. 

Aku hanya singgah di sini. Ketika waktunya tiba, jalan-jalan yang berbatu dan berkerikil itu akan kulalui lagi. Seperti yang selalu kau tapaki usai sholat subuh. Menunggu warna ungu di atas sana berganti cerah. Tapi kau sering kembali sebelum matahari benar-benar terbit. Katamu, kau bahagia dengan itu.

Bukankah selalu ada cara lain untuk menuntaskan rindu? Kita punya bahasa doa. Dan sepertinya doa adalah cara menuntaskan rindu yang paling romantis. Karena kau meneruskan namaku sampai ke langit. Bisa jadi karena doamu. Aku terhindar dari keburukan. Meski kau tak benar-benar ada di depan mataku untuk menolongku. 

Sungguh, bahasa-bahasa yang keluar dari bibirmu itu adalah hal yang selalu bisa menenangkan kegelisahanku? Lalu aku butuh apa setelah itu?

Kata Kahlil Gibran, “Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir-bibir manusia. Dan ‘Ibuku’ adalah sebutan terindah.”


Melbourne, 27 September 2016

Inspirasi

Ada dua jam di kamarku yang detakannya beriringan
Satunya jam dinding
Satunya lagi jam weker berwajah panda

Kala hening datang, yang terdengar hanyalah obrolan mereka berdua
Aku ingin masuk, tapi ada bahasa-bahasa yang tak akan pernah kupahami
Perbincangan waktu yang rumit


Aku adalah pendengar setia perbincangan serius itu
sambil menatap bukubuku yang berbaris di meja belajarku
atau sesekali mengarahkan pandangan ke layar komputer. Kosong.

Mereka memutar waktu begitu cepat

Kadang dalam lamunan
atau dalam keadaan kau tidak sedang berpikir
tibatiba Tuhan menyentuh pikiranmu
seperti sehelai daun yang baru saja digugurkan
kau memungutnya
ini inspirasi yang baru saja dihembuskan
Kau menemukan sebuah ide

Terima kasih malam yang masih dingin!

Melbourne, 23.45,13/9/16

Mencipta Kebahagiaan

 

Setiap daun yang jatuh adalah takdir 
Kadang anginlah yang menjadi sebab
Sama seperti dalam hidup, tidak ada hal yang jatuh sia-sia

Setiap daun yang jatuh punya cerita
Dan setiap cerita adalah pelajaran
bagi orang-orang yang tahu arah hidupnya

Ketika senang, kamu bersyukur
Ketika sedih, kamu bersabar
Bukankah tidak ada hari yang buruk?

Meski musim berganti empat kali di kota ini
Hatimu yang tetap tahu jalan pulang
lebih indah dari bunga yang baru saja bersemi 

karena bahagia itu,
kita ciptakan sendiri
di hati

Melbourne, 11/ 9/16

Seseorang yang Hatinya Terpaut di Masjid


Ada 7 golongan orang yang akan dinaungi Allah yang pada hari itu tidak ada naungan kecuali dari Allah; salah satunya ialah seseorang yg hatinya selalu terpaut dengan masjid ketika ia keluar hingga kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mungkin lebih dikhususkan kepada laki-laki. Tapi, saya sedikit ingin bercerita tentang hati yang terpaut di Masjid. Setahun yang lalu, ketika saya baru tiba di Melbourne, saya langsung mencari komunitas-komunitas yang mungkin bisa menjaga agar hati saya tidak kehilangan ruh. Ketakutan saya kadang muncul ketika di sebuah negeri, saya tidak menemukan tempat-tempat yang bisa mengingatkan saya kepada Allah. Maka, ikutlah saya ke pengajian subuh di Masjid Westall bersama teman kala itu, ketika kami masih satu kosan. Kebetulan ada tetangga yang setiap minggu subuhnya rutin ke pengajian pagi ini. Maka kami pun dengan senang hati ikut. Meski isinya adalah ibu-ibu semua. 

Satu semester itu berjalan dengan baik. Saya rutinkan untuk ke masjid tiap minggu pagi, kecuali kalau tidak ada yang ditebengi. Saya juga menyempatkan ikut halaqah-halaqah di kampus atau di luar kampus. Pokoknya setiap ada majelis ilmu, saya akan datangi. Meskipun itu jauh, saya usahakan untuk datang. Semester berikutnya, saya sudah tidak pernah lagi ke masjid. Salah satunya karena kesibukan (ah, alasan). Teman ke masjid juga sudah tidak ada, karena dia pulang kampung dan pindah kosan setelah itu. Tapi, saya tiba-tiba berefleksi. Kenapa keadaan saya waktu itu tenang, teratur, dan setiap urusan Alhamdulillah lancar. Di akhir semester, nilai saya juga bagus. Saya sangat puas. 

Semester selanjutnya, saya akui sudah jarang lagi mengikuti  halaqah ilmu selain halaqah pekanan bersama teman-teman. Saya jelas mengalami penurunan kualitas ibadah. Semangat belajar saya agak menurun. Jadwal saya tidak teratur seperti semester sebelumnya. Pengelolaan waktu saya menjadi buruk. Akhirnya dibuktikan dengan nilai di akhir semester yang tidak sebagus sebelumnya. Kok, tiba-tiba saya mengaitkan adakah semua itu terjadi dipengaruhi oleh kondisi iman saya? Jujur, di kedua semester itu, saya bisa menilai sendiri keadaan diri saya.

Maaf jadi curhat. Tapi, sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah saya selalu kagum kepada lelaki yang hatinya terpaut di masjid. Sungguh, kalau kalian menemukan orang seperti ini. Kalian termasuk yang beruntung. Sangat langka orang seperti ini. Apalagi kalau kalian menemukannya di tempat yang memang masjid itu sangat langka. Seperti di luar negeri mungkin. Saya jadi teringat nasehat kawan saya. Katanya orang soleh itu sedikit! Jadi, kawan-kawan kalau mau cari pendamping hidup, cari yang hatinya selalu terpaut di masjid ya! 

Jumuah Mubarak!!!

Melbourne, 9/9/16

Memajang Foto di Dunia Maya

Saya tidak tahu kapan ini bermula. Dulunya, saya sangat jarang sekali meng-upload foto diri di media sosial. Bahkan orang-orang tidak akan mengenali siapa saya sebenarnya saking tidak ada satu pun foto wajah saya yang nampak. Baru setahun belakangan ini, semua itu bermula. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang haram dan saya tidak menyalahkan siapapun yang mau mengupload foto wajahnya di media sosial. Hanya saja, saya kembali berpikir untuk apa semua itu saya lakukan? Penghargaan siapa yang ingin dicari? Apa niat dalam hati saya? Saya berkontemplasi. Tidak ada satu jawaban pun yang saya dapatkan selain ingin agar dilihat oleh manusia. 

Diskusi ini berlanjut dengan beberapa teman di sebuah grup di WA. Ya, kami bersepakat bahwa ini tidak haram selama foto-fotonya menutup aurat dan sopan, tidak berlebihan seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Felix Siauw di akun facebooknya. Saya bisa menerima penjelasan itu. Baiklah, kita bersepakat untuk mengembalikan ke niat masing-masing. 

Tapi kemudian pertanyaan yang muncul. Apa niat kita, kalau bukan ingin dilihat oleh manusia, ingin mendapatkan penghargaan atau penilaian manusia, bukan? Apalagi yang diupload adalah foto-foto pilihan yang cantik-cantik, pemandangannya bagus, seni fotografinya oke. Hmm, jelas semuanya hanya untuk menarik perhatian manusia. Jujur, awalnya saya alergi pasang foto wajah di media sosial, tapi karena teman-teman dan keluarga di Indonesia ingin tahu kabar saya dan ingin melihat keadaan saya di luar negeri, maka saya memutuskan untuk mengupload sesekali. Oh iya satu lagi, karena beberapa teman tidak mengenali saya, karena tidak ada satu pun foto yang menampakkan wajah saya terpasang di media sosial. Semuanya mungkin berawal dari sini.

Hanya saja niat saya menjadi berubah dan saya semakin aktif memajang foto diri di media sosial. Saya ketagihan mengabarkan setiap kejadian dan tempat-tempat indah yang saya kunjungi di media sosial. Sekali lagi ini tidak haram dan saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja ini refleksi diri saya pribadi. Untuk apa semua itu saya lakukan dan apa niat saya. Saya belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati. 

Akhirnya saya memutuskan untuk menghapus beberapa foto yang diambil dari jarak dekat. Saya tetap akan mengupload foto diri, ya untuk sekadar mengabarkan ke keluarga dan teman-teman. Tapi, sungguh media sosial ini menjadi ajang untuk pamer apa-apa. Niat kita benar-benar dipertaruhkan. Orang-orang berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dari dirinya. Saya pun akhirnya ikut-ikutan. Ya Allah, begitu mudahnya hati ini mengikuti standar sosial masyarakat. Saya semakin merenung, kita memposting sesuatu sebagaimana kita ingin orang lain melihat kita. Kita tentu tidak ingin memposting foto yang kita tidak ingin, orang lain lihat. Jelas sekali, penghargaan siapa yang kita cari. 

Saya juga belum bisa untuk tidak mengupload foto diri, apalagi beberapa foto saya sudah tersebar di akun teman-teman yang lain. Ya Allah, semoga ketika mengupload sesuatu, orang-orang tidak mendapat hal buruk dari itu, tetapi justru mendapat sesuatu yang baik. Seperti mendapat inspirasi mungkin. Tapi, jujur saya memang ikut-ikutan tren Instagram. Semoga niat saya bisa terus diluruskan bahwa ini bukan bermaksud riya' atau pamer. Semoga bisa menginspirasi teman-teman di dunia maya. 

Melbourne, 5 September 2016

Mengarahkan Potensi

Hari ini saya menghadiri pengajian bulanan LPDP Victoria. Temanya tentang peran pemuda dalam Islam. Saya tidak begitu mencatat isi kajiannya. Tetapi, saya berefleksi apa yang sudah saya lakukan untuk agama ini. Allah sudah memberikan saya banyak kesempatan dan nikmat yang cukup banyak yang tidak bisa dirasakan oleh banyak orang lain seperti menuntut ilmu di luar negeri. 

Saya akui ini semua datangnya dari Allah, bukan semata-mata hasil usaha saya. Alangkah sombongnya saya, jika menganggap ini semata-mata usaha dan kerja keras saya. Sesungguhnya peran Allah besar di dalamnya. Tetapi, terkadang sebagai manusia biasa, kita melupakan kewajiban-kewajiban kita termasuk kewajiban kepadaNya. Mungkin terkadang saya sibuk mengejar impian-impian dunia saya dan lupa terhadap apa yang sesungguhnya ingin saya persembahkan untuk din ini. Potensi apa yang bisa saya sumbangkan untuk kemuliaan agama ini. Saya merasa begitu jauh dari orang-orang yang hidup dan matinya itu untuk amar ma'ruf nahi munkar. 

Apalagi jika menilik sejarah bagaimana pemuda-pemuda Islam bergerak menyelamatkan peradaban. Sebut saja sahabat rasul, Usamah Bin Said, dia adalah panglima perang termuda, pada usia 18 tahun telah memimpin kaum Muslimin melawan Romawi. Atau Muhammad Al Fatih, pada usia 21 tahun telah berhasil menaklukkan Konstantinopel. Jika mereka pada usia tersebut telah sanggup mengatur pasukan besar, bagaimanalah saya yang mungkin terkadang mengatur diri sendiri saja masih susah. 

Al-wajibat aktsaru minal awqat (kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia). Saya lupa siapa yang mengatakan ini. Tetapi, ini semacam kata bijak orang Arab. Betapa banyak yang harus kita lakukan sementara waktu tidak cukup. Oleh karenanya kita butuh manajemen waktu. Kita perlu mengatur waktu dengan baik. Saya pun merasa ini kelemahan saya. Saya masih terus belajar mengatur hidup saya. Ada berapa banyak hal-hal mubah yang saya lakukan? Yang tidak ada manfaatnya untuk peningkatan kualitas iman dan amal saya. Sudah bermanfaatkah saya untuk orang lain? 

Saya menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Kampung kita sesungguhnya adalah akhirat. Tugas kita sebagai khalifah, yang tidak hanya bertugas untuk menjadikan dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, dengan potensi akal dan diri kita masing-masing, tetapi juga ada visi akhirat di dalamnya. Bahwa semuanya ditujukan untuk menggapai ridha Allah. Potensi kita berbeda-beda. Tapi, semua potensi itu adalah modal untuk memakmurkan dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, mewujudkan peradaban yang agung. Semoga potensi-potensi itu kita kerahkan dan menjadi jalan untuk memasuki surga Allah. Aamiin.

1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al 'Ashr: 1-3)

Melbourne, 4 September 2016

Bangunkan Saya Ketika September Berakhir


Hello Spring! Pagi ini saat membuka Facebook, disambut dengan ucapan bahwa musim dingin telah berganti semi. Sama seperti Facebook, saya menetapkan perpindahan musim itu tepat di awal bulan. Padahal mungkin saja ia maju lebih awal atau mundur sedikit berdasarkan perhitungan saintifik. 

Hari ini tanggal 1 bulan September, saya teringat lagunya Green Day, "Wake Me Up When September Ends". Yup, sepertinya September akan membuat saya tertidur dengan assignment. Ada beberapa deadline di bulan ini. Termasuk deadline abstrak untuk conference, jikapun saya jadi ikut. Hmm, padahal topik belum fix di otak hendak menulis apa.  

Tidak terasa sudah bulan ke 9. Dan rencana-rencana yang pernah menggebu-menggebu sepertinya perlahan memudar. Seperti janji membuat antologi tulisan bersama teman-teman di sini yang saya tidak tahu apakah bisa benar-benar terealisasi. Semoga tidak hanya tinggal kata. 

Tentunya saya harus ingat tujuan utama saya di sini adalah belajar. Jadi, jurnal-jurnalnya jangan lupa dibaca, buku-buku yang dipinjam jangan lupa dibaca. Beberapa buku yang saya pinjam di perpustakaan masih tertata cantik di atas meja dan belum saya buka satu pun hehe... Oh, betapa manusiawinya diri ini. 

Sepertinya September akan ceria di Australia, mengikuti musimnya yang semi. Hope I can do the best for this semester. Wake me up when September ends!

Melbourne, 1 September 2016
Diberdayakan oleh Blogger.