Membunuh Sunyi


"Dan Melbourne bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi"

Saya mengutip kalimat itu dari ungkapan Pidi Baiq tentang Kota Bandung. Namun saya mengganti kata Bandung dengan kota Melbourne, tempat saya menuntut ilmu sekarang. Mungkin apa yang dirasakan Pidi Baiq bisa mewakili apa yang saya rasakan sekarang. Setelah kembali ke kota ini, saya mulai membayangkan mengenai perasaan seperti sendiri ketika liburan telah usai dan kembali bersemedi di kamar. 

Bisa jadi saya yang terlalu melankolis. Ketika perasaan sepi itu datang, saya akan menelpon Ibu saya dan mengobrol sampai pada hal-hal yang tidak penting. Atau sekadar mendengar suara keponakan saya yang selalu senang ketika ia berhasil menyebut angka 1 sampai 20 dalam Bahasa Inggris. Dia selalu mengulang-ngulang menyebut angka-angka itu sampai ucapan "good job!" atau "well done!" keluar dari mulut saya dan dia pun mengulanginya. Bertambah satu yang membuat saya bahagia.
Atau saya akan muncul dengan topik yang tak penting di grup-grup WA atau sekadar men-japri teman-teman saya menanyakan kabarnya dan mengungkit hal-hal yang mungkin juga terlalu klise. Membuka berbagai sosial media, meski saya tahu itu tak menyelesaikan masalah yang kosong di inti dada ini. Tetap saja ada ruang di dada yang saya tak tahu membahasakannya, terasa mencari sesuatu. Mencari ketenangan, mencari kedamaian. 

Ketenangan itu tidak ditemukan dengan menonton semua film favorit atau berselancar di youtube, sosial media dan internet. Meski kadang kita bahagia dengan melakukan hal-hal yang secara naluriah menyenangkan hati seperti menonton drama misalkan (ini terkhusus untuk perempuan). Atau berhasil membeli barang favorit dengan harga yang murah. Tetap saja tidak mengobati kehampaan itu. Adakah yang pernah merasakan apa yang saya sebut sunyi itu? Hee...mungkin hanya saya yang menganggap ini suatu masalah.

Sampai akhirnya saya menyadari. Semua yang nampak membahagiakan saya itu mungkin semu. Saya kembali teringat pada surah favorit saya dalam Al Qur'an, Ar-Rad: 28. Bahwa hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Ruang kosong yang rumit itu, yang sulit saya jelaskan. Yang tidak bisa diobati meski bergaul dengan banyak manusia. Berlibur kemana-mana, mengunjungi tempat-tempat indah atau membeli barang-barang favorit. Kehampaan itu hanya bisa diisi dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Setiap dari kita memiliki ruh. Mungkin ruh ini yang gelisah, mencari kebahagiaan dan ketenangan yang sesungguhnya. 

***
Maka bulan dan bintang-gemintang belajar terbang menari, ratusan lampu-lampu dinyalakan di angkasa: matahari menggantung di langit biru membentang kubah emasnya dengan tali-tali berwarna perak, di ujung timur fajar pertama pecah dan dari dunia yang baru lahir ia mengangkat tabir
Tapi manusia masih terpencil, sepi dan sunyi.

***
Tatapan matanya akan membuat suram kabut bumi cerah berseri.
Meski hanya sedikit berdoa dan banyak menumpahkan darah, namun dia tetap melaju selamanya.
Dari semesta ia akan belajar memahami sifat-sifat sang wujud, "Siapa yang tenggelam dalam pesona kecantikan Tuhan, maka ia akan menjadi raja segenap makhluk ciptaan Tuhan."

(Muhammad Iqbal, Javid Nama)

Melbourne, 27 Juli 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.