Oleh: Bulqia Mas’ud
Setiap
manusia ingin bahagia. Tentu kita semua ingin mendapatkan ketentraman dalam
hidup. Kebahagian bisa menunjukkan tingkat kesejahteraan seseorang, baik harta,
jiwa dan raga. Mencari kebahagiaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu
saja perlu pengorbanan untuk meraihnya. Di Amerika dikenal istilah American Dream (mimpi-mimpi orang
Amerika). Orang-orang Amerika begitu terobsesi dengan istilah kebahagiaan,
namun sayang kebahagiaan yang mereka kejar adalah kebahagiaan semu.
Aristoteles,
seorang filsuf Yunani (384-322 SM) memberikan istilah bagi keadaan ini, yaitu eudaemonia. Istilah ini kerap dipakai
dalam istilah filsafat untuk menunjukkan arti kebahagiaan, kesenangan, dan
ketentraman. Eudaemonia diambil dari
bahasa Yunani, eu berarti ‘baik’
seperti euphoria, euphemism, eulogy dan
Europe. Daemonia terkait dengan kata daemon
yang berarti ruh. Dalam Bahasa Inggris modern istilah daemon (demon) berarti ruh yang jahat. Jadi, menurut Aristoteles eudaemonia adalah suatu kebaikan
ruhaniah.
Mungkin
lebih sedikit manusia yang menyadari bahwa zaman sekarang telah dikunkung oleh
ideologi besar bernama kapitalisme. Semua celah terasuki, sampai ke struktur
terkecil kehidupan kita. Bahkan orientasi kebahagiaan pun dikendalikan oleh
ideologi ini. Dalam perspektif kapitalisme, kebahagiaan adalah ketika kita
telah mampu memenuhi segala kebutuhan hidup dengan materi yang berlimpah. Pemahaman
masyarakat dibentuk untuk hidup mengejar materi. Masyarakat bersikap konsumtif,
membeli barang-barang tertentu seperti mobil mewah, rumah mewah, pakaian mewah,
menjaga penampilan dan gaya hidup tertentu.
Aleister
Crowley, seseorang yang dijuluki bapak satanisme modern mengajak masyarakat
barat untuk semakin meraih eudaemonia.
Istilah yang dikeluarkannya sangat terkenal “Do what thou wilt” lakukan apa kehendakmu.
Kalimat ini kemudian dijadikan rumus bahagia bagi generasi muda barat. Mereka kemudian
bertindak sesuka hati untuk mendapatkan kepuasan-kepuasan semu. Slogan merek
sepatu Nike “just do it” juga kalimat
yang mengandung pesan agar kita melakukan apa saja untuk meraih eudaemonia. Konsep ini pun mewabah ke
bagian belahan timur di dunia, termasuk Indonesia, salah satu yang terparah.
Padahal
terbukti bahwa kepemilikan barang dan harta kekayaan tidak sepenuhnya membawa
kebahagiaan. Kita bisa saksikan dari tingkah laku sebagian orang-orang kaya dan
selebritis dunia bahkan tanah air. Mereka justru kebanyakan mengalami depresi,
stress, hingga mengalihkannya ke cara-cara yang semakin menghancurkan kehidupannya,
seperti narkoba, mabuk-mabukan dll.
Kebahagiaan dalam Pandangan Islam
Allah
swt berfirman:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu” (TQS. Al Hadiid [57]: 20)
Ayat
di atas mengingatkan agar hidup kita tidak difokuskan untuk mengejar
kenikmatan-kenikmatan dunia. Hidup ini hanyalah tempat persinggahan. Masih ada
kehidupan akhirat. Di tempat itulah kita
kekal selama-selamanya. Maka hendakanya kita meletakkan segala macam kenikmatan
dunia pada posisi yang semestinya.
Seorang
muslim hendaknya merasa senang jika ia telah melakukan sesuatu untuk meraih
ridha Allah. Kebahagiaan dalam islam adalah ketika kita mendapatkan keridhaan
Allah. Meskipun dengan sesuatu yang tidak mengenakkan atau secara naluri tidak
kita sukai. Misalkan, seseorang yang berpuasa sepanjang hari. Bagaimana mungkin
kita mendapatkan kepuasan padahal kita tidak makan dan minum. Tapi, ada
kebahagiaan dan kenikmatan luar biasa pada saat berbuka puasa. Contoh lain,
ketika seseorang bangun sholat tahajjud. Ia rela mengorbankan waktu tidurnya,
hingga memaksa mata untuk berdamai hanya untuk ibadah tersebut. Secara logika,
mungkin itu sangat menganggu tapi adakah yang bisa menjelaskan perasaan bahagia
ketika kita bangun sholat malam dan memiliki kesempatan untuk bermunajat kepada
Allah.
Kisah
yang paling terkenal tentang pengorbanan keluarga Yasir r.a dan Sumayyah r.a
mengalami penyiksaan yang menyakitkan hingga menyebabkan kematian. Namun mereka
tetap bertahan menjaga keimanannya agar Allah dan Rasulullah meridhai mereka. Mereka
menganggap penyiksaan itu hanya sementara dibandingkan dengan janji Allah. Rasulullah
kemudian memotivasi mereka dengan surga yang ada di depan mata ketika
menyaksikan mereka dalam penderitaan. Sumayyah pun menyambut dengan ucapan
bahwa ia bisa melihat surga itu. Kisah yang sangat menggetarkan agar manusia
mencari kebahagiaan untuk ridha Allah semata.
Kita
harus memahami makna hakiki kebahagiaan, agar kebahagian dunia sekaligus
akhirat mampu kita raih. Kapitalisme menyandera pemikiran kebanyakan orang agar
memburu kebahagiaan dalam arti kesenangan materialistik. Jika kita memakai
landasan hidup yang salah, maka kita hanya akan mendapatkan kebahagiaan semu. Landasan
hidup yang sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah-lah yang insya Allah membahagiakan
kita dunia akhirat.
Sebuah
do’a yang dianjurkan Rasulullah saw agar kita senantiasa mencari keridhaan
Allah swt:
“Ya Allah, aku memohon jiwa yang
tenang, keimanan terhadap hari pertemuan (dengan-Mu), keridhaan atas qadla-Mu,
dan sikap qana’ah atas pemberian-Mu.”
Mahasiswi
Sastra Inggris Angkatan 2008
0 komentar:
Posting Komentar