Siklus Perasaan


Pagi ini, ingin menulis sesuatu. Melihat matahari yang mengirimkan kemilau keemasan tapi sedikit basah oleh waktu. Bulan ini berlatar hujan. Ikut membasahi hati sampai pada sudut yang tak nampak. Mungkin sisa-sisa bulan kemarin. Sedikit bercerita tentang siklus hari dan perasaanku. Aku ingat, aku pernah mengulang perasaan yang sama. Dan kembali mengalaminya.

Tapi, sudahlah. Hari ini tak ada selimut awan. Berarti cahaya matahari bisa sampai ke bumi. Sedikit menghangatkan hati. Hari ini adalah kesempatan melakukan segala hal yang tak bisa dilakukan jika ditemani hujan.

Hidup itu seperti awan yang berganti bentuk begitu cepat. Bentuknya tak pernah diduga. Kadang mengantar hujan. Kadang mempersilahkan matahari. Kadang menjadi pelindung. Siklus ini adalah penghargaan religius. Dan pagi ini, awan menjadi pelindung tak mengantar air mata dari langit. Benar-benar merasakan titik kedamaian.

Apa yang kurasakan sekarang adalah sebuah kedamaian. Hatiku seperti ringan. Kemarin, berusaha menyembunyikan keletihan dengan senyuman. Seperti sebuah perahu yang menantang gelombang. Terombang-ambing. Tak mengalir seperti sungai yang airnya tenang, bersih, dan segar untuk membasuh wajah. Tapi, hari itu sudah berlalu…

Aku ingin bercerita tentang kata maaf. Maaf itu seperti hujan yang bisa menghapus kemarau panjang dan ganas. Ada keajaiban dalam sebuah maaf. Jika terlambat mengatakannya, bisa saja keajaiban itu hilang. Maaf tak bisa disembunyikan di balik tumpukan jerami yang menyulitkan orang untuk menemukannnya. Maaf butuh dilisankan, dituliskan dalam sebaris kata, simbol, atau deret huruf. Satu hal, meminta maaf tidak pernah menjatuhkan harga diri. Seorang pemenang ialah ketika ia mampu mengucapkan selamat saat ia kalah dan mengucapkan maaf saat ia tidak salah.

Tidak ada hal yang betul-betul salah. Bahkan jam rusak pun benar dua kali dalam sehari (Paulo Coelho). Seolah bermakna masih ada kesempatan untuk memaafkan. Kesabaran itu menimbun emas. Hari ini dan seterusnya, lebih baik menimbun emas. Emas tidak akan pernah berkurang nilainya. Ia akan tetap berguna. 

*Desember berlatar hujan. Ingin menemukan kedamaian...

Selamat menjemput mimpi-mimpi!

Makassar, 28 Desember 2011, di garis waktu 09.10



Menampilkan Kepribadian Islam sebagai Karakter Pemuda Bangsa

Oleh: Bulqia Mas’ud

Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru. Tapi kalau sepuluh pemuda bersemangat diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” [Soekarno]

Pemuda adalah sosok yang memegang peranan penting dalam mengawal perubahan. Pemuda yang kita representasikan sebagai mahasiswa bukanlah gelar biasa. Mahasiswa sering identikkan dengan agen perubahan, social control dll. Mahasiswa atau pemuda adalah sosok intelektual yang berperan penting dalam mewujudkan kebangkitan bangsa. Mahasiswa adalah masa-masa emas yang penuh semangat, kritis, cerdas, dan memiliki waktu dan ruang gerak yang cukup leluasa untuk menjalankan kerja-kerja produktif. Namun sayang banyak yang tidak menyadari peran strategis ini. Banyak pemuda yang tergerus dengan budaya hedonis, individualistis yang hanya bermanfaat untuk individunya semata tanpa berusaha mengubah apa yang ada di sekelilingnya. Mereka hanya terfokus untuk mengejar ilmu yang kelak dapat digunakan untuk meraih kemaslahatan pribadi berupa popularitas maupun kekayaan. Padahal idealnya pemuda yang merupakan harapan bangsa dan masyarakat mereka harus punya kesadaran sosial untuk kepemimpinan masa depan.

Terlalu banyaknya pemikiran yang menjangkiti pemuda sehingga pemuda kesulitan menemukan jati dirinya. Pemuda cenderung menganggap budaya dan pemikiran luar khusunya barat lebih superior sehingga muncullah rasa inferior pemuda bangsa yang terlalu mengagung-agungkan kehebatan mereka.

Derasnya arus pemikiran dan budaya luar membuat pemuda semakin disorientasi, tidak memiliki karakter yang jelas. Liberalisasi membuat segalanya serba terbuka, kabur dan kehilangan arah. Pemuda semakin dialihkan untuk bergaya hidup yang hedonis. Hal inilah yang melahirkan banyaknya masalah cabang seperti free sex, narkoba, HIV/AIDS, konsumtif dll. Liberalisasi ini tidak hanya menyinggung sistem sosial atau gaya hidup tapi sistem perekonomian, hukum, budaya yang berdampak massif kepada bangsa dan membuat kebanyakan pemuda semakin bebas dan tidak punya prinsip.

Oleh karena itu pemuda bangsa harus memiliki filter yang kuat untuk menekan pengaruh luar tersebut. Filter ini hendaknya dapat mendukung gerak kolektif para pemuda. Dengan kata lain, butuh kesepahaman konsep, visi, dan misi untuk merumuskan karakter-karakter yang perlu dimiliki seorang pemuda calon pemimpin bangsa. Filter ini pun diharapkan mampu menjadikan pemuda tetap pada prinsipnya meskipun arus pemikiran dan budaya semakin deras. Filter ini diharapkan tidak mengubah jati diri pemuda meskipun mempelajari banyak pemikiran dan budaya luar.

Karakter Kepribadian Islam sebagai Filter Utama

Mengubah sebuah kondisi merupakan PR besar para pemuda. Pemuda harus memiliki karakter yang kuat untuk menjadi front liner bangsa ini. Untuk itu butuh kesepahaman konsep dan landasan berpikir yang jelas. Kesepahaman konsep inilah yang dapat menjadi filter kuat untuk menyatukan gerak pemuda.

Pada dasarnya pemuda adalah hamba Sang Pencipta yang tidak boleh melupakan perannya yang multidimensional dalam kehidupan ini. Pemuda sebagai agen of change seharusnya juga menjadi agen kebenaran. Kebenaran yang mampu menjawab pertanyaan mendasar dalam kehidupan ini. Darimana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Dan akan kemana kita setelah hidup di dunia? Merumuskan sebuah konsep perubahan hendakanya memerhatikan ketiga pertanyaan tersebut. Pertanyaan tersebut akan mengarahkan para pemuda menjadi manusia yang mengenali jati dirinya sebagai hamba Allah, agen perubahan, dan kontrol sosial masyarakat.

Pemuda sebagai intelektual sejati adalah generasi ulul albab yaitu generasi yang memiliki kecerdasan intelektual serta menghubungkannya dengan nilai-nilai ilahi atau nilai-nilai spiritual. Tidak mendahulukan rasionalitas daripada nilai-nilai spiritual. Idealnya, para pemuda berpikiran lebih cemerlang untuk mengawal perubahan bangsa ini. Jangan terkunkung oleh sistem kehidupan yang semakin membuat bangsa dan generasinya terpuruk. Pendidikan diharapkan melahirkan sosok-sosok pemuda yang pemikir, bukan hanya pekerja. Pemuda tidak akan bergerak membangkitkan, jika cenderung mengalir mengikuti pola-pola halus penjajahan. Karena justru itulah yang semakin memperkuat penjajahan halus di negeri tercinta ini.

Jika pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter pemuda bangsa yang unggul, tentunya kita harus memperbaiki sistem pendidikan. Sistem pendidikan inilah yang akan membentuk kepribadian dan karakter seorang pemuda. Dalam UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 tujuan pendidikan nasional adalah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal implementasinya, terjadi ketidaksesuaian antara tujuan awal dengan hasil yang diinginkan. Karakter pemuda tidak terbentuk sesuai tujuan tersebut. Hal ini disebabkan, konsep nilai-nilai tidak akan terterapkan dengan baik tanpa adanya sistem kuat yang mendukung. Di sinilah berlaku istilah structure influences behavior.

Sistem pendidikan kita hendaknya menitikberatkan pada penyelesaian masalah-masalah kepemudaan. Telah disinggung di atas penyebab jatuhnya moral pemuda karena tidak memiliki filter yang jelas. Filter islam diharapkan mampu menjadi payung yang dapat menyamakan konsep gerak pemuda. Mampu menyatukan kita yang heterogen. Nilai-nilai universal islam pun mampu memayungi banyaknya nilai lokal dari sabang sampai merauke di Indonesia yang cenderung sulit disatukan. Sudah saatnya bangsa ini merumuskan sistem pendidikan yang lebih islami yang bertujuan membentuk karakter bangsa yang kuat.

Sistem pendidikan islam akan membuat pemuda bangsa memiliki pemikiran dan sikap yang benar yang tidak menyimpang dari aturan Sang Pencipta. Sistem ini sudah sangat dirindukan, melihat berbagai fakta dan persoalan yang terjadi karena tidak diterapkannya aturan yang benar. Semuanya bisa terwujud, salah satunya dengan menerapkan sistem pendidikan yang lebih islami. Pendidikan islam tidak hanya menghasilkan pemuda yang berkepribadian kuat tapi juga semangat tinggi untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem ini akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan hebat. Yang dapat membantu menyelesaikan krisis multidimensional bangsa ini karena lemahnya penguasaan Iptek, sehingga bergantung pada negeri asing. Pendidikan islam juga akan mampu mencetak para pemuda yang visioner dunia dan akhirat.

Selain itu para pemuda patut mencontohi karakter kepemimpinan Rasulullah yang mampu memimpin masyarakat heterogen. Beliau adalah pemimpin terhebat sepanjang masa. Mampu mengayomi masyarakat plural, baik dari segi aqidah maupun suku-suku. Tanpa mengganggu aqidah yang lain dan membawa perpecahan umat. Beliau mampu memimpin kondisi sosial masyarakat yang beragam dengan ideologi islam yang dibawanya. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

Mahasiswi Sastra Inggris Unhas 2008

Mari Bergabung di Forum Lingkar Pena

Forum Lingkar Pena adalah Hadiah Allah untuk Indonesia (Taufik Ismail)

Bapak/ibu, saudara/saudari, kakak, adik, dan semuanya, Forum Lingkar Pena Wilayah Sulawesi Selatan akan menggelar penerimaan anggota baru secara serentak di seluruh cabang dan ranting FLP di Sulawesi Selatan. Acara ini bernama Training of Writing and Recruitment (ToWR) FLP Se-Sulsel 2011. Kegiatan akan berlangsung hari Jumat-Ahad, 23-25 Desember 2011 bertempat di Taman Wisata Pucak Kabupaten Maros.

Kegiatan akan

dihadiri Pipiet Senja (Novelis Senior di Forum Lingkar Pena). Peserta nantinya akan dibekali pengetahuan mengenai dasar kepenulisan baik fiksi maupun nonfiksi.

Syarat Peserta:

1. Terbuka untuk umum, mahasiswa, dan pelajar

2. Mendaftar dan mengisi formulir sebelum tanggal 20 Desember 2011

3. Kontribusi peserta Rp. 75.000,-

Fasilitas Peserta:

1. Ilmu dasar menulis fiksi dan non fiksi

2. Sertifikat

3. Konsumsi, transportasi, dan akomodasi

4. Mendapat 1 buku "Kupu-Kupu Palestina", karya FLP Unhas

5. Follow up sekolah menulis selama dua bulan

6. dll....

Dapatkan formulir di sini:

Makassar:

Unhas: 085 256 815 066

UNM: 085 398 951 811

Unismuh: 085 242 400 704

UIN : 085 241 808 373

Stikes Nani Hasanuddin: 085 256 349 413

STIS Al-Azhar: 085 299 201 952

Makassar: 085 255 898 054

Pinrang: 085 242 363 097

Sidrap: 085 396 376 227

Maros: 0899 182 7317

Palopo: 085 255 352 464

Pangkep: 085 242 307 087

Sinjai: 085 299 991 802

Sekretariat FLP Sulsel: Jl.Serkamunir No.51 Kel.Karuwisi Makassar

FLP sulsel center: 081524353511

Acara ini didukung oleh:

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

Penerbit Shofia

Rumah Cahaya FLP Sulsel

Tahu Tek Cak Ari

Waroenguniq.co.nr


Titik Balik…

Kusebut ini episode baru. Aku terpesona dengan kecantikan sore yang terbungkus kristal-kristal dari langit. Perlahan tapi pasti.

Malam berlentera putih, bersama dingin yang menembus dinding kamarku. Anggap saja bintang-bintang tengah membagi cahayanya yang diantar angin.

Menunggu pagi. Sepertinya aku ingin berdiskusi dengan daun-daun, mendengar bisikannya. Dengan cara apa mereka bertasbih pada Rabb semesta alam…

Tahukah, malam seperti tabir yang menyembunyikan rahasia-rahasia Tuhan!

Have a nice day. Have a nice month. Have a nice year!

Episode Hidup yang Baru Saja Terlewati

Cakrawala seperti jelaga yang dihamparkan Allah untuk menyimpan rahasiaNya. Ada ribuan misteri yang tersembunyi. Seperti merasakan sebuah rentetan episode kisah yang ternyata membias pada ruang hampa. Berkurangnya usia hidup di dunia bukanlah hal yang istimewa. Yang membuatnya istimewa ialah sejauh apa kita memaknai transisi itu. Dan bertanya-tanya apa yang telah dilakukan? Dan menjawab apa yang hendak dilakukan?

Setiap perjalanan usia mengajarkan rasa syukur. Rasa syukur terdalam atas Rabb semesta alam untuk nikmat keislaman sejak lahir. Rasa syukur kedua atas kesempatan dariNya, mengenal islam lebih dalam. Kesyukuran ketiga, bertemu dengan bidadari-bidadari dunia penebar wangi surgawi. Dengan sayap-sayap yang berwarna-warni melebihi indahnya pelangi. Aku mencintai kalian karena Allah. Dan rasa syukur atas segala nikmat Allah yang tak akan pernah mampu kubayar walaupun dengan ibadah ribuan tahun.

Titip rindu buat Ayah…

Salam sayang untuk Ibu…

Mencoba menemukan episentrum kehidupan dalam ritmis waktu setahun yang lalu. Hanya ingin menarik simpulan muhasabah panjang, menjalani usia yang baru saja terlewati. Menghadirkan hati untuk tidak merasa. Karena prasangka-prasangka hanyalah jebakan yang memalukan. Inilah titik evaluasi untuk bab yang baru saja tamat dalam novel kehidupan. “Berdoalah agar engkau bertemu seseorang yang telah termaktub di Lauh Mahfuz, saat segalanya siap.”

Semoga usia kali ini semakin membawa berkah dan ketakwaan kepadaNya…

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahmaan: 13)

November Terakhir di 2011


Samudra Langit

Oleh: Qiyash

Siang ini Fau merasa seperti ada pemberat di kelopak mata sipitnya. Mestinya tidur adalah obatnya. Ia berusaha menahan. Tapi Fau sudah berjanji pada dirinya ingin menyelesaikan beberapa kalimat untuk satu tulisan yang dirindukan keutuhannya. Entah ini kali ke berapa, Fau diserang kantuk yang super dahsyat di singgasana siang. Kalimat yang baru jadi beberapa deret harus Fau tinggalkan untuk mengikuti keadaaan matanya yang tak mau bernegosiasi.

Mata Fau menangkap bias cahaya sore dari celah kecil jendelanya. Ia tiba-tiba tersadar. Ia selalu takjub dengan kemahaluasan Allah yang tak pernah membuatnya terlena beberapa jam dari bergesernya waktu shalat.

“Allah sayang padaku.” Lirih Fau.

Di tengah badai kantuk yang melanda. Fau merasa Allah tidak membiarkannya meninggalkan perintahNya walaupun menyelesaikan sisa-sisa kantuk barang beberapa menit. Seperti ada yang berbisik di telinga."Hei, Fau bangun dan sholatlah!”

Di kantuk yang ia rasa, seperti ada pertarungan. Putih menyuruh Fau untuk bergegas. Sementara hitam menyuruhnya untuk berlama-lama. Bahkan menggiring Fau untuk meraih kembali benda segi empat empuk bermotif bunga. Fau merasa ada pertarungan luar biasa dalam batinnya.

“Ini baru kantuk, belum yang lain. Aku tidak boleh kalah.” Fau bergegas dan meluruhkan sendi-sendi kemalasan. Fau menganggap berwudhu selalu seperti panas yang baru saja diguyur hujan. Sejuk. Melebihi kesejukan embun di pagi hari.

Sholat telah ia tunaikan. Kantuk itu masih tersisa. Dibuatlah kopi susu hangat. Dispenser biru putih yang sengaja ia panaskan sedari tadi disentuh juga. Kadang, Fau hanya memanaskan dispenser itu tanpa menyentuhnya. Andai dispenser mampu bersuara, mungkin ia akan menyindir Fau. Ia akan berkoalisi dengan listrik untuk mengkritisinya. Dan tiba-tiba Fau membayangkan seluruh perabotan di kamarnya beraksi dan melakukan kudeta lantaran Fau tidak amanah. Ya, Fau akui beberapa hari ini aktivitas luar begitu menyita waktu.

Kopi kantuk sudah jadi. Ia seruput. Nikmat rasanya. Menurutnya, kopi dan kantuk adalah oposisi biner. Kopi baru akan terasa berharga di mata Fau jika ia mengalami rasa kantuk. Sangat jarang ia meminumnya jika tak merasa ngantuk. Mungkin para pelahap filsafat tak akan setuju dengan statement Fau. Ia yakin jika membawa masalah ini ke hadapan mereka. Mereka pasti memperdebatkannya dan mencari relasi-relasi yang mengantarkannya kepada kebenaran. Hal sederhana yang sebenarnya tak perlu mereka lakukan, apalagi untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Fau menempelkan tangannya di tuts keyboard laptop kesayangannya yang ia beri nama Lappy. Lappy telah menjadi saksi bisu atas cerita-cerita Fau. Kalau Lappy bisa bicara, maka hidup Fau akan pecah menjadi kepingan-kepingan kristal dan Fau akan menutup wajahnya yang kemerahan melebihi merekahnya bunga sakura di musim semi. Hari ini ia menemukan inspirasi luar biasa. Mengucur deras seperti air terjun Niagara. Laptop yang baru saja Fau sentuh seperti menggemakan suara hentakan jari-jari tangannya. Mengalir.

“Ya Allah apakah ini kekuatan setelah aku menunaikan kewajiban pertemuan denganMu?”

Fau merasa tenang usai melaksanakan perjalanan spiritual singkat beberapa menit menemui Tuhannya. Setelah sakit parah yang hampir memutus nafasnya, ia berusaha untuk tak lagi menunda sholatnya.

“Berusahalah untuk selalu menatap hujan di jendela, Fau.” Fau mendesah. Tiba-tiba ia mandeg. Ia berbicara pada dirinya sendiri untuk menyemangati. Tak turun hujan hari ini. Hujan adalah katalis bagi Fau untuk menulis. Seolah setiap butirnya itu adalah inspirasi di kala buntu. Dan Fau bisa menciptakan banyak puisi. Benar, kemarau yang baru saja berlalu ikut membuat produktivitas Fau menurun.

“Tik...Tik…Tik.”

Perlahan. Fau mendengar irama mungil di atap kamarnya. Dan memalingkan wajahnya pada jendela dimana Fau sering menatap hujan. Sepertinya Pencipta Hujan mendengar suara hati Fau. Ia baru saja melihat jarum air yang turun dari langit abu-abu. Masih dengan volume yang kecil.

“Allahumma sayyiban naafi’an.” Hujan yang dinanti Fau telah turun. Ia menunggu sampai volume hujan bertambah. Dan mulailah ia melakukan ritual uniknya. Menatap hujan di jendela. Sambil menundukkan kepalanya. Berkontemplasi. Dan mengucap sesuatu dalam hati atas harapan yang ia inginkan. Begitulah yang sering Ibu Fau ajarkan ketika Fau masih anak kecil yang polos.

“Di setiap tetesan hujan itu, ada malaikat yang mengantarnya. Jika hujan turun, maka Fau disunnahkan meminta pada Allah. Malaikat akan memeluk harapan-harapan Fau dan menyampaikannya pada Allah.” Ya, begitulah kira-kira retorika sederhana Ibu Fau.

Sekitar 30 menit berada di depan jendela, menurut Fau sudah cukup. Sepertinya, saku informasinya telah penuh dengan inspirasi. Mengalahkan energi telepon genggam yang baru saja terisi penuh setelah low batt. Dan mulailah ia menarikan jari-jarinya di laptop kesayangannya.

***

Tulisan yang dinanti keutuhannya selesai. Tepat di kala jam dinding bergaris vertikal. Fau mengembangkan senyuman di wajah teduhnya. Ia merasakan getaran supersonik tepat di bagian tengah dadanya.

“Terimakasih, Lappyku sayang. Kamu telah banyak membantuku hari ini. Juga menemaniku memaksa ide-ide kecil keluar dari otakku.” Fau berbicara pada laptopnya. Akhir-akhir ini dia merasa sepi. Tak punya kawan dekat. Lappylah yang selalu mendengar keluh kesahnya. Menemaninya berjalan menghirup udara pada ujung daun-daun. Menikmati angin yang berhembus dari sela pohon-pohon rindang. Juga menemani langkahnya di hamparan pijakan-pijakan tanah basah berumput usai hujan.

Fau selalu merasa nyaman mengungkap apa saja di depan Lappy. Lappy tak pandai berkomentar. Ia hanya tercipta dari sekumpulan bahan elektomagnetik yang dihuni oleh neutron, proton, elektron tak bernyawa. Ia hanyalah benda yang menerima perintah tanpa bisa melakukan pembelaan atas keletihannya. Tapi Lappy pasti memberi isyarat kalau ia benar keletihan dan tak sanggup bertahan lagi. Lappy sudah beberapa kali diopname. Tapi, ia selalu mampu bertahan dan bangkit kembali.

Tulisan yang baru saja Fau selesaikan ia beri judul “Kekuatan”. Dan menyimpannya di antara tumpukan tulisan-tulisan penggugah jiwa.

“Untuk Allah Sang Penguat di kala sulit, Terimakasih!” Fau mematikan Lappy dan menjawab panggilan Tuhannya di antara mozaik senja dan cakrawala keunguan.


Aktivis FLP Makassar

Mahasiswa Sastra Inggris Unhas 2008

Menelaah Konsep Pengkaderan Mahasiswa Baru

Oleh: Bulqia Mas’ud




Refleksi Pengkaderan


Pengkaderan adalah proses menciptakan kader-kader baru agar memiliki kesepahaman dengan ideologi wadah yang mengkader. Arah gerak pengkaderan ditentukan oleh visi dan misi wadahnya. Visi dan misi inilah yang akan melingkari wilayah gerak senior sebagai pihak yang mengkader. Proses mengkader mahasiswa pada dasarnya bertujuan untuk melahirkan pribadi mahasiswa ideal menurut wadah yang mengkader. Maka tak jarang, kader yang terbentuk dalam suatu wadah akan sama dengan kader sebelumnya. Dalam lingkup ini, senior telah berhasil membentuk junior yang memiliki pemahaman, karakter berpikir, penampilan seperti seniornya. Berbeda wadah tentu berbeda pula konsep pengkaderannya. Coba lihat karakterisasi setiap himpunan, senat, atau BEM yang ada di setiap fakultas dan jurusan. Kita akan mudah mengobservasi bahwa kecenderungan mayoritas kader akan mengikuti seniornya. Hal tersebut karena mereka terkader secara intensif dan dikendalikan oleh faktor lingkungan.
Proses pengkaderan juga merupakan warisan turun-temurun dari kader-kader sebelumnya. Biasanya pola mengakader ini sudah diterapkan oleh senior angkatan lama sehingga menjadi tradisi yang sulit dihilangkan. Contoh dalam kasus kekerasan atau perploncoan, yang tidak akan pernah putus selama tradisi itu tetap dipegang teguh oleh pihak yang mengkader. Indikasi yang muncul ialah keinginan untuk memperlakukan junior seperti apa yang mereka dulu rasakan ketika masih berstatus junior. Ketika kesempatan menjadi senior itu tiba, maka muncullah peluang untuk melakukan tindakan balas dendam kepada generasi selanjutnya. Ketika pemahaman yang terbentuk secara kolektif ini masih dipegang kuat, maka penghapusan tradisi itu tidak akan pernah berhasil. Oleh karena itu diperlukan juga kesadaran kolektif yang mampu merevolusi tradisi pengkaderan seperti kekerasan dan perploncoan yang lain. Selama itu tidak terwujud, maka mimpi untuk menciptakan proses pengkaderan yang lebih ma’ruf akan tergantung di langit. Pertanyaannya, adakah kesadaran dari mahasiswa untuk mengambil pelajaran dan merumuskan resolusi baru untuk pengkaderan yang lebih ideal.
Pengkaderan menjadi ajang tahunan yang mesti ditempuh oleh mahasiswa baru sebelum melangkah ke jenjang berikutnya. Proses pengkaderan ini selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para maba. Kebanyakan maba selalu mengeluhkannya. Hal ini membuktikan bahwa pengkaderan belum menjadi sesuatu yang disenangi. Idealnya, pengkaderan seharusnya menjadi ajang yang menyenangkan dengan kultur akademis yang baik. Bukan hal yang menakutkan.
Pengkaderan yang ma’ruf ialah mengkader mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang ideal, paling tidak menjadi mahasiswa yang kritis, cerdas, kreatif, dan bertakwa. Bukan ajang perkenalan antara senior dan junior atau pengenalan kampus, fakultas, dan jurusan semata. Tetapi, mampu memperkenalkan dan menanamkan esensi seorang mahasiswa. Di sinilah peran penting seorang senior bagaimana mengubah juniornya untuk lebih paham mengenai kondisi kampus dan memiliki karakter ideal seorang mahasiswa.
Pada implementasinya, banyak hal yang sebenarnya mereduksi keidealan seorang mahasiswa. Pertama, tak jarang kita lihat dalam proses pengkaderan, tidak mengindahkan waktu sholat. Senior dan junior asyik berkumpul sementara adzan sudah berkumandang. Kedua, ajang mengerjai yang sebenarnya tidak penting untuk diterapkan. Belum lagi jika telah berlaku sistim kekerasan yang sangat tidak memanusiakan manusia. Dampaknya, lahirlah mahasiswa yang tidak membawa solusi tapi masalah.

Pengkaderan yang Ma’ruf
Pada dasarnya pengkaderan sangat penting. Bahkan dalam hidup ini sebenarnya kita melalui proses pengkaderan. Mulai dari pengkaderan yang dibentuk oleh orang tua kita di rumah. Pengkaderan bertujuan untuk memproses seseorang menjadi seseorang yang lebih baik, bertanggung jawab, dan berkarakter sesuai dengan konsep perubahan yang diinginkan oleh pihak yang mengkader. Berbeda wadah, pasti berbeda output pengkaderan yang diinginkan. Tidak semua orang memiliki isi kepala yang sama. Akibatnya, muncul konsep pengkaderan yang bermacam-macam. Salah satunya, muncullah pengkaderan yang menggunakan sistem kekerasan fisik dan psikis sesuai isi kepala yang diinginkan pihak yang berwenang mengkader. Oleh karena itu perlu aturan baku yang seragam untuk mengatasi masalah ini.
Menurut penulis, pengkaderan yang ideal adalah pengkaderan yang memanusiakan manusia. Islam datang untuk memanusiakan manusia. Bukan menghewankan manusia atau membuat manusia menjadi robot. Islam memang agama wahyu, tapi bukan berarti islam adalah doktrin yang memaksakan kehendak kepada seseorang secara tidak ilmiah. Islam tidak membuat manusia menjadi kaku layaknya robot yang siap diperintah atau memiliki mental yang terjajah. Solusi untuk memanusiakan manusia ini bisa kita ambil dari nilai-nilai luhur islam yang universal. Ketakwaan kepada Sang Pencipta, mengedepankan dan mencintai nilai-nilai kemanusiaan, serta mementingkan penguasaan ilmu.
Banyak masalah besar yang sebaiknya dipikirkan oleh mahasiswa daripada sekadar mengurusi pengkaderan. Seharusnya para maba sudah dibiasakan bergelut di perpustakaan, bukan menghabiskan waktu untuk mengikuti seluruh agenda pengkaderan. Daripada mengerjai maba, lebih baik lembaga mengarahkan mereka untuk mau berpikir mengenai kondisi bangsa ini. Pengkaderan mahasiswa baru sangat minim agenda publik. Ada baiknya mereka diarahkan untuk mau memperbicangkan problematika ummat sehingga kesadaran mereka tumbuh.
Sebagai seorang muslim yang senantiasa menjadikan rasulullah sebagai teladan, maka kita patut mencontohi pola pengkaderan rasulullah. Rasulullah menempatkan islam sebagai patron dalam bertindak, termasuk mengkader para sahabat dan keluarganya. Rasulullah mengubah pola sikap dan pola pikir para sahabat agar menjadi lebih islami. Pola sikap yang terbentuk ialah akhlak yang baik, yang tidak bertentangan dengan syariat. Pola pikir yang terbentuk ialah pola pikir islami yang jauh dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran bathil. Allahu a’lam.
Mahasiswa Sastra Inggris 2008

Ketulusan



Apa makna sebuah ketulusan? Apakah ketulusan itu selalu di ukur dari hati manusia ke manusia? Tulus karena manusia bukan tulus karena Allah. Mungkin setiap orang berbeda persepsi dalam memaknai sebuah ketulusan. Karena isi hati dan pikiran setiap manusia berbeda. Maka makna ketulusan yang ditangkap mungkin berbeda pula.
Seiring dengan berkembangnya zaman, makna ketulusan juga semakin kabur. Mungkin sekarang sebuah ketulusan dianggap lagi bukan ketulusan. Yang bukan ketulusan justru dianggap ketulusan. Ya, ketulusan seolah menjadi barang langka untuk didapatkan saat ini. Betapa sulitnya mendapatkan ketulusan. Karena setiap kita ingin tulus maka selalu dihantui oleh hal-hal negatif di belakangnya.
Ketulusan bukan berarti kita memberikan sesuatu kepada seseorang lalu kita berharap seseorang itu membalas dengan hal yang sama. Dengan sesuatu yang nampak oleh mata, dengan sesuatu yang lebih indah. Tidak seperti itu. Bukankah itu menjadi tidak tulus namanya. Karena menyandarkannya kepada manusia semata.
Ketulusan tak pernah terdefenisi. Ketulusan bukan barang yang harus diobral. Ketulusan bukan serangkaian perkataan yang harus diucapkan. Ketulusan itu tak bersuara. Membisu. Karena ia bekerja dalam ketenangan. Ketulusan itu seperti malam yang gelap tapi mendinginkan. Ketulusan itu seperti angin yang tak kasat mata tapi menyejukkan.
Ketulusan itu tak bisa didapatkan dengan memaksakannya. Ketulusan itu murni dari hati. Ketulusan itu mementingkan kebaikan yang tersembunyi meskipun keburukan yang nampak. Ketulusan itu tidak pernah peduli dengan penampakan secara lahiriah. Ia menjalani sebuah perjalanan sunyi yang tak pernah diam. Ketulusan itu melangkah, memberi dengan pelan dan ada do’a di dalamnya.
Ketulusan itu senantiasa meluruskan niat kita kepada Allah SWT. Ketulusan bukan sesuatu yang medekatkan kita ke gerbang neraka. Tulus adalah ketika memberi tanpa mengharap imbalan, dan ketika bekerja tak ingin dilihat.
Ketulusan itu senantiasa diiringi dengan mengharap ridho Allah SWT. Ketulusan tidak akan bekerja jika mendatangkan murka Allah. Jadi, yang namanya ketulusan ketika semuanya dijalankan dengan niat karena Allah, mengharap ridho Allah, dan menjauhi murka Allah.
Ketulusan memang sesuatu yang begitu halus. Tak pernah menampakkan dirinya di permukaan. Karena kalau tampak maka nilai ketulusan itu akan pudar. Ketulusan yang tak terdefenisi mungkin akan dianggap sebuah ketidaktulusan, ketidaksukaan, bahkan mungkin kebencian. Padahal ketulusan adalah sesuatu yang telah tertanam di lubuk hati yang menginginkan semuanya berjalan tanpa mengundang murka Allah. Apakah bukan tulus namanya jika kita cukup membuat seseorang terselamatkan dari bahaya. Ataukah jika sikap tulus kita tak mampu membuat orang terhindar dari bahaya, mungkin perlu usaha lain yang tepat hingga membuat saudara kita lebih aman. Yang jelas ketulusan itu hanya mengharap balasan dari Allah bukan dari manusia. Ia adalah ketulusan yang tidak terbaca yang bersandar kepada-Nya.
Semoga kita menjadi orang-orang yang tulus menyayangi saudara-saudara kita karena cinta kepada Allah. Barang siapa yang mencintai sahabat-sahabatnya, teman-temannya karena Allah semata berarti ia telah menemukan ketulusan dalam mencintai. Cukuplah orang dikatakan tulus ketika dia meluruskan niat karena menginginkan ridho Allah semata dan menyempurnakan ikhtiarnya sesuai dengan aturan Allah. Mari membuka pintu maaf dengan tulus dan meminta maaf dengan tulus. Karena satu-satunya obat yang paling ampuh mengobati sakit hati ialah memaafkan dengan tulus. Bukankah hidup ini indah jika semuanya dijalani tulus dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bulqia Mas’ud

DEMOLISHA

Oleh Bulqia Mas’ud

Namanya Intan. Intan Fitria. Gadis yang kukenal awal semester lalu. Aku dipertemukan dengannya lewat ruas-ruas takdir Tuhan saat Penerimaan Mahasiswa Baru di kampus kami.

“Ada yang duduk di sini?” Sapanya dengan lembut menunjuk kursi yang tergelatak tasku di atasnya.

“Oh, tidak ada. Ini tasku. Silahkan duduk.”

“Terimakasih.” Senyum lembutnya bagai bunga segar di musim semi. Aku senang melihatnya.

“Oh, ya salam kenal. Saya Intan.” Ucapnya sambil menjulurkan tangan lentiknya kepadaku.

“Saya Dewi.”

“Diterima di jurusan mana Dewi?”

“Teknik Mesin.”

“Wah, sama donk. Saya juga.”

Begitulah takdir mempertemukan kita. Hingga aku bisa mengenal Intan lebih jauh. Sejauh rasa penasaranku mengenai dirinya yang terkesan eksklusif. Intan Fitria. Seperti Intan yang kemilau karena ditempa dan sesuci namanya Fitria.

***

Hari kedua. PMB Fakultas. Aku mendapatinya sedang membaca buku. Dia tampak serius dengan sorot mata seperti kibasan buruk merak. Sendiri. Dia peserta yang paling cepat. Disusul diriku.

“Lagi baca buku apa?” tanyaku.

“The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.”

“Buku apa itu? Siapa penulisnya?”

“Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Penulisnya Samuel P.Huntington.”

“Boleh kulihat?” Dia menyodorkan.

Aku membuka lembar tiap lembarnya. Aku penasaran. Karena aku juga pecandu buku. Berhenti di salah satu halaman. Rangkaian hurufnya begitu sulit dimengerti. Sel-sel saraf sensorikku agak sulit menangkap isinya hingga terproses di otakku. Berat. Kubuka halaman berikutnya. Ah, ini buku yang membosankan. Terlalu berat. Namun, ada impresi yang bagus ketika perasaanku menangkap sebuah makna yang sangat dalam di bagian awal bukunya. Aku yakin penulis buku ini mendedikasikan buku ini kepada perempuan yang tertulis di bagian awalnya. Perempuan itu mungkin sangat penting dalam hidup penulis. Untuk Nancy yang telah memikul “benturan” dengan sebuah senyuman. Aku suka kata-katanya. Sastra dan mendalam. Dia menyisipkan kata romantis dalam pergolakan pemikiran si penulisnya. Bagiku, di buku itu yang paling berkesan hanya kata-kata singkat itu. Yang lainnya tak kupahami sama sekali.

Ah, aku teringat sesuatu. Ayah melarangku masuk fakultas sastra. Padahal aku sangat cinta sastra. Sastra adalah rekaman jejak yang paling indah dalam hidup ini. Sastra mampu meluruhkan kegalauanku. Sastra mampu mendobrak imajinasiku. Sastra mampu melembutkan hatiku. Dan mengobati kesunyianku. Tapi, di sinilah aku. Teknik Mesin. Pijar-pijar di kepalaku menceracau bahwa aku akan menemukan sosok-sosok yang keras atau sekumpulan kaum adam. Itu sebelum aku bertemu dengan Intan yang lembut, ramah, tapi tegas.

“Bagaimana bukunya?”

“Berat. Aku lebih tertarik buku-buku sastra. Yang mudah dicerna. Aku hanya tertarik kata-kata singkat di bagian awalnya.”

“Isinya keren lho. Kapan-kapan kamu baca deh. Btw, suka nulis?”

“Sangat suka.”

“Kapan-kapan ajari aku ya?”

“Menulis adalah kebiasaan bukan bakat. Itu teori pertama yang perlu kau ketahui.”

“Nice...”

***

Perkuliahan telah dimulai. Pengkaderan fakultas hingga jurusan telah dimulai. Momen inilah yang paling aku takuti. Sejujurnya aku tidak suka ditindas karena aku tidak mampu melawan. Yang bisa kulakukan hanya menulis. Menulis adalah bentuk perlawananku. Tapi, aku benar-benar dipertemukan dengan Sri Kandi. Intan. Saat-saat pengkaderan pun tiba. Kita dikumpul hingga malam dalam suatu ruangan yang gelap. Entah apa maksud para senior itu. Aku ketakutan. Beberapa suara tamparan telah kudengar. Tamparan dari senior-senior kami yang kepada mahasiswa baru laki-laki. Perempuan masih lebih aman. Hanya saja Intan sudah mulai resah. Sudah tiga hari ini keresahannya sangat terlihat. Darahnya seperti mendidih. Dia tidak suka ketertindasan. Akhirnya dia bangkit dan berbicara.

“Apa-apaan ini? Ini bukan tindakan seorang intelektual. Sudah masuk waktu shalat maghrib kok masih begini. Kenapa kami masih dikurung.”

“Ini ujian mental bagi kalian. Mental itu penting untuk membentuk karakter mahasiswa. Jangan bawa-bawa agama di sini. Kami juga paham agama.” Salah satu senior berujar.

“Ah, ini pembodohan namanya. Mental seseorang bukan didapatkan dari perlakuan kasar seperti ini. Paham agama apa namanya kalau mengabaikan waktu sholat.”

“Silahkan kamu keluar. Kamu tidak akan lolos pengkaderan.”

“Terserah. Saya masuk fakultas ini bukan karena kalian. Tapi karena usaha saya sendiri dan restu Allah.”

Intan keluar. Kerudungnya basah akibat keringatnya yang bercucuran karena ledakan-ledakan emosinya. Aku mengikutinya. Aku juga tidak tahan dengan kondisi ini. Hanya saja aku memilih diam.

“Intan, kamu kok bisa melakukan itu?”

“Ah, aku sudah bosan dengan ketertindasan dan pembodohan sistemik.”

“Intan.” Tatapku kagum kepadanya.

“Nantilah kita diskusi lebih lanjut. Kita sholat dulu. Pikiranku kacau. Emosiku meledak. Semoga ini benci karena Allah, benci karena melihat kemunkaran. Saya ingin menenangkan pikiran dengan sholat dan membaca Al Qur’an.”

***

“Kenapa kamu berani seperti itu, Intan. Mungkin saja kamu akan dibenci sama senior dan teman-teman yang lain.” Tanyaku usai kami sholat.

“Ah, biarkan saja. Aku sudah bosan, Wi dengan kondisi seperti ini. Aku ingin memberontak. Kau ingat Fatimah yang memberontak karena Ayahnya, Rasulullah, dilempari oleh kaum-kaum yang membencinya. Itu sebuah bentuk perlawanan yang sangat elegan. Aku tidak seperti kamu yang mampu menulis. Dan hanya bisa diam setelah itu. Tapi, menulis juga bukan sesuatu yang tidak mendobrak. Daripada kita apatis sama sekali.”

“Waktu aku di sekolah dasar, aku mendapat nilai tertinggi. Tapi, kenyataannya bukan aku yang tercatat di rapor sebagai ranking pertama. Yang ranking pertama adalah temanku yang kaya yang orang tuanya mampu membayar guru agar anaknya ranking satu. Aku nangis waktu itu, Wi. Tapi, aku masih anak-anak jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di SMP, aku sangat gerah melihat teman-temanku mau memperoleh nilai tinggi dengan melakukan cara-cara yang tidak halal. Mereka menyontek setiap kali ujian bahkan melakukan lobi-lobi khusus dengan guru-guru. Di SMA, banyak teman-temanku mau dapat prestasi yang setinggi-tingginya hingga mereka rela menyogok agar diutus dalam berbagai kompetisi. Aku sudah tidak tahan, Wi. Dunia ini benar-benar semakin kacau. Banyak yang mesti kita ubah.

“Dan sekarang di kampus. Ini baru awal. Aku sudah menemukan pembodohan seperti ini. Aku juga tidak suka gaya para senior itu yang cari-cari perhatian sama maba. Memilah-milih maba yang cantik-cantik lalu digombali. Apa itu? begitukah kelakuan seorang intelektual. Ada juga yang mau mengubah keadaan tapi mengubah diri sendiri saja tidak bisa. Rambut gondrong, merokok, celana robek sana-sini, tidak tahu merapikan diri. Entahlah mereka mandi atau tidak. Bagaimana bisa mengurus masyarakat kalau mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Simbol perlawanan atau anti kemapanan itu tidak mesti dengan cara seperti itu. Rasulullah juga anti kemapanan tapi dia punya aturan baku untuk mengurus dirinya dan masyarakat. Beliau cinta kebersihan. Beliau anti kemapanan tapi tidak melarang kita untuk kaya. Itulah islam. Mampu mengatur dari bangun tidur hingga bangun negara.

Aku semakin kagum dengan Intan. Baru kali ini aku menemukan karakter dengan jalan pikiran yang unik. Aku banyak belajar darinya.

“Dewi, kamu kan suka nulis. Biasanya kamu menulis tentang apa?”

“Aku kebanyakan menulis tentang perasaanku.”

“Jadikanlah islam sebagai inspirasimu. Buatlah tulisan yang mencerahkan. Dobrak peradaban dengan tulisan-tulisanmu. Kau tahu kenapa remaja sekarang hanya tahu have fun, pacaran, dan aktivitas-aktivitas yang membuang-buang waktu. Selain televisi, salah satunya adalah buku yang mereka baca. Kalau semua toko-toko buku diisi dengan fiksi-fiksi islami ataupun non-fiksi yang tetap islami. Remaja akan mendapatkan warna baru. Mereka akan membandingkan apa yang mereka alami dan apa yang mereka baca. Buku bisa merevolusi seseorang. Kata Imam Gazhali, buatlah karya tulis yang bisa membanggakanmu di akhirat nanti. Saya tidak setuju dengan perkataan pernyair yang mengatakan penyair akan mati setelah menulis puisi. Saya lupa siapa penyair itu. Bagaimanapun juga tulisan yang kita ciptakan harus dipertanggungjawabkan. Apalagi kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat, di hadapan Allah Swt. Jangan sampai kau menulis dan tulisanmu hanya mampu dicap kertas kosong oleh orang lain. Atau tulisanmu menjadi sebuah noktah hitam yang ternyata membuat seseorang bertambah buruk.”

“Keren, Intan. Bagaiman dengan menulis puisi. Biasanya aku menulis puisi untuk membebaskan perasaanku. Bagaimana dengan cinta?”

“Cinta itu naluri. Tapi naluri harus dikanalisasi agar alirannya tetap fokus dan terarah. Silahkan menulis cinta kepada Allah, rasulullah, dan islam. Kalau kau ingin menulis untuk lawan jenis, jangan sampai membuat kedua belah pihak lalai. Tulislah puisi untuk suamimu kelak. Kau bisa menggunakan jutaan kata-kata sastramu untuk merayu suamimu kelak.” Tutur Intan dengan Intonasi katanya yang mulai melembut.

“Kalau ada yang mengirimi puisi?”

“Kalau dia bersungguh-sungguh ingin menikahimu, kau biarkan saja. Selama itu tidak membuatmu dan membuatnya lalai. Karena puisi bisa jadi sebuah kesungguhan.

“Intan Fitria. Kamu benar-benar demolisher. Aku akan memanggilmu Demolisha, bagaimana?

“Terserah kamu saja.” Intan tersenyum.

“Ketahuilah, jadilah kita individu-individu seperti batu bata yang baik dan kuat untuk membentuk sebuah bangunan masyarakat yang baik pula, kokoh dan negara yang tangguh.” Tambahnya lagi.

“Terimakasih Demolisha.”

Aku mengakhiri hari itu bersama Intan. Dia benar-benar seorang pemudi yang berkarakter. Dia bukanlah batu bata tapi intan yang akan membentuk rumah yang berkilau.

Makassar, 11 September 2011

Menulis adalah mengkritik diri sendiri,


Menuju Menulis Menjadi Penulis

I

Menulis adalah sebuah tindak kreatif. Menulis adalah sebuah refleksi pemikiran. Menulis adalah sebuah pengungkapan rasa. Menulis adalah sebuah amal nyata. Menulis adalah menulis. Sebuah kata yang terdiri dari dua morfem, me dan tulis. Dua morfem dengan kategori yang berbeda. Me adalah morfem terikat dan tulis adalah morfem bebas. Me sebagai morfem terikat adalah bermakna (implisit) aktif; tulis adalah morfem bebas yang (eksplisit) imperatif. Me tidak memiliki makna tanpa berpadu dengan kata dasar. Karena itu, me adalah sebuah eksistensi implisit, takkasat, gaib, atau ruhi. Sedangkan tulis adalah sebuah kata dasar yang sejak dikonvensikan telah memiliki arti mandiri, bahkan arti tersebut memiliki makna imperatif atau perintah. Makna yang nyata, bergerak, progresif, dan kreatif. Karena itu, kata tulis adalah merujuk pada sebuah bukti nyata.

Berdasar pada pemikiran tersebut, maka tidak akan ada sebuah tulisan tanpa adanya eksistensi dua hal: Semangat, ruh, visi, misi, atau niat yang kuat dan gerak, kreativitas, atau amal nyata. Seseorang akan dengan mudah dan antusias menulis bila kedua hal tersebut hadir dengan seimbang. Bila tidak, seseorang akan menganggap menulis sebagai pekerjaan yang amat berat. Jadi, tanamkan niat yang kuat lewat visi, misi, dan (atau) kecemburuan budaya untuk kemudian beranjak menggoyangkan pena atau menghentak tuts komputer.


II

Menulis adalah sebuah amal nyata. Menulis bukan sebuah amal tanpa produk. Karena itu, menulis adalah sebuah produktivitas. Dan Islam menganjurkan manusia untuk produktif bahkan keimanan pun tidak sempurna tanpa produk berupa amal shaleh. Kesempurnaan makna iman adalah mencakup tiga hal, yaitu tekad hati, ikrar verbal, dan pelaksanaan lewat pergerakan atau aktivitas. Sebab itu, menulis adalah sebuah tindak nyata dari sebuah gerak hati.

Budaya lisan memang masih kuat berakar pada kebudayaan kita sehingga gosip menjadi (seolah-olah) sebuah karya nyata. Karenanyalah, kecenderungan masyarakat pada budaya literat sangatlah jauh. Belum lagi ditambah serangan budaya pandang-dengar lewat televisi dan film-film. Semakin sempurnalah mitos yang berkembang, bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan sulit, bahwa menulis adalah aktivitas yang dikhususkan untuk kalangan tertentu saja, bahwa menulis adalah sebuah entitas rumit yang sulit sekali ditelusuri dan dijangkau. Dan bahwa berbicara adalah sebuah tindak penuh prestise. Padahal kita tahu al-Qur’an dan Al-Hadits menganjurkan untuk menindaklanjuti tindak bicara dengan amal nyata. Dan menulis adalah sebuah amal nyata.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentu saja pertama-tama kita harus menyadari tentang urgensi menulis pada pembangunan peradaban ummat. Tentu saja kita harus melihat sejarah tentang betapa kejayaan Islam dibangun (juga) oleh budaya menulis para ulama dan masyarakatnya. Dan tentu saja kita harus meraba diri, bahwa kita harus bangkit dan menjadi istimewa sebagai subjek bukan objek. Dan menulis adalah sebuah kata kerja yang membuat seseorang yang melakukannya menjadi subjek.

Seseorang menjadi subjek dengan menulis karena dia belajar berpendapat dan mempertanggungjawabkannya. Selain itu, karena dia berusaha mengungkapkan perasaannya untuk sebuah perubahan. Dia tidak diam saja dengan ketidaksepakatan dan ketertekanan. Dia berteriak dengan menulis. Dia eksis dengan menulis. Dia ada karena dia menulis. Perlu ditekankan di sini, bahwa kita bisa membaca dan belajar pemikiran dan gagasan seseorang dari tulisan mereka. Karena menulis adalah sebuah penanda keberadaan. Jadi, menurut saya, dengan sebuah kesadaran menjadi subjek seseorang akan mudah berkeinginan untuk menulis dan dengan kesadaran beramal seseorang akan mudah untuk menggoyangkan pena dan (atau) menghentak tuts keyboaard komputer.


III

Menulis (juga) adalah sebuah hasil, sebuah out put atau keluaran. Menulis adalah tindakan yang ada karena tindakan sebelumnya. Menulis adalah representasi dari tindak membaca. Baik membaca secara tekstual maupun membaca secara kontekstual. Namun, tindak membaca tertentulah yang akan membuat seseorang mampu menulis, yaitu tindak membaca dengan penuh kesadaran. Kesadaran yang mewujud dalam bentuk pertanyaan demi pertanyaan. Semakin seseorang banyak membaca, semakin akan banyak bertanya dia. Dari pertanyaan itulah ia akan banyak menelusuri kemungkinan jawaban yang kemudian ia simpulkan dalam bentuk gagasan. Dan bila gagasan itu mendesaknya untuk dituangkan dengan segera, tulisanlah salah satu medianya.

Jadi, menulis adalah hal yang (relatif) mudah dilakukan oleh seseorang yang akrab dengan tindak membaca. Karena itu, menulis bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukankah tak ada seorang pun yang tidak pernah membaca? Dan dari sekian bacaannya, tentu saja ada bacaan yang membuatnya bertanya dan menyimpulkan. Karena itu, seorang penulis akan lebih mudah menulis dari objek yang sehari-hari ia lihat dan baca. Seorang Ahmad Tohari, selalu menulis tentang alam pedesaan, religiusitas, dan pergulatan ideologi (terutama yang berhubungan dengan tragedi PKI) karena ia intens membaca ruang yang melingkupi kehidupannya. Seorang Kuntowijoyo, pada setiap karyanya selalu berhubungan dengan religiusitas, kejawaan, sejarah, dan demitologisasi karena yang intens ia baca adalah hal tersebut. Seorang Oka Rusmini, pada karya-karyanya selalu berhubungan dengan, Bali, budaya kasta, dan perempuan karena ia intens membaca hal tersebut. Begitu pun dengan penulis FLP, mayoritas pada setiap karyanya berhubungan dengan religiusitas, dakwah, benturan budaya, dan upaya pencerahan karena sesuatu yang para penulis FLP intens baca adalah hal tersebut.

Berdasar hal tersebut, seseorang akan mudah menulis bila: membaca dengan intens, menyadari ruang kehidupannya sebagai aset bacaan, menuliskan apa yang dekat dan akrab dengan kehidupannya. Percayalah, setelah tiga langkah tersebut dijalankan seseorang akan mudah menggoyangkan pena dan (atau) menghentak tuts komputer.


IV

Ada beberapa hal praktis yang saya lakukan agar mudah menulis. Pertama, menemukan filosofi menulis. Menulis bagi setiap orang adalah hal yang berbeda kedudukannya. Bagi saya menulis adalah sebuah alur kehidupan yang tak bisa dihindari seperti seorang anak normal tidak bisa menghindari perkembangan kehidupannya. Ia tidak bisa menghindari untuk belajar berdiri, melangkah, berlari, berbicara, dan berinteraksi. Begitu pun dengan menulis. Seseorang yang normal, bisa membaca dan mencatat, akan mampu menulis karena memang sudah waktunya, sudah fasenya. Kedua, menemukan kata-kata, frase, kalimat, atau paragraf kunci untuk mengikat ide. Untuk itu, diperlukan kekuatan memori. Pada titik ini diperlukanlah buku harian atau notes khusus. Ketiga, menemukan waktu biologis kita. Temukan, kapan kita mampu dengan optimal menulis. Tentu saja setiap orang berbeda. Pola seorang penulis tidak bisa dipaksakan bagi penulis lainnya. Karena itu, belajar menulis dari proses kreatif orang lain hanyalah semacam stimulan bagi pencarian pola kita sendiri bukan untuk ditiru mentah-mentah. Keempat, segeralah menulis, jangan banyak bicara dan berteori lagi. Menulis, menulis, dan menulis, tanpa ragu. Temukan kenikmatan dibalik kata kerja tersebut. Wallahu’alam bishawab.


{M. Irfan Hidayatullah (Ketua Umum FLP 2005-2009)}

(forumlingkarpena.net)

Diberdayakan oleh Blogger.