Oleh Bulqia Mas’ud
Namanya Intan. Intan Fitria. Gadis yang kukenal awal semester lalu. Aku dipertemukan dengannya lewat ruas-ruas takdir Tuhan saat Penerimaan Mahasiswa Baru di kampus kami.
“Ada yang duduk di sini?” Sapanya dengan lembut menunjuk kursi yang tergelatak tasku di atasnya.
“Oh, tidak ada. Ini tasku. Silahkan duduk.”
“Terimakasih.” Senyum lembutnya bagai bunga segar di musim semi. Aku senang melihatnya.
“Oh, ya salam kenal. Saya Intan.” Ucapnya sambil menjulurkan tangan lentiknya kepadaku.
“Saya Dewi.”
“Diterima di jurusan mana Dewi?”
“Teknik Mesin.”
“Wah, sama donk. Saya juga.”
Begitulah takdir mempertemukan kita. Hingga aku bisa mengenal Intan lebih jauh. Sejauh rasa penasaranku mengenai dirinya yang terkesan eksklusif. Intan Fitria. Seperti Intan yang kemilau karena ditempa dan sesuci namanya Fitria.
***
Hari kedua. PMB Fakultas. Aku mendapatinya sedang membaca buku. Dia tampak serius dengan sorot mata seperti kibasan buruk merak. Sendiri. Dia peserta yang paling cepat. Disusul diriku.
“Lagi baca buku apa?” tanyaku.
“The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.”
“Buku apa itu? Siapa penulisnya?”
“Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Penulisnya Samuel P.Huntington.”
“Boleh kulihat?” Dia menyodorkan.
Aku membuka lembar tiap lembarnya. Aku penasaran. Karena aku juga pecandu buku. Berhenti di salah satu halaman. Rangkaian hurufnya begitu sulit dimengerti. Sel-sel saraf sensorikku agak sulit menangkap isinya hingga terproses di otakku. Berat. Kubuka halaman berikutnya. Ah, ini buku yang membosankan. Terlalu berat. Namun, ada impresi yang bagus ketika perasaanku menangkap sebuah makna yang sangat dalam di bagian awal bukunya. Aku yakin penulis buku ini mendedikasikan buku ini kepada perempuan yang tertulis di bagian awalnya. Perempuan itu mungkin sangat penting dalam hidup penulis. Untuk Nancy yang telah memikul “benturan” dengan sebuah senyuman. Aku suka kata-katanya. Sastra dan mendalam. Dia menyisipkan kata romantis dalam pergolakan pemikiran si penulisnya. Bagiku, di buku itu yang paling berkesan hanya kata-kata singkat itu. Yang lainnya tak kupahami sama sekali.
Ah, aku teringat sesuatu. Ayah melarangku masuk fakultas sastra. Padahal aku sangat cinta sastra. Sastra adalah rekaman jejak yang paling indah dalam hidup ini. Sastra mampu meluruhkan kegalauanku. Sastra mampu mendobrak imajinasiku. Sastra mampu melembutkan hatiku. Dan mengobati kesunyianku. Tapi, di sinilah aku. Teknik Mesin. Pijar-pijar di kepalaku menceracau bahwa aku akan menemukan sosok-sosok yang keras atau sekumpulan kaum adam. Itu sebelum aku bertemu dengan Intan yang lembut, ramah, tapi tegas.
“Bagaimana bukunya?”
“Berat. Aku lebih tertarik buku-buku sastra. Yang mudah dicerna. Aku hanya tertarik kata-kata singkat di bagian awalnya.”
“Isinya keren lho. Kapan-kapan kamu baca deh. Btw, suka nulis?”
“Sangat suka.”
“Kapan-kapan ajari aku ya?”
“Menulis adalah kebiasaan bukan bakat. Itu teori pertama yang perlu kau ketahui.”
“Nice...”
***
Perkuliahan telah dimulai. Pengkaderan fakultas hingga jurusan telah dimulai. Momen inilah yang paling aku takuti. Sejujurnya aku tidak suka ditindas karena aku tidak mampu melawan. Yang bisa kulakukan hanya menulis. Menulis adalah bentuk perlawananku. Tapi, aku benar-benar dipertemukan dengan Sri Kandi. Intan. Saat-saat pengkaderan pun tiba. Kita dikumpul hingga malam dalam suatu ruangan yang gelap. Entah apa maksud para senior itu. Aku ketakutan. Beberapa suara tamparan telah kudengar. Tamparan dari senior-senior kami yang kepada mahasiswa baru laki-laki. Perempuan masih lebih aman. Hanya saja Intan sudah mulai resah. Sudah tiga hari ini keresahannya sangat terlihat. Darahnya seperti mendidih. Dia tidak suka ketertindasan. Akhirnya dia bangkit dan berbicara.
“Apa-apaan ini? Ini bukan tindakan seorang intelektual. Sudah masuk waktu shalat maghrib kok masih begini. Kenapa kami masih dikurung.”
“Ini ujian mental bagi kalian. Mental itu penting untuk membentuk karakter mahasiswa. Jangan bawa-bawa agama di sini. Kami juga paham agama.” Salah satu senior berujar.
“Ah, ini pembodohan namanya. Mental seseorang bukan didapatkan dari perlakuan kasar seperti ini. Paham agama apa namanya kalau mengabaikan waktu sholat.”
“Silahkan kamu keluar. Kamu tidak akan lolos pengkaderan.”
“Terserah. Saya masuk fakultas ini bukan karena kalian. Tapi karena usaha saya sendiri dan restu Allah.”
Intan keluar. Kerudungnya basah akibat keringatnya yang bercucuran karena ledakan-ledakan emosinya. Aku mengikutinya. Aku juga tidak tahan dengan kondisi ini. Hanya saja aku memilih diam.
“Intan, kamu kok bisa melakukan itu?”
“Ah, aku sudah bosan dengan ketertindasan dan pembodohan sistemik.”
“Intan.” Tatapku kagum kepadanya.
“Nantilah kita diskusi lebih lanjut. Kita sholat dulu. Pikiranku kacau. Emosiku meledak. Semoga ini benci karena Allah, benci karena melihat kemunkaran. Saya ingin menenangkan pikiran dengan sholat dan membaca Al Qur’an.”
***
“Kenapa kamu berani seperti itu, Intan. Mungkin saja kamu akan dibenci sama senior dan teman-teman yang lain.” Tanyaku usai kami sholat.
“Ah, biarkan saja. Aku sudah bosan, Wi dengan kondisi seperti ini. Aku ingin memberontak. Kau ingat Fatimah yang memberontak karena Ayahnya, Rasulullah, dilempari oleh kaum-kaum yang membencinya. Itu sebuah bentuk perlawanan yang sangat elegan. Aku tidak seperti kamu yang mampu menulis. Dan hanya bisa diam setelah itu. Tapi, menulis juga bukan sesuatu yang tidak mendobrak. Daripada kita apatis sama sekali.”
“Waktu aku di sekolah dasar, aku mendapat nilai tertinggi. Tapi, kenyataannya bukan aku yang tercatat di rapor sebagai ranking pertama. Yang ranking pertama adalah temanku yang kaya yang orang tuanya mampu membayar guru agar anaknya ranking satu. Aku nangis waktu itu, Wi. Tapi, aku masih anak-anak jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di SMP, aku sangat gerah melihat teman-temanku mau memperoleh nilai tinggi dengan melakukan cara-cara yang tidak halal. Mereka menyontek setiap kali ujian bahkan melakukan lobi-lobi khusus dengan guru-guru. Di SMA, banyak teman-temanku mau dapat prestasi yang setinggi-tingginya hingga mereka rela menyogok agar diutus dalam berbagai kompetisi. Aku sudah tidak tahan, Wi. Dunia ini benar-benar semakin kacau. Banyak yang mesti kita ubah.
“Dan sekarang di kampus. Ini baru awal. Aku sudah menemukan pembodohan seperti ini. Aku juga tidak suka gaya para senior itu yang cari-cari perhatian sama maba. Memilah-milih maba yang cantik-cantik lalu digombali. Apa itu? begitukah kelakuan seorang intelektual. Ada juga yang mau mengubah keadaan tapi mengubah diri sendiri saja tidak bisa. Rambut gondrong, merokok, celana robek sana-sini, tidak tahu merapikan diri. Entahlah mereka mandi atau tidak. Bagaimana bisa mengurus masyarakat kalau mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Simbol perlawanan atau anti kemapanan itu tidak mesti dengan cara seperti itu. Rasulullah juga anti kemapanan tapi dia punya aturan baku untuk mengurus dirinya dan masyarakat. Beliau cinta kebersihan. Beliau anti kemapanan tapi tidak melarang kita untuk kaya. Itulah islam. Mampu mengatur dari bangun tidur hingga bangun negara.
Aku semakin kagum dengan Intan. Baru kali ini aku menemukan karakter dengan jalan pikiran yang unik. Aku banyak belajar darinya.
“Dewi, kamu kan suka nulis. Biasanya kamu menulis tentang apa?”
“Aku kebanyakan menulis tentang perasaanku.”
“Jadikanlah islam sebagai inspirasimu. Buatlah tulisan yang mencerahkan. Dobrak peradaban dengan tulisan-tulisanmu. Kau tahu kenapa remaja sekarang hanya tahu have fun, pacaran, dan aktivitas-aktivitas yang membuang-buang waktu. Selain televisi, salah satunya adalah buku yang mereka baca. Kalau semua toko-toko buku diisi dengan fiksi-fiksi islami ataupun non-fiksi yang tetap islami. Remaja akan mendapatkan warna baru. Mereka akan membandingkan apa yang mereka alami dan apa yang mereka baca. Buku bisa merevolusi seseorang. Kata Imam Gazhali, buatlah karya tulis yang bisa membanggakanmu di akhirat nanti. Saya tidak setuju dengan perkataan pernyair yang mengatakan penyair akan mati setelah menulis puisi. Saya lupa siapa penyair itu. Bagaimanapun juga tulisan yang kita ciptakan harus dipertanggungjawabkan. Apalagi kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat, di hadapan Allah Swt. Jangan sampai kau menulis dan tulisanmu hanya mampu dicap kertas kosong oleh orang lain. Atau tulisanmu menjadi sebuah noktah hitam yang ternyata membuat seseorang bertambah buruk.”
“Keren, Intan. Bagaiman dengan menulis puisi. Biasanya aku menulis puisi untuk membebaskan perasaanku. Bagaimana dengan cinta?”
“Cinta itu naluri. Tapi naluri harus dikanalisasi agar alirannya tetap fokus dan terarah. Silahkan menulis cinta kepada Allah, rasulullah, dan islam. Kalau kau ingin menulis untuk lawan jenis, jangan sampai membuat kedua belah pihak lalai. Tulislah puisi untuk suamimu kelak. Kau bisa menggunakan jutaan kata-kata sastramu untuk merayu suamimu kelak.” Tutur Intan dengan Intonasi katanya yang mulai melembut.
“Kalau ada yang mengirimi puisi?”
“Kalau dia bersungguh-sungguh ingin menikahimu, kau biarkan saja. Selama itu tidak membuatmu dan membuatnya lalai. Karena puisi bisa jadi sebuah kesungguhan.
“Intan Fitria. Kamu benar-benar demolisher. Aku akan memanggilmu Demolisha, bagaimana?
“Terserah kamu saja.” Intan tersenyum.
“Ketahuilah, jadilah kita individu-individu seperti batu bata yang baik dan kuat untuk membentuk sebuah bangunan masyarakat yang baik pula, kokoh dan negara yang tangguh.” Tambahnya lagi.
“Terimakasih Demolisha.”
Aku mengakhiri hari itu bersama Intan. Dia benar-benar seorang pemudi yang berkarakter. Dia bukanlah batu bata tapi intan yang akan membentuk rumah yang berkilau.
Makassar, 11 September 2011
Menulis adalah mengkritik diri sendiri,
0 komentar:
Posting Komentar