Katanya kualitas hidup kita tergantung bagaimana kualitas hubungan kita dengan Allah. Setiap kebaikan apapun yang kita lakukan meski itu tidak bernilai besar di mata manusia, Allah tetap menghitungnya sebagai kebaikan. Allah tetap tahu cara membalas hamba-hamba-Nya. Hanya Allah yang tahu bagaimana kondisi hati setiap hamba-Nya. Tidak ada yang bisa mengukur keikhlasan dan kedalaman hati seseorang. Maka yang pantas kita lakukan adalah berbaik sangka terhadap siapapun selama keburukan itu tidak ia tampakkan di hadapan kita.
Kalau dalam ukuran atau standar manusia saat ini, kualitas hidup seseorang mungkin dinilai dari standar duniawi semata seperti sebanyak apa hartanya, setinggi apa gelar dan pangkatnya, sepopuler apa dirinya. Kalau dalam hidup ini yang dituju adalah kebahagiaan maka tentu yang tercukupi secara materi, pangkat, dan popularitas semestinya bahagia. Pada kenyataannya tidak selalu. Atribut yang diasosiasikan dengan kebahagiaan tersebut justru dalam beberapa kejadian membuat orang-orang mudah stres dan was-was. Kebahagiaan tidak akan datang kepada orang yang hatinya tidak tenang dan tidak pandai bersyukur.
Tercapainya impian-impian atau target-target yang pernah kita rencanakan mungkin mendatangkan kebahagiaan. Perasaan itu akan muncul sesaat tepat ketika kita berhasil mencapainya. Tetapi setelah itu, perasaan itu akan berubah menjadi biasa ketika tujuan telah tercapai. Bagi saya, mungkin seperti itulah standar bahagia dalam pandangan manusia. Ujung-ujungnya yang dicari adalah kebahagiaan yang hakiki bukan? keadaan emosilah yang paling penting. Misalkan respon apa yang kita berikan setelah kita mendapatkan apa yang telah kita impikan. Kemana kita mengembalikan semuanya. Bahwa semua itu tidak lain tidak bukan anugerah dari yang Maha Kuasa. Dia-lah yang memampukan kita. Dia-lah yang menjadikan itu mungkin bagi kita. Maka itu semua adalah wujud dari berkah yang ia berikan bukan karena hasil usaha kita semata.
Rasa syukur adalah penentu emosi kita. Jika tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang kita dapatkan maka pahala syukur itu adalah peluang. Rasa syukur bisa juga berarti kita tidak ingin nikmat itu berhenti di kita. Kita perlu membagikannya. Orang yang bahagia akan bahagia melihat orang lain bahagia. Sebab bahagia itu tidak akan muncul bagi orang yang masih ada rasa iri di dalam hatinya. Semoga kita dijauhkan dari perasaan-perasaan negatif seperti ini. Jika kita diberi nikmat, maka mari kita gunakan nikmat ini untuk semakin menaati Allah. Salah satu contoh mensyukuri nikmat kecantikan dan keindahan bagi wanita adalah menutup aurat dengan baik. Jika sudah mulai menutup aurat, maka istiqomahlah, jangan dilepas lagi.
Jadi kualitas hidup kita bukanlah dinilai seberapa banyak harta, gelar, popularitas atau bahkan pengetahuan yang kita miliki. Tetapi sejauh mana kita menggunakan itu semua agar semakin dekat kepada Allah. Banyak orang-orang yang hidupnya biasa saja di luar sana bahkan mungkin tidak seberuntung kita tetapi mereka sangat mulia di hadapan Allah. Mereka cukup bahagia dengan kondisi yang membuat mereka bisa beribadah dengan baik kepada Tuhannya. Meskipun dalam kondisi yang tidak seleluasa kita. Ada banyak contoh yang mungkin bisa kita pelajari dari Rasul dan para sahabat. Bahwa dalam kondisi dan ujian hidup yang berbeda-beda, tujuan mereka tetap sama, yakni berusaha meraih kemuliaan di hadapan Allah.
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Melbourne, 29 November 2016