Terdiam


Ketahuilah! Sesungguhnya bila kalian bersabar atas kesusahan yang sebentar saja, maka kalian akan menikmati kesenangan yang panjang (Thariq bin Ziyad, 711)


Terdiam,
Sebuah fase dalam hidup yang mungkin kita lewati. Ada banyak makna yang tersirat dalam sebuah diam. Seperti mentari yang memilki silauan makna berbeda. Diam kadang sebuah cinta yang terukir dalam kesenyapan. Diam, memecahkan embun kegalauan. Diam kadang sebuah kemarahan yang tersemburat lewat raut wajah. Ia pun kadang menyusup menjadi kebencian yang teredam. Dan dari mata seseorang yang tak bisa berbuat apa-apa atas sebuah kemunkaran yang menari di depan matanya. Aku menerjemahkan sebuah impuls bahwa diam ternyata mampu mengungkap banyak hal. Dan rajutan neuron dalam bahasa logika dan perasaanku menginformasikan. Tapi, tidak yang satu ini. Rindu. Karena rindu adalah perasaan yang terbahasakan. Satu lagi, diam tak mungkin menumbangkan kekuasaan.

Terdiam,
Lahir dari sebuah kesabaran. Menunda reaksi atas aksi yang terbit di balik selaksa peristiwa. Peristiwa hidup yang sesungguhnya tidak bisa lepas dari hukum III Newton. Ketika ada bagian di dada yang tersayat. Hingga deret sesak yang menggumpal itu tak terlampiaskan. Ia telah lebur bersama diamnya kesabaran. Air mata yang mengkristal di sudut mata, mengalir seperti kemilau mutiara. Diam, menjatuhkan harapan yang tak pernah terwujud dalam bangunan kehidupan. Mampu mengukur penantian yang diselimuti oleh rupa waktu di tangan Sang Pencipta. Namun, diam tak memiliki makna jika kau ingin mengkritik penguasa.

Terdiam,
Apakah hari ini kita masih terdiam? Bersama orang-orang yang tersudut diam di balik kemewahan. Tanpa pernah sadar kelaparan dan kemiskinan di putaran hidup yang tak pernah mereka rasakan. Hanya ada uang dan cinta-cintaan palsu dalam otak kecil mereka. Umat ini tidak membutuhkan kata diam. Kalau kau ingin bergerak berkali-kali. Maka izinkan aku membantumu untuk menyadarkan penguasa dengan kata-kataku. Bergerak adalah tanda kehidupan, maka aku pun bergerak. Tapi hanya untuk diriku. Ya, untuk diriku saja. Bukankah dalam diam kita bisa belajar banyak hal, termasuk merenung.

Terdiam,
Aku menemukannya dalam garis batas yang belum terlipat sejak kau menghamparkan janji. Yang seolah terlipat sedikit demi sedikit mengikuti pola waktu 24 jam. Karena aku benci janji para penguasa yang hanya mengobral lalu mengabaikan rakyatnya. Jika rakyat tahu bahwa penguasa itu tak setia, mereka tak mungkin memilih. Ingin sekali kuteriakkan kepada mereka bahwa ini bukan permainan, wahai penggila kekuasaan? Ini medan jihad. Kalau kau ingin masuk. Kau harus siap menderita. Kau harus siapa menebus setiap waktu, tenaga, harta bahkan nyawamu untuk rakyat. Bukan memewahkan diri dengan uang negara. Aku teringat pada si pemilik lampu minyak, khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Sebenarnya kita tak perlu terdiam jika banyak hal yang perlu dan butuh untuk kita kerjakan. Hari ini, detik ini aku menjawab tanya. Menggarisbawahi, bukan sesuatu yang ingin kita lakukan. Ingin adalah sebuah nafsu, tapi perlu adalah sesuatu yang tak bisa tak dilakukan. Sepertinya, ini adalah fase untuk beristirahat. Mengumpulkan energi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Setelah ini aku tak akan memilih diam jika memang perlu kulakukan. Bergeraklah para pejuang islam untuk mengawali perubahan menuju pijar cahaya islam. Kalau kita telah dipilih oleh Allah, maka pantaskah kita diam?

Aku percaya, kita bukanlah gelembung yang sekali tusuk langsung pecah. Memulai berarti mengakhiri.

Bulqia Mas'ud
Polman:: Jumat, 2 September 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.