Ketulusan



Apa makna sebuah ketulusan? Apakah ketulusan itu selalu di ukur dari hati manusia ke manusia? Tulus karena manusia bukan tulus karena Allah. Mungkin setiap orang berbeda persepsi dalam memaknai sebuah ketulusan. Karena isi hati dan pikiran setiap manusia berbeda. Maka makna ketulusan yang ditangkap mungkin berbeda pula.
Seiring dengan berkembangnya zaman, makna ketulusan juga semakin kabur. Mungkin sekarang sebuah ketulusan dianggap lagi bukan ketulusan. Yang bukan ketulusan justru dianggap ketulusan. Ya, ketulusan seolah menjadi barang langka untuk didapatkan saat ini. Betapa sulitnya mendapatkan ketulusan. Karena setiap kita ingin tulus maka selalu dihantui oleh hal-hal negatif di belakangnya.
Ketulusan bukan berarti kita memberikan sesuatu kepada seseorang lalu kita berharap seseorang itu membalas dengan hal yang sama. Dengan sesuatu yang nampak oleh mata, dengan sesuatu yang lebih indah. Tidak seperti itu. Bukankah itu menjadi tidak tulus namanya. Karena menyandarkannya kepada manusia semata.
Ketulusan tak pernah terdefenisi. Ketulusan bukan barang yang harus diobral. Ketulusan bukan serangkaian perkataan yang harus diucapkan. Ketulusan itu tak bersuara. Membisu. Karena ia bekerja dalam ketenangan. Ketulusan itu seperti malam yang gelap tapi mendinginkan. Ketulusan itu seperti angin yang tak kasat mata tapi menyejukkan.
Ketulusan itu tak bisa didapatkan dengan memaksakannya. Ketulusan itu murni dari hati. Ketulusan itu mementingkan kebaikan yang tersembunyi meskipun keburukan yang nampak. Ketulusan itu tidak pernah peduli dengan penampakan secara lahiriah. Ia menjalani sebuah perjalanan sunyi yang tak pernah diam. Ketulusan itu melangkah, memberi dengan pelan dan ada do’a di dalamnya.
Ketulusan itu senantiasa meluruskan niat kita kepada Allah SWT. Ketulusan bukan sesuatu yang medekatkan kita ke gerbang neraka. Tulus adalah ketika memberi tanpa mengharap imbalan, dan ketika bekerja tak ingin dilihat.
Ketulusan itu senantiasa diiringi dengan mengharap ridho Allah SWT. Ketulusan tidak akan bekerja jika mendatangkan murka Allah. Jadi, yang namanya ketulusan ketika semuanya dijalankan dengan niat karena Allah, mengharap ridho Allah, dan menjauhi murka Allah.
Ketulusan memang sesuatu yang begitu halus. Tak pernah menampakkan dirinya di permukaan. Karena kalau tampak maka nilai ketulusan itu akan pudar. Ketulusan yang tak terdefenisi mungkin akan dianggap sebuah ketidaktulusan, ketidaksukaan, bahkan mungkin kebencian. Padahal ketulusan adalah sesuatu yang telah tertanam di lubuk hati yang menginginkan semuanya berjalan tanpa mengundang murka Allah. Apakah bukan tulus namanya jika kita cukup membuat seseorang terselamatkan dari bahaya. Ataukah jika sikap tulus kita tak mampu membuat orang terhindar dari bahaya, mungkin perlu usaha lain yang tepat hingga membuat saudara kita lebih aman. Yang jelas ketulusan itu hanya mengharap balasan dari Allah bukan dari manusia. Ia adalah ketulusan yang tidak terbaca yang bersandar kepada-Nya.
Semoga kita menjadi orang-orang yang tulus menyayangi saudara-saudara kita karena cinta kepada Allah. Barang siapa yang mencintai sahabat-sahabatnya, teman-temannya karena Allah semata berarti ia telah menemukan ketulusan dalam mencintai. Cukuplah orang dikatakan tulus ketika dia meluruskan niat karena menginginkan ridho Allah semata dan menyempurnakan ikhtiarnya sesuai dengan aturan Allah. Mari membuka pintu maaf dengan tulus dan meminta maaf dengan tulus. Karena satu-satunya obat yang paling ampuh mengobati sakit hati ialah memaafkan dengan tulus. Bukankah hidup ini indah jika semuanya dijalani tulus dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Bulqia Mas’ud

DEMOLISHA

Oleh Bulqia Mas’ud

Namanya Intan. Intan Fitria. Gadis yang kukenal awal semester lalu. Aku dipertemukan dengannya lewat ruas-ruas takdir Tuhan saat Penerimaan Mahasiswa Baru di kampus kami.

“Ada yang duduk di sini?” Sapanya dengan lembut menunjuk kursi yang tergelatak tasku di atasnya.

“Oh, tidak ada. Ini tasku. Silahkan duduk.”

“Terimakasih.” Senyum lembutnya bagai bunga segar di musim semi. Aku senang melihatnya.

“Oh, ya salam kenal. Saya Intan.” Ucapnya sambil menjulurkan tangan lentiknya kepadaku.

“Saya Dewi.”

“Diterima di jurusan mana Dewi?”

“Teknik Mesin.”

“Wah, sama donk. Saya juga.”

Begitulah takdir mempertemukan kita. Hingga aku bisa mengenal Intan lebih jauh. Sejauh rasa penasaranku mengenai dirinya yang terkesan eksklusif. Intan Fitria. Seperti Intan yang kemilau karena ditempa dan sesuci namanya Fitria.

***

Hari kedua. PMB Fakultas. Aku mendapatinya sedang membaca buku. Dia tampak serius dengan sorot mata seperti kibasan buruk merak. Sendiri. Dia peserta yang paling cepat. Disusul diriku.

“Lagi baca buku apa?” tanyaku.

“The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.”

“Buku apa itu? Siapa penulisnya?”

“Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Penulisnya Samuel P.Huntington.”

“Boleh kulihat?” Dia menyodorkan.

Aku membuka lembar tiap lembarnya. Aku penasaran. Karena aku juga pecandu buku. Berhenti di salah satu halaman. Rangkaian hurufnya begitu sulit dimengerti. Sel-sel saraf sensorikku agak sulit menangkap isinya hingga terproses di otakku. Berat. Kubuka halaman berikutnya. Ah, ini buku yang membosankan. Terlalu berat. Namun, ada impresi yang bagus ketika perasaanku menangkap sebuah makna yang sangat dalam di bagian awal bukunya. Aku yakin penulis buku ini mendedikasikan buku ini kepada perempuan yang tertulis di bagian awalnya. Perempuan itu mungkin sangat penting dalam hidup penulis. Untuk Nancy yang telah memikul “benturan” dengan sebuah senyuman. Aku suka kata-katanya. Sastra dan mendalam. Dia menyisipkan kata romantis dalam pergolakan pemikiran si penulisnya. Bagiku, di buku itu yang paling berkesan hanya kata-kata singkat itu. Yang lainnya tak kupahami sama sekali.

Ah, aku teringat sesuatu. Ayah melarangku masuk fakultas sastra. Padahal aku sangat cinta sastra. Sastra adalah rekaman jejak yang paling indah dalam hidup ini. Sastra mampu meluruhkan kegalauanku. Sastra mampu mendobrak imajinasiku. Sastra mampu melembutkan hatiku. Dan mengobati kesunyianku. Tapi, di sinilah aku. Teknik Mesin. Pijar-pijar di kepalaku menceracau bahwa aku akan menemukan sosok-sosok yang keras atau sekumpulan kaum adam. Itu sebelum aku bertemu dengan Intan yang lembut, ramah, tapi tegas.

“Bagaimana bukunya?”

“Berat. Aku lebih tertarik buku-buku sastra. Yang mudah dicerna. Aku hanya tertarik kata-kata singkat di bagian awalnya.”

“Isinya keren lho. Kapan-kapan kamu baca deh. Btw, suka nulis?”

“Sangat suka.”

“Kapan-kapan ajari aku ya?”

“Menulis adalah kebiasaan bukan bakat. Itu teori pertama yang perlu kau ketahui.”

“Nice...”

***

Perkuliahan telah dimulai. Pengkaderan fakultas hingga jurusan telah dimulai. Momen inilah yang paling aku takuti. Sejujurnya aku tidak suka ditindas karena aku tidak mampu melawan. Yang bisa kulakukan hanya menulis. Menulis adalah bentuk perlawananku. Tapi, aku benar-benar dipertemukan dengan Sri Kandi. Intan. Saat-saat pengkaderan pun tiba. Kita dikumpul hingga malam dalam suatu ruangan yang gelap. Entah apa maksud para senior itu. Aku ketakutan. Beberapa suara tamparan telah kudengar. Tamparan dari senior-senior kami yang kepada mahasiswa baru laki-laki. Perempuan masih lebih aman. Hanya saja Intan sudah mulai resah. Sudah tiga hari ini keresahannya sangat terlihat. Darahnya seperti mendidih. Dia tidak suka ketertindasan. Akhirnya dia bangkit dan berbicara.

“Apa-apaan ini? Ini bukan tindakan seorang intelektual. Sudah masuk waktu shalat maghrib kok masih begini. Kenapa kami masih dikurung.”

“Ini ujian mental bagi kalian. Mental itu penting untuk membentuk karakter mahasiswa. Jangan bawa-bawa agama di sini. Kami juga paham agama.” Salah satu senior berujar.

“Ah, ini pembodohan namanya. Mental seseorang bukan didapatkan dari perlakuan kasar seperti ini. Paham agama apa namanya kalau mengabaikan waktu sholat.”

“Silahkan kamu keluar. Kamu tidak akan lolos pengkaderan.”

“Terserah. Saya masuk fakultas ini bukan karena kalian. Tapi karena usaha saya sendiri dan restu Allah.”

Intan keluar. Kerudungnya basah akibat keringatnya yang bercucuran karena ledakan-ledakan emosinya. Aku mengikutinya. Aku juga tidak tahan dengan kondisi ini. Hanya saja aku memilih diam.

“Intan, kamu kok bisa melakukan itu?”

“Ah, aku sudah bosan dengan ketertindasan dan pembodohan sistemik.”

“Intan.” Tatapku kagum kepadanya.

“Nantilah kita diskusi lebih lanjut. Kita sholat dulu. Pikiranku kacau. Emosiku meledak. Semoga ini benci karena Allah, benci karena melihat kemunkaran. Saya ingin menenangkan pikiran dengan sholat dan membaca Al Qur’an.”

***

“Kenapa kamu berani seperti itu, Intan. Mungkin saja kamu akan dibenci sama senior dan teman-teman yang lain.” Tanyaku usai kami sholat.

“Ah, biarkan saja. Aku sudah bosan, Wi dengan kondisi seperti ini. Aku ingin memberontak. Kau ingat Fatimah yang memberontak karena Ayahnya, Rasulullah, dilempari oleh kaum-kaum yang membencinya. Itu sebuah bentuk perlawanan yang sangat elegan. Aku tidak seperti kamu yang mampu menulis. Dan hanya bisa diam setelah itu. Tapi, menulis juga bukan sesuatu yang tidak mendobrak. Daripada kita apatis sama sekali.”

“Waktu aku di sekolah dasar, aku mendapat nilai tertinggi. Tapi, kenyataannya bukan aku yang tercatat di rapor sebagai ranking pertama. Yang ranking pertama adalah temanku yang kaya yang orang tuanya mampu membayar guru agar anaknya ranking satu. Aku nangis waktu itu, Wi. Tapi, aku masih anak-anak jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di SMP, aku sangat gerah melihat teman-temanku mau memperoleh nilai tinggi dengan melakukan cara-cara yang tidak halal. Mereka menyontek setiap kali ujian bahkan melakukan lobi-lobi khusus dengan guru-guru. Di SMA, banyak teman-temanku mau dapat prestasi yang setinggi-tingginya hingga mereka rela menyogok agar diutus dalam berbagai kompetisi. Aku sudah tidak tahan, Wi. Dunia ini benar-benar semakin kacau. Banyak yang mesti kita ubah.

“Dan sekarang di kampus. Ini baru awal. Aku sudah menemukan pembodohan seperti ini. Aku juga tidak suka gaya para senior itu yang cari-cari perhatian sama maba. Memilah-milih maba yang cantik-cantik lalu digombali. Apa itu? begitukah kelakuan seorang intelektual. Ada juga yang mau mengubah keadaan tapi mengubah diri sendiri saja tidak bisa. Rambut gondrong, merokok, celana robek sana-sini, tidak tahu merapikan diri. Entahlah mereka mandi atau tidak. Bagaimana bisa mengurus masyarakat kalau mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Simbol perlawanan atau anti kemapanan itu tidak mesti dengan cara seperti itu. Rasulullah juga anti kemapanan tapi dia punya aturan baku untuk mengurus dirinya dan masyarakat. Beliau cinta kebersihan. Beliau anti kemapanan tapi tidak melarang kita untuk kaya. Itulah islam. Mampu mengatur dari bangun tidur hingga bangun negara.

Aku semakin kagum dengan Intan. Baru kali ini aku menemukan karakter dengan jalan pikiran yang unik. Aku banyak belajar darinya.

“Dewi, kamu kan suka nulis. Biasanya kamu menulis tentang apa?”

“Aku kebanyakan menulis tentang perasaanku.”

“Jadikanlah islam sebagai inspirasimu. Buatlah tulisan yang mencerahkan. Dobrak peradaban dengan tulisan-tulisanmu. Kau tahu kenapa remaja sekarang hanya tahu have fun, pacaran, dan aktivitas-aktivitas yang membuang-buang waktu. Selain televisi, salah satunya adalah buku yang mereka baca. Kalau semua toko-toko buku diisi dengan fiksi-fiksi islami ataupun non-fiksi yang tetap islami. Remaja akan mendapatkan warna baru. Mereka akan membandingkan apa yang mereka alami dan apa yang mereka baca. Buku bisa merevolusi seseorang. Kata Imam Gazhali, buatlah karya tulis yang bisa membanggakanmu di akhirat nanti. Saya tidak setuju dengan perkataan pernyair yang mengatakan penyair akan mati setelah menulis puisi. Saya lupa siapa penyair itu. Bagaimanapun juga tulisan yang kita ciptakan harus dipertanggungjawabkan. Apalagi kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat, di hadapan Allah Swt. Jangan sampai kau menulis dan tulisanmu hanya mampu dicap kertas kosong oleh orang lain. Atau tulisanmu menjadi sebuah noktah hitam yang ternyata membuat seseorang bertambah buruk.”

“Keren, Intan. Bagaiman dengan menulis puisi. Biasanya aku menulis puisi untuk membebaskan perasaanku. Bagaimana dengan cinta?”

“Cinta itu naluri. Tapi naluri harus dikanalisasi agar alirannya tetap fokus dan terarah. Silahkan menulis cinta kepada Allah, rasulullah, dan islam. Kalau kau ingin menulis untuk lawan jenis, jangan sampai membuat kedua belah pihak lalai. Tulislah puisi untuk suamimu kelak. Kau bisa menggunakan jutaan kata-kata sastramu untuk merayu suamimu kelak.” Tutur Intan dengan Intonasi katanya yang mulai melembut.

“Kalau ada yang mengirimi puisi?”

“Kalau dia bersungguh-sungguh ingin menikahimu, kau biarkan saja. Selama itu tidak membuatmu dan membuatnya lalai. Karena puisi bisa jadi sebuah kesungguhan.

“Intan Fitria. Kamu benar-benar demolisher. Aku akan memanggilmu Demolisha, bagaimana?

“Terserah kamu saja.” Intan tersenyum.

“Ketahuilah, jadilah kita individu-individu seperti batu bata yang baik dan kuat untuk membentuk sebuah bangunan masyarakat yang baik pula, kokoh dan negara yang tangguh.” Tambahnya lagi.

“Terimakasih Demolisha.”

Aku mengakhiri hari itu bersama Intan. Dia benar-benar seorang pemudi yang berkarakter. Dia bukanlah batu bata tapi intan yang akan membentuk rumah yang berkilau.

Makassar, 11 September 2011

Menulis adalah mengkritik diri sendiri,


Menuju Menulis Menjadi Penulis

I

Menulis adalah sebuah tindak kreatif. Menulis adalah sebuah refleksi pemikiran. Menulis adalah sebuah pengungkapan rasa. Menulis adalah sebuah amal nyata. Menulis adalah menulis. Sebuah kata yang terdiri dari dua morfem, me dan tulis. Dua morfem dengan kategori yang berbeda. Me adalah morfem terikat dan tulis adalah morfem bebas. Me sebagai morfem terikat adalah bermakna (implisit) aktif; tulis adalah morfem bebas yang (eksplisit) imperatif. Me tidak memiliki makna tanpa berpadu dengan kata dasar. Karena itu, me adalah sebuah eksistensi implisit, takkasat, gaib, atau ruhi. Sedangkan tulis adalah sebuah kata dasar yang sejak dikonvensikan telah memiliki arti mandiri, bahkan arti tersebut memiliki makna imperatif atau perintah. Makna yang nyata, bergerak, progresif, dan kreatif. Karena itu, kata tulis adalah merujuk pada sebuah bukti nyata.

Berdasar pada pemikiran tersebut, maka tidak akan ada sebuah tulisan tanpa adanya eksistensi dua hal: Semangat, ruh, visi, misi, atau niat yang kuat dan gerak, kreativitas, atau amal nyata. Seseorang akan dengan mudah dan antusias menulis bila kedua hal tersebut hadir dengan seimbang. Bila tidak, seseorang akan menganggap menulis sebagai pekerjaan yang amat berat. Jadi, tanamkan niat yang kuat lewat visi, misi, dan (atau) kecemburuan budaya untuk kemudian beranjak menggoyangkan pena atau menghentak tuts komputer.


II

Menulis adalah sebuah amal nyata. Menulis bukan sebuah amal tanpa produk. Karena itu, menulis adalah sebuah produktivitas. Dan Islam menganjurkan manusia untuk produktif bahkan keimanan pun tidak sempurna tanpa produk berupa amal shaleh. Kesempurnaan makna iman adalah mencakup tiga hal, yaitu tekad hati, ikrar verbal, dan pelaksanaan lewat pergerakan atau aktivitas. Sebab itu, menulis adalah sebuah tindak nyata dari sebuah gerak hati.

Budaya lisan memang masih kuat berakar pada kebudayaan kita sehingga gosip menjadi (seolah-olah) sebuah karya nyata. Karenanyalah, kecenderungan masyarakat pada budaya literat sangatlah jauh. Belum lagi ditambah serangan budaya pandang-dengar lewat televisi dan film-film. Semakin sempurnalah mitos yang berkembang, bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan sulit, bahwa menulis adalah aktivitas yang dikhususkan untuk kalangan tertentu saja, bahwa menulis adalah sebuah entitas rumit yang sulit sekali ditelusuri dan dijangkau. Dan bahwa berbicara adalah sebuah tindak penuh prestise. Padahal kita tahu al-Qur’an dan Al-Hadits menganjurkan untuk menindaklanjuti tindak bicara dengan amal nyata. Dan menulis adalah sebuah amal nyata.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentu saja pertama-tama kita harus menyadari tentang urgensi menulis pada pembangunan peradaban ummat. Tentu saja kita harus melihat sejarah tentang betapa kejayaan Islam dibangun (juga) oleh budaya menulis para ulama dan masyarakatnya. Dan tentu saja kita harus meraba diri, bahwa kita harus bangkit dan menjadi istimewa sebagai subjek bukan objek. Dan menulis adalah sebuah kata kerja yang membuat seseorang yang melakukannya menjadi subjek.

Seseorang menjadi subjek dengan menulis karena dia belajar berpendapat dan mempertanggungjawabkannya. Selain itu, karena dia berusaha mengungkapkan perasaannya untuk sebuah perubahan. Dia tidak diam saja dengan ketidaksepakatan dan ketertekanan. Dia berteriak dengan menulis. Dia eksis dengan menulis. Dia ada karena dia menulis. Perlu ditekankan di sini, bahwa kita bisa membaca dan belajar pemikiran dan gagasan seseorang dari tulisan mereka. Karena menulis adalah sebuah penanda keberadaan. Jadi, menurut saya, dengan sebuah kesadaran menjadi subjek seseorang akan mudah berkeinginan untuk menulis dan dengan kesadaran beramal seseorang akan mudah untuk menggoyangkan pena dan (atau) menghentak tuts keyboaard komputer.


III

Menulis (juga) adalah sebuah hasil, sebuah out put atau keluaran. Menulis adalah tindakan yang ada karena tindakan sebelumnya. Menulis adalah representasi dari tindak membaca. Baik membaca secara tekstual maupun membaca secara kontekstual. Namun, tindak membaca tertentulah yang akan membuat seseorang mampu menulis, yaitu tindak membaca dengan penuh kesadaran. Kesadaran yang mewujud dalam bentuk pertanyaan demi pertanyaan. Semakin seseorang banyak membaca, semakin akan banyak bertanya dia. Dari pertanyaan itulah ia akan banyak menelusuri kemungkinan jawaban yang kemudian ia simpulkan dalam bentuk gagasan. Dan bila gagasan itu mendesaknya untuk dituangkan dengan segera, tulisanlah salah satu medianya.

Jadi, menulis adalah hal yang (relatif) mudah dilakukan oleh seseorang yang akrab dengan tindak membaca. Karena itu, menulis bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukankah tak ada seorang pun yang tidak pernah membaca? Dan dari sekian bacaannya, tentu saja ada bacaan yang membuatnya bertanya dan menyimpulkan. Karena itu, seorang penulis akan lebih mudah menulis dari objek yang sehari-hari ia lihat dan baca. Seorang Ahmad Tohari, selalu menulis tentang alam pedesaan, religiusitas, dan pergulatan ideologi (terutama yang berhubungan dengan tragedi PKI) karena ia intens membaca ruang yang melingkupi kehidupannya. Seorang Kuntowijoyo, pada setiap karyanya selalu berhubungan dengan religiusitas, kejawaan, sejarah, dan demitologisasi karena yang intens ia baca adalah hal tersebut. Seorang Oka Rusmini, pada karya-karyanya selalu berhubungan dengan, Bali, budaya kasta, dan perempuan karena ia intens membaca hal tersebut. Begitu pun dengan penulis FLP, mayoritas pada setiap karyanya berhubungan dengan religiusitas, dakwah, benturan budaya, dan upaya pencerahan karena sesuatu yang para penulis FLP intens baca adalah hal tersebut.

Berdasar hal tersebut, seseorang akan mudah menulis bila: membaca dengan intens, menyadari ruang kehidupannya sebagai aset bacaan, menuliskan apa yang dekat dan akrab dengan kehidupannya. Percayalah, setelah tiga langkah tersebut dijalankan seseorang akan mudah menggoyangkan pena dan (atau) menghentak tuts komputer.


IV

Ada beberapa hal praktis yang saya lakukan agar mudah menulis. Pertama, menemukan filosofi menulis. Menulis bagi setiap orang adalah hal yang berbeda kedudukannya. Bagi saya menulis adalah sebuah alur kehidupan yang tak bisa dihindari seperti seorang anak normal tidak bisa menghindari perkembangan kehidupannya. Ia tidak bisa menghindari untuk belajar berdiri, melangkah, berlari, berbicara, dan berinteraksi. Begitu pun dengan menulis. Seseorang yang normal, bisa membaca dan mencatat, akan mampu menulis karena memang sudah waktunya, sudah fasenya. Kedua, menemukan kata-kata, frase, kalimat, atau paragraf kunci untuk mengikat ide. Untuk itu, diperlukan kekuatan memori. Pada titik ini diperlukanlah buku harian atau notes khusus. Ketiga, menemukan waktu biologis kita. Temukan, kapan kita mampu dengan optimal menulis. Tentu saja setiap orang berbeda. Pola seorang penulis tidak bisa dipaksakan bagi penulis lainnya. Karena itu, belajar menulis dari proses kreatif orang lain hanyalah semacam stimulan bagi pencarian pola kita sendiri bukan untuk ditiru mentah-mentah. Keempat, segeralah menulis, jangan banyak bicara dan berteori lagi. Menulis, menulis, dan menulis, tanpa ragu. Temukan kenikmatan dibalik kata kerja tersebut. Wallahu’alam bishawab.


{M. Irfan Hidayatullah (Ketua Umum FLP 2005-2009)}

(forumlingkarpena.net)

Terdiam


Ketahuilah! Sesungguhnya bila kalian bersabar atas kesusahan yang sebentar saja, maka kalian akan menikmati kesenangan yang panjang (Thariq bin Ziyad, 711)


Terdiam,
Sebuah fase dalam hidup yang mungkin kita lewati. Ada banyak makna yang tersirat dalam sebuah diam. Seperti mentari yang memilki silauan makna berbeda. Diam kadang sebuah cinta yang terukir dalam kesenyapan. Diam, memecahkan embun kegalauan. Diam kadang sebuah kemarahan yang tersemburat lewat raut wajah. Ia pun kadang menyusup menjadi kebencian yang teredam. Dan dari mata seseorang yang tak bisa berbuat apa-apa atas sebuah kemunkaran yang menari di depan matanya. Aku menerjemahkan sebuah impuls bahwa diam ternyata mampu mengungkap banyak hal. Dan rajutan neuron dalam bahasa logika dan perasaanku menginformasikan. Tapi, tidak yang satu ini. Rindu. Karena rindu adalah perasaan yang terbahasakan. Satu lagi, diam tak mungkin menumbangkan kekuasaan.

Terdiam,
Lahir dari sebuah kesabaran. Menunda reaksi atas aksi yang terbit di balik selaksa peristiwa. Peristiwa hidup yang sesungguhnya tidak bisa lepas dari hukum III Newton. Ketika ada bagian di dada yang tersayat. Hingga deret sesak yang menggumpal itu tak terlampiaskan. Ia telah lebur bersama diamnya kesabaran. Air mata yang mengkristal di sudut mata, mengalir seperti kemilau mutiara. Diam, menjatuhkan harapan yang tak pernah terwujud dalam bangunan kehidupan. Mampu mengukur penantian yang diselimuti oleh rupa waktu di tangan Sang Pencipta. Namun, diam tak memiliki makna jika kau ingin mengkritik penguasa.

Terdiam,
Apakah hari ini kita masih terdiam? Bersama orang-orang yang tersudut diam di balik kemewahan. Tanpa pernah sadar kelaparan dan kemiskinan di putaran hidup yang tak pernah mereka rasakan. Hanya ada uang dan cinta-cintaan palsu dalam otak kecil mereka. Umat ini tidak membutuhkan kata diam. Kalau kau ingin bergerak berkali-kali. Maka izinkan aku membantumu untuk menyadarkan penguasa dengan kata-kataku. Bergerak adalah tanda kehidupan, maka aku pun bergerak. Tapi hanya untuk diriku. Ya, untuk diriku saja. Bukankah dalam diam kita bisa belajar banyak hal, termasuk merenung.

Terdiam,
Aku menemukannya dalam garis batas yang belum terlipat sejak kau menghamparkan janji. Yang seolah terlipat sedikit demi sedikit mengikuti pola waktu 24 jam. Karena aku benci janji para penguasa yang hanya mengobral lalu mengabaikan rakyatnya. Jika rakyat tahu bahwa penguasa itu tak setia, mereka tak mungkin memilih. Ingin sekali kuteriakkan kepada mereka bahwa ini bukan permainan, wahai penggila kekuasaan? Ini medan jihad. Kalau kau ingin masuk. Kau harus siap menderita. Kau harus siapa menebus setiap waktu, tenaga, harta bahkan nyawamu untuk rakyat. Bukan memewahkan diri dengan uang negara. Aku teringat pada si pemilik lampu minyak, khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Sebenarnya kita tak perlu terdiam jika banyak hal yang perlu dan butuh untuk kita kerjakan. Hari ini, detik ini aku menjawab tanya. Menggarisbawahi, bukan sesuatu yang ingin kita lakukan. Ingin adalah sebuah nafsu, tapi perlu adalah sesuatu yang tak bisa tak dilakukan. Sepertinya, ini adalah fase untuk beristirahat. Mengumpulkan energi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Setelah ini aku tak akan memilih diam jika memang perlu kulakukan. Bergeraklah para pejuang islam untuk mengawali perubahan menuju pijar cahaya islam. Kalau kita telah dipilih oleh Allah, maka pantaskah kita diam?

Aku percaya, kita bukanlah gelembung yang sekali tusuk langsung pecah. Memulai berarti mengakhiri.

Bulqia Mas'ud
Polman:: Jumat, 2 September 2011

Diberdayakan oleh Blogger.