Aku Ingin Menjadi Perempuan Seperti Fatimah Az-Zahra

Dan ketika kau mencintai seseorang
Tutuplah rapat-rapat hatimu
Jangan biarkan cintamu tahu
Seperti manisnya cinta Fatimah kepada Ali
Terungkap indah pada waktunya
Biarkan cinta itu menari sendiri
Mengikuti waktu
Tak perlu diumbar
Jangan cinta menguasaimu
Justru kau yang menguasai cinta
Lalu orang yang kucintai tak akan tahu kalau aku cinta
Biarlah kami menyimpan kekaguman masing-masing
Seperti cinta Ali kepada Fatimah dan Fatimah kepada Ali
tersembunyi malu-malu
Aku hanya ingin seperti dia, Putri Rasulullah
Yang santun, berani, pekerja keras, fasih dan cerdas
Menyimpan rasa dengan sempurna
Dan mengungkapkan rasa dengan romantis
Saat waktunya tiba…

Sajak di Malam Hujan

Buaian tak lagi mesra, dengan kecup lembut bibir mereka
Ketika realitas menjamahi mimpi
Goyah terusik merdu oleh manisnya peradaban palsu
Kulihat gejolak terasa samar dan pasaran
Tak ada lagi satu teriakan untuk sebuah kebenaran
Tenggelam dalam kebatilan pragmatis oleh beribu suara
Ketika semuanya terasuk, terendam,
dan terlelap oleh jamuan malam yang kelabu

Aku berdiri di badai hujan malam ini
Bukan untuk menjauh dari perjamuan panjang itu
Tapi mencoba merasakan dingin menusuk tulang bersama angin mengiris kulit
Tak bisakah mereka merasakan gelagat sama ribuan orang di luar sana
Ketika menelan ludah untuk melegakan dahaga
Atau memungut bekas untuk mengganjal perut
Atau melipat tubuh tanpa tikar atau atap
Bukan malah meludeskan kertas berharga yang tak berharga
Untuk sebuah perjamuan yang mubadzzir

Biarlah orang berkata…
Karena aku memang orang malam yang selalu membicarakan terang
Dan aku memang orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Jangan tanyakan pada hujan yang turun malam ini
Dan jangan pula tanyakan kenapa ia berhenti
Hujan akan tetap ada menemani tidurku yang tak pernah tenang

Makassar, Kamis, 04 Maret 2010
Pukul 00.25 WITA

Analogi Sebuah Pelangi: Katakan Cinta dengan Pelangi

Aku bertanya: Kau tahu makna apa yang tersimpan dalam pelangi?
Diriku yang lain menjawab: Perbedaan menimbulkan keindahan
Aku bertanya lagi: Kenapa bisa dalam perbedaan akan timbul keindahan?
Diriku yang lain menjawab lagi: Karena dalam setiap perbedaan akan timbul makna
Aku bertanya lagi: Makna apa yang akan timbul dalam perbedaan
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, makna keindahan.
Aku bertanya lagi: Makna keindahan itu seperti apa?
Diriku yang lain menjawab: Tidakkah kau perhatikan warna-warni yang menciptakan pelangi. Perbedaan itu menimbulkan nuansa berbeda. Itulah keindahan seperti indahnya pelangi. Pelangi tak akan ada tanpa perbedaan warna itu. Jadi, tak akan ada sesuatu yang indah jika tak dibangun dengan perbedaan.
Aku bertanya lagi: Lalu, apakah kau suka dengan perbedaan?
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, tentu saja.
Aku bertanya lagi: Kenapa?
Diriku yang lain menjawab lagi: Aku ingin menjadi salah satu warna yang membangun keindahan. Aku ingin dikenang sebagai pencipta keindahan dalam perbedaan itu. Aku ingin menambah warna pada sesuatu yang tak berwarna-warni
Aku lagi: Jangan gila! Tak ada orang yang tahan dengan perbedaan. Itu mustahil…
Diriku yang lain menjawab lagi: Ya, itulah diriku!
Aku bertanya lagi: Apa maksudmu?
Diriku yang lain menjawab lagi: Karena aku memiliki cinta.
Aku lagi: Banyak orang yang memiliki cinta. Tapi, tetap saja tak mampu bertahan dengan perbedaan.
Diriku yang lain menjawab lagi: Cintaku ini berbeda. Yang jelas, cintaku tulus…cinta yang tak dimiliki oleh orang-orang yang tak mampu bertahan itu
Aku bertanya lagi: Bisakah kau gambarkan sedikit lebih detail tentang cintamu itu?
Diriku yang lain menjawab lagi: Cinta karena Allah. Itu saja!
Aku lagi: Kau hebat‼
Diriku yang lain bertanya: Kenapa?
Aku lagi: Banyak orang yang lari dari perbedaan
Diriku yang lain menjawab lagi: Itu karena mereka tak mampu melihat keindahan di balik perbedaan
Aku lagi: Ah, aku rasa menjadi berbeda itu memang sulit. Aku salut padamu!
Diriku yang lain menjawab lagi: Nah, itulah yang salah! Kau selalu membelenggu dirimu. Membelenggu cintamu. Lepaskan belenggu itu. Dan rasakan perbedaan itu.
Aku lagi: Ah, tetap sulit!
Diriku yang lain menjawab lagi: Jika kau berada dalam perbedaan, jangan selalu melihat perbedaan. Lihatlah persamaan!
Aku bertanya lagi: Bagaimana caranya? Belenggu perbedaan itu lebih kuat.
Diriku yang lain menjawab lagi: Rasakan dengan cinta. Pancarkan cintamu. Jangan biarkan ia lebih menguasaimu.
Aku bertanya lagi: Benarkah? Bagaimana mencobanya?
Diriku yang lain menjawab lagi: Mudah, semuanya mudah jika kau memiliki cinta. Cintailah perbedaan itu. Aku beritahu, kita akan selalu tertinggal, kalah, jika belenggu perbedaan itu tak dilepaskan…
Aku bertanya lagi: Apakah kau bahagia? Tidak tersiksa?
Diriku yang lain menjawab lagi: Tersiksa?? Itu asumsi yang salah. Tentu saja aku bahagia. Dan aku akan tetap setia dengan perbedaan. Karena aku mencintai mereka. Dan karena aku memiliki islam. Titik.

SMS DARI PEMBACA “AJI BELLO”

Saya tengah berbincang-bincang dengan teman di suatu hari untuk istirahat pada lelah. Hari minggu. Biasalah obrolan kita selalu berbeda dengan obrolan orang lain. Seperti obrolan orang-orang yang selalu susah tetapi tak pernah lupa berucap syukur atau obrolan-obrolan yang penuh kritikan atas realitas apa saja yang butuh dikritik, tentang sisi kehidupan kami yang menyedihkan tapi selalu indah pada waktunya. Akhir-akhir ini selama pekan literasi FLP Unhas berlangsung, saya selalu menjargonkan kalimat “Indah pada waktunya”. Betapa bersyukurnya aku, karena aku melihat Kecintaan Allah terhadapku. Ya, Allah sangat menyayangiku…sangat menyayangiku. Biasanya kami juga memainkan imajinasi sebagai sebuah solusi yang mungkin solutif, alternatif, dan sedikit nyeleneh. Dan tak lupa sedikit tertawa untuk merilekskan pikiran.
Tiba-tiba HP saya berdering. Kuterima sebuah sms. Sms itu berbunyi begini:
“Di antara sekian cerita dalam “Aji Bello” sy senangi tulisan Anda. Kemampuan Anda melukiskan kegerahan Trmnl Daya cukup intens. Ada luka kemanusiaan di suasana itu. Sayang sekali, Anda tidak menggarap ending dg baik. Slmt Brkarya n salam (pengamat sastra)”
Usai kubaca sms itu, senangnya bukan main… ini sms pertama dari pembaca yang sudah membeli buku kami (Aji Bello). Tapi, aku juga tertawa koq bisa cerita yang sesederhana itu cukup dinilai apik. Aku tidak percaya kalau itu benaran dari seorang pengamat sastra. Aku curiga kalau dia hanyalah seorang teman yang mencoba bermain iseng. Pikirku seperti itu.
Lalu kubalasa dengan sederhana, tak meninggikan dia sebagai seorang pengamat sastra.
“Sebenarnya cerpen itu telah terbit di Fajar sebelumnya, jadi endingnya terkesan dipaksakan, mengikuti syaratnya yang gak boleh lebih dr 4 hlm. Jadi kuputuskan untuk mengkhirinya seperti itu”
Lalu dia membalas lagi
“Sebaikx penulis tdk blh tunduk pd jmlh hlm. Bg sy,tlsn Anda itu hrs mndpt porsi lbh utama. Syg editor bk itu gak cermat”
Lalu saya balas lagi
“Iya sy tahu. Tapi, tulisan ini mmang sprt itu sejak terbit di Fajar. Bukan editor buku yg gk cermat, tp tulisan yg ada mmg sprti itu, menyesuaikan kemauan Fajar. Klu boleh tw sp nama Anda?”
Saya masih berpikir kalau dia mungkin seorang teman yang bermaksud iseng kpd saya. Jadi tak pernah menganggap kalau dia benar seorang pengamat sastra.
Lalu dia membalas lagi,
“Anda mgkin tdk kenl siapa sy. Anda blum lhir ktk sy mnjadi pgmat n sstrwn di Sulsel. Hidup sy trlunta di sbuah kabptn yg lbh 100 km dr Mks, tapi setiap ada buku sstra baru trbt sll sy bc.”
Membaca balasannya itu, saya sedikit percaya kalau dia memang bukan orang yg bermaksud iseng. Mungkin sj dia memang seorang pengamat sastra.
Lalu saya membalas lagi untuk memastikan apakah dia memang seorang yang sudah matang dalam dunia sastra
“Kalau boleh tahu, umur Anda berapa?”
“Umurku? Sekedar Anda tau, mhsw sy dulu adlh Nundingram, Fahmy Syarif n Nurhayati Rahman. Tax salah satux bhw siapa mntan dosenx yg saat ini memilih mningglkn kmpus n kmbli rebah di atas pematang yg basah”
Melihat smsnya itu saya kaget. Saya jadi berpikir, dugaanku mungkin salah. Mungkin dia benar seorang pengamat sastra yang sudah senior seperti yang dibahasakan di smsx. Mengutip kalimat “pematang yg basah” bukankah itu menunjukkan sawah. Berarti sekarang dia menjadi seorang petani. Betapa menyedihkannya menurutku. Akhirnya saya mencoba lebih hormat kepadanya. Menyapanya dengan sapaan ‘Bapak’.
“Sy seorang mhasiswa Unhas jurusan sastra inggris. Apa Bapak pernah mengajar di Unhas? Trus kebtulan skli Pak, kmi mw mngadkan bedah bku Aji Bello. Kalau bs Bpk jd pmbedahx. Apalagi bpk termasuk org yg cukup ahli dlm dunia sastra.”
Dia membalas lagi
“Ha ha ha, trims. Sy jg brhrp ktmu dg cln sstrwn potnsl spt Ananda. Bedah buku sdh lm sy tggalkn. Memang sih baxk undgn, tp sy sdh tua. Getah kesastraan sy tdk lg mnggigit, skdar mnggeliat jk ada sntuhan realits dr wilayah imajinasi. Dulu sy dipinjam olh Unhas utk megang mt kuliah ‘filsafat seni dan kajian sstra’, tp sy mndur di th 86 krn kampg hlmn sy lbih mmbutuhkn sy.”
Saya jadi penasaran siapa orang ini. Dia tidak mau mengungkap identitasnya. Lalu saya memancing lagi siapa tahu dia mau memberitahu sedikit identitasnya.
“Oh ya, kalau blh tau nama Bapak siapa, trus dri daerah mana. Siapa tahu kita sedaerah.”
Ia malah membalas
“Kalo sy britau nm dan kmpg sy mk obsesi imajinatif ananda ttg diri sy akan brakhir. Yg jls kt tdk sekmpg, sy di selatan ananda di utara. Biarlah sy mnjdi ‘Pengamat Misterius’ bg ananda, hgga kt brtmu di satu momen, entah kpn n di’ mn.”
Ah, saya memutuskan untuk mengakhiri perbincangan itu. Tp memang masih menyimpan misteri. Misteri apakah dia memang benar seorang Bapak yang sudah tua atau seseorang yang berusaha berkamuflase. Menurutku sms terakhirnya aneh. Apalagi di kalimat terakhir. Aneh saja, gak pantas menurutku.
Diberdayakan oleh Blogger.