Home / Archive for Januari 2010
Ada yang terbaru di FLP Unhas!!!
Setelah sekian lama menanti, akhirnya buku "Album Cerita Pilihan Aji Bello" berhasil diluncurkan. Diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Refleksi.
Menu Buku:
Sebatas Penantian (Sultan Sulaiman)
Terminal Daya (Qiyash)
Silanjuk di Salongge (Epiki Fajargoga)
Aji Bello (Fitrawan Umar)
Hercules C-130 (Sultan Sulaiman)
Ana Arung (Chara Aw)
Perjalanan Pulang (ani Dzakiyah)
Bulan kedua di rumah kecil kami (Rasdiyanah Nendenk)
Lelaki Pendiam Penuh Pesona (Fitrawan Umar)
Tatap Surya Seperti Malam (Raidah Intizar)
Saat Cinta Dendangkan Luka (El Zukhrufy)
Namaku Chloe (asti Eka Ramadani)
Mereka bilang, Aku Gila (Radiyanah Nendenk)
Mentari, Aku Masih Di sini (Otumi Annisa)
Peluh Semesta Waktu (Cheri Tarnad Prodigio)
Dearly Beloved Papa (Muthie Salsabil)
Darah Kematian (Zulya Hamida)
I need You Friend (Nurul)
Borwnies itu.. (Yana Yan)
My Mysterious Writer (Qiyash)
Dapatkan Segera di Toko Buku Gramedia dan Toko Buku Terdekat
Atau Hub. FLP UH CENTER 08991824009
Membeli juga berarti Beramal
Ini bukan puisi, tapi Sebuah Penantian!!!
Penantian…!
Ada banyak isi kepala, berarti ada panyak penantian
Bagi seorang petani, penantiannya adalah hujan
Bagi seorang nelayan, penantiannya adalah ikan
Bagi seorang pengantin, penantiannya adalah anak
Bagi seorang pecinta, penantiannya adalah cinta itu sendiri
Dan bagi seorang yang mengaku penulis, penantiannya adalah buku!
Akhirnya apa yang kunantikan dari perjuangan panjang bersama teman-teman FLP Unhas telah hadir. Tak sia-sia tangan-tangan kita lelah menempel pada tuts key board. Atau memeras otak untuk tak mengosongkan layar putih di depan mata. Ya, pada akhirnya aku bisa melihat namaku tertera di salah satu buku yang terpajang di rak-rak toko buku. Terima kasih untuk semua teman-teman FLP Unhas, senior-senior FLP, dan tentu saja Pustaka Refleksi
Lelaki di Halte Merah
Hujan menyembur tajam kala aku keluar dari kampus setelah menyelesaikan studiku. Inilah akibatnya jika tak sedia payung sebelum hujan. Terpaksa aku memilih berteduh di halte, sambil menunggu pete-pete. Menunggu seperti ini sebenarnya hal yang tak kusukai. Aku merapikan baju dan kerudungku yang mengusut. Di halte itu aku tidak sendiri. Tiga orang lainnya juga menunggu redanya hujan. Ada sepasang kekasih yang malah asyik bercengkerama dalam balutan hujan. Satunya lagi seorang pria. Ia kelihatan begitu serius. Tak pernah kutemukan guratan wajah serius, tenang, dan kaku seperti itu. Raut wajahnya itu tak mengirimkan sinyal-sinyal keramahan. Yang ada hanyalah raut ketidaksenangan, melihat sepasang kekasih itu bermesaraan. Ketawa-ketiwi. Bagai dunia milik berdua.
Aku pun miris dengan tindakan mereka umbar kemesraan itu. Ada rasa sesak di dadaku melihat perbuatan itu. Semakin sesak rasanya. Ingin sekali aku menegur. Tapi sifat kelumrahan itu bagi kebanyakan orang menjadikanku urung.
“Kalau saja hari ini ajal kalian, apa kalian tidak takut mati dalam keadaan berdosa?” spontan dan tegas teguran pria itu. Ia hanya kaku menatap lurus ke depan dengan umpatan yang terlalu berani tapi tepat sasaran.
“Maksud kamu apa? tidak suka ya? Atau merasa terganggu? Emang tempat ini milik nenekmu apa?” lelaki itu menolehkan kepalanya menangkis ucapan. Lalu, kembali berbalik arah melanjutkan percakapan yang sempat terhenti kepada kekasihnya.
“Nggak usah diladeni sayang. Biarkan saja. Orang seperti itu cuma iri dengan kita. Mereka adalah orang-orang susah mendapatkan cinta. Kesannya idealis tapi sebenarnya mereka cuma miskin cinta. Ganteng-ganteng kok nggak laku.” Sang wanita malah berkomentar sedikit menantang dan menyinggung lewat gaya centilnya.
“Wanita zaman sekarang memang bodoh. Mereka mau saja tunduk pada lelaki yang hanya mengejar nafsu. Apa kamu tidak tahu kalau pacarmu yang sekarang kau puja-puja itu, suatu saat nanti akan menendangmu jauh-jauh. Setelah dia mendapatkan yang lebih cantik dari kamu. Dan kamu akan menangis merengek-rengek meminta pertanggungjawaban setelah kamu merasa telah dirugikan.”
Pria berkacamata itu membalas dan menyudutkan sang wanita. Tetap dengan gayanya yang terlihat angkuh. Menantap lurus ke depan. Wanita itu geram. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Tapi tak ada kata balasan yang keluar dari bibir ranumnya. Kekasihnya pun membiarkan. Terpojokkan oleh pria berkacamata itu.
Yang bisa kulakukan hanyalah mendengar. Aku belum mampu seberani itu. Aku salut. Masih ada yang mau berbuat nekat untuk sebuah amar ma’ruf nahi munkar. Padahal kebanyakan orang hanyalah diam membiarkan. Dosa telah dianggap suatu kelaziman.
Sepasang kekasih itu diam mematung. Mau beranjak tapi hujan masih menyerbu. Umbaran kemesraan akhirnya kelu oleh ucapan pria berkacamata itu. Tak kuperhatikan angkot yang berlalu lalang menjemput penumpang. Teralihkan oleh rasa puas dan kegeramanku yang mereda.
“Ayo sayang kita pergi. Jangan berlama-lama di tempat ini. Ada orang sok suci. Nanti dia juga tahu rasanya pacaran. Aku tak yakin dia mampu menahan hasratnya.” Wanita itu tak segan menyinggung sempurna. Mereka beranjak saat hujan menggerimis. Sang laki-laki menghidupkan motor. Pasangan kekasih itu pun berlalu bergandengan mesra.
Tinggal kami berdua yang menghuni halte merah yang selalu nampak lengang itu. Di antara sekian banyak halte yang berjejaran, hanya dia yang nampak kesepian. Ingin rasanya kumulai percakapan dengan pria itu. Tapi aku takut. Dengan penampilanku yang berkerudung setengah-setengah, adalah sasaran ceramahnya. Bayang-bayang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya sudah kukira-kira. Ah, aku terlalu dini buruk sangka. Tapi biarkan saja. Diam pun tak mengapa. Tidak ada ruginya juga jika aku tak mengajaknya mengobrol.
Hening… tak ada suara. Hanya gerimis yang terdengar.
“Mengapa begitu sulit mencegah munkar. Padahal kita punya berbagai macam dalil untuk bersuara.”
Aku terhenyak kaget. Tiba-tiba pria di samping ini menghempaskan badannya, mendesah, dan berbicara sesuatu. Apakah dia mencoba mengajakku berbicara? Tidak mungkin. Aku lebih pantas diajak diam olehnya. Ah, mungkin saja dia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri.
“Maaf, jika mengganggu. Aku hanya ingin mengeluarkan keluh kesahku. Akhir-akhir ini tak ada yang mau bicara denganku. Kalau tidak mau dengar juga gak apa-apa.” Lanjutnya sekali lagi. Tanpa menoleh ke mana-mana. Ia tetap menatap lurus.
Akhirnya aku semakin yakin kalau dia memang mencoba mengajakku bicara. Tapi, untuk memulai mengeluarkan kata terasa sulit. Aku terlalu banyak menimbang kata.
Aku pun tak mau kalah dengannya. Kusandarkan diriku dan hanya menatap lurus tajam mengikuti aturan mainnya. Aku harus bersikap santai dan serius. Ia tak bisa dianggap sebagai lawan bicara yang main-main. Yang seperti inilah yang tak kusukai. Harus bersikap tak apa adanya.
Tak kutanggapi satu pun kata-katanya. Ia kembali mendesah. Kalau dilihat-lihat tak akan ada yang menyangka kalau ia bukan lelaki biasa. Kesan hedonis kelihatan melekat dalam dirinya. Tapi sesuatu itu aku tak tahu. Atau mungkin karena wajahnya yang tak kalah saing dengan selebriti. Tidak ada tanda hitam di dahinya ataupun baju koko dan isbal. Sama sekali tak mencerminkan kalau dia sedikit fundamental.
“Orang terlalu takut menerima kebenaran. Mereka lebih memilih hidup dengan keenakan yang ada sekarang. Dosa tak penting lagi.” Ia masih bersandar, kemudian mengangkat tangannya dan melipatnya di depan dada.
“Banyak di antara kita yang selalu mengajak kebenaran. Tapi kenapa begitu sulit mengungkapkan kebenaran seperti tadi. Kita tetap membiarkan kemaksiatan berjalan di sekeliling kita. Sungguh ironis.” Kumulai menyulam kata untuk mengimbanginya. Bagiku cukup berhasil. Aku bisa mengikuti caranya itu. Bicara dengan hanya menatap lurus ke depan. Sama saja bicara dengan diri sendiri. Tak ada interaksi. Suara lebih ditekan. Dan kaku.
Dia tak berucap lagi. Segudang misteri masih terbenam dalam keteduhan wajahnya. Baju kemeja kotak-kotak hitam putih begitu padan denganya. Menambah aura cahaya para malaikat di wajahnya. Ah, aku terlalu menempatkannya berlebihan. Dia seharusnya tak kuanggap orang yang istimewa. Ia cuma lelaki biasa yang tak luput dari dosa.
Hujan sedari tadi reda. Namun seperti ada yang menahan kakiku. Serasa tak mau beranjak dari tempat duduk ini. Obrolan panjang di antara kami berakhir dengan kebisuan. Dia akhinya diam. Aku pun ikut diam mengikuti diamnya. Mengapa aku yang mesti ikut dengan skenario permainannya. Bukankah aku dikenal sebagai orang yang mampu mengendalikan pembicaraan. Tiba-tiba aku takluk di depannya.
Dia berdiri. Tubuh jangkungnya kini terlihat. Ada satu makna yang bisa kutangkap dari gerakannya itu. Ingin permisi. Tatapan tajam yang masih terfokus ke satu arah. Aku penasaran, hal apa yang ditatapnya itu. Aku malah menangkap ada sesuatu yang dipikirkan di balik tatapan itu. Aku tahu kalau itu tatapan kosong. Yang berusaha dibuat untuk menggelebungkan hal rumit yang sedang berkontraksi di otaknya. Ah, sudahlah, aku tak perlu menginterpretasi tatapan kosong itu.
Semilir angin dingin yang diciptakan redanya hujan benar-benar menusuk hingga ke tulang. Titik air yang masih tersisa dan jalanan yang masih basah, serta nuansa hijau yang terjepret oleh mata ialah hal yang meninabobokan bahwa bumi telah rusak.
“Assalamu alaikum,” ia melangkah gontai dan melompati selokan di depan kami. Menaiki salah satu pete-pete yang tepat berhenti di depan. Kalimat itu rasanya terlalu singkat untuk mengakhiri pertemuan ini. Namun, aku tak perlu kecewa karena itu adalah sebuah do’a. Dan kubalas lengkap dengan suara lirih. Juga memberi do’a untuknya.
Aku pun miris dengan tindakan mereka umbar kemesraan itu. Ada rasa sesak di dadaku melihat perbuatan itu. Semakin sesak rasanya. Ingin sekali aku menegur. Tapi sifat kelumrahan itu bagi kebanyakan orang menjadikanku urung.
“Kalau saja hari ini ajal kalian, apa kalian tidak takut mati dalam keadaan berdosa?” spontan dan tegas teguran pria itu. Ia hanya kaku menatap lurus ke depan dengan umpatan yang terlalu berani tapi tepat sasaran.
“Maksud kamu apa? tidak suka ya? Atau merasa terganggu? Emang tempat ini milik nenekmu apa?” lelaki itu menolehkan kepalanya menangkis ucapan. Lalu, kembali berbalik arah melanjutkan percakapan yang sempat terhenti kepada kekasihnya.
“Nggak usah diladeni sayang. Biarkan saja. Orang seperti itu cuma iri dengan kita. Mereka adalah orang-orang susah mendapatkan cinta. Kesannya idealis tapi sebenarnya mereka cuma miskin cinta. Ganteng-ganteng kok nggak laku.” Sang wanita malah berkomentar sedikit menantang dan menyinggung lewat gaya centilnya.
“Wanita zaman sekarang memang bodoh. Mereka mau saja tunduk pada lelaki yang hanya mengejar nafsu. Apa kamu tidak tahu kalau pacarmu yang sekarang kau puja-puja itu, suatu saat nanti akan menendangmu jauh-jauh. Setelah dia mendapatkan yang lebih cantik dari kamu. Dan kamu akan menangis merengek-rengek meminta pertanggungjawaban setelah kamu merasa telah dirugikan.”
Pria berkacamata itu membalas dan menyudutkan sang wanita. Tetap dengan gayanya yang terlihat angkuh. Menantap lurus ke depan. Wanita itu geram. Terlihat dari ekspresi wajahnya. Tapi tak ada kata balasan yang keluar dari bibir ranumnya. Kekasihnya pun membiarkan. Terpojokkan oleh pria berkacamata itu.
Yang bisa kulakukan hanyalah mendengar. Aku belum mampu seberani itu. Aku salut. Masih ada yang mau berbuat nekat untuk sebuah amar ma’ruf nahi munkar. Padahal kebanyakan orang hanyalah diam membiarkan. Dosa telah dianggap suatu kelaziman.
Sepasang kekasih itu diam mematung. Mau beranjak tapi hujan masih menyerbu. Umbaran kemesraan akhirnya kelu oleh ucapan pria berkacamata itu. Tak kuperhatikan angkot yang berlalu lalang menjemput penumpang. Teralihkan oleh rasa puas dan kegeramanku yang mereda.
“Ayo sayang kita pergi. Jangan berlama-lama di tempat ini. Ada orang sok suci. Nanti dia juga tahu rasanya pacaran. Aku tak yakin dia mampu menahan hasratnya.” Wanita itu tak segan menyinggung sempurna. Mereka beranjak saat hujan menggerimis. Sang laki-laki menghidupkan motor. Pasangan kekasih itu pun berlalu bergandengan mesra.
Tinggal kami berdua yang menghuni halte merah yang selalu nampak lengang itu. Di antara sekian banyak halte yang berjejaran, hanya dia yang nampak kesepian. Ingin rasanya kumulai percakapan dengan pria itu. Tapi aku takut. Dengan penampilanku yang berkerudung setengah-setengah, adalah sasaran ceramahnya. Bayang-bayang kata-kata yang akan keluar dari mulutnya sudah kukira-kira. Ah, aku terlalu dini buruk sangka. Tapi biarkan saja. Diam pun tak mengapa. Tidak ada ruginya juga jika aku tak mengajaknya mengobrol.
Hening… tak ada suara. Hanya gerimis yang terdengar.
“Mengapa begitu sulit mencegah munkar. Padahal kita punya berbagai macam dalil untuk bersuara.”
Aku terhenyak kaget. Tiba-tiba pria di samping ini menghempaskan badannya, mendesah, dan berbicara sesuatu. Apakah dia mencoba mengajakku berbicara? Tidak mungkin. Aku lebih pantas diajak diam olehnya. Ah, mungkin saja dia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri.
“Maaf, jika mengganggu. Aku hanya ingin mengeluarkan keluh kesahku. Akhir-akhir ini tak ada yang mau bicara denganku. Kalau tidak mau dengar juga gak apa-apa.” Lanjutnya sekali lagi. Tanpa menoleh ke mana-mana. Ia tetap menatap lurus.
Akhirnya aku semakin yakin kalau dia memang mencoba mengajakku bicara. Tapi, untuk memulai mengeluarkan kata terasa sulit. Aku terlalu banyak menimbang kata.
Aku pun tak mau kalah dengannya. Kusandarkan diriku dan hanya menatap lurus tajam mengikuti aturan mainnya. Aku harus bersikap santai dan serius. Ia tak bisa dianggap sebagai lawan bicara yang main-main. Yang seperti inilah yang tak kusukai. Harus bersikap tak apa adanya.
Tak kutanggapi satu pun kata-katanya. Ia kembali mendesah. Kalau dilihat-lihat tak akan ada yang menyangka kalau ia bukan lelaki biasa. Kesan hedonis kelihatan melekat dalam dirinya. Tapi sesuatu itu aku tak tahu. Atau mungkin karena wajahnya yang tak kalah saing dengan selebriti. Tidak ada tanda hitam di dahinya ataupun baju koko dan isbal. Sama sekali tak mencerminkan kalau dia sedikit fundamental.
“Orang terlalu takut menerima kebenaran. Mereka lebih memilih hidup dengan keenakan yang ada sekarang. Dosa tak penting lagi.” Ia masih bersandar, kemudian mengangkat tangannya dan melipatnya di depan dada.
“Banyak di antara kita yang selalu mengajak kebenaran. Tapi kenapa begitu sulit mengungkapkan kebenaran seperti tadi. Kita tetap membiarkan kemaksiatan berjalan di sekeliling kita. Sungguh ironis.” Kumulai menyulam kata untuk mengimbanginya. Bagiku cukup berhasil. Aku bisa mengikuti caranya itu. Bicara dengan hanya menatap lurus ke depan. Sama saja bicara dengan diri sendiri. Tak ada interaksi. Suara lebih ditekan. Dan kaku.
Dia tak berucap lagi. Segudang misteri masih terbenam dalam keteduhan wajahnya. Baju kemeja kotak-kotak hitam putih begitu padan denganya. Menambah aura cahaya para malaikat di wajahnya. Ah, aku terlalu menempatkannya berlebihan. Dia seharusnya tak kuanggap orang yang istimewa. Ia cuma lelaki biasa yang tak luput dari dosa.
Hujan sedari tadi reda. Namun seperti ada yang menahan kakiku. Serasa tak mau beranjak dari tempat duduk ini. Obrolan panjang di antara kami berakhir dengan kebisuan. Dia akhinya diam. Aku pun ikut diam mengikuti diamnya. Mengapa aku yang mesti ikut dengan skenario permainannya. Bukankah aku dikenal sebagai orang yang mampu mengendalikan pembicaraan. Tiba-tiba aku takluk di depannya.
Dia berdiri. Tubuh jangkungnya kini terlihat. Ada satu makna yang bisa kutangkap dari gerakannya itu. Ingin permisi. Tatapan tajam yang masih terfokus ke satu arah. Aku penasaran, hal apa yang ditatapnya itu. Aku malah menangkap ada sesuatu yang dipikirkan di balik tatapan itu. Aku tahu kalau itu tatapan kosong. Yang berusaha dibuat untuk menggelebungkan hal rumit yang sedang berkontraksi di otaknya. Ah, sudahlah, aku tak perlu menginterpretasi tatapan kosong itu.
Semilir angin dingin yang diciptakan redanya hujan benar-benar menusuk hingga ke tulang. Titik air yang masih tersisa dan jalanan yang masih basah, serta nuansa hijau yang terjepret oleh mata ialah hal yang meninabobokan bahwa bumi telah rusak.
“Assalamu alaikum,” ia melangkah gontai dan melompati selokan di depan kami. Menaiki salah satu pete-pete yang tepat berhenti di depan. Kalimat itu rasanya terlalu singkat untuk mengakhiri pertemuan ini. Namun, aku tak perlu kecewa karena itu adalah sebuah do’a. Dan kubalas lengkap dengan suara lirih. Juga memberi do’a untuknya.
Ahmad Syauqi's Poem
Lagu-lagu pesta menjadi sayu terdengar
Semakin samar terdengar di tengah gegap gempitanya pesta
Ia telah terbalut kain kafan pada malam perkawinan
Dikuburkan saat mentari pagi bersinar terang menyambut hari
Semua mimbar dan menara adzan berguncang karenamu
Seluruh kerajaan di segala penjuru pun menangis untukmu
India dan Mesir bersedih
Mereka menangis dengan derai air mata tak terbendungkan
Syam, Iraq dan Persia bertanya
Apakah khilafah telah dihapuskan dari muka bumi ini ?
Puisi Ahmad Syauqi yang menceritakan tentang kepedihan hatinya menyaksikan runtuhnya Khilafah Islamiyah
Semakin samar terdengar di tengah gegap gempitanya pesta
Ia telah terbalut kain kafan pada malam perkawinan
Dikuburkan saat mentari pagi bersinar terang menyambut hari
Semua mimbar dan menara adzan berguncang karenamu
Seluruh kerajaan di segala penjuru pun menangis untukmu
India dan Mesir bersedih
Mereka menangis dengan derai air mata tak terbendungkan
Syam, Iraq dan Persia bertanya
Apakah khilafah telah dihapuskan dari muka bumi ini ?
Puisi Ahmad Syauqi yang menceritakan tentang kepedihan hatinya menyaksikan runtuhnya Khilafah Islamiyah
Licik Gelitik Sang Pemuda
Kita adalah garda yang diciptakan sebagai pijakan
Pundak kita gagasan tumpuan
Yang menjadi tonggak revolusi di tanah gersang
Benarkah kita adalah cerahnya harapan?
Yang akan selalu menjadi harapan hingga dunia menenggelamkan kita
Banyak yang menjargonkan masa depan di tangan kita
Seolah masa depan cerah begitu dekat dengan kita
Dan mengalir dalam darah kita
Semuanya masih harapan absurd
Tantangan peradaban besar menggempur kita
Mentransformasi kita
Menawarkan kesenangan dunia
Yang merobek idealisme dan identitas kita
Ia bagai pedang bermata dua
Menghunus dari arah mana saja
Ia punya kaki-kaki gurita menjalar hingga palung-palung terkecil
Menggerogoti kita
Tak itu terlelap, tak itu bernafas sempurna
Ia mengintai diam-diam
Membalut lewat selimut kenyamanan
Menawarkan racun yang mengelabui kita dengan secangkir madu
Nafas pun berbau sekularistik
Gaya hidup yang hedonistik
Pergaulan yang liberalistik
Pendidikan kita yang kian materialistik
Semuanya beradu dalam politik oportunistik
Makhluk apa itu
Kami mabuk oleh keenakannya
Sarat budaya pop western-minded
Benarkah ia jelmaan produk rezim kapitalisme?
Makhluk itu invisible
Ia menggema dalam naungan “Globalisasi”
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Sastra Inggris 2008
Pundak kita gagasan tumpuan
Yang menjadi tonggak revolusi di tanah gersang
Benarkah kita adalah cerahnya harapan?
Yang akan selalu menjadi harapan hingga dunia menenggelamkan kita
Banyak yang menjargonkan masa depan di tangan kita
Seolah masa depan cerah begitu dekat dengan kita
Dan mengalir dalam darah kita
Semuanya masih harapan absurd
Tantangan peradaban besar menggempur kita
Mentransformasi kita
Menawarkan kesenangan dunia
Yang merobek idealisme dan identitas kita
Ia bagai pedang bermata dua
Menghunus dari arah mana saja
Ia punya kaki-kaki gurita menjalar hingga palung-palung terkecil
Menggerogoti kita
Tak itu terlelap, tak itu bernafas sempurna
Ia mengintai diam-diam
Membalut lewat selimut kenyamanan
Menawarkan racun yang mengelabui kita dengan secangkir madu
Nafas pun berbau sekularistik
Gaya hidup yang hedonistik
Pergaulan yang liberalistik
Pendidikan kita yang kian materialistik
Semuanya beradu dalam politik oportunistik
Makhluk apa itu
Kami mabuk oleh keenakannya
Sarat budaya pop western-minded
Benarkah ia jelmaan produk rezim kapitalisme?
Makhluk itu invisible
Ia menggema dalam naungan “Globalisasi”
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Sastra Inggris 2008
AND THE RAIN FALLS
Aku tulis puisi ini untuk mencerna
Untuk apa hujan turun pagi ini
Dari cakrawala yang ceria
Dari cakrawala yang tak bias abu-abu
Dan aku pun menemukan jawabannya
Kau ternyata…..
Perempuan itu bernama Annisa. Aku mendapati kehadirannya dengan sosok aneh di kelas Pak Burhan pagi ini. Wajahnya sewarna dengan buah peer, pucat pasi. Pipinya merosot sedikit. Tulang pipinya sedikit terbentuk. Dan tubuhnya mengurus. Untung saja ia memakai kerudung besar dan baju longgar yang selalu tampak cocok ia padu padankan. Kekurusannya itu sedikit tertutupi oleh hijabnya. Namun aku tetap masih bisa melihat ada yang semakin aneh dengan dirinya pagi ini.
Sebetulnya aku bukanlah tipe pemuja rahasia seperti lagu Sheila On7. Yang akan terus mengawasi gerak-gerikya. Aku lebih suka dibilang spy of love. Julukan yang kuberikan untuk diriku sendiri. Orang bilang aku nakal tapi beriman. Aku bahkan bosan mendengar pertanyaan orang, “Kau ini ikhwan atau bukan?” atau cewek-cewek yang diam-diam menggosipiku “Dia itu ikhwan bukan sih?” aku hanya bersikap apa adanya diriku yang sok misterius.
Annisa mungkin sedikit merubah diriku. Perempuan misterius yang juga kukenal. Dia itu seperti cuaca. Sebentar panas, sebentar mendung, hujan, gerimis, cerah, ceria, dingin. Ya, aku suka dirinya yang berkepribadian triple atau kwartet. Dia akhwat paling cerdas yang pernah kutemui. Jangan mencoba berdebat dengannya. Kau akan dibabat dengan sejumlah jurus ayat al Qur’an. Dosen pun bahkan takut
Aku bahkan penasaran dengan buku yang setiap hari ditentengnya “Feminisme dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer” aku baru paham kalau dia antigender. Tulisannya sering menghiasi media kampus maupun lokal terutama yang bebau isu feminisme, gender, emansipasi, dan perempuan. Ia akan membuat opini tandingan pada kelompok aktivis perempuan liberal yang mewarnai media dengan keliberalnnya.
Ia selalu ceria, dengan tawanya yang ramah. Tutur katanya lembut dan penuh hikmah. Mulia. Suci. Itu terlalu hiperbol bahwa teman-teman seolah menganggapnya seperti malaikat. Lelaki mana yang berani mengusiknya. Mereka pasti diam saja kalau Nisa mulai bicara. Cantik memang. Wajah beraura malaikat. Ia sempurna di mataku. Dan mungkin juga di mata lelaki lain yang juga mengaguminya.
“Nisa, kenapa terlambat lagi?” Pak Burhan yang killer nampak tenang.
“Hukum saja saya pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak.” Jawabannya selalu sama kala ia terlambat. Entah kenapa Pak Burhan selalu luluh di hadapannya. Tak sekiller ketika menghadapi mahasiswa lain yang terlambat. Ia bagai air yang selalu mampu memadamkan api.
Ia tak aktif lagi berargumen di kelas. Akhir-akhir ini ia selalu diam saja dan mengambil tempat duduk paling belakang. Dan selalu menunduk. Aku selalu memperhatikannya. Memperhatikan gerak-geriknya yang nampak mengerang kesakitan. Bibirnya digigit. Matanya dipejam, dan keningnya pun dikerut. Ekspresi sedang mengalami kesakitan luar biasa. Namun, ia selalu nampak biasa kembali setelah fase itu.
***
Usai perkuliahan, semua mahasiswa bersiap pulang. Namun, ia selalu keluar belakangan. Aku pun sengaja mengikutinya. Untuk melihat apa gerangan yang sedang ia lakukan. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Benda kecil berbentuk botol. Ia berjalan keluar dengan langkah yang tak pasti. Seperti dedaunan yang tertiup angin. Semakin lama, semakin nampak ingin roboh.
“Prak” dan akhirnya ia jatuh. Tak ada satu pun orang di sekitar situ. Kampus sudah sepi. Hanya aku yang menyaksikan dirinya. Ia pingsan dan harus segera ditolong. Tapi, aku tak mampu. Bagaimana hukumnya kalau aku menolongnya tapi dengan cara menyentuhnya. Aku juga takut. Bagaimana tanggung jawabnya pada Allah.
***
“Ibu, dimana aku?” ia terbangun dengan wajah cantiknya yang nampak berwarna mayat.
“Tenanglah, Nak. Kau di rumah sakit. Kemarin katanya dirimu pinsang di kampus. Apa kamu tidak ingat?” ia menggeleng.
“Lalu siapa yang membawamu ke rumah sakit?”
“Entahlah, Bu. Aku benar-benar tidak ingat.” Namun matanya bergerak-gerak ke arah salah satu dari kami yang berada di rumah sakit itu. Seolah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan ibunya. Kami semua menggeleng. Dan tak tahu apa-apa.
“Ya. Sudahlah. Yang penting kau selamat. Ibu keluar dulu. Teman-temanmu dari tadi menunggu.”
Aku menyudut, menyandarkan tubuhku di tembok. Melipat tangan. Menundukkan pandangan. Namun sesekali meliriknya yang masih bisa tersenyum ceria. Ternyata ia masih mampu mengeluarkan sepatah kata yang bermakna untuk kita.
“Ratih, kapan mau pakai kerudung?” ia tersenyum.
“Ami, kok masih pake jeans?” kerudungmu cantik sekali. Gak serasi dengan jeansmu itu.” tersenyum lagi…
“Anto, gimana acara baksosnya dengan anak panti asuhan? Aku udah gak sabar berjumpa sama adik-adik di Panti Asuhan Melati.” Masih tersenyum.
Begitulah dirinya yang selalu nampak manis dan ceria. Teman-teman hanya bisa manggut-manggut. Teman-teman sedih melihat kondisinya yang mengenaskan. Kurus dan wajah semakin pucat bak mayat. Hanya aku yang tak dapat teguran. Tapi, ia masih merelakan senyumannya sekali untukku. Akan kukenang itu.
“Ukh..ukh…Ukh” ia batuk dan kembali mengerang kesakitan. Wajahnya memerah. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Menetes di kasur. Kami semua panik. Salah satu dari kami memanggil dokter. Dokter lalu menyuruh kami keluar. Aku masih sempat melihatnya dikawal oleh para suster dan dokter dari balik tirai jendela kamar ICU itu. Kasihan sekali.
***
Sudah dua minggu ia tak masuk kuliah. Kami semua merasa kehilangan sosok yang selalu mendakwahi kami. Teman-teman yang dulunya sangat jengkel ketika diceramahi, justru berbalik rindu akan nasehatnya. Dosen-dosen pun menanyakan kabarnya. Semua merasa kehilangan dirinya.
Tak ada yang tahu kabarnya kali ini. Rumahnya tak berpenghuni lagi. Kami kehilangan kontak. Kabarnya ia dibawa pulang ke kampungnya dan mendapat rawat inap di rumahnya. Aku rindu padanya. Dan semua teman juga rindu padanya. Teman-teman sedikit berubah karena ketidakhadirannya. Teman-teman merasa bersalah mengacaukan nasehatnya.
Oh, Tuhan jangan kau siksa ia dengan penyakit itu. Jangan kau ambil dia secepat itu. Dia masih muda. Dia masih dibutuhkan. Masih banyak hal yang ia bisa lakukan di dunia ini. Dan aku belum sempat meminangnya. Aku sudah jauh hari memutuskan bahwa dialah sosok yang kudambakan untuk menjadi istriku. Namun, aku hanya takut tak pantas mendampinginya. Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, dalam dunia maupun akhirat. Aku ingin dialah yang pertama kali kulihat saat aku bangun tidur. Aku ingin dia yang berada di belakangku saat aku imam dalam shalat. Aku ingin dia yang mengasuh anak-anakku. Oh, Tuhan jangan rebut ia, sebelum keinginanku tercapai.
***
Pagi ini aku ke kampus. Teman-teman sudah ribut membicarakannya. Katanya ia semakin gawat dan perawatannya kembali dipindahkan ke Makassar. Sudah sebulan ia koma, tak berbuat apa-apa. Hanya diam mematung di ranjang. Kami hanya bisa melihatnya di kaca jendela ruang rawatnya. Rambutnya masih dibalut kerudung. Wajahnya pucat namun nampak bercahaya dan jernih. Bagai dikelilingi para malaikat. Aku belum sempat bicara sepatah kata pun dengannya. Sejak pertemuan pertama kami. Sikapnya kepadaku beda dengan sikapnya ke teman-teman laki-laki yang lain. Ia tak pernah sekalipun menegurku, menyapaku, apalagi berbicara denganku. Ia hanya mampu mengurai senyum kepadaku. Tapi bagiku itu cukup. Cukup mengisyaratkan kalau ia tak membenciku.
Aku berjanji setelah ia sadar aku tak pikir panjang lagi untuk segera mengajaknya berbicara. Aku ingin mendengar kata yang keluar dari mulutnya ditujukan kepadaku. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin dia hadir kembali di kehidupanku. Walau bukan milikku seorang.
***
Pagi ketika aku bangun hari ini, nampak begitu cerah dan indah. Langit biru membentang menghiasi cakrawala. Cakrawala yang sesungguhnya absurd. Ia hanyalah tipuan mata yang selalu menghiasi mata dengan kebohongannya. Aku keluar menghirup udara segar, Memandang langit sesaat yang tak secerah perasaanku. Dan menikmati angin sejuk. Matahari begitu bahagianya terbit pagi ini. Aku menengadahkan wajahku, menutup mataku dan menikmati belaian angin.
“Tik.” Satu tetesan air membasahai pipiku. Entah tetesan dari mana itu. Aku membuka mata, ternyata gerimis turun menyapa bumi. Pagi ini aneh. Hujan turun tak ada mendung. Langit masih cerah, namun gerimis semakin banyak. Seperti tangisan bahagia. Tak berkabung dengan langit mendung. Hujan turun dengan cerah. Hari yang jarang kita temukan. Aku seperti melihat Tuhan menangis bahagia.
Telponku berdering, kuraihnya dari sakuku. Terpampang nama Anto, “Apa???” aku tidak percaya apa yang baru saja aku dengar. Telponku terjatuh saja dari tanganku. Ia telah pergi. Nisa telah menghilang untuk selamanya dari kehidupan ini. Dari kehidupanku. Satu keinginan dalam hidupku terhapus. Ia tak mungkin lagi kucapai.
Hujan yang turun pagi ini menipuku dengan keindahannya. Ternyata ia adalah hujan berkabung. Hujan kematian yang pernah diceritakan nenek kepadaku. Hujan ini milik Nisa. Hujan yang mengirinya keceriaan sekaligus kematian Nisa. Hujan yang tak akan kau temui langit mendung yang selalu mengiringinya. And that rain falls….‼!
Makassar, 4 Januari 2010
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris 2008
Untuk apa hujan turun pagi ini
Dari cakrawala yang ceria
Dari cakrawala yang tak bias abu-abu
Dan aku pun menemukan jawabannya
Kau ternyata…..
Perempuan itu bernama Annisa. Aku mendapati kehadirannya dengan sosok aneh di kelas Pak Burhan pagi ini. Wajahnya sewarna dengan buah peer, pucat pasi. Pipinya merosot sedikit. Tulang pipinya sedikit terbentuk. Dan tubuhnya mengurus. Untung saja ia memakai kerudung besar dan baju longgar yang selalu tampak cocok ia padu padankan. Kekurusannya itu sedikit tertutupi oleh hijabnya. Namun aku tetap masih bisa melihat ada yang semakin aneh dengan dirinya pagi ini.
Sebetulnya aku bukanlah tipe pemuja rahasia seperti lagu Sheila On7. Yang akan terus mengawasi gerak-gerikya. Aku lebih suka dibilang spy of love. Julukan yang kuberikan untuk diriku sendiri. Orang bilang aku nakal tapi beriman. Aku bahkan bosan mendengar pertanyaan orang, “Kau ini ikhwan atau bukan?” atau cewek-cewek yang diam-diam menggosipiku “Dia itu ikhwan bukan sih?” aku hanya bersikap apa adanya diriku yang sok misterius.
Annisa mungkin sedikit merubah diriku. Perempuan misterius yang juga kukenal. Dia itu seperti cuaca. Sebentar panas, sebentar mendung, hujan, gerimis, cerah, ceria, dingin. Ya, aku suka dirinya yang berkepribadian triple atau kwartet. Dia akhwat paling cerdas yang pernah kutemui. Jangan mencoba berdebat dengannya. Kau akan dibabat dengan sejumlah jurus ayat al Qur’an. Dosen pun bahkan takut
Aku bahkan penasaran dengan buku yang setiap hari ditentengnya “Feminisme dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer” aku baru paham kalau dia antigender. Tulisannya sering menghiasi media kampus maupun lokal terutama yang bebau isu feminisme, gender, emansipasi, dan perempuan. Ia akan membuat opini tandingan pada kelompok aktivis perempuan liberal yang mewarnai media dengan keliberalnnya.
Ia selalu ceria, dengan tawanya yang ramah. Tutur katanya lembut dan penuh hikmah. Mulia. Suci. Itu terlalu hiperbol bahwa teman-teman seolah menganggapnya seperti malaikat. Lelaki mana yang berani mengusiknya. Mereka pasti diam saja kalau Nisa mulai bicara. Cantik memang. Wajah beraura malaikat. Ia sempurna di mataku. Dan mungkin juga di mata lelaki lain yang juga mengaguminya.
“Nisa, kenapa terlambat lagi?” Pak Burhan yang killer nampak tenang.
“Hukum saja saya pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak.” Jawabannya selalu sama kala ia terlambat. Entah kenapa Pak Burhan selalu luluh di hadapannya. Tak sekiller ketika menghadapi mahasiswa lain yang terlambat. Ia bagai air yang selalu mampu memadamkan api.
Ia tak aktif lagi berargumen di kelas. Akhir-akhir ini ia selalu diam saja dan mengambil tempat duduk paling belakang. Dan selalu menunduk. Aku selalu memperhatikannya. Memperhatikan gerak-geriknya yang nampak mengerang kesakitan. Bibirnya digigit. Matanya dipejam, dan keningnya pun dikerut. Ekspresi sedang mengalami kesakitan luar biasa. Namun, ia selalu nampak biasa kembali setelah fase itu.
***
Usai perkuliahan, semua mahasiswa bersiap pulang. Namun, ia selalu keluar belakangan. Aku pun sengaja mengikutinya. Untuk melihat apa gerangan yang sedang ia lakukan. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Benda kecil berbentuk botol. Ia berjalan keluar dengan langkah yang tak pasti. Seperti dedaunan yang tertiup angin. Semakin lama, semakin nampak ingin roboh.
“Prak” dan akhirnya ia jatuh. Tak ada satu pun orang di sekitar situ. Kampus sudah sepi. Hanya aku yang menyaksikan dirinya. Ia pingsan dan harus segera ditolong. Tapi, aku tak mampu. Bagaimana hukumnya kalau aku menolongnya tapi dengan cara menyentuhnya. Aku juga takut. Bagaimana tanggung jawabnya pada Allah.
***
“Ibu, dimana aku?” ia terbangun dengan wajah cantiknya yang nampak berwarna mayat.
“Tenanglah, Nak. Kau di rumah sakit. Kemarin katanya dirimu pinsang di kampus. Apa kamu tidak ingat?” ia menggeleng.
“Lalu siapa yang membawamu ke rumah sakit?”
“Entahlah, Bu. Aku benar-benar tidak ingat.” Namun matanya bergerak-gerak ke arah salah satu dari kami yang berada di rumah sakit itu. Seolah ingin menemukan jawaban dari pertanyaan ibunya. Kami semua menggeleng. Dan tak tahu apa-apa.
“Ya. Sudahlah. Yang penting kau selamat. Ibu keluar dulu. Teman-temanmu dari tadi menunggu.”
Aku menyudut, menyandarkan tubuhku di tembok. Melipat tangan. Menundukkan pandangan. Namun sesekali meliriknya yang masih bisa tersenyum ceria. Ternyata ia masih mampu mengeluarkan sepatah kata yang bermakna untuk kita.
“Ratih, kapan mau pakai kerudung?” ia tersenyum.
“Ami, kok masih pake jeans?” kerudungmu cantik sekali. Gak serasi dengan jeansmu itu.” tersenyum lagi…
“Anto, gimana acara baksosnya dengan anak panti asuhan? Aku udah gak sabar berjumpa sama adik-adik di Panti Asuhan Melati.” Masih tersenyum.
Begitulah dirinya yang selalu nampak manis dan ceria. Teman-teman hanya bisa manggut-manggut. Teman-teman sedih melihat kondisinya yang mengenaskan. Kurus dan wajah semakin pucat bak mayat. Hanya aku yang tak dapat teguran. Tapi, ia masih merelakan senyumannya sekali untukku. Akan kukenang itu.
“Ukh..ukh…Ukh” ia batuk dan kembali mengerang kesakitan. Wajahnya memerah. Ada darah yang keluar dari mulutnya. Menetes di kasur. Kami semua panik. Salah satu dari kami memanggil dokter. Dokter lalu menyuruh kami keluar. Aku masih sempat melihatnya dikawal oleh para suster dan dokter dari balik tirai jendela kamar ICU itu. Kasihan sekali.
***
Sudah dua minggu ia tak masuk kuliah. Kami semua merasa kehilangan sosok yang selalu mendakwahi kami. Teman-teman yang dulunya sangat jengkel ketika diceramahi, justru berbalik rindu akan nasehatnya. Dosen-dosen pun menanyakan kabarnya. Semua merasa kehilangan dirinya.
Tak ada yang tahu kabarnya kali ini. Rumahnya tak berpenghuni lagi. Kami kehilangan kontak. Kabarnya ia dibawa pulang ke kampungnya dan mendapat rawat inap di rumahnya. Aku rindu padanya. Dan semua teman juga rindu padanya. Teman-teman sedikit berubah karena ketidakhadirannya. Teman-teman merasa bersalah mengacaukan nasehatnya.
Oh, Tuhan jangan kau siksa ia dengan penyakit itu. Jangan kau ambil dia secepat itu. Dia masih muda. Dia masih dibutuhkan. Masih banyak hal yang ia bisa lakukan di dunia ini. Dan aku belum sempat meminangnya. Aku sudah jauh hari memutuskan bahwa dialah sosok yang kudambakan untuk menjadi istriku. Namun, aku hanya takut tak pantas mendampinginya. Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, dalam dunia maupun akhirat. Aku ingin dialah yang pertama kali kulihat saat aku bangun tidur. Aku ingin dia yang berada di belakangku saat aku imam dalam shalat. Aku ingin dia yang mengasuh anak-anakku. Oh, Tuhan jangan rebut ia, sebelum keinginanku tercapai.
***
Pagi ini aku ke kampus. Teman-teman sudah ribut membicarakannya. Katanya ia semakin gawat dan perawatannya kembali dipindahkan ke Makassar. Sudah sebulan ia koma, tak berbuat apa-apa. Hanya diam mematung di ranjang. Kami hanya bisa melihatnya di kaca jendela ruang rawatnya. Rambutnya masih dibalut kerudung. Wajahnya pucat namun nampak bercahaya dan jernih. Bagai dikelilingi para malaikat. Aku belum sempat bicara sepatah kata pun dengannya. Sejak pertemuan pertama kami. Sikapnya kepadaku beda dengan sikapnya ke teman-teman laki-laki yang lain. Ia tak pernah sekalipun menegurku, menyapaku, apalagi berbicara denganku. Ia hanya mampu mengurai senyum kepadaku. Tapi bagiku itu cukup. Cukup mengisyaratkan kalau ia tak membenciku.
Aku berjanji setelah ia sadar aku tak pikir panjang lagi untuk segera mengajaknya berbicara. Aku ingin mendengar kata yang keluar dari mulutnya ditujukan kepadaku. Aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin dia hadir kembali di kehidupanku. Walau bukan milikku seorang.
***
Pagi ketika aku bangun hari ini, nampak begitu cerah dan indah. Langit biru membentang menghiasi cakrawala. Cakrawala yang sesungguhnya absurd. Ia hanyalah tipuan mata yang selalu menghiasi mata dengan kebohongannya. Aku keluar menghirup udara segar, Memandang langit sesaat yang tak secerah perasaanku. Dan menikmati angin sejuk. Matahari begitu bahagianya terbit pagi ini. Aku menengadahkan wajahku, menutup mataku dan menikmati belaian angin.
“Tik.” Satu tetesan air membasahai pipiku. Entah tetesan dari mana itu. Aku membuka mata, ternyata gerimis turun menyapa bumi. Pagi ini aneh. Hujan turun tak ada mendung. Langit masih cerah, namun gerimis semakin banyak. Seperti tangisan bahagia. Tak berkabung dengan langit mendung. Hujan turun dengan cerah. Hari yang jarang kita temukan. Aku seperti melihat Tuhan menangis bahagia.
Telponku berdering, kuraihnya dari sakuku. Terpampang nama Anto, “Apa???” aku tidak percaya apa yang baru saja aku dengar. Telponku terjatuh saja dari tanganku. Ia telah pergi. Nisa telah menghilang untuk selamanya dari kehidupan ini. Dari kehidupanku. Satu keinginan dalam hidupku terhapus. Ia tak mungkin lagi kucapai.
Hujan yang turun pagi ini menipuku dengan keindahannya. Ternyata ia adalah hujan berkabung. Hujan kematian yang pernah diceritakan nenek kepadaku. Hujan ini milik Nisa. Hujan yang mengirinya keceriaan sekaligus kematian Nisa. Hujan yang tak akan kau temui langit mendung yang selalu mengiringinya. And that rain falls….‼!
Makassar, 4 Januari 2010
Aktivis Forum Lingkar Pena Ranting Unhas
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris 2008
Akan Datang pada Waktunya
Aku akan datang, pada waktunya
Mengungkapkan segala kenyataan hati
Aku akan memberikan pundakku
Menimang lelahmu
Aku saat ini masih tersenyum jauh
Membayangkan akan seperti apa jika kau berada di dekatku
Barulah aku menyemai cintaku
Kukenang hingga kau terlelap di pangkuanku
Biarlah kita berjalan pada rel yang telah ditentukan
Tak perlu memaksa
Tak perlu berharap berlebih
Tak perlu mencinta berlebih
Aku saat ini masih menimbun cintaku
Dengan cinta Tuhanku
Aku akan menggalimu
Saat semua telah tiba pada waktunya
Karena kuingin kau takdirku
Dan kuingin kau pun menginginkanku jadi takdirmu
Akan kita lihat bersama
Apakah Tuhan memilih takdir itu
Makassar, 12 Januari 2010
Pukul 21.00 WITA
Mengungkapkan segala kenyataan hati
Aku akan memberikan pundakku
Menimang lelahmu
Aku saat ini masih tersenyum jauh
Membayangkan akan seperti apa jika kau berada di dekatku
Barulah aku menyemai cintaku
Kukenang hingga kau terlelap di pangkuanku
Biarlah kita berjalan pada rel yang telah ditentukan
Tak perlu memaksa
Tak perlu berharap berlebih
Tak perlu mencinta berlebih
Aku saat ini masih menimbun cintaku
Dengan cinta Tuhanku
Aku akan menggalimu
Saat semua telah tiba pada waktunya
Karena kuingin kau takdirku
Dan kuingin kau pun menginginkanku jadi takdirmu
Akan kita lihat bersama
Apakah Tuhan memilih takdir itu
Makassar, 12 Januari 2010
Pukul 21.00 WITA
Jangan Datang Malam Ini!
Ya, malamku terlalu banyak bercerita tentang dirimu
Bisikan malam
Angin malam
Bau malam
Semua tiada henti mengagungkan dirimu
Ya, jika hatiku memang memilihmu
Ya, jika pikirku memang menghadirkanmu
Karena kuyakin kau pun menghadirkanku di setiap malam mu
Namun yang salah, tetap saja salah
Benar, jika kata tak henti mengalir membicarakanmu
Seolah hanya ada satu yang memuaskan hati dan akalku
Memang, aku sudah dari dulu tahu
Bahwa yang salah, tetap saja salah
Yang bisa kulakukan, hanya menunggu salah itu menjadi benar
Entah siapa yang salah
Diriku kah yang terlalu bodoh
Atau dirimu yang terlalu membawa ketertarikan
Atau perlukah kita menyalahkan cinta?
Aku ingin berhenti saja sampai waktunya tiba
Tuhan, kuasailah diriku
Jangan Kau serahkan pada hatiku yang goyah
Simpankan saja dia untukku, kelak
Ke mahligai yang Kau ridhoi
Dan, bangunkanlah rumah di surgaMu
Makassar, 13 Januari 2010
Pukul 06.30
_Qiyash_
Bisikan malam
Angin malam
Bau malam
Semua tiada henti mengagungkan dirimu
Ya, jika hatiku memang memilihmu
Ya, jika pikirku memang menghadirkanmu
Karena kuyakin kau pun menghadirkanku di setiap malam mu
Namun yang salah, tetap saja salah
Benar, jika kata tak henti mengalir membicarakanmu
Seolah hanya ada satu yang memuaskan hati dan akalku
Memang, aku sudah dari dulu tahu
Bahwa yang salah, tetap saja salah
Yang bisa kulakukan, hanya menunggu salah itu menjadi benar
Entah siapa yang salah
Diriku kah yang terlalu bodoh
Atau dirimu yang terlalu membawa ketertarikan
Atau perlukah kita menyalahkan cinta?
Aku ingin berhenti saja sampai waktunya tiba
Tuhan, kuasailah diriku
Jangan Kau serahkan pada hatiku yang goyah
Simpankan saja dia untukku, kelak
Ke mahligai yang Kau ridhoi
Dan, bangunkanlah rumah di surgaMu
Makassar, 13 Januari 2010
Pukul 06.30
_Qiyash_
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.