Oleh Bulqia Mas'ud
Putus sekolah di Indonesia adalah salah satu masalah utama
yang perlu dipecahkan. Tingkat putus
sekolah tertinggi terjadi di daerah-daerah tertinggal terutama tingkat sekolah dasar.
Menurut UNICEF untuk Indonesia (2012) tingkat putus sekolah tertinggi terjadi
di kelas 1 sekolah dasar (3,7%) dan menjadi lebih rendah di kelas-kelas
berikutnya, namun terus meningkat di kelas 6. Putus sekolah
disebabkan oleh beberapa aspek. Chirtes (2010) mengklasifikasikan faktor-faktor
tersebut ke dalam faktor sekolah, lingkungan sosial, faktor personal, dan
faktor keluarga, yang merupakan faktor terbesar. Faktor keluarga perlu
ditunjukkan karena pendidikan dimulai dari rumah. Selain itu, waktu keemasan
untuk mengajar anak-anak secara efektif adalah ketika anak-anak berusia dini
hingga sekolah dasar, walaupun tingkat sekolah menengah pertama juga penting
untuk diperhatikan dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tulisan ini akan
mengeksplorasi putus sekolah dan penyebabnya yang lebih fokus pada faktor
keluarga terutama di daerah tertinggal. Juga membahas bagaimana keterlibatan orangtua dapat
memecahkan masalah ini dan tantangannya ke
depan.
Penyebab, dan Dampak Putus Sekolah
Daerah tertinggal di Indonesia diperkirakan mendapat
pendidikan yang tidak setara. Hal ini disebabkan kondisi sosial ekonomi yang
buruk dan kurangnya sumber daya manusia. Menurut UNICEF Indonesia (2012),
daerah pedesaan dan kawasan timur Indonesia perlu melakukan percepatan untuk
mengejar keterbelakangan dalam partisipasi sekolah. Sebagian besar anak
meninggalkan sekolah dalam masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah
pertama (UNICEF, 2012).
Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2013) dalam Srie (2013) menunjukkan tingkat putus
sekolah untuk sekolah dasar di Indonesia rata-rata adalah 0,67 persen dan sama
dengan 182.773 siswa di mana provinsi-provinsi terbelakang berada di tempat
yang lebih tinggi. Ada lima provinsi yang memiliki tingkat putus sekolah
tertinggi untuk tingkat sekolah dasar: Sulawesi Barat (2,37%), Bangka Belitung
(1,88%) Papua Barat (1,56%), Papua (1,36%) dan Sulawesi Tenggara (1,32%) (BPS,
2013).
Putus sekolah bisa merugikan masa depan cerah anak-anak dan menyebabkan lebih banyak kerugian. Chirtes
(2010) menjelaskan putus sekolah menyebabkan kegagalan dalam integrasi sosial,
dan akibatnya sangat mengurangi kesempatan seseorang untuk mencapai kesuksesan
pribadi dalam bidang aktivitas yang mereka inginkan. Kegagalan dalam integrasi
sosial akan menyebabkan kebodohan anak, tenaga kerja murah, kemiskinan, bahkan
kriminalitas. Misalnya, mereka mungkin akan menikah lebih awal tanpa memiliki
cukup pengetahuan dan uang untuk membentuk rumah tangga dan membesarkan anak.
Mereka juga bisa menjadi beban masyarakat seperti preman, perampok, dan pembuat
onar yang membawa ketidakharmonisan dan ketidakamanan dalam masyarakat. Selain
itu, harapan untuk sukses secara materi dan mental akan sulit dicapai karena
kurangnya keterampilan dan pengetahuan.
Faktor yang menyebabkan putus sekolah bisa beragam sesuai dengan
konteks bangsa dan negara. Di daerah terbelakang di Indonesia, putus sekolah
terutama disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi yang buruk, yang
biasanya berasal dari pendapatan rendah dan latar belakang keluarga yang rendah
(UNICEF Indonesia, 2012). Menurut penelitian Chirtes (2010) empat kategori
faktor utama putus sekolah adalah faktor keluarga, faktor terkait sekolah,
lingkungan sosial, dan faktor pribadi. Chirtes menambahkan (2010, hal.32) bahwa
"risiko putus sekolah jauh lebih tinggi pada faktor keluarga dengan
standar kehidupan yang rendah, yang harus menghadapi kemiskinan dan
marginalisasi." Namun faktor lain perlu diperhatikan seperti rendahnya
kualitas pendidikan (baik fasilitas dan guru), ketidaksetaraan distribusi
sumber daya sekolah, dan hambatan geografis karena hal ini juga berkontribusi
terhadap putus sekolah di daerah pedesaan.
Chung dan Mason (2012) menegaskan bahwa kesenjangan sumber daya terutama antarkelompok sosio-ekonomi
dalam masyarakat yang terkait dengan perbedaan kualitas pendidikan, kemiskinan
keluarga dan biaya sekolah dianggap sebagai alasan utama terjadinya putus
sekolah. Namun, faktor yang berhubungan dengan keluarga adalah faktor terdekat
yang lebih mempengaruhi pilihan hidup seorang siswa apakah ingin terus belajar atau tidak. Hal tersebut tergantung pada dorongan keluarga, tidak peduli
seberapa besar tantangan eksternal dan sosial yang ada.
Di daerah tertinggal dan pedesaan yang memiliki
keterbelakangan sosial seperti sumber daya manusia yang rendah dapat
menyebabkan perlakuan keluarga yang kurang tepat dalam membesarkan anak mereka.
Seperti yang dibahas oleh Chirtes (2010) penyebab utama putus sekolah adalah
standar kemampuan hidup dan pendidikan orangtua yan rendah. Selanjutnya,
faktor-faktor ini dapat mempengaruhi bagaimana orangtua dapat membangun
hubungan yang kuat dengan anak-anak, menerapkan metode pengasuhan, dan
mendorong anak-anak untuk menjadi lebih baik. Akibatnya, orangtua yang memiliki
latar belakang pendidikan yang buruk cenderung akan menghambat kemajuan anak di
sekolah. Selain itu, mereka tidak akan tertarik untuk mendukung aktivitas
belajar anak-anak mereka. Orangtua di daerah pedesaan mungkin saja memanfaatkan
anak mereka untuk mencari uang (Chirtes, 2010). Ketika anak mulai fokus bekerja
atas perintah dari
orangtua, mereka mungkin akan meninggalkan sekolah lebih awal dan terus bekerja
untuk mendukung keluarga mereka.
Setelah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
keluarga ini, keterlibatan orangtua yang efektif sangat dianjurkan sebagai
solusi untuk anak-anak yang putus sekolah.
Keterlibatan Orangtua dan Pencegahan Putus Sekolah
Tingkat Sekolah Dasar
Orang yang diakui oleh anak-anak untuk pertama kalinya sejak
mereka lahir adalah orangtua mereka. Ini juga berarti anak-anak akan
mendapatkan pendidikan pertama langsung dari orangtua mereka. Dengan demikian, orangtua
akan sangat berpengaruh dalam pendidikan anak. Keterlibatan mereka terhadap
pendidikan anak-anak akan menentukan apa yang akan terjadi pada anak-anak di
masa depan. Keterlibatan orangtua didefinisikan sebagai "partisipasi orangtua
dalam proses pendidikan dan pengalaman anak-anak mereka" (Jeynes, 2011
hal.42). Definisi yang ditunjukkan oleh Jeynes di sini berfokus pada pengalaman
pendidikan siswa yang dapat mencakup bagaimana orangtua mendekati siswa saat
belajar di rumah, bagaimana mereka mengendalikan anak-anak mereka di sekolah,
atau memutuskan sekolah yang baik untuk anaknya.
Keterlibatan orangtua sangat diperlukan dalam perkembangan
pendidikan anak-anak sejak dini karena kebanyakan waktu dihabiskan di rumah.
Perkembangan anak-anak akan dipengaruhi oleh bagaimana orangtua mereka
memperlakukan dan mendidik mereka. Tentu akan ada banyak tantangan bagi orangtua
termasuk orangtua berpendidikan rendah dalam mendidik anak mereka. Namun akan
selalu ada harapan bagi mereka yang peduli. Banyak kasus dimana latar belakang
keluarganya miskin, tapi orangtua masih dapat berkontribusi terhadap pendidikan
anak mereka karena mereka menyadari bahwa sangat penting untuk memiliki
pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik bisa diraih jika orangtua juga sadar
dan terlibat.
Ada hubungan yang kuat antara keterlibatan orangtua dengan
prestasi akademik anak-anak. Penelitian oleh McNeal Jr. (2014) membuktikan
bahwa keterlibatan orangtua dapat meningkatkan harapan pendidikan, mengurangi
tingkat ketidakhadiran siswa di sekolah, dan meningkatkan prestasi anak-anak.
Harapan pendidikan berarti disini siswa memiliki ambisi untuk melanjutkan
pendidikannya sampai lulus SMA dan bahkan mendaftar di universitas. Pemantauan orangtua
memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap perilaku siswa dan secara signifikan
mengurangi jumlah ketidakhadiran dan pembolosan serta meningkatkan aktivitas
mengerjakan pekerjaan rumah (McNeal Jr., 2014). Orangtua yang selalu berdiskusi
dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka tentang kehidupan sekolah akan
membantu mereka untuk belajar, mengilhami anak-anak untuk peduli dengan
kegiatan sekolah hingga bersemangat untuk berprestasi lebih tinggi. Namun,
penelitian McNeal tidak secara jelas menyentuh efek keterlibatan orangtua
terhadap anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan tingkat pendidikan
rendah. Dengan demikian, penting untuk mengetahui berdasarkan penelitian
empiris tren keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak pada keluarga yang
tingkat pendidikannya rendah.
Di daerah tertinggal dimana banyak orangtua berasal dari
latar belakang pendidikan rendah, upaya untuk melibatkan mereka jauh lebih
besar. Orangtua yang diharapkan bisa mendidik anak mereka tidak dapat memenuhi
tanggung jawab lebih baik karena kemunduran sosial ekonomi. Bagaimana orangtua
bisa mengajar anak mereka jika mereka sendiri perlu dididik. Meskipun tidak
semua orangtua di daerah terbelakang memiliki pendidikan berkualitas rendah,
faktor-faktor tersebut harus didiskusikan untuk menemukan solusi yang tepat.
Oleh karena itu, mempromosikan keterlibatan orangtua yang efektif untuk
mencegah putus sekolah pada anak usia sekolah dasar perlu melibatkan pemangku
kepentingan lainnya seperti guru sekolah, pakar pendidikan dan praktisi,
masyarakat, komunitas yang berkepentingan dan pemerintah. Singkatnya, kita
harus memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk melibatkan orangtua dalam pendidikan
anak-anak terutama mereka yang berasal dari latar belakang pendidikan rendah
atau memiliki latar belakang sosial ekonomi dan budaya yang mundur.
Mendidik dan
Menyadarkan Orangtua (Terutama Keluarga Tidak Mampu)
Pendidikan orangtua berkorelasi dengan keberhasilan orangtua
dalam mendidik anaknya. Menurut Jeynes (2011) latar belakang sosioekonomi orangtua
yang berpenghasilan tinggi terkadang menjadi salah satu faktor tingginya
tingkat keterlibatan orangtua. Berdasarkan argumen tersebut, latar belakang
sosial ekonomi akan mempengaruhi metode keterlibatan orangtua. Meskipun
keluarga berasal dari keluarga yang tidak mampu, kemungkinan besar mereka akan
berubah jika mereka percaya bahwa pendidikan itu berharga, apalagi jika mereka
ingin melihat anak-anak mereka mengejar pendidikan yang lebih baik daripada
mereka. Orangtua yang peduli akan menyediakan sarana pendidikan untuk anak-anak
semampu mereka (Jeynes, 2011) Karena itu, pemerintah, pendidik, masyarakat dan
kelompok yang berkepentingan dapat berpartisipasi untuk membantu keluarga yang
kurang beruntung lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka. Kita dapat
mendidik mereka tentang pentingnya pendidikan dan peran mereka dalam pendidikan
anak-anak. Misalnya, pemerintah dibantu oleh para pendidik dan praktisi untuk
memberikan pelatihan dan konseling dengan tujuan meningkatkan kesadaran
orangtua. Masyarakat dan tentangga dapat diperingatkan jika ada keluarga yang
memiliki anak berpotensi putus sekolah. Meskipun demikian, kita sebaiknya
mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul seperti kesediaan stakeholder dan
dana untuk mengimplementasikan program.
Komunikasi Orangtua-Anak
Komunikasi antara orangtua dan anak menentukan kemajuan
pendidikan anak. Martine-Gonzales (2008) menegaskan bahwa komunikasi antara orangtua
dan anak adalah indikator perhatian orangtua. Orangtua yang selalu berdiskusi
dengan anak terkait peningkatan pengetahuan bisa mempengaruhi prestasi akademik
anak. Selain itu, selalu bertanya kepada anak-anak tentang apa yang telah
mereka pelajari di sekolah sangat penting untuk kemajuan pendidikan mereka.
Studi yang dilakukan oleh Martinez-Gonzalez (2008) di Spanyol dan Cyprus
membuktikan bahwa orangtua yang memiliki tingkat pendidikan rendah tampaknya
terlibat dalam berbagai cara dengan bantuan akademis semampu mereka, seperti
berbicara kepada anak-anak mereka tentang kehidupan sekolah, menyediakan sarana
belajar sesuai kemampuan mereka, menunjukkan kasih sayang, menciptakan
lingkungan yang mendukung. Oleh karena itu, menjaga komunikasi dan diskusi antara
orangtua dan anak akan mengurangi risiko putus sekolah walaupun orangtua
memiliki prestasi belajar yang rendah.
Kemitraan Orangtua-Guru
Kerja sama dan komunikasi antara orangtua dan guru untuk
membantu perkembangan anak di sekolah dapat mencegah anak putus sekolah. Bridgeland
(2010) menunjukkan bahwa penyebab utama putus sekolah adalah kesenjangan antara
apa yang diharapkan orangtua dan guru terhadap kebutuhan siswa. Dalam hal ini,
kemitraan orangtua-guru bisa menjadi solusi. Misalnya, guru bisa selalu memberi
tahu orangtua tentang kehidupan sekolah anak-anak dan sebaliknya. Selain itu,
guru bisa memberi tahu orangtua tentang kekuatan dan kelemahan anak sehingga orangtua
menjadi lebih peduli tentang apa yang harus dikembangkan dan dikerjakan
anak-anak.
"Dalam pertemuan orangtua-guru, perlu untuk lebih
memusatkan perhatian pada karakteristik intelektual dan sikap positif anak-anak.
Kemitraan orangtua-guru adalah cara untuk memfasilitasi komunikasi antara guru
dan orangtua, untuk membantu pengambilan keputusan bersama tentang bagaimana
mengatasi remaja beresiko. Dengan cara ini, mempromosikan program parenting
yang efektif di sekolah dapat membantu orangtua untuk membesarkan anak-anak
mereka dan berinteraksi dengan guru di sekolah dengan lebih efektif "(Martinez-Gonzalez et al., 2008 hal.516).
Dengan mengadakan pertemuan orangtua-guru, baik orangtua
maupun guru dapat bekerja sama untuk mencegah anak-anak dari kasus putus
sekolah yang berisiko. Ini akan sangat membantu terutama bagi orangtua dengan
tingkat pendidikan rendah karena guru dapat memberikan beberapa solusi atau
cara yang bisa diterapkan orangtua di rumah. Kendati demikian, faktor lain
harus diantisipasi jika guru menghadapi orangtua yang sulit diajak kerjasama.
Kemitraan
Keluarga-Sekolah-Masyarakat
Cara lain untuk mencegah putus sekolah adalah membangun
kemitraan sekolah-keluarga-masyarakat. Untuk memaksimalkan rasa keterhubungan
siswa di sekolah membutuhkan kerjasama dan kolaborasi antarsekolah, keluarga,
dan masyarakat (Goss & Andren, 2014). Kolaborasi ini bisa menciptakan
lingkungan belajar yang positif sehingga bisa meningkatkan antusiasme anak
untuk mencintai sekolah. Misalnya, sekolah memungkinkan orangtua bahkan
mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah baik di kelas
maupun kegiatan ekstrakurikuler. Dalam hal kemitraan dengan masyarakat, Goss
& Andren (2014) berpendapat bahwa masalah putus sekolah bukanlah tanggung
jawab sekolah saja, namun merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Kemitraan masyarakat dan komunitas dapat memberikan layanan seperti mengawal,
memperhatikan dan membantu keluarga dan siswa yang berpotensi putus sekolah.
Dengan menelusuri penyebab dan dampak putus sekolah, kita
bisa menggaungkan keterlibatan orangtua sebagai solusi. Namun demikian,
partisipasi aktif guru, praktisi, dan masyarakat sangat berkaitan erat terhadap
penyelesaian masalah ini. Dukungan dari pemangku kepentingan terutama
pemerintah daerah dan nasional juga sangat penting. Selama orangtua ingin
melihat kemajuan anak mereka, apapun faktor dan tantangan yang ada, semua
masalah yang berhubungan dengan keluarga dan putus sekolah dapat diatasi.
Daftar Pustaka
Bridgeland,
J. M. (2010). The new dropout challenge: Bridging gaps among students, parents,
and teachers. New Directions for Youth Development, (127), 101-110.
Retrieved August 24, 2015 from http://search.proquest.com/docview/815957720?accountid=12528
Chirtes,
G. (2010). A case study into the causes of school dropout. Acta Didactica
Napocensia, 3(4), 25-34. Retrieved August 24, 2015 from http://search.proquest.com/docview/1697498745?accountid=12528
Chung, C., & Mason, M. (2012). Why
do primary school students drop out in poor, rural China? A portrait sketched
in a remote mountain village. International Journal of Educational
Development, 32(4),
537-545.
Goss,
C.Lee & Andren, Kristina J. (2014). Dropout prevention. New York:
The Guilford Press.
Jeynes,
William H. (2011). Parental involvement and academic success. New York:
Routledge.
Martinez-Gonzalez,
R., Symeou, L., Alvarez-Blanco, L., Roussounidou, E., Iglesias-Muniz, J., &
Cao-Fernandez, M. (2008). Family involvement in the education of potential
drop-out children: A comparative study between spain and cyprus. Educational
Psychology, 28(5), 505-520.
Retrieved August 23, 2015 from http://search.proquest.com/docview/61993740?accountid=12528
McNeal
Jr, R. B. (2014). Parent involvement, academic achievement and the role of
student attitudes and behaviors as mediators. Universal Journal of
Educational Research, 2(8), 564-576. Doi: 10.13189/ujer.2014.020805
Srie.
(2013). Inilah, peringkat 5 besar provinsi berdasarkan angka putus sekolah.
Retrieved August 22, 2015 from
http://www.srie.org/2013/02/inilah-peringkat-5-besar-provinsi.html
UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian: Pendidikan &
Perkembangan Anak Usia Dini. Retrieved October 15, 2015 from http://www.UNICEF.org/indonesia/id/A3
B_Ringkasan_Kajian_Pendidikan.pdf
0 komentar:
Posting Komentar