Lelaki
yang bernama Matahari. Kita bertemu pertama kali di sebuah seminar tentang
kepemimpinan di Indonesia masa depan. Pertemuan yang cukup memberiku kesan. Aku
berebut mic denganmu saat sesi tanya
jawab. Padahal aku lebih dulu memegang mic
itu. Aku pikir kau akan berkata “ladies first” lalu mempersilakanku. Nyatanya
kau merebut mic itu tanpa memandang
wajah perempuan yang sedang ada di hadapanmu. Apakah kesal atau biasa saja. Aku
kembali ke tempat dudukku. Pertemuan pertama kita, aku sudah menangkap alur
pikiranmu. Lewat argumentasi yang kau lontarkan ketika bertanya.
Pertemuan
kedua, aku mengikuti dialog pelataran di kampus. Kulihat kerumunan perempuan
yang sedang melingkar. Entah kenapa aku tertarik untuk nimbrung di kerumunan
itu, ternyata kau pembicara utamanya. Meskipun ada beberapa lelaki, tapi yang
mendominasi adalah perempuan. Aku bahkan tidak habis pikir, dua perempuan yang
ada di sampingku bukan menyimak penjelasanmu. Tapi, membincangkanmu. Nalarku
pun berasumsi bahwa perempuan-perempuan ini hadir bukan untuk menyimak pembicaraanmu,
tapi hanya sekadar ingin memperhatikanmu. Seolah kau punya daya magis untuk
menyihir mereka.
“Hei!” kau menyapaku usai dialog.
“Ada apa?” tanyaku singkat.
“Apa maksudmu? Permasalahan tadi tidak
seluas itu.”
“Tidak bisa. Pasti menyangkut ideologi.”
“Ini cuma lingkup masalah di Indonesia.
Kenapa sampai ke permasalahan ideologi.”
Aku tidak menjawab. Aku berlalu
meninggalkanmu dengan sejuta tanda tanya di wajahmu. Kau lebih baik dibuat
penasaran. Aku tahu kau adalah tipe laki-laki yang suka berpikir dan kutu buku.
***
Aku bertemu lagi denganmu di sebuah toko
buku. Kulihat kau tengah berdiskusi dengan temanmu yang gondrong, penampilannya
tidak terurus. Terlihat jelas dari penampilannya sebagai simbol perlawanan.
Tapi, kau aneh. Kau tidak berpenampilan seperti mereka yang katanya anti
kemapanan.
Aku sedikit demi sedikit mulai
mengenalmu, melalui cerita-cerita orang. Kau seorang aktivis. Aku pernah
membaca artikel di koran kampus. Dan profil edisi kali itu adalah kamu. Tulisan
itu seolah-olah menyampaikan bahwa kamu adalah seorang pahlawan yang telah
berhasil menggagalkan proyek penggusuran rumah-rumah warga dan pedagang kecil
di dekat kampus. Yang isunya akan dibanguni lahan bisnis di kampus. Aku tahu
betul. Tipe mahasiswa sepertimu sangat responsif dengan kasus-kasus serupa.
Di kampus ini siapa yang tak mengenal
Matahari, ketua Forum Peduli Rakyat. Siapa yang menggerakkan mahasiswa ketika
terjadi pembabatan pohon untuk lahan pembuangan limbah rumah sakit di sekitar
kampus. Itu adalah Matahari. Siapa yang paling kritis menyeru ketika perguruan
tinggi akan dikomersialisasi dan dijadikan institusi untuk mendapatkan lebih banyak uang. Itu
adalah Matahari. Siapa yang paling gesit bertindak ketika May Day1 tiba. Itu masih Matahari.
Tulisan-tulisanmu juga sering muncul di koran-koran.
Dan selalu bernada tendensius. Sebenarnya, aku baru berkesimpulan, manusia yang
paling sibuk di dunia ini adalah mahasiswa. Seorang mahasiswa harus belajar,
mengaktualisasikan dirinya, ia juga harus menyeru kebenaran, ia harus belajar
menafkahi dirinya, ia harus memperhatikan keluarganya. Belum lagi ia harus
mengurusi masyarakat, ia juga harus mengawasi pemerintah. Manusia mana yang
lebih sibuk dari seorang mahasiswa.
***
“Menurut
buku Francis Fukuyama, The End of History
and the Last Man, hanya ada dua ideologi di dunia ini, yaitu kapitalisme
dengan demokrasi liberalnya yang diusung oleh Amerika. Yang kedua adalah
sosialisme yang diusung oleh Karl Marx.” Suaramu mulai terdengar dari jarak 25
meter dengan toa yang memperbesar volumenya. Diskusi pelataran di depan Aula
Sastra sangat ramai oleh ledakan argumenmu dan suara-suara revolusi yang kau banggakan.
Aku
gerah. Kau bahkan tidak menyebut agamamu sebagai sebuah ideologi. Agamamu kau
anggap tak bisa mengatur negara. Kau anggap utopis untuk mengelola masyarakat
yang heterogen. Padahal ide perubahanmu lebih utopis, ingin meniadakan
kelas-kelas sosial. Agama yang kau anggap utopis untuk mengatur keadaan justru
pernah terterapkan secara empiris, ketimbang ide yang hanya terterapkan dalam
tataran retorika, saya pikir idemu lebih utopis.
***
Akhir-akhir
ini suaramu tak terdengar lagi dalam diskusi pelataran. Kau tak lagi terdengar
mengeritik ideologi para borjuis. Tak pernah lagi kudapati dirimu yang sangat
peduli pada para pemulung yang sedang mencari nafkah atau para cleaning service yang sering kau ajak
bercerita. Tidak ada lagi suara-suara revolusi dan kepedulian pada kaum
proletar. Suaramu seperti tertelan angin dan diterbangkan entah kemana.
Pagi ini saat
kubaca koran kampus edisi terbaru, jantungku tiba-tiba berdetak begitu kencang.
Kaget. Aku hanya bisa menghela nafas membaca setiap kata yang terangkai. Wajahmu
begitu jelas terpampang. Sebuah obituari, berita kematian Sang Matahari.
Seorang aktivis telah melakukan bakar diri di depan Gedung Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pengorbananmu terlalu
berlebihan. Aku hanya berasumsi, kau mungkin melakukannya untuk membuka mata
pemerintah. Nyatanya, berapa pun korban berjatuhan, mereka tetap tak bergeming.
Kau bahkan rela mati demi rakyat. Ternyata ideologimu tak mampu mendamaikan
jiwamu. Kau tak mengenal konsep sabar dalam berjuang. Inilah kekurangan yang
sangat ingin kuungkapkan padamu. Kau mengabaikan Tuhan dalam segala aspek dan
aktivitasmu. Andai saja itu kau lakukan untuk memperjuangkan agamamu, saya
pikir kamu tak akan melakukan tindakan
sampai sejauh ini.
Katamu, setelah revolusi tak ada lagi. Dan Matahari tak ada lagi.
Katamu, setelah revolusi tak ada lagi. Dan Matahari tak ada lagi.
Ket:
1.
May Day: Hari
buruh sedunia yang dirayakan pada tanggal 1 Mei