Kau Puisi





Saat matahari terbenam aku rindu melihat wajah ibu bercahaya
Ternyata silau matahari senja telah berpindah di teduh wajahmu
Aku masihlah gadis kecil yang kadang merengek manja
Ingin dimasakkan ini atau itu
Rasa yang hanya bisa kudapatkan dari olahan tangan Ibu
Dan Ibu dengan senang hati berkata, “Nanti akan kubuatkan makanan favoritmu.”

Hmm, Ibu… Sekarang aku sudah dewasa. Telah kepala dua.
Kapan aku bisa menggantikan Ibu. Aku ingin memasak untuk Ibu.
Tapi, kau tetaplah menyambut kedatanganku dengan menghidangkan makanan kesukaanku
Dan selalu menanyakan pertanyaan yang sama
“Gimana makananmu di Makassar, Nak? Enak kan?”

Meski bisa melepas rindu lewat telepon
Tapi puisi lebih indah untuk melepaskan kerinduan
Aku sudah belajar Ibu. Aku belajar dari perempuan-perempuan yang mungkin pantas kusebut bidadari dunia bahwa merindu juga punya aturan ternyata.
Kau tahu Ibu, rindu itu suci.
Mungkin cinta lebih suci, Ibu.
Meski sebenarnya cinta-rindu itu adalah gradasi
Cintalah yang melahirkan rindu
Konektor yang hanya bisa dijelaskan melalui relasi seperti Ayah dan Ibu

Tentang cinta, aku tidak percaya cinta sebelum pernikahan, Ibu.
Mereka yang mencinta sebelum pernikahan adalah mereka yang berkomitmen untuk sewaktu-waktu saling meninggalkan.
Aku percaya, Allah telah menyiapkan waktu yang tepat dengan orang yang tepat.
Indah pada waktunya.
Bersama hati yang menyimpan harapan.

Ibu, maaf…
Kalau terkadang lebih dulu menutup telepon
Atau sesekali berkata kasar yang seketika mengubah intonasi suaramu atau raut wajahmu
Aku kadang menawarkan pahitnya empedu, sementara silau matamu menawarkan madu
Akankah aku bisa melindungi Ibu dari detik perubahan
Atau menghadiahkan mahkota kelak di surga?
Tapi, kau lihat sekarang Ibu
Aku tumbuh dewasa menjadi gadis yang berbeda bukan?
Pernahkah tersirat di dalam benak Ibu
Kalau aku akan tumbuh menjadi wanita salihah. Amin Ya Rabb.

Menulis ini, setelah Ibu menelpon...

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.