November Rain




Oleh Bulqia Mas’ud

Sepertinya, pembuluh darah di kepalaku sudah mulai berdamai. Seharian benar-benar tak melakukan apa-apa. Kecuali melakukan perjalanan spiritual singkat dan membaca surat cinta paling suci dari Sang Pemilik hati yang tidak akan pernah tergeser posisinya. Dan juga memenuhi kebutuhan biologis seluruh manusia, makan. Juga meminum teh hangat dengan maksud meluaskan pembuluh darah yang tersumbat di bagian kepala. Sakit yang sudah menjadi langgananku. Hingga siang yang tertutup pekat dibawa malam dan malam berganti siang tetap dalam dekapan mendung. Tak ada aktivitas baca buku hari ini. Yang akhir-akhir ini menjadi sangat kusukai. Hanya merebahkan tubuh untuk memanjakan diri.
Kemarin hujan mengguyur Makassar. Cukup deras. Tapi tetap tak mampu mengalahkan derasnya perasaan yang ingin kutumpahkan dari hatiku saat ini. Kemarin, aku menemukan suasana yang menurutku cukup romantis. Memegang payung saat butir-butir bening jatuh dari langit. Menuju kampus merah untuk menunaikan kewajiban akademis. Setelah beberapa hari yang lalu aku seperti beradegan dalam sebuah film. November baru saja usai. Tapi, aku tidak bisa melupakan rasa sakit yang terbekaskan. Bersamaan dengan turunnya hujan yang terus mengguyur Makassar yang panas.
Aku menangis. Air mataku seirama dengan turunnya hujan di luar sana. Air mata selalu saja ingin tumpah. Padahal dengan sekuat tenaga aku menahannya. Bahkan menengadahkan wajahku agar air mata ini tidak jatuh. Tapi, percuma. Baru kali ini kudapati sisi lain dari diriku bahwa ternyata aku rapuh. Berusaha tegar, tapi rapuh di dalam. Menurutku hampir semua perempuan seperti itu. Dan apa yang bisa dilakukan perempuan selain menangis.
Ya, aku tahu, kesedihan adalah penebus dosa-dosa. Dari sudut paling rahasia. Di kamar yang merapuh, yang sempat kebanjiran, yang lantainya retak oleh gempa lokal yang asalnya tak tahu darimana. Yang sangat disenangi berbagai jenis semut. Satu lagi, lampunya baru saja kehilangan nyawa. Padahal kamar ini baru direnovasi oleh Ibu Kost. Serentetan kesialan yang kualami di bulan November. November yang menyedihkan. Meski selalu berusaha bahagia  dan bersyukur saat tiba di ujung bulan November.
Masih teringat jelas. Akumulasi-akumulasi perdebatan yang terekam. Entahlah, kami berusaha memutus banyak rantai untuk menyelamatkan sesuatu. Tapi rantainya terlalu panjang. Sehingga terlalu banyak yang perlu diputuskan. Tak tahu ujungnya. Sama seperti ketika kau membabat semak-semak yang tak kunjung habis. Selalu saja ada semak yang mesti dibabat untuk keluar dari keadaan itu.
“Apa yang membuatmu enggan?”
“Karena kau tidak tahu, apa yang aku tahu.”
“Bukankah tidak masalah jika tetap bertahan dengan keadaanmu tanpa mengorbankan apa yang kuinginkan?”
“Sebenarnya, tidak semudah yang kau pikirkan.”
“Lalu?”
“Mungkin terlalu banyak yang kuketahui tapi kau belum mengetahuinya.”
Percakapan yang selalu tak tuntas. Karena tidak ada kalimat yang sempurna di antara kami. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna1. Semua berjalan begitu saja, seperti air yang mengalir dan tersandung di bebatuan. Tidak akan ada kalimat yang mulus. Hanya ada rindu dan marah. Cinta dan benci telah menjadi oposisi biner. Empat kata itu cukup menggambarkan bahwa memang tidak ada kalimat yang sempurna. Dan kata tidak pernah habis. Mungkin hanya dia, teman berdebat yang membutuhkan banyak kata dan kalimat untuk menghentikan ketegangan waktu.   
***
       Makassar tetap saja hujan. Dan selalu ada jeda untuk matahari mengambil kesempatan. Begitu pula, kalimat yang memiliki jeda. Kucoba menghitung deret rasa. Dan aku menemukan maaf, sabar, ikhlas, marah silih berganti mengoyak hati.
          “Apa kau pernah menangis?”
          Dia tidak menjawab.
        Aku hanya ingin tahu. Kapan dia menangis. Tentu saja itu adalah sebuah kelemahan yang berusaha ia sembunyikan.
       “Suatu saat, kalau kau meninggalkanku. Mungkin kau tidak akan menemukan teman berdebat seperti diriku.”
    “Kalimatmu akan segera sempurna. Dan kau tidak punya apa-apa lagi untuk diperdebatkan.”
     “Semuanya telah sempurna. Semua rantai telah terputus. Dan sisanya, kau tinggal merindukannya. Bukankah rindu melemahkan perasaan. Dan mungkin saja melenyapkannya.”
      “Tapi marah ternyata justru menguatkan. Terakhir kali kau marah. Aku tidak lagi marah. Silahkan kau marah. Karena aku akan tersenyum. Saat kau benar-benar marah, aku akan pura-pura tersenyum.”
Kali ini aku yang mendominasi percakapan.
***
        Hujan tak lagi sama, setelah November berakhir. Kali ini, hanya turun sesekali. Aku menemukan banyak kesempatan bersama matahari terbit. Dan aku mulai mencintai pagi dan langit biru.
Kalau disuruh memilih, aku lebih cinta menjadi wanita biasa yang merasakan kesempatan luar biasa yang disediakan Allah. Hadiah terindah dari Allah. Kesempatan untuk masuk surga lewat pintu mana saja. Inilah cara termulus untuk menjadi penduduk surga dan mungkin menjadi bidadari yang keringatnya berbau kesturi.
Kalimat yang tidak sempurna. Rantai-rantai yang coba diputuskan satu persatu. Konsep yang tidak akan pernah ketemu, seringkali mengerutkan urat sarafku. Sisanya, telah kuserahkan kepada Pemilik Segala. Hanya ada satu kekuatan yang tidak bisa dikalahkan, DIA. Segalanya mungkin.
***

[1] Petikan kalimat dalam novel “Dengarlah Nyanyian Angin” karya Haruki Murakami dengan sedikit perubahan.

# Hampir lupa cara menulis cerpen.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.