Ketika Takdir Bermula Di Sini


Oleh: Bulqia Mas’ud*

Segalanya telah tiba pada jam, menit, dan detik di hari ini. Saat kembali kutuliskan kenangan berjumpa dan bermesraan dengan FLP. Sudah tiba masanya aku menatap tulisan-tulisanku yang dulu. Sederhana dan tidak beraturan. Ada sisi-sisi yang menimbulkan senyum-senyum manis saat kubaca tulisan-tulisan lamaku. FLP telah mengubah diriku. Menjadi penulis yang lebih baik. Saat mimpi bermula di sini.

Mengenal FLP dan Penghuninya
Hari itu, tak sengaja kujumpai sebuah buku kumpulan cerpen milik kakak. Bukunya bersampul hitam, tapi saya lupa judulnya. Saat itu, pertama kalinya aku melihat simbol berwarna biru, merah, hitam di sampul belakangnya. Dan tersebutlah nama Forum Lingkar Pena. Nama yang sebenarnya telah terpanggil-panggil dalam ingatanku. Berawal dari hobi menulis catatan harian, mulailah meninggikan jam terbang, menulis cerita-cerita pendek dan kubagikan pada teman-teman kelasku. Akhirnya tiba suatu masa yang membuat seluruh siswa kelas 3 berkostum putih abu-abu merasakan debar yang sama. Frekuensi menulis cerpen semakin berkurang. Ujian Akhir Nasional mengalihkan duniaku. Di titik inilah kuputuskan untuk mengambil jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Selain karena menyukai Bahasa Inggris dan bermimpi ingin ke luar negeri, jurusan sastra kuanggap mampu mengajarkanku tentang kepenulisan dan sastra lebih jauh.
Setelah kevakuman yang cukup lama. Tidak bermain-main dengan kata, deretan huruf, dan simbol-simbol. Agustus 2008, aku menemukan sebuah liflet di dalam buku panduan temanku saat PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) tingkat universitas. Di sinilah takdir bermula. Masa dimana menjadi seorang penulis itu akhirnya tiba. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang akan membuka tabir masa depanmu. Mataku berbinar-binar, perasaanku bergelombang. Aku menyimpan liflet itu dengan sangat hati-hati. Dan tersimpanlah nomor Ukhti A. Saputri Mulyanna ketua FLP Unhas kala itu. Takdir akhirnya menyambung dengan bertemunya aku dengan mahasiswi keperawatan 2007 tetangga kamarku di kost. Dia adalah teman kelas ukhti Nanna yang kemudian membawakanku formulir FLP Unhas.
Di tengah sibuk-sibuknya pengumpulan mahasiswa baru dan serangkaian acara untuk pengaderan, inaugurasi dan hal-hal sejenisnya. Aku tidak begitu peduli aturan himpunan yang melarang mahasiswa baru memasuki organisasi lain sebelum pengaderan usai. Aku dan FLP Unhas. Tak ada yang bisa menghalangi pertemuanku dengannya. Liflet yang membuat mataku berbinar-binar dan hatiku berpesta kala itu, harus tersampaikan, meski dengan pertemuan sederhana.
Dan takdir berkata, bertemulah aku dengan ukhti Uswatun Hasanah di gedung ipteks Unhas sore itu. Aku menghubungi nomornya. Mencari-cari yang manakah orangnya. Dan tersenyumlah ia dengan manis kepadaku. Aku menghampiri mereka. Sedang rapat rupanya. Hari itu pulalah aku bertemu dengan ukhti A. Saputri Mulyanna. Rasanya bahagia saja. Seperti menemukan kawanan peri-peri cantik.
Maka takdir pun menarik satu persatu orang-orang memasuki hidupku. Akhir Desember 2008 di ToR III FLP Sul-Sel, Bantimurung, Kab. Maros, awal yang manis bertemu dengan saudara-saudari dan senior-senior FLP Sul-Sel yang begitu menginspirasi. Selanjutnya, Allah menawarkan kesempatan indah bertemu dengan Mbak Izzatul Jannah, Mbak Rahmadiyanti Rusdi, Teh Pipit Senja dan penulis-penulis terkenal lainnya.
Begitulah sebuah pertemuan. Tak perlu banyak kata dan beribu puisi untuk mengungkapkan siapa orang-orang hebat dan spesial dalam hidup kita. Semuanya sudah tercatat di dalam hati. Siapa yang menguatkannya? Itulah kekuatan luar biasa yang tak bisa dipecahkan dengan rumus matematika serumit apapun. Kekuatan itu adalah Sang Khalik. Allah-lah yang mengikat hati-hati kita untuk terus mencintai rumah ini dan segala penghuninya.

Kebersamaan dengan Rasa yang Berlainan
Jika FLP adalah bagian dari semesta, maka tak apa jika kusebut Planet Biru. Di dalamnya ada bidadari-bidadari anggun dan peri-peri lucu, imut dan manis. Juga prajurit-prajurit tangguh yang senantiasa menjaga keeksisan planet ini. Betapa bahagianya ketika satu kegiatan telah selesai. Tak ada yang tahu sedalam apa perasaan itu. Ketika harus berkorban untuk tercapainya usaha-usaha kita untuk menebar manfaat. Kau akan terkagum-kagum kepada para bidadari dan prajurit-prajuritnya dengan segenap upaya menyelamatkan planet ini dari kehancuran. Ada perasaan yang teraduk-aduk. Tawa, canda, marah, jengkel bahkan air mata pun harus rela menetes dari naungan paling beningnya untuk sebuah perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh pemiliknya.
Ketika pengorbanan hampir tak sejalan dengan hasil. Kita sudah tahu, FLP tidak pernah menjanjikan apa-apa. FLP tidak begitu saja memberimu kesejahteraan. FLP tidak lantas membuatmu menjadi penulis terkenal. Tapi, kau harus mengerti arti pengorbanan. Dalam sebuah rumus, semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak kita menerima. Begitulah yang harus kita mengerti di planet ini. Salah seorang senior pernah berkata, jika kalian merasa tidak fokus menulis, tapi jangan tinggalkan FLP. Ya, begitulah, apapun peran kita, keberadaan kita tetap menjadi pendukung agar planet ini tetap berjalan pada orbitnya. Maka jangan sia-siakan keberadaan kita.
Di tempat ini pulalah kita mengenal segala macam campuran perasaan. Aku, kamu, kalian, mereka hadir dengan karakter dan warna masing-masing. Inilah tempat untuk merasakan keindahan itu. Tak ada yang maju, menyikut, atau melambung. Karena kita selalu hadir dengan sebungkus rasa pengertian untuk mempersilahkan kemungkinan-kemungkinan agar semua suara terakomodasi. Dari anak SD hingga tunanetra, melengkapi kesempurnaan warna dalam lengkungan pelangi seperti senyum-senyum para penghuni planet ini.
Setelah bertemu FLP, satu-persatu harapan terjawab. Sudah kukatakan, bahwa ini adalah tabir pembuka masa depan. Aku semakin menekuni sastra dan kepenulisan yang tak begitu kudapatkan di bangku perkuliahan. FLP pula yang membuatku berkenalan dengan para birokrat kampus dan orang-orang hebat lainnya. Memasukkan proposal bantuan dana, membawa surat, meminjam tempat untuk kegiatan-kegiatan FLP. Hingga mengantarkanku untuk berkenalan dengan Wakil Rektor III, pembina FLP Ranting Unhas yang tetap setia memperhatikan keluarga kecil kami.
Dalam sebuah perbincangan  dengan Kak  Rahmawati Latief (Ketua FLP Sul-Sel I) aku terinspirasi. Beliau mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena mengekspos FLP dalam wawancaranya. Mencoba mengikuti jejaknya, mengekspos kegiatan-kegiatan sosialku di FLP dalam sebuah esai Bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan beasiswa belajar tersebut. Juga menyertakan buku kami di FLP Unhas yang sempat terbit. Dan, Allah menjatuhkan takdir. Tibalah aku menginjakkan kaki di benua lain. Di sebuah negeri impian orang-orang. Padahal nyata-nyata kerusakan yang telah diperbuatnya.

Ada yang Datang dan Pergi
Pergantian waktu terasa begitu misterius. Mungkin tak ada yang menyangka, bahwa FLP telah menemaniku menemukan kekuatan sedahsyat ini. Atau sesederhana orang lain yang menganggap pertemuannya dengan FLP tak lebih hanyalah sebuah proses biasa dalam hidup. Tapi, bagiku FLP tidak sekadar proses itu atau tempat untuk merasakan kegembiraan dan pesta-pesta kecil yang ditemani musik syahdu di bawah kerlip bintang. Bersama, di FLP kita merasakan sebuah gangguan bagi sederet rutinitas. Dan ini adalah perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh pemiliknya masing-masing. Semuanya berjalan begitu saja seperti air yang mencari muaranya, tak bisa dikendalikan oleh siapapun kecuali Sang Pemilik Waktu.
Suatu hari, ketika ada yang pergi, pasti ada yang datang. Begitulah hidup mengajarkan kita sebuah siklus kehidupan dan regenerasi. Menikmati esensi pergantian waktu. Bagaimana kehidupan kita di FLP selanjutnya? Akankah sama atau tidak? Di sini ketika kutuliskan sebuah hadiah ulang tahun untuk FLP. Inilah persembahan kata yang kupunya. Hanya ungkapan perasaan yang sedikit beraroma sastra jauh dari kesan ilmiah. Hanya ingin mencermati ritmis waktu di masa depan. Bahwa tidak selamanya kita bertahan di sini. Tapi, aku yakin, hati kita tetap terpaut di tempat ini. Kenangan bermula di sini. Dan tak semudah itu menghapusnya. Tidak seperti hujan sehari yang tiba-tiba datang menghapus kemarau bertahun-tahun. Suatu hari ketika kita meninggalkan FLP, selalu ada saat untuk kembali. Karena FLP akan tetap menanti uluran tangan kita dan membuka pintu seluas-luasnya. Satu yang kalian harus tahu, status keanggotaan FLP adalah seumur hidup. Maka selalu ada jalan pulang jika kau tersesat.

Selamat Milad FLP Tercinta. Inilah bingkisan sederhana untuk membuktikan rasa cintaku. Dalam sebuah barisan huruf-huruf dengan satu paket perasaan mewakilinya.

*Pengurus FLP Cabang Makassar

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.