Akhir-akhir
ini banyak yang perlu dikritisi. Sepertinya hidupku tidak akan lepas dari yang
namanya persoalan kritik mengkritik. Entahlah, mungkin aku yang terlalu
sensitif atau keadaan yang merangsangku untuk semakin berpikir kritis. Sampai-sampai
aku lupa bahwa kita perlu menyediakan waktu untuk tidak bicara mengenai wacana
perubahan. Sekarang, aku harus menikmati setiap detik-detik yang luruh bersama
dosa-dosa yang tak sengaja kurancang sendiri. Malam ini, mencoba meminggirkan
segala sesuatu yang mengusutkan urat saraf. Ingin merasakan kedamaian jiwa. Pikiran-pikiran
semesta yang terkadang membuat penglihatanku mampu menembus tembok ingin
kurehatkan sejenak. Ah, ingin sekali rasanya berdiskusi dalam suasana paling
romantis bersama Rasulullah. Dan menanyakan setiap titik kegalauan yang kadang
merasuki hati dan pikiran. Aku hanya manusia akhir zaman yang masih penuh tanda
tanya.
“Assalamu
alaikum, Cin. Besok jadi kan?” Cin. Singkatan dari cinta. Aku suka memanggil
sahabat-sahabatku dengan sapaan cinta. Atau kata Say, singkatan sayang.
Entahlah, kesannya semakin akrab dan memunculkan relasi yang hanya bisa kami
jelaskan sendiri.
“Insya
Allah jadi. Lelah perlu dibuang.” Suara Zidniy di seberang telepon genggam.
“Baiknya
kemana ya?”
“Toko
buku saja. Wisata hati dan otak.”
“Hmm,
jangan! Aku yakin, berhadapan dengan buku tidak akan membuat hati dan otak kita
berwisata. Kau lupa, buku akan mengundang kekompleksan-kekompleksan berpikir
kita. Dan akhirnya menjalar pada ruang-ruang yang saat ini ingin kita hindari
sejenak.”
“Ok.
Aku paham. Tapi, tidak mungkin kan kita karoke-an?”
“Ya,
nggaklah. Karoke-an masuk dalam daftar menu penghambatan kebangkitan. Karoke-an
masuk dalam daftar hal-hal yang sudah tidak zaman untuk dipupuk. Masuk dalam
daftar hal-hal yang perlu ditinggalkan.”
“Mmm,
aku punya ide. Bagaimana kalau kita memasak.”
“Ngapain?”
“Hei,
cantik! memasak itu masuk dalam daftar hal-hal yang perlu dipupuk. Kau lupa?
Suatu saat kau akan jadi istri. Memasak adalah keahlian yang wajib dimiliki oleh
seorang istri.”
“Saya
masih percaya istilah ‘learning by doing’. Memasak bukan keahlian, cuma masalah
kebiasaan.”
“Bukan
itu masalahnya, Say! Tapi, ini konsekuensi logis menjadi seorang perempuan.”
“Lain
kali aja, deh! Besok hari yang paling indah menunggu matahari terbit dan
menyaksikan matahari terbenam. Kita ke pantai.”
“Ya,
semoga saja esok hujan tidak turun. Pekat akan menyembunyikan matahari.”
“Kalau
hujan, kita main hujan saja. Mari merasakan tetesan air yang dihantar malaikat.”
“Nggak
kapok, Nay?”
“Asal
hujannya deras. Insya Allah tidak terjadi.”
***
Pagi
berkolaborasi dengan gerimis adalah perpaduan yang hebat untuk melumpuhkan
sendi-sendi gerak. Usai sholat subuh, tidur menjadi pilihan terbaik ditemani
nyanyian gerimis. Ah, syahdunya!
“Huaahhhh”
kulirik jam di handphone-ku. Pukul
07.30. 10 panggilan tak terjawab.
“Astagfirullah,
Zidniy!”
Kutulis
sms.
“Assalamu Alaikum, Zidniy udah
ngapain?”
“Aku ada di depan kamarmu nih, kamu
ngapaian aja sih?” balasnya.
“Maaf, Cinta! aku ketiduran. Tunggu
ya!”
Zidniy
masuk.
“Kalau
sekarang mau ke pantai, udah telat, Cin! Mataharinya udah terbit.”
“So,
kita ngapain dong?”
“Mandi
aja dulu, Nay!” Ucap Zidniy dengan wajahnya yang sedikit kusut.
“Ok.
Ok, Sayang! Maaf ya?”
***
“Jadi, kita mau jalan kemana nih?”
“Ke
toko buku aja yuk, Nay!”
“Toko
buku bukan tempat yang asyik untuk bermanja dengan kehidupan.”
“Tolonglah,
Nay. Aku pengen beli buku yang sudah lama kuincar.”
“Buku
apa? The Alchemist?”
“Kok
tahu?”
“Ya
tahu lah. Aku pernah buka list buku
yang ingin kau beli. The Alchemist
berada di urutan pertama.”
“Ke
toko buku ya?”
“Ok.
Ok. Anggap saja ini permintaan maaf dariku karena membuatmu menunggu. Tapi,
habis dari toko buku kita ke pantai lihat sunset
ya?”
“Beres.”
***
Di
toko buku.
Aku
lebih memilih membaca di tempat yang telah disediakan, sambil menunggu Zidniy.
Kalau sudah lihat buku, Zidniy pasti lupa waktu.
Tapi
biarlah aku menunggunya. Ini tidak seberapa dibanding kelakuanku yang selalu
membuatnya menunggu. Aku selalu merasa bersalah pada Zidniy. Tapi, dia selalu
seperti gerimis yang tiba-tiba jatuh tak terduga di tengah terik.
“Hey,
Nona! Kok ngelamun sih?”
“Eh,
Zidniy, udah dapat bukunya?”.
“Ngelamunin
apa hayo?”
“Nggak.
Coba dengar kata-kata ini. Barusan aku baca. Aku bukanlah seorang manusia, melainkan
sebuah dinamit. Membuat orang gelisah itulah tugasku.”
“Hmm,
mulai lagi dengan keanehanmu.”
“Kata-katanya
keren, Zidniy. Tapi, aku bingung apa maksudnya. Aku hanya penasaran apa yang
ada di kepala Nietzsche saat menuliskan kata-kata ini.”
“Kupikir
filsuf seperti dia hanya gelisah karena ada ruang kosong di hati dan pikirannya
yang tak bisa dia pecahkan.”
“Seperti apa?”
“Kekosongan
spiritual. Filsuf itu terlalu mengandalkan logika. Mereka terlalu beromantisme
dengan akal mereka. Mereka tidak punya standar berpikir yang mengantarkan
kepada kedamaian jiwa. Beda dengan seorang muslim. Kita punya Al Qur’an dan As
sunnah. Cukup mengikuti Mahakarya itu, insya Allah selamat dunia akhirat.”
“Apa
maksudnya coba, ‘membuat orang gelisah adalah tugasku’ aneh kan?”
“Ah,
sudahlah. Anggap saja Nietzsche tidak ingin gelisah sendiri. Dia ingin membagi
gelisahnya kepada orang lain. Buktinya sekarang banyak pengagumnya kan? Mereka
mungkin sama gelisahnya dengan Nietzsche.”
“Oh,
tidak!” tiba-tiba teringat seseorang.
“Kenapa,
Neng?”
“Aldi.”
“Kenapa
Aldi?”
“Aku
punya janji mau ngasih proposal acara bedah buku siang ini di kampus.”
“Nggak
saya. Nggak Aldi. Sudah berapa kali kau buat Aldi menunggu.”
“Pasti
dari tadi dia menghubungi. Hapeku low
batt masalahnya.”
“Ckckck,
kamu dinamit, Nay.”
“Maksudnya?”
“Kata-kata
Nietzsche barusan yang membuatmu jatuh hati.”
“Ah,
aku kan lupa. Aku merasa bersalah pada Aldi. Ini sudah kali ke berapa ya?”
“Seharusnya
kau belajar dari sejarah. Ingat baik-baik ‘JASMERAH’ Soekarno!” Sindir Zidniy sambil
senyum-senyum melihat kepanikanku.
“Ya
Allah, maafkan Nay yang selalu lalai.”
“Minta
maaf juga sama Aldi, Nay! Dia pasti gelisah dari tadi menunggumu dan tak bisa
menghubungi dinamit sepertimu.” Ucap Zidniy, seperti ada tawa yang ingin pecah.
“Ya...ya…ya.”
Sambil mendesah. Merasa bersalah.
0 komentar:
Posting Komentar