Masakan ini dampak positif dari adanya Korean Wave. Kalau para remaja lagi tergila-gila dengan boyband/girlband korea dan drama koreanya, maka kami justru terinspirasi dari masakannya. Dan, lahirlah masakan kimbab atau di Jepang biasa disebut Sushi created by Nurul Imansari sebagai main chef. Ditambah dua asistennya, Bulqia Mas'ud dan Andi Asrawati. Insya Allah akan dimasukkan dalam lomba PMW Unhas. Semoga lolos dan mendapatkan modal untuk wirausaha. Doakan ya teman-teman. Meski sebenarnya tidak perlu menunggu PMW Unhas. Kami bisa langsung eksekusi. Tapi, waktu yang terkadang menghimpit. Ditambah 2 orang tim saya masih sibuk-sibuknya mengurus proposal dan ujian proposalnya...
Home / Archive for Februari 2012
Ketika Takdir Bermula Di Sini
Oleh:
Bulqia Mas’ud*
Segalanya
telah tiba pada jam, menit, dan detik di hari ini. Saat kembali kutuliskan
kenangan berjumpa dan bermesraan dengan FLP. Sudah tiba masanya aku menatap
tulisan-tulisanku yang dulu. Sederhana dan tidak beraturan. Ada sisi-sisi yang
menimbulkan senyum-senyum manis saat kubaca tulisan-tulisan lamaku. FLP telah mengubah
diriku. Menjadi penulis yang lebih baik. Saat mimpi bermula di sini.
Mengenal FLP dan Penghuninya
Hari
itu, tak sengaja kujumpai sebuah buku kumpulan cerpen milik kakak. Bukunya
bersampul hitam, tapi saya lupa judulnya. Saat itu, pertama kalinya aku melihat
simbol berwarna biru, merah, hitam di sampul belakangnya. Dan tersebutlah nama
Forum Lingkar Pena. Nama yang sebenarnya telah terpanggil-panggil dalam
ingatanku. Berawal dari hobi menulis catatan harian, mulailah meninggikan jam
terbang, menulis cerita-cerita pendek dan kubagikan pada teman-teman kelasku.
Akhirnya tiba suatu masa yang membuat seluruh siswa kelas 3 berkostum putih
abu-abu merasakan debar yang sama. Frekuensi menulis cerpen semakin berkurang. Ujian
Akhir Nasional mengalihkan duniaku. Di titik inilah kuputuskan untuk mengambil
jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Selain karena menyukai Bahasa Inggris
dan bermimpi ingin ke luar negeri, jurusan sastra kuanggap mampu mengajarkanku
tentang kepenulisan dan sastra lebih jauh.
Setelah
kevakuman yang cukup lama. Tidak bermain-main dengan kata, deretan huruf, dan
simbol-simbol. Agustus 2008, aku menemukan sebuah liflet di dalam buku panduan
temanku saat PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) tingkat universitas. Di sinilah
takdir bermula. Masa dimana menjadi seorang penulis itu akhirnya tiba. Rasanya
seperti menemukan sesuatu yang akan membuka tabir masa depanmu. Mataku berbinar-binar,
perasaanku bergelombang. Aku menyimpan liflet itu dengan sangat hati-hati. Dan
tersimpanlah nomor Ukhti A. Saputri Mulyanna ketua FLP Unhas kala itu. Takdir
akhirnya menyambung dengan bertemunya aku dengan mahasiswi keperawatan 2007
tetangga kamarku di kost. Dia adalah teman kelas ukhti Nanna yang kemudian
membawakanku formulir FLP Unhas.
Di
tengah sibuk-sibuknya pengumpulan mahasiswa baru dan serangkaian acara untuk
pengaderan, inaugurasi dan hal-hal sejenisnya. Aku tidak begitu peduli aturan
himpunan yang melarang mahasiswa baru memasuki organisasi lain sebelum
pengaderan usai. Aku dan FLP Unhas. Tak ada yang bisa menghalangi pertemuanku
dengannya. Liflet yang membuat mataku berbinar-binar dan hatiku berpesta kala itu,
harus tersampaikan, meski dengan pertemuan sederhana.
Dan
takdir berkata, bertemulah aku dengan ukhti Uswatun Hasanah di gedung ipteks
Unhas sore itu. Aku menghubungi nomornya. Mencari-cari yang manakah orangnya.
Dan tersenyumlah ia dengan manis kepadaku. Aku menghampiri mereka. Sedang rapat
rupanya. Hari itu pulalah aku bertemu dengan ukhti A. Saputri Mulyanna. Rasanya
bahagia saja. Seperti menemukan kawanan peri-peri cantik.
Maka
takdir pun menarik satu persatu orang-orang memasuki hidupku. Akhir Desember
2008 di ToR III FLP Sul-Sel, Bantimurung, Kab. Maros, awal yang manis bertemu
dengan saudara-saudari dan senior-senior FLP Sul-Sel yang begitu menginspirasi.
Selanjutnya, Allah menawarkan kesempatan indah bertemu dengan Mbak Izzatul
Jannah, Mbak Rahmadiyanti Rusdi, Teh Pipit Senja dan penulis-penulis terkenal
lainnya.
Begitulah
sebuah pertemuan. Tak perlu banyak kata dan beribu puisi untuk mengungkapkan siapa
orang-orang hebat dan spesial dalam hidup kita. Semuanya sudah tercatat di
dalam hati. Siapa yang menguatkannya? Itulah kekuatan luar biasa yang tak bisa
dipecahkan dengan rumus matematika serumit apapun. Kekuatan itu adalah Sang
Khalik. Allah-lah yang mengikat hati-hati kita untuk terus mencintai rumah ini
dan segala penghuninya.
Kebersamaan dengan Rasa yang
Berlainan
Jika
FLP adalah bagian dari semesta, maka tak apa jika kusebut Planet Biru. Di
dalamnya ada bidadari-bidadari anggun dan peri-peri lucu, imut dan manis. Juga
prajurit-prajurit tangguh yang senantiasa menjaga keeksisan planet ini. Betapa
bahagianya ketika satu kegiatan telah selesai. Tak ada yang tahu sedalam apa
perasaan itu. Ketika harus berkorban untuk tercapainya usaha-usaha kita untuk
menebar manfaat. Kau akan terkagum-kagum kepada para bidadari dan prajurit-prajuritnya
dengan segenap upaya menyelamatkan planet ini dari kehancuran. Ada perasaan
yang teraduk-aduk. Tawa, canda, marah, jengkel bahkan air mata pun harus rela
menetes dari naungan paling beningnya untuk sebuah perasaan yang hanya bisa
dijelaskan oleh pemiliknya.
Ketika
pengorbanan hampir tak sejalan dengan hasil. Kita sudah tahu, FLP tidak pernah
menjanjikan apa-apa. FLP tidak begitu saja memberimu kesejahteraan. FLP tidak
lantas membuatmu menjadi penulis terkenal. Tapi, kau harus mengerti arti pengorbanan.
Dalam sebuah rumus, semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak kita
menerima. Begitulah yang harus kita mengerti di planet ini. Salah seorang
senior pernah berkata, jika kalian merasa tidak fokus menulis, tapi jangan
tinggalkan FLP. Ya, begitulah, apapun peran kita, keberadaan kita tetap menjadi
pendukung agar planet ini tetap berjalan pada orbitnya. Maka jangan sia-siakan
keberadaan kita.
Di
tempat ini pulalah kita mengenal segala macam campuran perasaan. Aku, kamu,
kalian, mereka hadir dengan karakter dan warna masing-masing. Inilah tempat
untuk merasakan keindahan itu. Tak ada yang maju, menyikut, atau melambung.
Karena kita selalu hadir dengan sebungkus rasa pengertian untuk mempersilahkan
kemungkinan-kemungkinan agar semua suara terakomodasi. Dari anak SD hingga
tunanetra, melengkapi kesempurnaan warna dalam lengkungan pelangi seperti
senyum-senyum para penghuni planet ini.
Setelah
bertemu FLP, satu-persatu harapan terjawab. Sudah kukatakan, bahwa ini adalah
tabir pembuka masa depan. Aku semakin menekuni sastra dan kepenulisan yang tak
begitu kudapatkan di bangku perkuliahan. FLP pula yang membuatku berkenalan
dengan para birokrat kampus dan orang-orang hebat lainnya. Memasukkan proposal
bantuan dana, membawa surat, meminjam tempat untuk kegiatan-kegiatan FLP.
Hingga mengantarkanku untuk berkenalan dengan Wakil Rektor III, pembina FLP
Ranting Unhas yang tetap setia memperhatikan keluarga kecil kami.
Dalam
sebuah perbincangan dengan Kak Rahmawati Latief (Ketua FLP Sul-Sel I) aku
terinspirasi. Beliau mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena mengekspos FLP
dalam wawancaranya. Mencoba mengikuti jejaknya, mengekspos kegiatan-kegiatan
sosialku di FLP dalam sebuah esai Bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan
beasiswa belajar tersebut. Juga menyertakan buku kami di FLP Unhas yang sempat
terbit. Dan, Allah menjatuhkan takdir. Tibalah aku menginjakkan kaki di benua
lain. Di sebuah negeri impian orang-orang. Padahal nyata-nyata kerusakan yang
telah diperbuatnya.
Ada yang Datang dan Pergi
Pergantian
waktu terasa begitu misterius. Mungkin tak ada yang menyangka, bahwa FLP telah
menemaniku menemukan kekuatan sedahsyat ini. Atau sesederhana orang lain yang
menganggap pertemuannya dengan FLP tak lebih hanyalah sebuah proses biasa dalam
hidup. Tapi, bagiku FLP tidak sekadar proses itu atau tempat untuk merasakan
kegembiraan dan pesta-pesta kecil yang ditemani musik syahdu di bawah kerlip
bintang. Bersama, di FLP kita merasakan sebuah gangguan bagi sederet rutinitas.
Dan ini adalah perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh pemiliknya
masing-masing. Semuanya berjalan begitu saja seperti air yang mencari muaranya,
tak bisa dikendalikan oleh siapapun kecuali Sang Pemilik Waktu.
Suatu
hari, ketika ada yang pergi, pasti ada yang datang. Begitulah hidup mengajarkan
kita sebuah siklus kehidupan dan regenerasi. Menikmati esensi pergantian waktu.
Bagaimana kehidupan kita di FLP selanjutnya? Akankah sama atau tidak? Di sini
ketika kutuliskan sebuah hadiah ulang tahun untuk FLP. Inilah persembahan kata
yang kupunya. Hanya ungkapan perasaan yang sedikit beraroma sastra jauh dari
kesan ilmiah. Hanya ingin mencermati ritmis waktu di masa depan. Bahwa tidak
selamanya kita bertahan di sini. Tapi, aku yakin, hati kita tetap terpaut di
tempat ini. Kenangan bermula di sini. Dan tak semudah itu menghapusnya. Tidak seperti
hujan sehari yang tiba-tiba datang menghapus kemarau bertahun-tahun. Suatu hari
ketika kita meninggalkan FLP, selalu ada saat untuk kembali. Karena FLP akan
tetap menanti uluran tangan kita dan membuka pintu seluas-luasnya. Satu yang
kalian harus tahu, status keanggotaan FLP adalah seumur hidup. Maka selalu ada
jalan pulang jika kau tersesat.
Selamat
Milad FLP Tercinta. Inilah bingkisan sederhana untuk membuktikan rasa cintaku. Dalam
sebuah barisan huruf-huruf dengan satu paket perasaan mewakilinya.
*Pengurus
FLP Cabang Makassar
DINAMIT
Akhir-akhir
ini banyak yang perlu dikritisi. Sepertinya hidupku tidak akan lepas dari yang
namanya persoalan kritik mengkritik. Entahlah, mungkin aku yang terlalu
sensitif atau keadaan yang merangsangku untuk semakin berpikir kritis. Sampai-sampai
aku lupa bahwa kita perlu menyediakan waktu untuk tidak bicara mengenai wacana
perubahan. Sekarang, aku harus menikmati setiap detik-detik yang luruh bersama
dosa-dosa yang tak sengaja kurancang sendiri. Malam ini, mencoba meminggirkan
segala sesuatu yang mengusutkan urat saraf. Ingin merasakan kedamaian jiwa. Pikiran-pikiran
semesta yang terkadang membuat penglihatanku mampu menembus tembok ingin
kurehatkan sejenak. Ah, ingin sekali rasanya berdiskusi dalam suasana paling
romantis bersama Rasulullah. Dan menanyakan setiap titik kegalauan yang kadang
merasuki hati dan pikiran. Aku hanya manusia akhir zaman yang masih penuh tanda
tanya.
“Assalamu
alaikum, Cin. Besok jadi kan?” Cin. Singkatan dari cinta. Aku suka memanggil
sahabat-sahabatku dengan sapaan cinta. Atau kata Say, singkatan sayang.
Entahlah, kesannya semakin akrab dan memunculkan relasi yang hanya bisa kami
jelaskan sendiri.
“Insya
Allah jadi. Lelah perlu dibuang.” Suara Zidniy di seberang telepon genggam.
“Baiknya
kemana ya?”
“Toko
buku saja. Wisata hati dan otak.”
“Hmm,
jangan! Aku yakin, berhadapan dengan buku tidak akan membuat hati dan otak kita
berwisata. Kau lupa, buku akan mengundang kekompleksan-kekompleksan berpikir
kita. Dan akhirnya menjalar pada ruang-ruang yang saat ini ingin kita hindari
sejenak.”
“Ok.
Aku paham. Tapi, tidak mungkin kan kita karoke-an?”
“Ya,
nggaklah. Karoke-an masuk dalam daftar menu penghambatan kebangkitan. Karoke-an
masuk dalam daftar hal-hal yang sudah tidak zaman untuk dipupuk. Masuk dalam
daftar hal-hal yang perlu ditinggalkan.”
“Mmm,
aku punya ide. Bagaimana kalau kita memasak.”
“Ngapain?”
“Hei,
cantik! memasak itu masuk dalam daftar hal-hal yang perlu dipupuk. Kau lupa?
Suatu saat kau akan jadi istri. Memasak adalah keahlian yang wajib dimiliki oleh
seorang istri.”
“Saya
masih percaya istilah ‘learning by doing’. Memasak bukan keahlian, cuma masalah
kebiasaan.”
“Bukan
itu masalahnya, Say! Tapi, ini konsekuensi logis menjadi seorang perempuan.”
“Lain
kali aja, deh! Besok hari yang paling indah menunggu matahari terbit dan
menyaksikan matahari terbenam. Kita ke pantai.”
“Ya,
semoga saja esok hujan tidak turun. Pekat akan menyembunyikan matahari.”
“Kalau
hujan, kita main hujan saja. Mari merasakan tetesan air yang dihantar malaikat.”
“Nggak
kapok, Nay?”
“Asal
hujannya deras. Insya Allah tidak terjadi.”
***
Pagi
berkolaborasi dengan gerimis adalah perpaduan yang hebat untuk melumpuhkan
sendi-sendi gerak. Usai sholat subuh, tidur menjadi pilihan terbaik ditemani
nyanyian gerimis. Ah, syahdunya!
“Huaahhhh”
kulirik jam di handphone-ku. Pukul
07.30. 10 panggilan tak terjawab.
“Astagfirullah,
Zidniy!”
Kutulis
sms.
“Assalamu Alaikum, Zidniy udah
ngapain?”
“Aku ada di depan kamarmu nih, kamu
ngapaian aja sih?” balasnya.
“Maaf, Cinta! aku ketiduran. Tunggu
ya!”
Zidniy
masuk.
“Kalau
sekarang mau ke pantai, udah telat, Cin! Mataharinya udah terbit.”
“So,
kita ngapain dong?”
“Mandi
aja dulu, Nay!” Ucap Zidniy dengan wajahnya yang sedikit kusut.
“Ok.
Ok, Sayang! Maaf ya?”
***
“Jadi, kita mau jalan kemana nih?”
“Ke
toko buku aja yuk, Nay!”
“Toko
buku bukan tempat yang asyik untuk bermanja dengan kehidupan.”
“Tolonglah,
Nay. Aku pengen beli buku yang sudah lama kuincar.”
“Buku
apa? The Alchemist?”
“Kok
tahu?”
“Ya
tahu lah. Aku pernah buka list buku
yang ingin kau beli. The Alchemist
berada di urutan pertama.”
“Ke
toko buku ya?”
“Ok.
Ok. Anggap saja ini permintaan maaf dariku karena membuatmu menunggu. Tapi,
habis dari toko buku kita ke pantai lihat sunset
ya?”
“Beres.”
***
Di
toko buku.
Aku
lebih memilih membaca di tempat yang telah disediakan, sambil menunggu Zidniy.
Kalau sudah lihat buku, Zidniy pasti lupa waktu.
Tapi
biarlah aku menunggunya. Ini tidak seberapa dibanding kelakuanku yang selalu
membuatnya menunggu. Aku selalu merasa bersalah pada Zidniy. Tapi, dia selalu
seperti gerimis yang tiba-tiba jatuh tak terduga di tengah terik.
“Hey,
Nona! Kok ngelamun sih?”
“Eh,
Zidniy, udah dapat bukunya?”.
“Ngelamunin
apa hayo?”
“Nggak.
Coba dengar kata-kata ini. Barusan aku baca. Aku bukanlah seorang manusia, melainkan
sebuah dinamit. Membuat orang gelisah itulah tugasku.”
“Hmm,
mulai lagi dengan keanehanmu.”
“Kata-katanya
keren, Zidniy. Tapi, aku bingung apa maksudnya. Aku hanya penasaran apa yang
ada di kepala Nietzsche saat menuliskan kata-kata ini.”
“Kupikir
filsuf seperti dia hanya gelisah karena ada ruang kosong di hati dan pikirannya
yang tak bisa dia pecahkan.”
“Seperti apa?”
“Kekosongan
spiritual. Filsuf itu terlalu mengandalkan logika. Mereka terlalu beromantisme
dengan akal mereka. Mereka tidak punya standar berpikir yang mengantarkan
kepada kedamaian jiwa. Beda dengan seorang muslim. Kita punya Al Qur’an dan As
sunnah. Cukup mengikuti Mahakarya itu, insya Allah selamat dunia akhirat.”
“Apa
maksudnya coba, ‘membuat orang gelisah adalah tugasku’ aneh kan?”
“Ah,
sudahlah. Anggap saja Nietzsche tidak ingin gelisah sendiri. Dia ingin membagi
gelisahnya kepada orang lain. Buktinya sekarang banyak pengagumnya kan? Mereka
mungkin sama gelisahnya dengan Nietzsche.”
“Oh,
tidak!” tiba-tiba teringat seseorang.
“Kenapa,
Neng?”
“Aldi.”
“Kenapa
Aldi?”
“Aku
punya janji mau ngasih proposal acara bedah buku siang ini di kampus.”
“Nggak
saya. Nggak Aldi. Sudah berapa kali kau buat Aldi menunggu.”
“Pasti
dari tadi dia menghubungi. Hapeku low
batt masalahnya.”
“Ckckck,
kamu dinamit, Nay.”
“Maksudnya?”
“Kata-kata
Nietzsche barusan yang membuatmu jatuh hati.”
“Ah,
aku kan lupa. Aku merasa bersalah pada Aldi. Ini sudah kali ke berapa ya?”
“Seharusnya
kau belajar dari sejarah. Ingat baik-baik ‘JASMERAH’ Soekarno!” Sindir Zidniy sambil
senyum-senyum melihat kepanikanku.
“Ya
Allah, maafkan Nay yang selalu lalai.”
“Minta
maaf juga sama Aldi, Nay! Dia pasti gelisah dari tadi menunggumu dan tak bisa
menghubungi dinamit sepertimu.” Ucap Zidniy, seperti ada tawa yang ingin pecah.
“Ya...ya…ya.”
Sambil mendesah. Merasa bersalah.
Langkah Sukses Bahagia
#Step 1: Tentukan target
Langkah awal selalu dimulai
dengan niat. Tanyakan kepada hati, apa sebenarnya niat kita. Buatlah agar niat
selalu terporos karena Allah semata. Selanjutnya buatlah rencana-rencana yang
ingin kau wujudkan dalam hidupmu. Kalau perlu dituliskan. Katanya, harapan yang
dituliskan akan mengendap di ruang dan waktu di semesta ini. Semesta akan membantumu
untuk mewujudkan harapan-harapanmu dengan gerakan-gerakan ajaibnya (hehe… gak
logis). Buatlah target yang spesifik dan realistis sembari menyandarkannya kepada Allah. Karena seringkali
jika tidak bersandar kepada Allah, selalu timbul kekecewaan jika harapan itu tidak
terwujud.
#Step 2: Eksekusi
Mulailah melaksanakan rencana-rencana
Anda dengan semangat. Awali hari dengan senyum, salam, sapa. Langkah ini akan
mengajarkan untuk menghadirkan sebab-sebab untuk akibat-akibat yang kita
inginkan di masa depan. Ketika kau melangkahkan kaki menginjak tubuh bumi di
luar rumahmu. Saat itu matahari akan menyambutmu dengan teriknya. Jika hari itu
hujan, berarti hujan akan menyambutmu dengan dinginnya. Jadi siap-siap saja
dengan kejutan-kejutan tak terduga hari itu. Eits, jangan lupa jika keluar
rumah baca do’a keluar rumah. Dengan membaca do’a tersebut berarti Anda telah
menyerahkan segalanya kepada Sang Pemilik Kehendak. Yup, intinya tawakkal telah
Anda lakukan sejak awal. Jika rencana terwujud, Alhamdulillah, ada rasa syukur
menyambut.
#Step 3: Permanis dengan do’a
Usaha-usaha yang kita lakukan
akan terasa lebih manis dengan do’a. Do’a itu seperti gula. Teh, kopi, atau
susu, rasanya kurang nikmat tanpa gula. Begitu pula usaha, tidak terasa manis
tanpa do’a. Do’a juga seperti lotion.
Akan mempermulus perjuangan Anda. Sempatkanlah mengadukan usaha-usahamu di
waktu-waktu mustajab. Saat itu tirai yang menghubungkanmu dengan Sang Pencipta
sangatlah tipis. Jadi kemungkinannya besar untuk terkabulkan.
#Step 4: Hadirkan rasa ikhlas
Ikhlas adalah obat kekecewaan. Jika
rencana-rencana Anda tidak terwujud, selimuti diri Anda dengan keikhlasan.
Insya Allah diri akan tetap tegar untuk menyambut rencana baru. Ikhlas juga
menjauhkan kita dari kecemasan.
***
Yupz, kesabaran juga termasuk
kunci kesuksesan. Ini akan mengajarkan Anda makna perjuangan. Maknanya mungkin
lebih indah, yakni kesabaran seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Melaksanakan
perintahNya dan berupaya untuk menjauhi laranganNya.
#Jangan lupa,,, kebahagiaan itu adalah saat langkah –langkah Anda selaras dengan ridha Allah… :)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.