Memasak



Masakan ini dampak positif dari adanya Korean Wave. Kalau para remaja lagi tergila-gila dengan boyband/girlband korea dan drama koreanya, maka kami justru terinspirasi dari masakannya. Dan, lahirlah masakan kimbab atau di Jepang biasa disebut Sushi created by Nurul Imansari sebagai main chef. Ditambah dua asistennya, Bulqia Mas'ud dan Andi Asrawati. Insya Allah akan dimasukkan dalam lomba PMW Unhas. Semoga lolos dan mendapatkan modal untuk wirausaha. Doakan ya teman-teman. Meski sebenarnya tidak perlu menunggu PMW Unhas. Kami bisa langsung eksekusi. Tapi, waktu yang terkadang menghimpit. Ditambah 2 orang tim saya masih sibuk-sibuknya mengurus proposal dan ujian proposalnya...

Ketika Takdir Bermula Di Sini


Oleh: Bulqia Mas’ud*

Segalanya telah tiba pada jam, menit, dan detik di hari ini. Saat kembali kutuliskan kenangan berjumpa dan bermesraan dengan FLP. Sudah tiba masanya aku menatap tulisan-tulisanku yang dulu. Sederhana dan tidak beraturan. Ada sisi-sisi yang menimbulkan senyum-senyum manis saat kubaca tulisan-tulisan lamaku. FLP telah mengubah diriku. Menjadi penulis yang lebih baik. Saat mimpi bermula di sini.

Mengenal FLP dan Penghuninya
Hari itu, tak sengaja kujumpai sebuah buku kumpulan cerpen milik kakak. Bukunya bersampul hitam, tapi saya lupa judulnya. Saat itu, pertama kalinya aku melihat simbol berwarna biru, merah, hitam di sampul belakangnya. Dan tersebutlah nama Forum Lingkar Pena. Nama yang sebenarnya telah terpanggil-panggil dalam ingatanku. Berawal dari hobi menulis catatan harian, mulailah meninggikan jam terbang, menulis cerita-cerita pendek dan kubagikan pada teman-teman kelasku. Akhirnya tiba suatu masa yang membuat seluruh siswa kelas 3 berkostum putih abu-abu merasakan debar yang sama. Frekuensi menulis cerpen semakin berkurang. Ujian Akhir Nasional mengalihkan duniaku. Di titik inilah kuputuskan untuk mengambil jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin. Selain karena menyukai Bahasa Inggris dan bermimpi ingin ke luar negeri, jurusan sastra kuanggap mampu mengajarkanku tentang kepenulisan dan sastra lebih jauh.
Setelah kevakuman yang cukup lama. Tidak bermain-main dengan kata, deretan huruf, dan simbol-simbol. Agustus 2008, aku menemukan sebuah liflet di dalam buku panduan temanku saat PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) tingkat universitas. Di sinilah takdir bermula. Masa dimana menjadi seorang penulis itu akhirnya tiba. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang akan membuka tabir masa depanmu. Mataku berbinar-binar, perasaanku bergelombang. Aku menyimpan liflet itu dengan sangat hati-hati. Dan tersimpanlah nomor Ukhti A. Saputri Mulyanna ketua FLP Unhas kala itu. Takdir akhirnya menyambung dengan bertemunya aku dengan mahasiswi keperawatan 2007 tetangga kamarku di kost. Dia adalah teman kelas ukhti Nanna yang kemudian membawakanku formulir FLP Unhas.
Di tengah sibuk-sibuknya pengumpulan mahasiswa baru dan serangkaian acara untuk pengaderan, inaugurasi dan hal-hal sejenisnya. Aku tidak begitu peduli aturan himpunan yang melarang mahasiswa baru memasuki organisasi lain sebelum pengaderan usai. Aku dan FLP Unhas. Tak ada yang bisa menghalangi pertemuanku dengannya. Liflet yang membuat mataku berbinar-binar dan hatiku berpesta kala itu, harus tersampaikan, meski dengan pertemuan sederhana.
Dan takdir berkata, bertemulah aku dengan ukhti Uswatun Hasanah di gedung ipteks Unhas sore itu. Aku menghubungi nomornya. Mencari-cari yang manakah orangnya. Dan tersenyumlah ia dengan manis kepadaku. Aku menghampiri mereka. Sedang rapat rupanya. Hari itu pulalah aku bertemu dengan ukhti A. Saputri Mulyanna. Rasanya bahagia saja. Seperti menemukan kawanan peri-peri cantik.
Maka takdir pun menarik satu persatu orang-orang memasuki hidupku. Akhir Desember 2008 di ToR III FLP Sul-Sel, Bantimurung, Kab. Maros, awal yang manis bertemu dengan saudara-saudari dan senior-senior FLP Sul-Sel yang begitu menginspirasi. Selanjutnya, Allah menawarkan kesempatan indah bertemu dengan Mbak Izzatul Jannah, Mbak Rahmadiyanti Rusdi, Teh Pipit Senja dan penulis-penulis terkenal lainnya.
Begitulah sebuah pertemuan. Tak perlu banyak kata dan beribu puisi untuk mengungkapkan siapa orang-orang hebat dan spesial dalam hidup kita. Semuanya sudah tercatat di dalam hati. Siapa yang menguatkannya? Itulah kekuatan luar biasa yang tak bisa dipecahkan dengan rumus matematika serumit apapun. Kekuatan itu adalah Sang Khalik. Allah-lah yang mengikat hati-hati kita untuk terus mencintai rumah ini dan segala penghuninya.

Kebersamaan dengan Rasa yang Berlainan
Jika FLP adalah bagian dari semesta, maka tak apa jika kusebut Planet Biru. Di dalamnya ada bidadari-bidadari anggun dan peri-peri lucu, imut dan manis. Juga prajurit-prajurit tangguh yang senantiasa menjaga keeksisan planet ini. Betapa bahagianya ketika satu kegiatan telah selesai. Tak ada yang tahu sedalam apa perasaan itu. Ketika harus berkorban untuk tercapainya usaha-usaha kita untuk menebar manfaat. Kau akan terkagum-kagum kepada para bidadari dan prajurit-prajuritnya dengan segenap upaya menyelamatkan planet ini dari kehancuran. Ada perasaan yang teraduk-aduk. Tawa, canda, marah, jengkel bahkan air mata pun harus rela menetes dari naungan paling beningnya untuk sebuah perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh pemiliknya.
Ketika pengorbanan hampir tak sejalan dengan hasil. Kita sudah tahu, FLP tidak pernah menjanjikan apa-apa. FLP tidak begitu saja memberimu kesejahteraan. FLP tidak lantas membuatmu menjadi penulis terkenal. Tapi, kau harus mengerti arti pengorbanan. Dalam sebuah rumus, semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak kita menerima. Begitulah yang harus kita mengerti di planet ini. Salah seorang senior pernah berkata, jika kalian merasa tidak fokus menulis, tapi jangan tinggalkan FLP. Ya, begitulah, apapun peran kita, keberadaan kita tetap menjadi pendukung agar planet ini tetap berjalan pada orbitnya. Maka jangan sia-siakan keberadaan kita.
Di tempat ini pulalah kita mengenal segala macam campuran perasaan. Aku, kamu, kalian, mereka hadir dengan karakter dan warna masing-masing. Inilah tempat untuk merasakan keindahan itu. Tak ada yang maju, menyikut, atau melambung. Karena kita selalu hadir dengan sebungkus rasa pengertian untuk mempersilahkan kemungkinan-kemungkinan agar semua suara terakomodasi. Dari anak SD hingga tunanetra, melengkapi kesempurnaan warna dalam lengkungan pelangi seperti senyum-senyum para penghuni planet ini.
Setelah bertemu FLP, satu-persatu harapan terjawab. Sudah kukatakan, bahwa ini adalah tabir pembuka masa depan. Aku semakin menekuni sastra dan kepenulisan yang tak begitu kudapatkan di bangku perkuliahan. FLP pula yang membuatku berkenalan dengan para birokrat kampus dan orang-orang hebat lainnya. Memasukkan proposal bantuan dana, membawa surat, meminjam tempat untuk kegiatan-kegiatan FLP. Hingga mengantarkanku untuk berkenalan dengan Wakil Rektor III, pembina FLP Ranting Unhas yang tetap setia memperhatikan keluarga kecil kami.
Dalam sebuah perbincangan  dengan Kak  Rahmawati Latief (Ketua FLP Sul-Sel I) aku terinspirasi. Beliau mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena mengekspos FLP dalam wawancaranya. Mencoba mengikuti jejaknya, mengekspos kegiatan-kegiatan sosialku di FLP dalam sebuah esai Bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan beasiswa belajar tersebut. Juga menyertakan buku kami di FLP Unhas yang sempat terbit. Dan, Allah menjatuhkan takdir. Tibalah aku menginjakkan kaki di benua lain. Di sebuah negeri impian orang-orang. Padahal nyata-nyata kerusakan yang telah diperbuatnya.

Ada yang Datang dan Pergi
Pergantian waktu terasa begitu misterius. Mungkin tak ada yang menyangka, bahwa FLP telah menemaniku menemukan kekuatan sedahsyat ini. Atau sesederhana orang lain yang menganggap pertemuannya dengan FLP tak lebih hanyalah sebuah proses biasa dalam hidup. Tapi, bagiku FLP tidak sekadar proses itu atau tempat untuk merasakan kegembiraan dan pesta-pesta kecil yang ditemani musik syahdu di bawah kerlip bintang. Bersama, di FLP kita merasakan sebuah gangguan bagi sederet rutinitas. Dan ini adalah perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh pemiliknya masing-masing. Semuanya berjalan begitu saja seperti air yang mencari muaranya, tak bisa dikendalikan oleh siapapun kecuali Sang Pemilik Waktu.
Suatu hari, ketika ada yang pergi, pasti ada yang datang. Begitulah hidup mengajarkan kita sebuah siklus kehidupan dan regenerasi. Menikmati esensi pergantian waktu. Bagaimana kehidupan kita di FLP selanjutnya? Akankah sama atau tidak? Di sini ketika kutuliskan sebuah hadiah ulang tahun untuk FLP. Inilah persembahan kata yang kupunya. Hanya ungkapan perasaan yang sedikit beraroma sastra jauh dari kesan ilmiah. Hanya ingin mencermati ritmis waktu di masa depan. Bahwa tidak selamanya kita bertahan di sini. Tapi, aku yakin, hati kita tetap terpaut di tempat ini. Kenangan bermula di sini. Dan tak semudah itu menghapusnya. Tidak seperti hujan sehari yang tiba-tiba datang menghapus kemarau bertahun-tahun. Suatu hari ketika kita meninggalkan FLP, selalu ada saat untuk kembali. Karena FLP akan tetap menanti uluran tangan kita dan membuka pintu seluas-luasnya. Satu yang kalian harus tahu, status keanggotaan FLP adalah seumur hidup. Maka selalu ada jalan pulang jika kau tersesat.

Selamat Milad FLP Tercinta. Inilah bingkisan sederhana untuk membuktikan rasa cintaku. Dalam sebuah barisan huruf-huruf dengan satu paket perasaan mewakilinya.

*Pengurus FLP Cabang Makassar

DINAMIT

Akhir-akhir ini banyak yang perlu dikritisi. Sepertinya hidupku tidak akan lepas dari yang namanya persoalan kritik mengkritik. Entahlah, mungkin aku yang terlalu sensitif atau keadaan yang merangsangku untuk semakin berpikir kritis. Sampai-sampai aku lupa bahwa kita perlu menyediakan waktu untuk tidak bicara mengenai wacana perubahan. Sekarang, aku harus menikmati setiap detik-detik yang luruh bersama dosa-dosa yang tak sengaja kurancang sendiri. Malam ini, mencoba meminggirkan segala sesuatu yang mengusutkan urat saraf. Ingin merasakan kedamaian jiwa. Pikiran-pikiran semesta yang terkadang membuat penglihatanku mampu menembus tembok ingin kurehatkan sejenak. Ah, ingin sekali rasanya berdiskusi dalam suasana paling romantis bersama Rasulullah. Dan menanyakan setiap titik kegalauan yang kadang merasuki hati dan pikiran. Aku hanya manusia akhir zaman yang masih penuh tanda tanya.
“Assalamu alaikum, Cin. Besok jadi kan?” Cin. Singkatan dari cinta. Aku suka memanggil sahabat-sahabatku dengan sapaan cinta. Atau kata Say, singkatan sayang. Entahlah, kesannya semakin akrab dan memunculkan relasi yang hanya bisa kami jelaskan sendiri.
“Insya Allah jadi. Lelah perlu dibuang.” Suara Zidniy di seberang telepon genggam.
“Baiknya kemana ya?”
“Toko buku saja. Wisata hati dan otak.”
“Hmm, jangan! Aku yakin, berhadapan dengan buku tidak akan membuat hati dan otak kita berwisata. Kau lupa, buku akan mengundang kekompleksan-kekompleksan berpikir kita. Dan akhirnya menjalar pada ruang-ruang yang saat ini ingin kita hindari sejenak.”
“Ok. Aku paham. Tapi, tidak mungkin kan kita karoke-an?”
“Ya, nggaklah. Karoke-an masuk dalam daftar menu penghambatan kebangkitan. Karoke-an masuk dalam daftar hal-hal yang sudah tidak zaman untuk dipupuk. Masuk dalam daftar hal-hal yang perlu ditinggalkan.”
“Mmm, aku punya ide. Bagaimana kalau kita memasak.”
“Ngapain?”
“Hei, cantik! memasak itu masuk dalam daftar hal-hal yang perlu dipupuk. Kau lupa? Suatu saat kau akan jadi istri. Memasak adalah keahlian yang wajib dimiliki oleh seorang istri.”
“Saya masih percaya istilah ‘learning by doing’. Memasak bukan keahlian, cuma masalah kebiasaan.”
“Bukan itu masalahnya, Say! Tapi, ini konsekuensi logis menjadi seorang perempuan.”
“Lain kali aja, deh! Besok hari yang paling indah menunggu matahari terbit dan menyaksikan matahari terbenam. Kita ke pantai.”
“Ya, semoga saja esok hujan tidak turun. Pekat akan menyembunyikan matahari.”
“Kalau hujan, kita main hujan saja. Mari merasakan tetesan air yang dihantar malaikat.”
“Nggak kapok, Nay?”
“Asal hujannya deras. Insya Allah tidak terjadi.”
***
Pagi berkolaborasi dengan gerimis adalah perpaduan yang hebat untuk melumpuhkan sendi-sendi gerak. Usai sholat subuh, tidur menjadi pilihan terbaik ditemani nyanyian gerimis. Ah, syahdunya!
“Huaahhhh” kulirik jam di handphone-ku. Pukul 07.30. 10 panggilan tak terjawab.
“Astagfirullah, Zidniy!”
Kutulis sms.
“Assalamu Alaikum, Zidniy udah ngapain?”
“Aku ada di depan kamarmu nih, kamu ngapaian aja sih?” balasnya.
“Maaf, Cinta! aku ketiduran. Tunggu ya!”
Zidniy masuk.
“Kalau sekarang mau ke pantai, udah telat, Cin! Mataharinya udah terbit.”
“So, kita ngapain dong?”
“Mandi aja dulu, Nay!” Ucap Zidniy dengan wajahnya yang sedikit kusut.
“Ok. Ok, Sayang! Maaf ya?”
***
            “Jadi, kita mau jalan kemana nih?”
“Ke toko buku aja yuk, Nay!”
“Toko buku bukan tempat yang asyik untuk bermanja dengan kehidupan.”
“Tolonglah, Nay. Aku pengen beli buku yang sudah lama kuincar.”
“Buku apa? The Alchemist?”
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Aku pernah buka list buku yang ingin kau beli. The Alchemist berada di urutan pertama.”
“Ke toko buku ya?”
“Ok. Ok. Anggap saja ini permintaan maaf dariku karena membuatmu menunggu. Tapi, habis dari toko buku kita ke pantai lihat sunset ya?”
“Beres.”
***
Di toko buku.
Aku lebih memilih membaca di tempat yang telah disediakan, sambil menunggu Zidniy. Kalau sudah lihat buku, Zidniy pasti lupa waktu.
Tapi biarlah aku menunggunya. Ini tidak seberapa dibanding kelakuanku yang selalu membuatnya menunggu. Aku selalu merasa bersalah pada Zidniy. Tapi, dia selalu seperti gerimis yang tiba-tiba jatuh tak terduga di tengah terik.
“Hey, Nona! Kok ngelamun sih?”
“Eh, Zidniy, udah dapat bukunya?”.
“Ngelamunin apa hayo?”
“Nggak. Coba dengar kata-kata ini. Barusan aku baca. Aku bukanlah seorang manusia, melainkan sebuah dinamit. Membuat orang gelisah itulah tugasku.”
“Hmm, mulai lagi dengan keanehanmu.”
“Kata-katanya keren, Zidniy. Tapi, aku bingung apa maksudnya. Aku hanya penasaran apa yang ada di kepala Nietzsche saat menuliskan kata-kata ini.”
“Kupikir filsuf seperti dia hanya gelisah karena ada ruang kosong di hati dan pikirannya yang tak bisa dia pecahkan.”
“Seperti apa?”
“Kekosongan spiritual. Filsuf itu terlalu mengandalkan logika. Mereka terlalu beromantisme dengan akal mereka. Mereka tidak punya standar berpikir yang mengantarkan kepada kedamaian jiwa. Beda dengan seorang muslim. Kita punya Al Qur’an dan As sunnah. Cukup mengikuti Mahakarya itu, insya Allah selamat dunia akhirat.”
“Apa maksudnya coba, ‘membuat orang gelisah adalah tugasku’ aneh kan?”
“Ah, sudahlah. Anggap saja Nietzsche tidak ingin gelisah sendiri. Dia ingin membagi gelisahnya kepada orang lain. Buktinya sekarang banyak pengagumnya kan? Mereka mungkin sama gelisahnya dengan Nietzsche.”
“Oh, tidak!” tiba-tiba teringat seseorang.
“Kenapa, Neng?”
“Aldi.”
“Kenapa Aldi?”
“Aku punya janji mau ngasih proposal acara bedah buku siang ini di kampus.”
“Nggak saya. Nggak Aldi. Sudah berapa kali kau buat Aldi menunggu.”
“Pasti dari tadi dia menghubungi. Hapeku low batt masalahnya.”
“Ckckck, kamu dinamit, Nay.”
“Maksudnya?”
“Kata-kata Nietzsche barusan yang membuatmu jatuh hati.”
“Ah, aku kan lupa. Aku merasa bersalah pada Aldi. Ini sudah kali ke berapa ya?”
“Seharusnya kau belajar dari sejarah. Ingat baik-baik ‘JASMERAH’ Soekarno!” Sindir Zidniy sambil senyum-senyum melihat kepanikanku.
“Ya Allah, maafkan Nay yang selalu lalai.”
“Minta maaf juga sama Aldi, Nay! Dia pasti gelisah dari tadi menunggumu dan tak bisa menghubungi dinamit sepertimu.” Ucap Zidniy, seperti ada tawa yang ingin pecah.
“Ya...ya…ya.” Sambil mendesah. Merasa bersalah.



Langkah Sukses Bahagia



#Step 1: Tentukan target
Langkah awal selalu dimulai dengan niat. Tanyakan kepada hati, apa sebenarnya niat kita. Buatlah agar niat selalu terporos karena Allah semata. Selanjutnya buatlah rencana-rencana yang ingin kau wujudkan dalam hidupmu. Kalau perlu dituliskan. Katanya, harapan yang dituliskan akan mengendap di ruang dan waktu di semesta ini. Semesta akan membantumu untuk mewujudkan harapan-harapanmu dengan gerakan-gerakan ajaibnya (hehe… gak logis). Buatlah target yang spesifik dan realistis sembari  menyandarkannya kepada Allah. Karena seringkali jika tidak bersandar kepada Allah, selalu timbul kekecewaan jika harapan itu tidak terwujud.

#Step 2: Eksekusi
Mulailah melaksanakan rencana-rencana Anda dengan semangat. Awali hari dengan senyum, salam, sapa. Langkah ini akan mengajarkan untuk menghadirkan sebab-sebab untuk akibat-akibat yang kita inginkan di masa depan. Ketika kau melangkahkan kaki menginjak tubuh bumi di luar rumahmu. Saat itu matahari akan menyambutmu dengan teriknya. Jika hari itu hujan, berarti hujan akan menyambutmu dengan dinginnya. Jadi siap-siap saja dengan kejutan-kejutan tak terduga hari itu. Eits, jangan lupa jika keluar rumah baca do’a keluar rumah. Dengan membaca do’a tersebut berarti Anda telah menyerahkan segalanya kepada Sang Pemilik Kehendak. Yup, intinya tawakkal telah Anda lakukan sejak awal. Jika rencana terwujud, Alhamdulillah, ada rasa syukur menyambut.

#Step 3: Permanis dengan do’a
Usaha-usaha yang kita lakukan akan terasa lebih manis dengan do’a. Do’a itu seperti gula. Teh, kopi, atau susu, rasanya kurang nikmat tanpa gula. Begitu pula usaha, tidak terasa manis tanpa do’a. Do’a juga seperti lotion. Akan mempermulus perjuangan Anda. Sempatkanlah mengadukan usaha-usahamu di waktu-waktu mustajab. Saat itu tirai yang menghubungkanmu dengan Sang Pencipta sangatlah tipis. Jadi kemungkinannya besar untuk terkabulkan.

#Step 4: Hadirkan rasa ikhlas
Ikhlas adalah obat kekecewaan. Jika rencana-rencana Anda tidak terwujud, selimuti diri Anda dengan keikhlasan. Insya Allah diri akan tetap tegar untuk menyambut rencana baru. Ikhlas juga menjauhkan kita dari kecemasan.

***
Yupz, kesabaran juga termasuk kunci kesuksesan. Ini akan mengajarkan Anda makna perjuangan. Maknanya mungkin lebih indah, yakni kesabaran seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Melaksanakan perintahNya dan berupaya untuk menjauhi laranganNya.

#Jangan lupa,,, kebahagiaan itu adalah saat langkah –langkah Anda selaras dengan ridha Allah… :)
Diberdayakan oleh Blogger.