Kado Cinta Untukku

Inilah air mata pertamaku kala aku mengingat kejadian itu. Awalnya aku tidak pernah menangis ketika mengingat masa itu. Entah kenapa malam ini berbeda. Aku menangis sejadi-jadinya ketika mendengar lantunan lagu religi yang sengaja kuputar di komputerku. Akhir-akhir ini memang aneh. Aku merasakan perubahan dalam diriku. Tiba-tiba saja, aku jadi sangat suka lagu religi. Padahal dulu sangat membosankan. Dulu, aku lebih suka mengoleksi lagu-lagu barat milik orang kafir.
Aku menangisi dosa-dosaku. Dosa-dosaku padah Tuhanku. Tuhan yang sangat menyayangiku. Dosa-dosaku pada ibuku. Ibu yang sangat mencintaiku. Yang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Yang selalu mendukungku. Yang tidak memarahiku meski aku sering menyakitinya.
Ayahku telah tiada. Itu artinya aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbakti langsung kepadanya. Padahal surga itu ada di telapak kaki kedua orang tua apalagi seorang ibu. Kalau sekiranya surga itu bisa digenggam, maka birrulwalidain-lah yang dapat menjawabnya. Tapi aku tidak pernah menyadarinya. Nasehat berbakti kepada orang tua bukanlah hal asing bagiku. Dari SD setiap pelajaran agama pasti kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua. SMP hingga SMA nasehat itu masih tetap terngiang di telingaku. Tapi masuk di telinga kiri, keluar di telinga kanan. Aku tidak bisa menangkap esensi sesungguhnya.
Dan aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tinggal satu. Yaitu ibuku. Kalau bisa, aku ingin terus hidup bersama ibuku. Jikalaupun aku sudah memiliki suami, aku tetap ingin ibuku selalu berada di sisiku, di sampingku, membelai rambutku dengan sentuhan kasih sayangnya. Aku ingin selalu mendekapnya, memeluknya ketika tidur.
“Apakah Ibu bahagia?” pertanyaan yang sering kulontarkan pada ibuku.
“Bukankah kau sudah sering menanyakan itu. Ibu ini sangat bahagia. Sangat bahagia karena memiliki anak sepertimu.” Ibu memang selalu menyenangkanku. Belum pernah kutemukan orang yang suka menyenangkan orang lain seperti ibuku.
“Ibu, apakah ibu tidak merasa lelah?” keriput kulitnya sangat mengisyaratkan kalau dia lelah menjalani kehidupan. Bagaimana iya mengurusi anak-anaknya. Juga mengurusiku. Belum lagi permintaan tolong keluarga, tetangga, ataupun orang terdekat ibu. Ibu tidak pernah menolak jika ada yang minta tolong. Selama ibu mampu dan selama permintaan tolong itu baik. Tapi aku malah sering menegurnya. Kataku, ibu ini terlalu gila urusan. Kakakku juga protes. Semua diurusi sama ibu. Sampai-samapai masalah keluarga orang lain juga diurusinya. Sehingga yang jadi korban adalah kita. Tidak makan kalau ibu tidak memasak.
“Ibu tidak pernah merasa lelah. Bagi Ibu, hidup itu memang penuh kelelahan. Tapi kalau kita menganggap hidup itu indah. Maka semuanya akan terasa indah. Tak ada kepenatan sama sekali. Kuncinya ikhlas dan sabar.” Berulang kali nasihat itu didengungkan di telingaku. Ikhlas dan sabar adalah resep hidup Ibuku. Dia tidak pernah mengeluh. Dia selalau sabar. Pasrah. Tawakkal jikalau semua sudah dilakukan dengan ikhtiar.
“Kenapa aku merasa Ibu tak bahagia. Apa karena aku melihat guratan wajah yang semakin menua diwajah Ibu. Apakah Ibu tidak menyesal memiliki anak seperti kami. Maaf Ibu, kami belum bisa memberi apa-apa pada ibu. Kami belum bisa menghajikan ibu. Belum bisa membahagiakan Ibu.”
“Berulang kali Ibu bilang. Bahagiaku tidak bisa diukur dari materi. Cukuplah aku yang tahu bahagiaku. Dan saat ini Ibu benar-benar bahagia. Jangan kau tanyakan lagi hal bodoh itu, Nak!”
“Tapi Ibu, aku masih merasa bersalah. Aku belum bisa memberikan pakaian bagus untuk ibu. Perhiasan yang mewah. Dan naik haji yang merupakan impian semua anak kepada orang tuanya.”
“Sudahlah, Nak! Apa kau tidak lelah? Seharian kau kerja keras. Hingga selarut ini, kau masih mau menemani Ibu ngobrol. Bukankah ini suatu kebahagiaan yang diinginkan setiap orang tua? Aku cukup bahagia dengan kau di sisi Ibu. Para Ibu lain tidak merasakan kebahagiaan yang Ibu rasakan. Lantaran anak mereka punya kasih hanya sepanjang kepentingan. Menelantarkan Ibu mereka ketika tidak dibutuhkan lagi.”
“Aku lelah. Tapi cuma sedikit. Lelah itu hilang ketika mendengar suara Ibu.” Ibu tersenyum mendengar aku memujinya. Bahagia sekali diriku melihat Ibuku tersenyum.
“Tidurlah, Nak! Bukankah pagi menanti kita untuk menyapanya?”
“Aku ingin tidur di samping Ibu. Memeluk Ibu. Ibu membelai rambutku. Hingga aku terlelap dalam belaian Ibu. Bolehkan Bu?”
“Ibu teringat masa kecilmu dulu. Kau selalu tidur di samping Ibu. Bahkan mengigau sampai ngompol. Ibu akan selalu ada saat kau butuh. Akan terus ada jika kau meminta Ibu untuk menyanyikan lagu ninabobo untukmu dan mendekapmu saat tidur.”
Malam berikutnya, sebelum tidur, aku tetap mengajak ibuku mengobrol. Tidak lupa pertanyaan yang sering kutanyakan. Aku juga menanyakan bagaimana ibu bertemu dengan ayah. Bagaimana dia meninggalkan orang tuanya karena mengikuti suaminya. Sedihkah Ibu atau bahagiakah?
“Ibu, bagaimana caranya aku bisa berbakti kepada Ayah? Saat ayah meninggal umurku masih 10 tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku juga ingin berbakti pada ayahku, Bu!” mata ibuku tiba-tiba memerah. Mungkin aku mengingatkannya pada pria yang sangat dicintainya. Ditambah dia melihat anaknya sangat mendambakan kasih sayang seorang ayah.
“Ayahmu itu sangat sayang kepadamu. Bahkan mungkin melebihi sayangnya terhadap kakak-kakakmu. Dia sering membelikanmu mainan dan pakaian bagus. Mengajakmu jalan-jalan bersama Ibu. Ingat tidak, kalau sandalmu itu sering terjatuh di jalan waktu Ibu dan Ayah membawamu naik motor. Hampir sebulan sekali kamu sering dibelikan sandal baru. Kau cepat sekali tertidur kalau sudah di atas motor.” Kata-kata yang barusan ibu ucapkan memang tidak pernah kulupakan. Aku selalu ingat tentang sandalku yang sering terjatuh di jalan. Karena itulah kenangan yang tak terlupakan antara aku, ibu, dan ayahku. Bahkan mereka rela kembali lagi memungut sandalku yang jatuh itu, meskipun sudah jauh. Ayahku memberhentikan motornya, dan Ibuku yang turun memungutnya. Itu pertanda kalau mereka sangat menyayangiku.
“Ibu cuma berpesan jangan pernah kau melupakan ayahmu. Meskipun dia sudah tiada. Tapi hidupkanlah dia di hatimu. Doakan ayahmu. Mudah-mudahan dia tenang di alam sana. Kuburannya lapang, disinari cahaya, dan amalnya diterima.”
“Pasti Bu, itu pasti. Mungkin itulah bentuk baktiku kepadanya. Ayah tidak pernah mati bagiku, karena ayah selalu hidup di hatiku. Begitu pula sayangku kepada Ibu, tidak akan pernah sirna”
***
Akhirnya aku menikah. Ibuku tiada henti menahan isak tangisnya. Saat ustadz membacakan nasihat perkawinan. Saat ucapan “sah” keluar dari bibir penghulu. Matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata. Saat ijab qabul itu, aku pun ikut menangis. Aku tertuduk dan terisak. Aku melihat ibu menangis tersedu-sedu. Kini aku bukan milik orang tuaku lagi. Aku telah menjadi milik seorang pria. Seorang istri yang telah menjadi milik suaminya. Seorang istri yang harus mematuhi perintah suaminya. Mengabdikan seluruh hidup pada suami dan keluarga untuk mencari ridho Allah.
Malam itu, malam setelah pernikahan kami. Acara resepsi telah selesai. Sebelumnya, aku sudah meminta satu hal pada suamiku. Aku ingin melewati malam ini dengan Ibuku. Malam yang seharusnya adalah malam pertama suamiku boleh menyentuhku. Tapi aku memilih ibuku. Karena toh, akhirnya aku akan melewati hari-hariku dengannya. Awalnya suamiku agak sedikit keberatan. Tapi aku memohon. Akhirnya dia setuju. Meski aku tahu dia kecewa dan sakit hati. Karena mendapatkan malam pertama yang berbeda dari pasangan suami istri lainnya. Aku juga tidak tega melihatnya. Tapi aku tahu dia pria yang sabar dan pengertian. Di sisi lain, aku beruntung menjadi istrinya. Tapi, di sisi lain ada Ibuku. Aku tidak rela berpisah dengannya.
Hari-hari yang kulalui telah berbeda. Saat ini aku tidak tinggal bersama ibuku. Aku menuruti perintah suamiku untuk tinggal di rumahnya sementara, bersama mertua. Sampai kita punya rumah sendiri. Awalnya aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan ibuku seorang diri.
Sebelum menikah, sebenarnya hanya akulah yang dipunyai ibuku. Aku anak bungsu. Semua kakakku sudah menikah. Jadi tinggal aku yang menemani ibu di rumah. Rumah yang dulunya ramai. Tapi satu persatu anggota keluarga pergi mengikuti suami masing-masing. Sempat ada kakakku yang menolak tinggal dengan suaminya di rumah mertua. Karena kakakku juga masih ingin tinggal bersama ibu. Biar suaminya saja yang tinggal di rumah kami. Tapi ibu membiarkan. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan. Lebih baik ibu mengalah dan membiarkan anaknya pergi.
Berkali-kali kutanyakan pada suamiku. Kenapa tidak tinggal di rumahku saja. Rumahku masih cukup luas untuk menampung kita. Alasannya, tetap sama. Rumahku terlalu jauh dari tempat kerjanya. Aku kasihan pada ibuku. Siapa yang kini dia ajak bicara. Tiada lagi orang yang bisa diajak ngobrol. Hanya ada sepupuku, itu pun dia memiliki keterbelakangan mental. Aku tidak tega. Di sini, aku melayani Ibu suamiku. Sementara ibuku, siapa yang melayaninya.
Aku rindu saat-saat dimana aku berbicang-bincang bersama ibuku. Obrolan pengantar tidur kami. Rindu akan sentuhan tangannya membelai rambutku. Sudah 2 bulan berlalu. Aku belum pernah mengunjungi ibuku. Bagaimana keadaannya sekarang? Bagaimana raut wajahnya? Tambah keriputkah? bertambahkah rambut putih di kepalanya. Aku harap Ibu masih seperti terakhir aku meninggalkannya. Masih kelihatan segar. Kini, aku hanya bisa mendengar suara ibu lewat telepon.
Terakhir aku melihatnya, saat malam pesta pernikahan itu. Berkali-kali aku meminta suamiku untuk mengunjungi ibuku. Tapi dia belum bisa. Katanya, pekerjaannya menumpuk. Tapi aku tetap bersyukur untuk yang satu ini. Aku tidak perlu bekerja lagi. Suamiku menyuruhku berhenti. Gajinya sudah sangat cukup untuk membiayai kehidupan kami, bahkan masih berlebih. Dia mapan. Pekerjaannya sangat bagus untuk ukuran keluargaku yang sangat pas-pasan. Tapi kenapa, aku merasa tidak bahagia?
Kata-kata penolakan masih sering terdengar di telingaku, “Iya, nanti saat pekerjaanku sudah selesai.” Atau kata-kata bernada yang sama saat aku memaksa untuk pergi sendiri, “Sabar dulu Ma! nggak baik istri pergi sendiri tanpa suami. Apalagi orang-orang tahunya kita baru menikah. Nanti terjadi fitnah.” Aku tahu semua itu, tapi sampai kapan aku harus menunda pertemuanku dengan ibuku. Aku sudah sangat merindukannya. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. Sudah hampir empat bulan berlalu. Tapi janji itu belum juga ditepati.
“Ma, aku ingin mengajak Mama pergi berduaan.” Kata-kata rayuan itu keluar dari mulut suamiku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Akhir-akhir ini aku memang ngambek. Itu karenanya. Mungkin itu salah satu caranya untuk mengembalikan senyumanku. Tapi itu tidak akan mampan. Aku tetap diam saja.
“Mama tahu ini hari apa?” Tanyanya lagi dengan nada merayu.
“Tidak tahu.” Jawabku singkat.
“Oh, saya kira Mama tahu. Tapi mau kan saya ajak jalan-jalan?”
“Terserah!” kataku dengan nada yang cuek.
Malam itu habis sholat isya, suamiku mengajakku keluar. Dalam keadaan yang tidak sadar, mobil terus melaju. Aku tidak kuat menahan kantukku. Seperti ada pemberat yang ditaruh di pelupuk mataku. Aku tidak tahu kemana suamiku membawaku pergi. Subuh dini hari, aku terbangun. Dengan suasana yang berbeda, tapi tidak asing bagiku. Ya. Ini adalah kamarku sebelum menikah. Ternyata suamiku telah membawaku ke rumahku. Ke rumah Ibu. Aku senang. Senang sekali. Sejumput senyum terurai dari bibirku mengingat perlakuanku semalam pada suamiku. Aku melihat Ibu sedang sholat di kamarku. Berarti semalam Ibu sudah tidur di sampingku. Aku menitikkan air mata. Betapa bahagianya aku. Ingin segera kupeluk ibuku. Kulihat tanggal hari ini. Ternyata hari adalah hari ulang tahunku. Tidak salah aku memilih pria seperti suamiku. Terima kasih suamiku. Terima kasih Ibu.

Senyum Sang Akhwat

Malam ini aku tidak bisa tidur. Bayang-bayang gadis berjilbab itu selalu menghantui pikiranku. Gadis yang kutemui di perpustakaan sebulan yang lalu. Dia tidak pernah lenyap dalam ingatanku. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, kami berpapasan di jalan. Padahal dia orang yang sama sekali tak kukenal. Tiap bertemu, gadis itu pasti tersenyum padaku. Seperti mengisyaratkan kalau dia sudah kenal aku sebelumnya.
Malam ini dan malam-malam sebelumnya sama saja. Selalu bayangan gadis itu yang hinggap di pikiranku. Kata orang, kalau kita sering berpapasan dengan orang yang tak dikenal, bisa jadi orang itu yang akan menjadi jodoh kita nantinya. Tapi mitos syirik itu kubuang jauh-jauh. Tidak ada yang lebih tahu rencana Allah kecuali Allah sendiri. Aku berusaha membuang bayangan gadis itu. Aku tidak mau hal-hal buruk terjadi padaku. Tetap tidak bisa. Hari-hari berikutnya dia selalu mengingatkanku kembali karena kehadirannya yang tak pernah alpa di mataku. Pertemuan di mana lagi aku akan melihat gadis itu? Itu saja yang selalu ada dalam pikiranku. Takdir apa ini? Kenapa dia tidak pernah menjauh dari hari-hariku. Mahasiswa fakultas apa dia? jurusan apa? dan angkatan berapa? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu saja tak mampu kujawab.
Aku memang tidak tahu siapa dia. Dan aku memang tidak pernah mau cari tahu. Aku sudah punya pacar. Tapi yang ada di pikiranku bukan pacarku. Melainkan dia. Tak pernah kuceritakan hal ini pada teman-temanku. Lantaran mereka dekat dengan pacarku. Di sisi lain aku takut kalau mereka menyampaikannya. Kuakui, aku masih sayang dengan pacarku. Teringat betapa susah payahnya aku mengejar dia. Masa’ untuk hal yang seperti ini aku malah melupakannya. Tapi, dasar aku tidak pandai menyimpan rahasia seorang diri. Akhirnya kuceritakan jua ke temanku. Laki-laki memang senang membicarakan wanita. Wanita apa saja. Dari yang suci, sok suci, sampai murahan, laki-laki sangat senang membicarakan makhluk yang satu ini.
“Bro, gue mau curhat nih” pernyataan yang kesannya agak melankolis baru saja keluar dari mulutku.
“Waduh, pagi-pagi gini mau curhat apa Pak?” sambut temanku jamal yang paling terlihat sering menyindir di antara lainnya.
“Mau cerita tentang Nina lagi. Perasaan kalian adem-adem aja deh?” ujar Rafly yang paling dewasa di antara kami. Itulah teman-temanku meski kami laki-laki, tapi juga saling perhatian layaknya wanita yang menjalin persahabatan.
“Bukan. Bukan tentang Nina. Nina sih baik-baik aja. Tapi wanita lain.”
“Hah.. wanita lain. Lo punya WIL. Lo jatuh cinta sama wanita lain.” Sambung si Jamal dengan nada keheranan.
“Apa-apan sih lo. WIL apaan lagi. Mank gue dah nikah.”
“Trus apa donk. Wanita lain itu cantik gak, seksi gak?” Gufron yang genit selalu saja tertarik jika membahas wanita cantik nan seksi.
“Cantik sih bukan masalah. Seksi, gak sama sekali.”
“Ih, lo naksir sama cewek gendut atau cewek kurus kerempeng?” tambah Gufron miris.
“Lo ini, pikirannya cewek seksi mulu…”
“Ya udah, tadi mau cerita apa. Lanjutin ceritamu tentang cewek itu. Siapa tahu kami bisa bantu” Rafly yang bijak pun menambahkan.
“Begini, akhir-akhir ini gue sering berpapasan dengan seorang cewek. Kira-kira pertemuan itu dimulai sebulan yang lalu. Setiap ingin tidur pasti terbayang wajah gadis itu. Gue nggak tahu. Gue jatuh cinta atau nggak. Tapi yang selalu dalam pikiran gue hanya gadis itu. Sementara pacarku malah gak pernah. Gue nggak tahu rencana apa yang ingin Tuhan berikan kepadaku. Tapi kenapa ada kebetulan yang seperti itu. Gue nggak tahu siapa gadis itu. Sama sekali nggak tahu. Dia jurusan dan angkatan berapa juga nggak tahu.”
“Trus apa yang bisa kami bantu?” Tanya Rafly. Teman yang selalu memberikan solusi.
“Gue tanya sekali lagi. Cewek itu cakep gak? Seksi gak?”
“Lo ini, gak ada pertanyaan lain apa selain cantik dan seksi. Tapi,cantik sih. Seksi gak sama sekali.”
“Cantik mah ogah kalau gak seksi” pikiran Gufron memang tidak pernah berubah.
“Gimana mau seksi, dia berjilbab!!!”
“Hah… berjilbab!!!!!” serentak teman-teman heran.
“Gak salah loh naksir cewek berjilbab.” Sindir Jamal.
“Berjilbab juga gak papa kali. Sekarang kan cewek berjilbab nan seksi juga banyak bertebaran di mana-mana.” Tambah Gufron yang pikirannya piktor mulu’.
“Itu sih, kalau dibilang bukan berjilbab. Tapi cuman nutup kepala doang. Gini-gini juga gue tahu, kayak gimana jilbab yang disyariatkan agama.” Sok tahu jamal mulai muncul.
“Dia Muslimah tulen. Jilbabnya bukan jilbab yang ngikutin tren. Memang yang disyariatkan agama. Jilbabnya besar. Bajunya longgar. Pokoknya jauh sekali deh dari kesan seksi yang ada di kepala si Gufron itu.”
“Berarti dia seorang akhwat donk.” Sontak Jamal.
“Akhwat apaan bro? Tanya Gufron yang begonnya minta ampun.
“Akhwat itu seorang perempuan yang bisa dibilang taat agama, dan kerudung mereka besar-besar, baju mereka pun besar dan longgar. Tipe-tipe cewek yang disukai Rafly.” Jamal pun nimbrung lagi dengan sok tahu-nya.
“Kurang tepat! Akhwat itu sebenarnya perempuan. Perempuan apa saja. Yang penting jangan perempuan jadi-jadian. Si Nina, Tari, Linda itu, semua juga akhwat. Cuma sekarang lebih dikhususkan bagi perempuan yang seperti Jamal bilang tadi. Kalau dalam bahasa Indonesia, terjadi penyempitan makna.” Rafly pun meluruskan kesalahpahaman itu.
“Lalu kalau cowok yang celananya tergantung itu namanya apa Bro? tentu ada sebutannnya juga kan? Ada juga kan pengkhususannya? Tentu beda dengan cowok-cowok kayak kita.”
“Yang itu namanya ikhwan.”
“Keren ya sebutannya! Ikhwan dan akhwat. Serasi B-G-T deh! Jadi kalau kamu suka sama akhwat harus jadi ikhwan dulu.”
“Ngaco lo, Guf! Lalu tadi lo minta bantuan apa, Lang?” Tanya Rafly.
“Bukan bantuan sih. Cuma sekedar mau tahu. Perasaanku ini bagaiman ya? Selama ini gue memang gak pernah tertarik dengan cewek seperti itu. Karena gue tahu diri. Gak pantas kan cowok kayak kita bersanding dengan mereka. Cewek baik-baik kan hanya untuk cowok baik-baik pula.”
“Nyadar lo…” sindir Jamal lagi.
“Menurut gue sih itu cuma perasaan sesaat karena lo sering bertemu. Sendainya tidak, ya mana mungkin. Gue kasih tahu ya, jangan pernah deh naksir sama cewek seperti itu. Masa muda lo gak bakalan fun.” Ucap si Gufron.
“Kalau gue sih. Mungkin cuma kagum doank karena penampilannya yang sopan. Nggak mungkin cinta. Gue tahu cowok macam lo ini. Ingat gak betapa setengah matinya dirimu waktu ngejar-ngejar si Nina yang notabene modis, gaul, dan cantik itu. Lo sampai-sampai rela ngorbanin apapun demi mendapatkan hatinya. Itu baru namanya cinta.” Betul juga apa yang dikatakan Jamal.
“Menurutku sih. Bisa kagum bisa juga cinta. Gak mungkin kan kamu pikirkan terus menerus kalau gak ada sesuatu yang kamu rasakan dalam hatimu. Pikiran itu gak datang dengan sendirinya. Sebenarnya dirimulah yang membawa bayang-bayang wanita itu ke dalam pikiranmu. Kalau kamu gak suka, mana mungkin kamu rela mengorbankan waktu tidurmu hanya untuk mengingatnya. Kalau kamu mengingatnya berarti memang perasaanmu mau mengingatnya. Simpati, kagum dan lain sebagainya bisa juga. Karena kamu belum mengorbankan apa-apa untuk menindaklanjutinya seperti waktu kamu kejar-kejar Nina.” Nasehat Rafly agak masuk akal.
“Hati-hati bung, Nina mau dikemanain. Ntar si Gufron nyosor loh. Apa lo mau si Nina yang disambar sama si gufron. Gufron gak kalah cakep lho dari kamu. Bisa-bisa Nina naksir juga.”
“Apa-apaan sih lo Mal, nggak mungkin kali gue rebut pacar sahabat sendri.”
“Uh.. jangan sok suci deh lo. Lo naksir juga kan sama si Nina, tapi sayang Nina cuma pilih Galang. Karena lo kalah saing ma Galang.”
“Kalian ini, ributin Nina mulu. Ambil aja kalau mau. Gue dah bosan dengan Nina”
“Apa bukan gara-gara gadis berjilbab misterius itu.” Tanya Jamal sekaligus menyindir.
“Sebenarnya dia kayak gimana sih kok lo bisa segitunya.” Gufron pun bertanya dengan nada penasaran.
“Masalahnya dia selalu tersenyum ketika berjumpa denganku. Mana bisa gue melupakan senyuman manisnya itu. Senyum yang langka lho. Cewek seperti itu gak sembarang ngasih senyuman.”
“Jadi penasaran, sama dia. Kalau ketemu, bilang-bilang ya!” pinta Gufron.
“Kalian sering ada kok, waktu dia lewat.”
“Yang mana Lang, siapa tahu gue pernah lihat.” Ujar Jamal.
“Dia sering lewat di koridor FISIP. Di ekonomi juga sering muncul. Ingat nggak waktu kita duduk-duduk di koridor depan kelas waktu itu dia juga lewat bareng temannya.”
“Yang mana ya. Kok gue gak tahu.” Gufron semakin penasaran.
“Gimana mau tahu, yang lo perhatikan cuma cewek yang dandanannya menor aja. Apalagi yang seksi-seksi, makanan lo banget,” Umpan si Jamal.
“Mungkin Rafly pernah lihat. Dia kan dari dulu suka ngelihat cewek-cewek berjilbab. Tipe ceweknya kan tipe cewek seperti itu. Gimana Raf ?” Sindir Gufron.
“Gak tahu juga sih. Cewek berjilbab kan banyak . Tapi mungkin saja gue pernah lihat. Who Knows?”
“Tapi anehnya, kenapa tiba-tiba perasaan gue ke Nina jadi biasa-biasa saja. Tahu kan kalau gue tu cinta banget sama dia. Sial, gadis itu membuat gue seperti ini.”
***
Pagi menjelang siang itu kami bercengkerama di kantin. Aku dan ketiga sahabatku yang lain masih mengobrol soal wanita. Apalagi mahasiswi-mahasiswi cantik yang sedang makan di kantin itu hampir semua kita gosipkan. Ada yang gayanya seleb wanna be gitu dech. Sepatunya berhak 5 cm. kayak mau ke kondangan aja. Make up-nya tebal banget, Rambutnya dkriting-lah, rebonding-lah, ekstension-lah pokoknya komplit deh. Cewek memang lebih rumit daripada cowok. Entah berapa uang yang mereka habiskan hanya untuk itu. Bergaya ala seleb. Cewek-cewek seperti itu yang selalu menjadi target obrolan kami apalagi Gufron sangat antusias. Kecuali Rafly yang gak bersemangat. Dia malah suka ngebahas cewek alim. Yang jelas-jelas kami anti sekali.
“Gimana Lang, dah pernah ketemu cewek itu lagi?” Tanya Jamal.
“Belum. Sudah 3 hari ini gue jarang ngelihat dia lagi.”
“Lo kecewa ya? Mank lo sangat menantikan bertemu dengannya lagi. Jangan-jangan lo naksir benar lagi.” Ucapan Gufron membuatku salah tingkah.
“Ah gak mungkin. Gue gak naksir. Dan gue gak mungkin naksir sama cewek kayak gitu. Lo sendiri kan yang bilang mencintai cewek seperti itu gak ada fun-nya. Betul gak, Raf?”
Rafly diam saja. Dia tidak ikut dengan percakapan kami. Dia memang tidak suka membahas cewek-cewek seperti itu. Menurutnya hanya akan membawa mudharat. Sebenarnya aku iri dengannya. Dia aktif di lembaga dakwah kampus. Meskipun masih jadi anggota biasa. Karena katanya dia masih dalam proses. Belum mampu merubah penampilannya layaknya ikhwan-ikhwan kampus.
Pergaulan Rafly lebih terjaga. Selain bersama kami, dia juga berteman dengan ikhwan-ikhwan kampus. Wanita yang dikenalnya pun adalah wanita baik-baik yang sangat menjaga kehormatan. Tapi tetap menjaga pergaulan. Karena tidak bisa berinteraksi secara langsung. Ketika bertemu dengan gadis berjilbab itu, ada keinginan dalam diriku untuk lebih mengenal wanita seperti mereka. Seperti apa mereka menghabiskan hari-harinya. Seperti apa mereka menjalani pergaulan terutama dengan lawan jenis. Sungguh teduh rasanya melihat wajah bersih yang terpancar cahaya dari dalam hati.
Aku bosan dengan hidupku yang hanya memikirkan kesenangan, pacaran, hunting-hunting cewek-cewek high class. Aku sudah bosan. Tiada gunanya. Rasa penasaranku terhadap gadis-gadis berjilbab membuatku ingin mengenalnya. Gadis berjilbab yang sering menghantui mimpi-mimpiku itu ialah awal dari ketertarikanku mengenal dunia mereka. Juga mengenal agamaku sendiri yang sering kulalaikan.
“Lagi ngeliatin siapa, Raf?” sapaku pada Rafly yang dari tadi diam saja.
“Ah, gak kok. Gak ada apa-apa” terlihat jelas kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dia berbohong.
“Tadi lo tertegun gitu. Lagi ngelihatin apa sih?” tanyaku lagi yang penasaran. Rafly memang agak sedikit pendiam di antara kami. Dia lebih dewasa, pintar, juga baik. Tapi heran dia mau saja bergaul dengan anak-anak kocak seperti kami. Dia memang paling ganteng di antara kami. Tapi aku gak kalah ganteng juga sih. Kalau kami berjalan berempat, pasti dia yang jadi sasaran pandangan cewek-cewek modis. Tapi dia cuek aja. Karena dia memang gak suka tipe cewek macam itu. Cara berpakaiannya pun lebih sopan diantara kami. Baju andalannya kemeja. Tidak seperti kami yang selalu update dengan busana cowok yang lagi tren. Ditambah kacamatanya ala Afgan yang semakin membuat dia kelihatan berwibawa dan cool. Cewek mana coba yang gak tertarik sama dia. Di antara kami bertiga, cuma dia yang jomblo. Katanya, dia belum mendapatkan yang cocok. Tapi entahlah gadis berjilbab yang mana yang sedang dia tunggu. Lagian gadis jilbaber itu kan anti pacaran. Gak mungkin mau menjalin hubungan yang tidak halal.

***
Sudah seminggu aku tidak pernah bertemu dengan gadis berjilbab itu. Tapi bayang-bayangnya tidak pernah hilang dalam pikiranku. Ingin sekali aku berkenalan dengan gadis itu. Walaupun hanya dengan tahu namanya. Tapi rasa takutku lebih tinggi, nanti dia enggan. Rasa penasaranku terhadap gadis itu begitu kuat. Akhirnya kuputuskan kalau bertemu dengan gadis itu, aku akan menyapanya. Keesokan harinya, aku mencoba ke perpustakaan. Aku tahu ini adalah tempat yang sering dia kunjungi. Tapi hasilnya nihil. Aku tak menemukannya. Lalu aku mencoba melewati tempat-tempat yang sering dia lewati. Siap tahu dia ada di situ. Tetap saja nihil.
Tak lama kemudian, aku melihat gadis itu berjalan tidak jauh dariku. Dia bertemu sapa dengan seorang kawan lainnya. Juga gadis berjilbab sama sepertinya. Mereka bersalaman dan cipika-cipiki. Aku sering menemukan gadis-gadis berjilbab sepertinya melakukan itu jika bertemu dan bertegur sapa. Kebiasaan apa itu? Kenapa mesti cipika-cipiki? Lalu, kenapa cuma orang seperti mereka yang cipika-cipiki. Sungguh indah rasanya melihat pemandangan tersebut. Keramahan, rasa saling menyayangi yang terpancar dari kebiasaan itu. Akhirnya mereka berpisah. Gadis itu semakin dekat ke arahku. Dari tadi aku sudah memperhatikannya, tapi gadis itu mungkin belum menyadari keberadaanku. Akhirnya kami pun semakin mendekat. Gadis itu membalas tatapanku. Kami pun bertemu pandang. Tapi hanya sekejap. Dia lalu menunduk kembali.
“Assalamu alaikum,” sapaku, kupikir kalimat itu bakalan manjur untuk memulai percakapan dengan gadis sepertinya.
“Waalaikum salam.” Jawabnya. Terlihat jelas kalau dia tidak nyaman dengan caraku mendekatinya. Dia menunduk saja. Dan diam di tempat. Tidak berani melangkah. Mungkin caraku salah. Aku mundur beberapa langkah, supaya dia lebih leluasa.
“Maaf, apa kita pernah bertemu?” Sebuah pertanyaan sopan dan terkesan spekulasi keluar dari bibirku. Aku sangat grogi menyapanya seperti ini. Image betul-betul dijaga. Aku merasa bukan diriku. Tidak bertingkah apa adanya.
“Ya, aku tahu. Aku sering bertemu denganmu secara tidak sengaja.” Ucapnya.
“Oh, iya. Aku kira kau tidak mengingatnya lagi. Apa kau mengenalku sebelumnya?”
“Hanya kenal wajah.”
“Tapi, kenapa kau sering tersenyum padaku ketika berpapasan. Menurutku itu aneh. Tambah aneh jika dlihat yang melakukannya seorang gadis seperti kamu”
“Aneh kenapa? Itu bukan apa-apa. Kamu hanya terlihat mirip dengan Almarhum ayahku. Waktu masih muda dulu, wajah ayahku mirip dengan wajahmu. Ketika bertemu denganmu, aku jadi senang. Itu artinya aku bisa mengenang kembali wajah ayahku yang sudah lama tidak kulihat. Kau mengingatkanku pada dia.”
“Assalamu alaikum Aulia, gimana bakti sosial itu?” suara Rafly terdengar menghampiri kita berdua. Aku Heran. Rafly ternyata lebih dulu kenal dengan Dia. Ternyata namanya Aulia. Mungkin cewek ini yang Rafly lihat dulu di kantin. Mungkin sesama anggota Lembaga Dakwah Kampus.
Dari tatapan Rafly aku bisa tahu kalau dia naksir. Aku tidak jadi memperkenalkan diriku. Akhirnya keinginanku selama ini sudah terlaksanakan. Yang penting aku sudah bisa mengobrol dengannya walaupun hanya sebentar. Aku memilih mundur. Kubiarkan mereka menyelesaikan urusannya. Aku malah bersyukur, dia menganggapku penting. Mungkin lebih penting dari Rafly. Aku senang, aku bisa memberi kebahagiaan untuknya, walaupun sedikit. Gadis itu aneh, tapi yang pertama kali membuatku jatuh cinta dengan rasa dan cara yang berbeda. Entah sampai kapan pertemuan itu akan terus berlanjut dan berhenti sampai di mana. Aku harap aku masih bisa melihatnya. Walaupun dari kejauhan.
Diberdayakan oleh Blogger.