Bercita-citalah!

Katanya, orang-orang yang terlahir dengan penderitaan akan lebih "tough" menjalani kehidupan. Kita harus terbiasa dengan segala keterbatasan, agar tidak mudah mengeluh ketika menghadapi tantangan. Kita harus terbiasa dengan kekurangan agar memahami betapa berharganya rasa cukup dan betapa luar biasanya rasa lebih. 
 
Kita harus terbiasa dengan lelahnya belajar, lelahnya berusaha, pedihnya berjuang dan pahitnya kegagalan. Agar kita bisa bangkit dengan usaha yang dua kali lebih baik, dengan usaha yang lebih sungguh-sungguh. Kegagalan hidup akan menantang kita untuk mencari cara dan strategi yang lebih efektif untuk tidak gagal kedua kalinya. Itulah mengapa hidup ini harus punya cita-cita, harus memegang ambisi, karena secara alamiah itulah yang membuat fisik kita bergerak, otak kita bekerja, dan hati kita berdoa untuk mencapainya.

Orang yang tak punya tujuan, tak punya ambisi akan berjalan di tempat bahkan mungkin berjalan mundur. Hingga ia menyadari teman-temannya yang dulu, meski hanya bercita-cita sederhana telah melangkah lebih jauh, meninggalkannya, lebih sukses menata masa depannya. Bercita-cita besar tidak merugikan hidup bukan?

Seperti sebuah kendaraan yang butuh rem, mengejar cita-cita hidup juga butuh rem. Rem akan menyadarkan kita bahwa di depan bisa jadi ada bahaya. Rem bisa jadi menyelamatkan kita agar tak jatuh dalam kerugian yang lebih parah. Rem ini adalah pengendalian diri yang baik. Kita mesti sadar bahwa hidup tak selamanya ditinggali. Kita mesti melihat jauh ke depan bahwa akan ada masa ketika segala pencapaian umat manusia hanya akan menjadi kenangan. Tak berarti dibawa mati. Maka pastikan apa yang kita lakukan, menjadi buah bibir kebaikan dan sejarah yang menginspirasi orang lain untuk hidup lebih baik.

Dengan pemahaman diri yang baik, kita akan berani memandang jauh ke depan bahwa ambisi terbesar umat manusia semestinya menjadi penghuni surga. Akan datang masa dimana segalanya tak lagi punya nilai selain amal ibadah yang telah ditanam. Sudahkah kita bercita-cita untuk dunia dan akhirat?
Diberdayakan oleh Blogger.