Pilihan Hidup

Hasil gambar untuk the intern


Beberapa waktu lalu saya menonton film "The Intern" yang dibintangi oleh Anne Hathaway dalam perjalanan Melbourne-London. Meski fokus ceritanya seputar kehidupan kakek duda bernama Ben (Robert De Niro) yang pensiun dan melakukan internship di perusahaan Jules (Anne Hathaway), tetapi kehidupan rumah tangga Jules cukup menarik perhatian saya. Jules adalah seorang CEO yang sukses di perusahaan ternama dan juga pendiri perusahaan tersebut. Jules adalah seorang feminis. Dia memiliki seorang suami dan seorang anak. Suami Jules tidak bekerja. Dia menjadi Bapak rumah tangga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan mengurus anak. Jules pergi pagi dan pulang ketika suaminya sudah tidur. Ketika bangun, dia sudah melihat suaminya berada di dapur, memasak untuk bekal anaknya dan siap untuk mengantar anaknya ke sekolah. Sebuah tukar peran antara posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
Awalnya, saya berpikir film ini mencoba mengembuskan ide tentang konstruksi masyarakat di kehidupan barat saat ini dimana tukar peran seperti ini sudah biasa. Dan bahwa laki-laki tidak harus menjadi pencari nafkah. Tetapi, ternyata suami Jules di film ini selingkuh. Kehidupan rumah tangga Jules tidak seharmonis yang ia pikirkan. Jules tentu sedih dan kecewa. Ia tidak menyangka bahwa suaminya bisa selingkuh. Meskipun ini hanyalah sebuah cerita dalam film. Tapi, menurut saya ini adalah gambaran nyata kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam film ini, ternyata masyarakat barat pun sebenarnya gelisah akan pemikirannya. Mereka tidak bisa menutupi bahwa tukar peran bukan solusi yang terbaik. Meski di akhir cerita mereka kembali berdamai, tetapi tidak digambarkan apakah Jules dan suaminya mengubah cara pandang dalam mengatur rumah tangga mereka.
***
Mungkin kita sudah sering mendengar bahwa karir terbaik seorang wanita adalah menjadi Ibu dan tentu saja istri yang baik. Tetapi, yang menjadi tantangan ketika sang wanita mungkin menjalani aktivitas seperti menuntut ilmu, apalagi di negeri orang dan jauh dari kerabat terdekat atau harus bekerja. Pilihan hidup ini menjadi sebuah perjuangan yang harus ditempuh oleh seorang student mom. Saya tidak sepenuhnya setuju bahwa seorang wanita harus bekerja. Tidak juga sepenuhnya setuju bahwa pendidikan seorang wanita harus berhenti ketika ia menjadi seorang ibu rumah tangga. Banyak wanita-wanita yang luar biasa di luar sana yang tetap bisa menyeimbangkan keduanya. Bahkan mungkin ada di antara mereka bahkan bisa tetap berprestasi dimana tanggung jawabnya sebagai ibu tetap dijalankan.
Kembali kepada konteks bahwa karir terbaik seorang wanita adalah menjadi ibu dan istri yang baik, mungkin tidak semuanya setuju dengan ide ini. Kalau dalam ajaran yang saya pahami, hak dan kewajiban kita sebagai wanita sudah ada porsinya. Saya tidak akan menambah atau mengurangi. Berkarir atau bekerja dalam hal mencari nafkah bukanlah kewajiban wanita. Tetapi, bukan berarti itu dilarang. Jadi bagi mereka yang tetap memilih untuk berkarir mungkin bisa mengubah mindset bahwa pekerjaan utamanya adalah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, lalu pekerjaan sampingannya adalah pekerjaan yang tengah ia jalani di luar rumah tangganya hehe...
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tugas utama kita adalah menjadi hamba yang taat setaat-taatnya. Apakah dia memiliki karir di luar sebagai ibu rumah tangga, dia harus tetap menyadari hak dan kewajibannya sebagai hamba. Selama itu tidak dilalaikan dan keseimbangan tetap terjalin, maka tidak ada salahnya. Saya sebenarnya menulis ini karena tengah bertanya-tanya apakah teori-teori yang saya pahami selama ini betul-betul mudah saya aplikasikan ketika sudah berhadapan dengan realita. Setidaknya teori-teori ini sudah membentuk kerangka berpikir saya.
Kalau kita mengukur ketersediaan waktu, mereka yang berpendidikan dan tetap memilih untuk menjadi ibu rumah tangga secara penuh, idealnya akan lebih maksimal menjalankan hak dan kewajibannya. Ketimbang yang membagi waktunya dengan bekerja di luar rumah. Tetapi, saya tidak memberikan "judgement" bahwa mereka yang bekerja tidak bisa melakukan kewajibannya dengan sempurna sebagai ibu rumah tangga. Kembali lagi, semuanya tentang manajemen waktu. Jangan sampai mereka yang bekerja justru lebih baik dalam mengurus rumah tangganya. Saya tentu kagum dengan wanita-wanita yang memilih untuk menjadi stay-at-home Mom bukan karena takdir karena tidak bisa bersaing, tetapi karena itu adalah pilihan hidup terbaik menurutnya di tengah potensinya yang bisa ia kembangangkan di luar. Bagi yang tengah menjalani peran ini, buktikan bahwa menjadi seorang stay-at-home Mom adalah karir yang terbaik dan mulia agar profesi ini tidak dipandang sebelah mata. Kembali lagi, rumah tangga yang sukses bukan diukur dari apakah istrinya bekerja atau tidak. Suaminya semakin sukses dalam karir atau tidak. Tetapi rumah tangga yang membuat anggota keluarganya semakin taat dan dekat kepada Allah.

Melbourne, 25 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.