Intellectual Journey


Hari ini saya mengikuti launching sekaligus bedah buku "Berlayar" yang ditulis oleh para akademisi ataupun praktisi yang sedang menempuh S3 di universitas-universitas yang ada di Melbourne. Ada juga yang baru saja selesai dalam proses berlayarnya. Saya tidak akan mengupas tentang isi bukunya. Karena bukunya pun baru saja saya miliki tadi. Kelak buku ini akan berguna untuk proses berlayar saya dalam lautan ilmu menuju Doctor of Philosophy someday. InsyaAllah. Tapi ada banyak hal yang menarik yang bisa saya petik.

Saat ini saya sedang berada di fase menuju Master. InshaAllah satu semester lagi. Apa yang saya rasakan adalah benar ini adalah "Intellectual Journey" mengutip pernyataan salah satu pembicara, Prof. Denny Indrayana. Jujur saya bukan tipe akademis. Yang jadwal belajarnya terkontrol. Di sisi lain saya juga bukan orang terlalu banyak main atau mengeksplor banyak hal. Jadi saya tidak tahu saya termasuk tipe mahasiswi apa. Tapi saya suka membaca sesuatu secara random jika itu benar-benar menarik minat saya. Bagi saya memulai S2 ini benar-benar sesuatu yang harus saya mulai dari awal. Saya tidak berasal dari jurusan dan kampus pendidikan. Tapi, berani mengambil jurusan pendidikan hanya karena ada impian dan idealisme kecil saya. Bagaimanapun kita tidak bisa terlepas dari yang namanya pendidikan. Bahkan untuk mengatur diri sendiri dan keluarga kita butuh tercerahkan dengan level berpikir yang sedikit tinggi dari S1 apalagi untuk mengatur masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka yang telah lulus dari program postgraduate bisa lebih sukses dari S1.

Harapan saya sebenarnya sederhana setelah menempuh perjalanan ini. Saya ingin menjadi lebih bijak dengan ilmu yang dimiliki. Bagi saya, setinggi-tingginya gelar pendidikan seseorang kalau ia tidak berkarakter sepertinya ia gagal dalam proses berlayarnya. Karakter yang saya maksud di sini adalah sejauh mana ketundukannya terhadap nilai ketuhanan yang mereka pegang. Semua ini adalah proses, dan kita senantiasa memperbaiki diri untuk menjadi lebih bijak dan bernilai di hadapan Sang Pencipta.

Setiap orang tentu punya suka duka masing-masing dalam meraih gelarnya. Yang bermakna mungkin bukan tentang hasil akhirnya, tetapi proses menuju tujuan akhir itu. Ada berapa banyak ilmu yang kita serap selama proses itu. Termasuk ilmu-ilmu tentang kesabaran, pengendalian diri, kesungguhan, pengorbanan dalam mengerjakan tugas-tugas. Dan bagaimana kita tetap mendahulukan hak dan kewajiban kita sebagai hamba ketika sedang menempuh perjalanan intelektual ini. Meski hasil tidak akan mengkhinati proses. Mereka yang hasilnya di atas rata-rata tentu proses yang dikerahkan juga di atas rata-rata.

Dalam kepala kita mungkin punya tujuan masing-masing akan dibawa kemana gelar ini. Untuk menambah sedikit huruf di belakang nama kita saja, kita perlu banyak pengorbanan. Termasuk negara yang telah mengorbankan anggaran. Maka kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Nasihat kepada diri sendiri. Sejatinya kita harus tetap menyadari bahwa tujuan kita menuntut ilmu mungkin bukan hanya tentang intellectual growth, tetapi juga emotional dan spritual growth.

"I constantly sought knowledge and truth, and it became my belief that for gaining access to the effulgence and closeness to God, there is no better way than that of searching for truth and knowledge.” - Ibn al-Haytham

Melbourne, 28 Oktober 2016

:: the photo was taken in Mba Novi's graduation day last year @MonashUni

Keseimbangan


Sejatinya manusia diciptakan selain sebagai hamba untuk beribadah, tetapi juga sebagai khalifah, pengatur kehidupan. Tentu saja untuk mengatur kehidupan ini semua butuh ilmu. Kesempatan menuntut ilmu dunia di negeri orang adalah sebuah kesyukuran yang tak dimiliki oleh sebagian orang. Saya menganggap ini adalah sebuah jalan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kelak ilmu-ilmu dunia ini kita butuhkan untuk mengatur lingkungan kita atau apa-apa yang bisa kita pengaruhi. Maka beruntunglah orang yang memiliki potensi ini.

Tetapi, ilmu dunia tidak cukup untuk mengatur kehidupan. Kita butuh bimbingan wahyu. Ilmu ini adalah kunci untuk bisa sukses dunia akhirat. Saya tidak menemukan alasan yang lebih logis bagaimana mengatur kehidupan ini tanpa agama. Pencarian-pencarian saya tentang ilmu dunia tidak bisa memuaskan akal dan menentramkan hati saya. Setidaknya kesadaran itu telah muncul untuk menambah bekal perjalanan.

Setelah hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi terpenuhi. Mengubah wajah peradaban mungkin langkah selanjutnya yang bisa kita pikirkan. Potensi kita menjadi saksi untuk apa ia dimanfaatkan. Imam Al Ghazali pernah berpesan, "Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir." Ungkapan ini sangat filosofis. Saya menafsirkannya bahwa kualitas kita hari ini akan menetukan kualitas keturunan kita kelak. Maka menuntut ilmu akhirat maupun dunia oleh setiap individu adalah jalan memperbaiki kualitas generasinya mendatang.

Keseimbangan menjadi kekuatan untuk bisa membalikkan wajah peradaban. Kita tidak miskin, Potensi-potensi kita adalah modal untuk kemaslahatan ummat. Kesempatan menuntut ilmu dunia di negara maju adalah peluang untuk perbaikan ummat. Jangan dianggap ini tidak penting. Menjadi ahli dan profesional di bidang masing-masing adalah jalan untuk mengambil alih peradaban. Hanya saja, semua itu harus tercelup dalam konsep berpikir yang punya orientasi memakmurkan dunia dalam rangka beribadah dan menerapkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi. Maka sungguh sempurnalah seorang muslim yang ilmu dunia dan akhirat dimiliki sekaligus. Tetapi seseorang baru dikatakan berilmu ketika ia sudah mengamalkannya. Selanjutnya membagikannya.

Melbourne, 161016
Diberdayakan oleh Blogger.