Berbicara Cinta

Kalau ada orang yang paling tidak sanggup menyimpan cinta, saya lah salah satunya. Saya mencermati orang-orang, mengapa mereka begitu santainya ketika jatuh cinta. Bahkan puluhan atau ratusan puisi bisa tercipta karena mereka merasakan cinta.

Dulu sebelum saya memahami cinta dalam pandangan islam, saya adalah orang yang lebih nyaman meyimpan perasaan diam-diam. Saya selalu menghindar ketika orang yang saya naksir mendekati saya atau jantung saya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Saya juga tidak berani berbicara langsung di hadapannya, karena saya akan gugup dan bertingkah lain dari biasanya. Dan saya sudah merasa bahagia meski dengan melihatnya. Saya tidak pernah berharap lebih dari itu. 

Suatu hari orang yang saya naksir cukup lama akhirnya menyatakan perasaannya. Seharusnya saya menerimanya, tapi saya tidak sanggup membawa perasaan itu. Sudah cukup saya menyukainya diam-diam. Saya merasa aneh ketika perasaan itu bersambut dan berbalas. Akhirnya saya menghindar dan menolaknya. Aneh kan? Setelah itu perasaan saya mulai berubah. Tak lagi sepolos sebelumnya. Entah kenapa perasaan saya menjadi netral kepadanya.

Nah, setelah saya memahami cinta dalam islam. Sikap saya justru berbeda. Saya malah tegas dengan perasaan saya sendiri.  Saya justru tidak sanggup membawa perasaan cinta macam apapun. Ketika cinta itu bersambut. Hanya ada dua pilihan. Meneruskan dengan pernikahan atau melupakan. Dan melupakan inilah yang butuh perjuangan. Saya selalu berdoa bagaimana membawa perasaan seperti ini. Saya benar-benar tidak sanggup. Saya selalu ingin menyibukkan diri saya. Saya selalu menangis dalam sholat saya. Sampai kapan ini akan berakhir Ya Rabb? 

Inilah menurut saya jalan yang paling aman. Ketika saya merasakan cinta mulai bertunas, saya akan lebih dulu memangkasnya. Ketika rindu mulai datang, saya cepat-cepat mengusirnya. Tidak sanggup rasanya membawa perasaan menyiksa ini. Maka tak ada yang lebih baik dari lembaga pernikahan untuk menumbuhkan perasaan cinta. Karena cinta akan dirayakan pada waktunya.

Tidak ada sesuatu yang lebih baik untuk dua orang yang saling cinta selain pernikahan (HR Al Hakim)
  

Menjadi Ibu Ketua

Satu hal yang mungkin terlambat kusyukuri adalah menjadi seorang ketua di organisasi. Sebenarnya saya tidak cukup percaya diri untuk amanah sebesar ini. Seharusnya saya bersyukur  lebih awal dan rasa syukur itu seharusnya saya buktikan dengan melakukan lebih banyak hal di organisasi ini, memajukan organisai juga memperbaiki kualitas tulisan. Amanah adalah amanah dan kelak semuanya harus dipertanggungjawabkan. Kadang saya tersenyum-senyum sendiri ketika adik-adik memanggil saya Ibu Ketua atau Ibu Negara juga sapaan, “Siap, Bu!” atau “Siap, Bu Ketua!” ini adalah sapaan menggoda bagi saya, hehe...
 
Menjadi seorang ketua memanglah tidak mudah. Seorang ketua adalah orang pertama kali harus berinisiatif. Seorang ketua adalah ujung tombak organisasi. Seorang ketualah yang menentukan bergerak atau tidaknya organisasi. Seorang ketua juga selayaknya orang yang pertama kali memberikan teladan dan inspirasi. Seorang ketua harus lebih dulu bersemangat dan optimis. Seorang ketua harus punya cita-cita besar. Dan apalah saya. Saya minim pengalaman organisasi. Karir kepenulisan saya juga statis. Keislaman juga biasa-biasa saja. Bukanlah seorang yang hafalannya banyak atau penguasaannya terhadap hukum syara’ luas. 
Tapi, karena menjadi seorang ketualah saya termotivasi untuk berubah menjadi lebih baik.  Seharusnya saya lebih cekatan mengurus organisasi, seharusnya saya terus produktif menulis, dan seharusnya saya menambah terus ilmu keislaman saya. Terus terang, saya terlambat menyadari itu semua. Dulu saya berpikir, saya ingin segera meninggalkan organisasi dan mengamanahkannya kepada salah satu orang. Tapi, itu semua tidak terjadi karena saya tidak lulus beasiswa yang saya apply dan gagal mendapatkan LoA di salah satu universitas di Luar Negeri. Entah kenapa waktu itu saya tidak berpikiran untuk kuliah di dalam negeri. Saya terlalu percaya diri mungkin. Astagfirullah…
Sampai akhirnya saya tersadar bahwa ada yang belum saya tunaikan dengan baik. Amanah saya sebagai seorang ketua di cabang sebenarnya memiliki tanggung jawab yang tidak kecil. Masih ada banyak hal yang belum saya lakukan dan rapikan. Kami belum terrdaftar di kesbang dan juga belum memiliki sekretariat. Dan ini sementara kami perjuangkan. Database kader juga belum rapi. Kualitas kepenulisan kader juga masih perlu diasah. Pemahaman keislaman kader juga masih perlu ditambah. Dan saya sangat bersyukur ketika mereka meminta untuk diadakan kajian keislaman khusus di FLP Makassar.
Ada satu hal lagi yang ingin saya tekankan. Sebenarnya ada hal-hal yang tidak etis kita lakukan di FLP, seperti berboncengan dengan lawan jenis, apalagi jika itu sesame kader, meskipun sifatnya tolong-menolong. Juga tidak boleh mengundang atau membiarkan teman-teman yang membawa pacarnya ke agenda-agenda FLP. Harusnya kita pahami bahwa AD/ART FLP berasaskan islam. Harusnya kita malu, melakukan hal-hal yang melanggar aturan islam. 
Saya memohon maaf kepada adik-adik ketika saya menegur. Saya menegur karena saya peduli dan itu semata-mata saya lakukan untuk menjaga kemurnian organisasi. Simpul islam akan lepas satu persatu kalau kita sebagai pemeluknya tidak menjadi penjaga islam yang baik. Janganlah karena hal kecil seperti membuat organisasi ini tidak lagi diridhoi Allah.  
Saya mencintai FLP dan saya mencintai kalian karena Allah. Semoga ukhuwah dan semangat kita yang tinggi terus terjaga.
Mari berbakti, berkarya, berarti!


Diberdayakan oleh Blogger.