Saat matahari
terbenam aku rindu melihat wajah ibu bercahaya
Ternyata silau
matahari senja telah berpindah di teduh wajahmu
Aku masihlah
gadis kecil yang kadang merengek manja
Ingin dimasakkan
ini atau itu
Rasa yang
hanya bisa kudapatkan dari olahan tangan Ibu
Dan Ibu dengan
senang hati berkata, “Nanti akan kubuatkan makanan favoritmu.”
Hmm, Ibu… Sekarang
aku sudah dewasa. Telah kepala dua.
Kapan aku
bisa menggantikan Ibu. Aku ingin memasak untuk Ibu.
Tapi, kau
tetaplah menyambut kedatanganku dengan menghidangkan makanan kesukaanku
Dan selalu
menanyakan pertanyaan yang sama
“Gimana
makananmu di Makassar, Nak? Enak kan?”
Meski bisa
melepas rindu lewat telepon
Tapi puisi
lebih indah untuk melepaskan kerinduan
Aku sudah
belajar Ibu. Aku belajar dari perempuan-perempuan yang mungkin pantas kusebut
bidadari dunia bahwa merindu juga punya aturan ternyata.
Kau tahu Ibu,
rindu itu suci.
Mungkin cinta lebih suci, Ibu.
Meski sebenarnya
cinta-rindu itu adalah gradasi
Cintalah yang
melahirkan rindu
Konektor yang
hanya bisa dijelaskan melalui relasi seperti Ayah dan Ibu
Tentang cinta,
aku tidak percaya cinta sebelum pernikahan, Ibu.
Mereka yang
mencinta sebelum pernikahan adalah mereka yang berkomitmen untuk sewaktu-waktu
saling meninggalkan.
Aku percaya, Allah
telah menyiapkan waktu yang tepat dengan orang yang tepat.
Indah pada
waktunya.
Bersama hati yang menyimpan harapan.
Ibu, maaf…
Kalau terkadang lebih
dulu menutup telepon
Atau sesekali
berkata kasar yang seketika mengubah intonasi suaramu atau raut wajahmu
Aku kadang
menawarkan pahitnya empedu, sementara silau matamu menawarkan madu
Akankah aku
bisa melindungi Ibu dari detik perubahan
Atau menghadiahkan
mahkota kelak di surga?
Tapi, kau
lihat sekarang Ibu
Aku tumbuh dewasa
menjadi gadis yang berbeda bukan?
Pernahkah tersirat
di dalam benak Ibu
Kalau aku
akan tumbuh menjadi wanita salihah. Amin Ya Rabb.
Menulis ini,
setelah Ibu menelpon...