Oleh: Qiyash
Siang ini Fau merasa seperti ada pemberat di kelopak mata sipitnya. Mestinya tidur adalah obatnya. Ia berusaha menahan. Tapi Fau sudah berjanji pada dirinya ingin menyelesaikan beberapa kalimat untuk satu tulisan yang dirindukan keutuhannya. Entah ini kali ke berapa, Fau diserang kantuk yang super dahsyat di singgasana siang. Kalimat yang baru jadi beberapa deret harus Fau tinggalkan untuk mengikuti keadaaan matanya yang tak mau bernegosiasi.
Mata Fau menangkap bias cahaya sore dari celah kecil jendelanya. Ia tiba-tiba tersadar. Ia selalu takjub dengan kemahaluasan Allah yang tak pernah membuatnya terlena beberapa jam dari bergesernya waktu shalat.
“Allah sayang padaku.” Lirih Fau.
Di tengah badai kantuk yang melanda. Fau merasa Allah tidak membiarkannya meninggalkan perintahNya walaupun menyelesaikan sisa-sisa kantuk barang beberapa menit. Seperti ada yang berbisik di telinga."Hei, Fau bangun dan sholatlah!”
Di kantuk yang ia rasa, seperti ada pertarungan. Putih menyuruh Fau untuk bergegas. Sementara hitam menyuruhnya untuk berlama-lama. Bahkan menggiring Fau untuk meraih kembali benda segi empat empuk bermotif bunga. Fau merasa ada pertarungan luar biasa dalam batinnya.
“Ini baru kantuk, belum yang lain. Aku tidak boleh kalah.” Fau bergegas dan meluruhkan sendi-sendi kemalasan. Fau menganggap berwudhu selalu seperti panas yang baru saja diguyur hujan. Sejuk. Melebihi kesejukan embun di pagi hari.
Sholat telah ia tunaikan. Kantuk itu masih tersisa. Dibuatlah kopi susu hangat. Dispenser biru putih yang sengaja ia panaskan sedari tadi disentuh juga. Kadang, Fau hanya memanaskan dispenser itu tanpa menyentuhnya. Andai dispenser mampu bersuara, mungkin ia akan menyindir Fau. Ia akan berkoalisi dengan listrik untuk mengkritisinya. Dan tiba-tiba Fau membayangkan seluruh perabotan di kamarnya beraksi dan melakukan kudeta lantaran Fau tidak amanah. Ya, Fau akui beberapa hari ini aktivitas luar begitu menyita waktu.
Kopi kantuk sudah jadi. Ia seruput. Nikmat rasanya. Menurutnya, kopi dan kantuk adalah oposisi biner. Kopi baru akan terasa berharga di mata Fau jika ia mengalami rasa kantuk. Sangat jarang ia meminumnya jika tak merasa ngantuk. Mungkin para pelahap filsafat tak akan setuju dengan statement Fau. Ia yakin jika membawa masalah ini ke hadapan mereka. Mereka pasti memperdebatkannya dan mencari relasi-relasi yang mengantarkannya kepada kebenaran. Hal sederhana yang sebenarnya tak perlu mereka lakukan, apalagi untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Fau menempelkan tangannya di tuts keyboard laptop kesayangannya yang ia beri nama Lappy. Lappy telah menjadi saksi bisu atas cerita-cerita Fau. Kalau Lappy bisa bicara, maka hidup Fau akan pecah menjadi kepingan-kepingan kristal dan Fau akan menutup wajahnya yang kemerahan melebihi merekahnya bunga sakura di musim semi. Hari ini ia menemukan inspirasi luar biasa. Mengucur deras seperti air terjun Niagara. Laptop yang baru saja Fau sentuh seperti menggemakan suara hentakan jari-jari tangannya. Mengalir.
“Ya Allah apakah ini kekuatan setelah aku menunaikan kewajiban pertemuan denganMu?”
Fau merasa tenang usai melaksanakan perjalanan spiritual singkat beberapa menit menemui Tuhannya. Setelah sakit parah yang hampir memutus nafasnya, ia berusaha untuk tak lagi menunda sholatnya.
“Berusahalah untuk selalu menatap hujan di jendela, Fau.” Fau mendesah. Tiba-tiba ia mandeg. Ia berbicara pada dirinya sendiri untuk menyemangati. Tak turun hujan hari ini. Hujan adalah katalis bagi Fau untuk menulis. Seolah setiap butirnya itu adalah inspirasi di kala buntu. Dan Fau bisa menciptakan banyak puisi. Benar, kemarau yang baru saja berlalu ikut membuat produktivitas Fau menurun.
“Tik...Tik…Tik.”
Perlahan. Fau mendengar irama mungil di atap kamarnya. Dan memalingkan wajahnya pada jendela dimana Fau sering menatap hujan. Sepertinya Pencipta Hujan mendengar suara hati Fau. Ia baru saja melihat jarum air yang turun dari langit abu-abu. Masih dengan volume yang kecil.
“Allahumma sayyiban naafi’an.” Hujan yang dinanti Fau telah turun. Ia menunggu sampai volume hujan bertambah. Dan mulailah ia melakukan ritual uniknya. Menatap hujan di jendela. Sambil menundukkan kepalanya. Berkontemplasi. Dan mengucap sesuatu dalam hati atas harapan yang ia inginkan. Begitulah yang sering Ibu Fau ajarkan ketika Fau masih anak kecil yang polos.
“Di setiap tetesan hujan itu, ada malaikat yang mengantarnya. Jika hujan turun, maka Fau disunnahkan meminta pada Allah. Malaikat akan memeluk harapan-harapan Fau dan menyampaikannya pada Allah.” Ya, begitulah kira-kira retorika sederhana Ibu Fau.
Sekitar 30 menit berada di depan jendela, menurut Fau sudah cukup. Sepertinya, saku informasinya telah penuh dengan inspirasi. Mengalahkan energi telepon genggam yang baru saja terisi penuh setelah low batt. Dan mulailah ia menarikan jari-jarinya di laptop kesayangannya.
***
Tulisan yang dinanti keutuhannya selesai. Tepat di kala jam dinding bergaris vertikal. Fau mengembangkan senyuman di wajah teduhnya. Ia merasakan getaran supersonik tepat di bagian tengah dadanya.
“Terimakasih, Lappyku sayang. Kamu telah banyak membantuku hari ini. Juga menemaniku memaksa ide-ide kecil keluar dari otakku.” Fau berbicara pada laptopnya. Akhir-akhir ini dia merasa sepi. Tak punya kawan dekat. Lappylah yang selalu mendengar keluh kesahnya. Menemaninya berjalan menghirup udara pada ujung daun-daun. Menikmati angin yang berhembus dari sela pohon-pohon rindang. Juga menemani langkahnya di hamparan pijakan-pijakan tanah basah berumput usai hujan.
Fau selalu merasa nyaman mengungkap apa saja di depan Lappy. Lappy tak pandai berkomentar. Ia hanya tercipta dari sekumpulan bahan elektomagnetik yang dihuni oleh neutron, proton, elektron tak bernyawa. Ia hanyalah benda yang menerima perintah tanpa bisa melakukan pembelaan atas keletihannya. Tapi Lappy pasti memberi isyarat kalau ia benar keletihan dan tak sanggup bertahan lagi. Lappy sudah beberapa kali diopname. Tapi, ia selalu mampu bertahan dan bangkit kembali.
Tulisan yang baru saja Fau selesaikan ia beri judul “Kekuatan”. Dan menyimpannya di antara tumpukan tulisan-tulisan penggugah jiwa.
“Untuk Allah Sang Penguat di kala sulit, Terimakasih!” Fau mematikan Lappy dan menjawab panggilan Tuhannya di antara mozaik senja dan cakrawala keunguan.
Aktivis FLP Makassar
Mahasiswa Sastra Inggris Unhas 2008