Kisah Uang Seribuan

Di atas angkot yang cukup padat itu, seorang gadis berkerudung duduk di hadapan pintu masuk angkot. Malam itu hujan turun. Dia baru saja menghadiri pernikahan teman karibnya yang masih sesama mahasiswa. Pernikahan untuk menutupi aib. Gadis itu termenung. Mengingat betapa malang nasib temannya. Yang akan segera menggendong bayi sementara ia masih freshman di sebuah universitas. Dia tidak habis pikir akan dirinya. Rasa bersalah yang selalu menderanya. Lantaran tak mampu menjadi teman yang baik. Sudah tiga orang teman karibnya menjadi budak nafsu. Dua orang di antaranya yang juga MBA (Married by Accident) tidak lagi merasakan manisnya cinta. Perceraian sudah di ambang pintu. Kuliah tertunda. Suami minggat entah ke mana. Ada anak yang mesti dirawat dan dibesarkan. Belum lagi kebutuhan hidup anak yang juga mesti dipenuhi.
Gadis itu masih sempat berucap syukur dalam kemalangan teman-temannya. Dia masih suci. Untung saja, dia dilahirkan dalam keluarga yang lumayan terdidik. Padahal ia juga hampir terjebak dalam lingkaran setan itu. Tiba-tiba mobil berhenti dan menyadarkannya dari lamunannya. Ya, tidak lain karena lampu merah yang kini sudah menjadi tempat mengais rejeki. Beberapa anak berlari mengerumuni setiap mobil yang berhenti. Sungguh menyedihkan. Di antara mereka ada yang sedang menggendong adiknya. Yang lain bertubuh kurus, berwajah kusam, dan berpakaian rombengan. Anak kecil yang seharusnya sekolah, terpaksa turun ke jalan untuk mencari sesuap nasi.
Salah seorang dari mereka menghampiri angkot yang dikendarai gadis berkerudung itu. “Ibu, Pak, Kak minta uangnya!” ucapnya dengan wajah memelas sambil menengadahkan sebelah tangannya. Sebelahnya lagi menahan agar adik kecil yang digendongnya dengan sarung tidak jatuh. Kasihan adiknya itu. Umurnya masih sekitar 7 bulanan sudah diajak mencari rejeki. Adik bayinya itu tertidur pulas. Begitu pulasnya, ia sampai tidak merasakan rintik hujan yang menerpa wajahnya.
Gadis itu lalu mengeluarkan selembar duit seribu dan 2 buah koin 500-an. Belum sampai uang itu ke tangan si bocah, tiba-tiba seorang ibu berkata, “Mbak, jangan dikasih. Mereka itu cuma suruhan. Lagian pemerintah sudah mengeluarkan larangan memberikan uang pada anak-anak pengemis seperti mereka.” Gadis itu terdiam. Dia tidak mau membalas ucapan si Ibu. Tapi rasa kasihannya lebih tinggi daripada ancaman ibu tadi.
“Benar, Mbak. Jangan dikasih. Nanti mereka akan mengemis selamanya. Tidak mau berusaha. Toh nggak baik kalau kita mengajarkan anak kecil untuk jadi peminta-minta.” Tambah seorang Ibu yang kira-kira umurnya hanya berselang 3 tahun di bawah ibu pertama tadi. Nuraninya pun berkata itu ada benarnya. Uang itu masih belum sampai ke tangan bocah tadi. Wajah-wajah penumpang angkot seolah setuju dengan pendapat kedua ibu tadi. Ia pun urung.
“Dek, minggir-minggir. Mobil mau jalan. Ntar kalian ketabrak. Trus saya lagi yang disalahin.” Sang supir tak mau ketinggalan mengeluarkan ungkapan jengkelnya. Dia pun ikut memaki bocah tadi. Mobil akhirnya melaju. Tak sempat ia menyerahkan uang itu. Gadis itu semakin heran. Ada apa dengan orang-orang ini. Mengapa mereka sangat miris terhadap bocah tadi. Bukankah menolong mereka akan mengurangi beban mereka. Timbul pikiran dalam benak gadis itu, andai saja kedua ibu tadi adalah ibu dari anak itu. Dan Pak supir tadi adalah ayahnya, masih bisakah mereka berkata seperti tadi pada bocah itu.
Satu persatu kejadian yang baru saja dilalui gadis itu hari ini, mulai direnungkannya. Kebanyakan ialah perilaku amoral. Dia tidak henti-hentinya berpikir. Ada apa dengan semua ini? Ada apa dengan negara ini? Ada apa dengan orang-orang yang hidup di negara ini? Masih banyak hal yang tak mampu dijangkau oleh akalnya. Imajinasinya pun melayang-layang. Seiiring laju mobil yang melewati beberapa baliho yang masih tertempel. Andai baliho-baliho itu mampu mendengar jeritan anak-anak jalanan tadi. Dan ia membayangkan jika makhluk yang ada dalam baliho itu bergerak memberikan uang kepada siapa saja anak jalanan yang melaluinya. Tapi sayangnya makhluk itu hanya mampu menyunggingkan senyum. Tidak tahu, tuluskah atau palsukah?
Tiba di rumah. Gadis itu tak bisa memejamkan mata. Dia teringat akan bocah tadi yang tak jadi ia beri uang. Uang yang sudah dipersiapkan itu, ia raba di kantongnya. “Hanya 2 ribu rupiah, kenapa aku tak kasih saja?” gumamnya dalam hati. Andai saja tadi ia tak menghiraukan ucapan ibu itu.
Rasa bersalahnya, membawanya kembali ke tempat yang sama di keesokan harinya. Ia menunggu di trotoar tempat biasa anak-anak seperti itu mangkal. Beberapa lama menunggu. Tak dijumpainya anak itu. Seorang wanita paruh baya mendekat. Tubuhnya dibalut dengan pakaian sobek dan kotor. Wajahnya hitam akibat debu jalanan yang tak pilih-pilih.
“Assalamu alaikum…” kata itu cukup mampu mengisyaratkan kalau ibu itu meminta sesuatu. Terlihat dari tangannya yang menengadah di hadapan gadis itu. Gadis itu tertegun sejenak, memandangi ibu itu. Satu lagi masalah yang memenuhi otaknya. Masalah semua orang yang hidup di negara ini.
“Waalaikum salam…” jawab gadis itu seraya merekahkan bibirnya. Diberi atau tidak. Pergolakan batin yang maju mundur dalam hatinya. Kalau diberi, nanti dia tidak akan berhenti meminta dan jadi pemalas. Justru menambah populasi pengemis. Kata-kata ibu itu semalam masih menganggu pikirannya. Tidak diberi, mana tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang diserukan untuk berbagi.
Ikhlas. Dia mantapkan dalam hatinya, bahwa niat itu hanya untuk bersedekah. Toh, tidak ada larangan dalam agama untuk tidak memberi golongan fakir miskin seperti mereka. Dia merogoh sakunya. Mengambil 2 lembar uang seribu. Lalu memberikannya pada ibu itu.
“Terima kasih, Nak.” Ucap ibu itu pelan dengan suara terbata-bata.
Gadis itu mengangguk dan kembali mengulurkan senyuman. Ibu itu berlalu dengan langkah yang tertatih-tatih. Hari semakin panas. Tak sedikit pun ia melihat batang hidung anak yang mengacaukan pikirannya semalam. Hingga hampir tak bisa memejamkan mata. Dia masih keukeuh menunggu. Niat yang sudah tertancap dengan baik, tidak boleh ia robohkan begitu saja.
Jam 15.00 lewat, anak itu tak kunjung muncul. Ia sudah dongkol menunggu ditemani terik matahari yang menyengat kulitnya yang mulus. Niat itu harus tetap ditunaikan. Kalau tidak, entah karma apa yang ia dapat.
***
Bayang-bayang tentang anak itu belum hilang. Ia masih menggelayut dalam pikirannya. Di kampus pun ia masih memikirkan niat yang belum sempat ditunaikan pada anak itu. Kuliah usai. Seperti kebiasannya, ia duduk di bawa pohon di taman kampus. Tertegun kosong memandang satu arah. Pikirannya masih terpenuhi oleh anak itu. Ada beberapa anak bernasib sama yang lewat di hadapannya, bahkan singgah untuk menawarkan jasa yang berbeda-beda. Ada anak pemulung sampah, anak penjual manisan, anak penjual roti, anak penjual jalangkote’ (baca:pastel), anak penjual koran. Ada banyak anak yang sebetulnya bisa ia beri tanpa menunggu anak malam itu. Tapi tetap tak bisa meruntuhkan niat yang sudah terpatri.
Tiba-tiba lamunannya buyar oleh sosok yang sedang berada di depannya. Seorang anak penjual koran. Mirip sekali. Ya, dia adalah anak yang sama. Anak yang menggantungkan niatnya. Tapi kenapa ia harus mengemis, padahal ia bisa meloper koran. Pekerjaan ini lebih bagus daripada mengemis. Dia adalah pahlawan. Pahlawan pembawa informasi. Sudah cukup bagi gadis itu untuk melamun lagi. Niatnya atas uang seribuan itu terlaksana. Anak itu cukup heran. Ia tak bermaksud meminta. Koran yang menumpuk di tangannya pun tak diambil oleh gadis itu.
“Terima Kasih, kak.” Ucap bocah itu dengan tulus. Ditambah pancaran kebahagiaan dari wajahnya yang berseri-seri. Tak tahu kalau gadis ini yang urung memberinya uang malam itu.
“Iya. Terima kasih kembali.” Jawab gadis itu dengan sejumput senyum bahagia. Tak pernah ia sebahagia ini. Bisa melihat anak seperti itu tersenyum merekah. Hanya karena mendapat uang lebih dari yang seharusnya mereka terima.

Gadis Malang itu Bernama "Farah"

Namanya Farah. Teman sekampusku yang tak begitu kukenal. Cantik. Semua laki-laki abnormal, jika tak menyebutnya cantik. Dandanannya yang modis. Dibalut pakaian yang super seksi, make up tebal, rambut dengan model bervariasi tiap harinya. Mirip artis. Siap yang tak mengenalnya. Junior maupun senior di fakultasku semua mengenalnya. Dia memang baik bahkan sangat ramah. Tak seperti wanita-wanita lain sepertinya, yang pandang bulu memilih teman.
Aku tak mampu menyembunyikan kekesalanku saat teman-teman priaku tak mengindahkannya sebagai perempuan. Dia selalu menjadi sasaran teman-teman priaku. Sasaran omongan-omongan kotor dan tingkah laku tak sopan yang ditujukan kepadanya. Sering kali dia dikatai dengan sebutan jorok. Atau bahkan mereka tak segan-segan menyentuhnya secara tak normal. Pernah suatu kali ada temanku yang minta dicium, Farah malah santai saja memberikan ciuman itu. Kasihan sekali. Dia bisanya diam saja. Tak pernah marah jadi objek ejekan teman-teman. Padahal hal itu sungguh di luar batas kesopanan.
Hari ini dia ke kampus. Seperti biasa dengan pakaian yang minim, baju ketat dan celana skinny ketat. Sebagai seorang pria aku mengakui dia memang cantik. Semua orang bahkan menjulukinya Farah Hilton lantaran cantik dan penampilannya yang terkesan seksi menyamai Paris Hilton. Dia malah asyik saja dan bangga dengan julukan itu, tanpa pernah menyangka kalau hal itu malah menjatuhkan derajatnya di mata pria.
Aku agak miris jika melihat dia duduk berdampingan dengan Zahra yang notabene seorang jilbaber besar. Anggota LDM (Lembaga Dakwah Kampus). Sangat berbeda 180 derajat. Tak pernah kah ia merasa rendah diri berhadapan atau berdekatan dengan Zahra. Zahra adalah sosok wanita yang begitu disegani di kelas. Sampai-sampai teman lelakiku menaruh hormat kepadanya. Tak berani mengajaknya bicara apalagi menyentuhnya. Aku memang simpatik sama Zahra. Dia sebenarnya tak begitu cantik, tapi karena ia menutup auratnya maka pancaran aura yang keluar begitu teduh dan bercahaya.
Aku mungkin berbeda dengan teman laki-lakiku yang lain, yang terlalu menaruh hormat pada Zahra. Aku tidak begitu segan pada Zahra. Karena ia tahu bagaimana menjaga diri dan bersikap pada lawan jenis. Namun, beda dengan Farah. Aku justru sangat menghormatinya. Tidak membeda-bedakan kedudukan dengan Zahra sebagai seorang wanita. Justru wanita seperti Farahlah yang mesti dijaga. Bukan semakin dilecehkan. Tapi, itu nampaknya tidak berlaku. Melihat Farah memang terkesan ingin diperlakukan seperti itu.
“Farhan, boleh jelaskan sekali lagi apa yang tadi kau paparkan.” Pinta Farah kepadaku agak sedikit kaku. Penjelasan barusan yang kukemukakan tidak ia pahami. Aku asisten dosen sehingga mau tidak mau aku harus bertindak layaknya dosen yang berusaha memahamkan materi yang dibawakan. Aku menolaknya. Bukan takut. Tapi sebagai rasa hormatku pada dia sebagai seorang wanita.
“Maaf, minta dijelaskan sama Zahra aja atau Maya.” Aku menghindarinya. Dia heran. Tapi tak mengucapkan apa-apa. Kutawarkan Zahra dan Maya mengingat mereka berdua seorang akhwat yang cerdas dan baik.
***
Malamnya, ia mengirimiku sms. Bermaksud ingin meminta penjelasan atas tindakanku tadi siang. Sms itu berbunyi:
“Aku tahu diriku tidak seperti Zahra ataupun Maya yang mungkin kau idamkan. Tapi setidaknya kau menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa kau tak mau bicara denganku? Aku tak meminta mengobrol berlam-lama denganmu. Karena aku tahu diri dan juga tahu dirimu. Aku hanya ingin dianggap ada olehmu. Mungkin kau memang tak menganggapku sebagai teman karena aku sama sekali memang tak pantas jadi temanmu. Mungkin aku hina di matamu. Tapi aku sangat menaruh hormat kepadamu.”
Tak pernah kubayangkan ia akan menulis sms seperti itu. 2 tahun kami sekelas, namun baru kali ini aku berinteraksi dengannya walaupun cuma lewat sms. Selama ini aku memang menghindarinya. Namun sangat mengkhawatirkannya dari belakang. Kenapa dia berpikir aku tak menghargainya. Apakah pengertian menghargai bagi dirinya adalah dengan memperlakukannya secara tak sopan. seperti laki-laki lain memperlakukannya? Justru aku sangat menghargainya. Aku bukannya tak ingin berteman dengannya. Tapi dia mengundang banyak maksiat. Ingin kubalas sms itu, tapi tak tahu harus berkata apa. Kubaca berkali-kali. Lalu kudiamkan saja.
Esoknya. Terasa aneh. Dia bahkan tak seceria biasanya. Apakah karena semalam? Entahlah. Dia selalu menatapku dengan tatapan aneh. Yang memaksaku untuk selalu menunduk. Tetap harus kuhindari. Penampilannya yang berlebihan dan bisa mengundang siapa saja untuk menganggunya masih melekat di dirinya. Tetap saja, teman-teman laki-lakiku usil terhadapnya. Itu menambah rasa kasihanku kepadanya. Harus kuapakan orang ini. Aku tidak tega ia diperlakukan seperti itu. Bukan karena aku menyukainya atau tertarik kepadanya, Namun dia adalah wanita yang semestinya dijaga.
“Hai Farah, makin cantik aja. Kok hari ini gak seceria biasanya?” Doni salah satu temanku menghampirinya. Dia terlalu berani mengganggu Farah. Dia bahkan tak segan-segan berbuat tak sopan pada Farah. Mungkin bukan salahnya. Atau salah laki-laki manapun. Farah sendiri yang mengundang mereka berbuat demikian. Nafsu tak akan muncul jika tak dipancing.
“Iya, Don. Ada apa?” gayung bersambut. Farah masih tetap meladeni lelaki hidung belang seperti Doni dengan gayanya yang centil. Begitulah tabiatnya yang memprihatinkan. Aku tak habis pikir. Kenapa dia masih saja bersikap begitu. Padahal ia tahu apa akibatnya.
Aku sudah tak konsen lagi. Tindakan mereka membuyarkan kefokusanku. Kemesraan itu tak semestinya diumbar. Apalagi ini adalah jam kuliah. Mereka tak sadar mata dosen sering kali menipu. Kelakuan itu mengingatkanku ketika Farah malah asyik bercengkerama di belakang kami dengan dosen, saat mata kuliah berlangsung. Dosen genit itu pun merasa senang karena disambut oleh Farah yang memang suka memancing.
***
Terus terang ini semakin tak bisa kubiarkan. Tingkahnya tak pernah berubah. Ingin sekali kuberitahu Zahra untuk mengajak Farah ikut kajian. Tapi aku takut Zahra berpikiran macam-macam. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu kutakutkan, karena hanya menghambatku beramar ma’ruf nahi munkar. Zahra seharusnya peka terhadap orang seperti Farah. Tapi aku juga tak mau menyalahkannya, mungkin saja ia sudah menegur Farah dan mengajaknya ikut kajian.
Yang selalu terbayag-bayang di pikiranku, pikiran buruk yang sebetulnya tak boleh ada. Sangatlah kutakutkan terjadi kepadanya. Mungkin aku sudah berlebihan memikirkannya. Tapi aku tak pernah berpikir macam-macam tentangnya. Aku hanya menginginkan sesuatu yang baik pada dirinya. Dia begitu polos dan jauh dari agama. Mesti disirami terus-menerus. Tapi aku tak tahu apakah ada yang memedulikannya.
Pernah ketika aku berjalan di koridor fakultasku, dan dia berjalan tak jauh di depanku. Para mahasiswa yang sedang kumpul-kumpul tak jelas. Bersuit-suit kepadanya. Bahkan mengeluarkan kata-kata gombal kurang sopan. Hatiku benar-benar panas, melihat itu. Tidak adakah yang peduli pada gadis ini. Setiap harinya mungkin saja menimbulkan dosa zina. Andai aku seorang wanita sudah dari dulu aku menyadarkannya. Kulihat sebenarnya ia lembut, dan gampang rapuh. Gampang saja bagi wanita seperti itu dipengaruhi. Dia hanya terlalu baik dan pasrah untuk diperlakukan tak sopan. Tapi sayang, aku tak tahu yang harus kulakukan. Diharapnya ibadah, tapi bernilai dosa di sisi Allah.
***
Malam ini, dia mengirimkan sms lagi kepadaku. Tak tahu apalagi maksudnya. Sms itu berisi:
“Assalamu alaikum, Aku semakin iri dengan Zahra, yang begitu disegani dan dihormati. Aku juga ingin menjadi orang yang kau anggap sebagai teman. Dan tak segan kau ajak bicara. Mungkin aku hina mengirimkan sms ini. Aku merasa tak pantas. Tak apa-apa kalau kau tidak mau membacanya. Hanya sekedar memberitahumu kalau inilah yang kualami. Ada pergolakan hebat dalam batinku bahwa aku juga ingin berubah.”
Sama seperti sebelumnya, aku tetap mendiamkan sms itu. Tak tahu bertindak bagaimana. Aku tidak peduli dia salah paham terhadapku. Menganggapku jahat atau apa. Tapi, aku tidak ingin hanya karena ini, aku bermaksiat kepada Allah. Dia sebenarnya ingin sekali berubah. Apakah hanya di bibir? kulihat tak ada sama sekali tanda-tanda kalau ia mau berubah. Dia masih tetap berpenampilan jahiliah yang membuat dirinya semakin ternodai. Tapi, di sisi lain, ia perlu disadarkan segera. Ia sudah bersedia.
Sejak sms itu tiba di tanganku, aku jadi berpandangan lain terhadapnya. Keinginanku untuk melihatnya berubah, semakin besar. Sampai-sampai aku memimpikannya. Ia berubah menjadi sosok muslimah yang santun. Penampilannya dibalut dengan jilbab syar’i. Dia bahkan mengalahkan kecantikan Zahra. Jauh di atas Zahra. Sungguh aneh mimpi itu. Mungkin mimpi itu pertanda baik baginya. Pikiranku pun melayang-layang. Apakah esok aku sudah melihatnya berubah. Apakah esok dia sudah menutup auratnya? Begitulah perasaanku setelah memimpikannya.
Di kampus aku datang dengan perasaan biasa-biasa saja. Bahkan tekesan lebih semangat. Apakah mimpiku benar adanya. Sungguh berkebalikan 360 derajat bahkan 1000 derajat. Seantero kampus membicaraknnya. Inilah yang dari dulu tak kuinginkan terjadi padanya. Dia diperkosa oleh seorang tukang becak yang mengantarnya pulang. Pakaiannya yang sangat minim di tambah wajahnya yang cantik membangkitkan hasrat tukang becak itu. Setelah itu dia sama sekali tak pernah kulihat lagi. Kekhawatiran terbesarku akhirnya terjadi. Belum sempat kulihat dirinya berubah. Dia sudah jatuh pada akibat terparah. Apakah ini Isyarat mimpi semalam?
Diberdayakan oleh Blogger.