Pertama kalinya, aku merasakan
hangat sekaligus dinginnya musim semi. Di Indonesia tidak akan pernah kutemukan
musim seromantis ini, bahkan lebih romantis dari musim hujan di tanah air.
Bunga-bunga baru saja bermunculan. Daun-daun di pepohonan masih segar dan imut.
Bersih dan menyejukkan. Mungkin sepersekian miniatur surga. Di sini subuhnya
berbeda. Tidak ada adzan yang mungkin setiap subuh membangunkanmu di Indonesia.
Temperaturnya kadang tidak menentu dan membuat tubuh menggigil.
Ini hari pertama di negeri Paman
Sam. Edwards Hall, asrama yang akan kutinggali ke depannya. Aku menemukan
kalimat istimewa di pintu kamarku. Ditulis di papan tulis segi empat kecil yang
terpasang di pintu.
“Welcome
my new roommate. Wanna make a difference?”
Ya, salam perkenalan yang
ditujukan padaku oleh pemilik kamar ini. Sapaan yang hangat. Tapi aku khawatir,
bagaimana responnya setelah mengetahui bahwa aku seorang muslim dan
berkerudung. Kamar yang kutinggali sekarang ialah milik seorang yang bernama
Natalie. Ada sepeda yang tergeletak di samping ranjang. Ada dua ranjang.
Terletak di sisi kiri, milik Natalie. Dan milikku yang terletak di sisi kanan. Meja
belajar dan wardrobe ada dua pasang. Kamar
yang memang didesain untuk dua orang. Di ruangan yang cukup elegan dengan furniture yang memesona. Ada heater (penghangat) yang built-in di dinding kamar.
***
Beginilah Colorado, cuacanya
tidak menentu. Matahari bersinar secerah di Indonesia. Bedanya, di sini sangat
berangin. Anginnya sampai menembus kulit. Sangat dingin. Bahkan lebih dingin
jika salju turun di musim ini. Musim semi. Masih tersisa bekas-bekas musim
dingin. Pepohonan yang tak berdaun. Kering. Tapi lambat laun di musim ini kau
bisa memperhatikan bagaimana daun itu tumbuh hingga berbunga. Dan kau tahu Fort
Collins adalah salah satu kota di Colorado yang sangat subur. Akan bersemi
bunga-bunga berwarna-warni di musim ini. Cuacanya seperti cuaca hatiku yang
tidak menentu saat ini, tapi lambat laun seperti ada bunga yang bersemi.
Bahagia dan bersyukur.
Aku mengalami sedikit culture shock1. Meski
sebelumnya telah dibekali pengetahuan budaya dan kebiasaan yang ada di Amerika.
Juga telah kupelajari di bangku kuliah tentang budaya orang-orang Amerika. Tapi,
aku paling tidak tahan dengan toilet yang kering yang hanya menggunakan tissu.
Atau cuaca yang membuat bibir dan kulit mengering dan menimbulkan bercak merah.
Orang-orang Amerika individualis,
disiplin, seperti dikejar waktu. Benar, di sini waktu adalah uang. Secepat
apapun langkahmu, kau tidak akan sanggup mengalahkan langkah cepat mereka. Penghargaan
terhadap waktu memang begitu tinggi. Saat kau pergi ke dokter dan telah membuat
kesepakatan waktu dengannya. Lalu kau melanggar perjanjian waktu yang telah
disepakati, dokter itu akan mengenaimu denda. Karena kau telah terlambat.
Waktunya yang telah kau buang dibayar ganti dengan uang.
***
Seminggu telah berlalu, ajaran
baru di kampus akan segera dimulai. Mahasiswi telah menghabiskan liburan spring break. Satu persatu penghuni
asrama berdatangan. Aku mulai kehilangan kepercayaan diri. Pikiran-pikiran
negatif mulai memenuhi otakku. Teman sekamarku akan datang.
Kudengar sentakan koper di luar.
Sepertinya itu Natalie. Terdengar suara yang berusaha membuka pintu kamar ini.
Aku duduk di depan meja belajar sambil pura-pura memainkan laptopku. Natalie masuk. Ternyata dia gadis jangkung, kurus,
langsing seperti model. Dan kau tahu, dia santai saja melihatku. Tidak heran
sedikit pun.
“Hi.” Sapanya dengan senyum yang
tipis. Dia cantik. Rambutnya panjang dan pirang.
“Hi.” Jawabku seadanya. Aku
kikuk. Akan seperti apa tanggapannya melihatku berkerudung. Nampaknya Natalie
tidak terlalu peduli. Karakter orang-orang Amerika yang katanya individualis
itu telah nampak.
Setelah itu tidak ada obrolan
hangat di antara kami berdua. Natalie sibuk merapikan barang-barangnya yang
masih berserakan seminggu ditinggalkan.
***
Kelas mulai berlangsung. Aku
tidak terlalu canggung. Aku bertemu dengan teman-teman sesama muslim dari Arab.
Tapi, tak sedikit yang keislamannya telah luntur. Mahasiswa-mahasiswa dari Middle East memenuhi ruang-ruang kelas. Merekalah
penyumbang terbesar di tempat kami belajar ini. Selebihnya dari Jepang, Korea,
China, Afrika dan Amerika Latin Tapi, di luar dugaanku. Mereka seperti singa
yang baru saja keluar dari kandangnya. Liar. Kebanyakan sudah tak lagi
melaksanakan sholat. Sudah kebarat-baratan. Atribut islam sudah tidak jelas
lagi, kecuali wajah khas Arab mereka.
“You
know, the first time I came here, I got culture shock. Two months. When a woman
came and tried to hug me. I was shock. I never saw and did that in my country,
although they did it to show closeness as a friend. So, I didn’t blend it that
time.” Ucap
Ahmad yang merasakan betapa terkejutnya dia menemukan sebuah budaya yang sangat
berbeda dari negara asalnya, Arab Saudi. Dengan muka yang merasa bersalah, dia mengaku
mengalami banyak perubahan.
Aku memperoleh banyak informasi
dari obrolanku bersama Ahmad. Dia dan teman-teman dari Arab merasa jenuh dengan
kehidupan mereka di sana. Tidak ada bioskop dan tidak ada kebebasan. Benar-benar
seperti singa yang keluar dari kandangnya. Atau burung yang keluar dari
sangkarnya. Seolah menemukan dunia baru di jagad ini. Namun, kabar itu menyedihkan
buatku. Mereka terkikis oleh kultur Amerika.
Lain halnya dengan kawan-kawan
dari negeri matahari terbit. Mereka cenderung pendiam di kelas. Tapi, di luar
begitu aktif. Mereka sangat mencintai fashion.
Bahkan rela menghabiskan uang demi penampilan mereka. Dan kau tahu mereka tidak
mengenal agama. Suatu waktu aku menanyai Ayako.
“What’s
your religion?”
Dia diam sambil berpikir sejenak.
“Oh, religion? I don’t have religion.”
Jawabnya polos dengan logat Jepang yang masih khas, sambil tersenyum hingga
matanya menipis. Dan aku membalas senyumnya.
***
Hari yang teduh. Angin Fort
Collins terasa beda. Mungkin karena temperatur agak sedikit naik. Matahari
lebih bersinar dari hari-hari sebelumnya. Tapi, dinginnya tetap menusuk, meski
tidak sedalam sebelumnya. Aku berjalan menuju Islamic Center di Fort Collins. Sekadar bersilaturrahmi denga sisters di sini. Ada kesenangan
tersendiri jika bersua dengan saudari seiman dimana kami tergolong minoritas. Tempat
ini sangat sederhana. Hanya sebuah rumah yang disulap menjadi tempat ibadah. Namun,
segala aktivitas keislaman berlangsung di sini. Dari sholat Jumat hingga kajian
keislaman. Kudengar di setiap sholat Jumat, selalu ada yang masuk islam. Dan
itu cukup membuktikan bahwa agama yang paling pesat pertumbuhannya di Amerika
bahkan dunia adalah islam. Air mataku langsung menetes ketika mendengar kabar
bahwa ada lagi yang bersyahadat.
Selanjutnya, aku menuju pusat
keramaian di Fort Collins untuk menikmati weekend.
Old Town yang selalu ramai. Tempat rekreasi di tengah kota. Ada banyak toko
pakaian, souvenir, restoran dan lain-lain. Ada atraksi, pertunjukan unik dan festival-festival
yang biasa diadakan pada hari-hari tertentu. Mahasiswa-mahasiswa pun sering menggalang
dana di tempat ini.
Aku duduk di sebuah kursi di
taman. Di sekitarnya ada bunga-bunga yang baru bermekaran, berwarna-warni.
Entah bunga apa namanya. Tapi jenis bunga ini tersebar di penjuru kota Fort
Collins. Seketika aku merasakan kerinduan yang mendalam pada kampung halaman,
keluarga dan teman-teman seperjuangan, tapi masih mampu merasakan keindahan
kota ini. Serta waktu yang terus bergulir. Old Town selalu lebih ramai saat weekend tiba. Orang-orang datang hanya
mencari kesenangan, hiburan, dan membunuh waktu.
Sabtu dan Minggu adalah hari yang
sangat dinanti-nanti. Setelah lelah berkutat dengan pekerjaan. Hari Senin
hingga Jumat adalah hari berkerja. Bekerja seperti nafas yang memburu. Benar,
bahwa waktu adalah uang. Mereka hidup untuk bekerja. Kupikir mereka tidak punya
beban. Fasilitas umum yang memadai,
musim yang selalu indah, kota yang bersih, indah dan aman. Dan baru kusadari,
pekerjaan telah menjadi Tuhan sekaligus beban. Kau tahu istilah populer di
Amerika? Hanya diucapkan ketika hari Jumat tiba. “Thanks God it’s Friday.” Karena weekend telah tiba untuk bersenang-senang dan berpesta.
Seorang Bapak tua menghampiriku
di tengah asyik membaca. Hampir tak kupercaya bahwa dia adalah seorang pengemis.
Badannya cukup berisi. Dia mengenakan jaket tebal, celana jins, dan sepatu
kets. Dia memegang makanan junk food,
lengkap dengan minuman berkarbonat.
“Excuse
me.” Secarik kertas
kecil yang bertuliskan donation ia
sodorkan kepadaku. Aku kira dia sedang menggalang bantuan untuk orang-orang
miskin. Ternyata, secarik kertas itu adalah bentuk bahwa dia sedang mengemis. Cara
mengemis yang cukup berbeda di Indonesia.
Aku mengeluarkan uang satu dolar
dari dompetku. Dia meraihnya dengan balasan senyuman kepadaku. Anehnya, aku
telah memberi uang kepada seorang pengemis di Amerika. Amerika, negara impian
banyak orang, pun ekonominya mulai rapuh akibat krisis. Seperti gelembung yang
sekali tusuk langsung pecah. Sedikit saja, mereka akan collapse.
Namun, sangat berbeda dengan
pengemis di Indonesia. Pengemis Amerika terlihat bukan pengemis. Bajunya tidak
menyerupai pengemis. Mereka biasa duduk di taman kota atau tidur-tiduran. Sama sekali
tidak terlihat mencemari kota. Tidak ada kolong jembatan, atau orang-orang yang
meminta di setiap lampu merah.
***
Entahlah. Kenangan di Makassar tiba-tiba
muncul satu persatu di memori otakku. Menuju kota Denver. Mulai tampak gedung-gedung
yang menjulang tinggi. Berbeda dengan Fort Collins yang masih kental suasana
pedesaannya. Hari ini, angin kota Denver terasa lebih menusuk. Gerimis
mengantarkanku meninggalkan Fort Collins. Gerimis yang tiba-tiba bersalju.
Salju yang lembut. Aku sangat senang melihat banyak hal di balik mobil. Sambil
mendengarkan lagu “Let it rain” dari Tracy Chapman yang sengaja kumainkan
ketika merasa sepi. Atau lagu “I Believe” milik Maher Zain.
Hari yang sangat melankolis. Meski
di luar sangat dingin, tapi mesin penghangat dalam mobil menghangatkan kami. Aku
diantar oleh Natalie. Sekarang Natalie sudah berjilbab dan menjadi seorang
muslimah. Tidak sulit baginya untuk menerima islam. Dia memang berbeda dengan
kebanyakan perempuan Amerika. Dia lebih senang menghabiskan waktunya di kamar
dan mengerjakan tugas kuliahnya. Atau melakukan aktivitas amal.
Denvert Art Museum begitu menawan
dari balik mobil ini. Juga gedung walikota yang gaya arsitekturnya mirip white house. Salju berhenti. Denver
kembali cerah perlahan. Di Ibukota, akan kau temukan lebih banyak gelandangan
yang tidur-tiduran di taman kota.
Aku melanjutkan perjalanan menuju
Denver International Airport. Natalie memberhentikan mobilnya. Dua koper
kukeluarkan dari bagasi. Aku menuju pintu masuk bandara. Sementara Natalie
hanya bisa mengantarkanku sampai di sini.
“Be
careful ukhti, I will miss you a lot.”
Kedengarannya aneh, Natalie kini menyapaku dengan kata ukhti yang berarti saudara perempuan.
“Thank
you, Natalie. Me too, will miss you so much.” Aku memeluk Natalie untuk terakhir kalinya.
“Assalamu Alaikum.”
“Waalaikum salam.” Balas Natalie
dengan penyebutannya yang masih belum sempurna.
Aku memasuki bandara dan
lagi-lagi melewati serangkaian proses imigrasi dan pemeriksaan yang sedikit
menjemukan dan meletihkan. Akhirnya aku menaiki Pesawat UA869 setelah beberapa
menit menunggu. United Airlines yang
lebarnya dua kali lipat pesawat domestik Indonesia akan lepas landas.
Merindukan Indonesia begitu dalam. Perjalanan akan kutempuh sekitar 30 jam
lebih. Transit di San Fransisco International Airport, Hongkong, Singapura, dan
tiba di Cengkareng, Soekarno-Hatta.
Hasanuddin International Airport,
15 Mei 2015, pukul 17:15 aku tiba di Makassar. Senja di Makkasar menyambut
kedatanganku. Musim yang seketika berganti. Cuaca Makassar masih tetap sama.
Apa kabar Ibu? Aku merasakan kerinduan yang begitu mendalam melihat wajah ibu,
dan memeluknya. Juga berharap sebagian kenangan terhapus di memori otakku.
Berganti perasaan yang seolah baru. Aku masih merindukan segalanya di kota ini.
***
[1] Culture shock: istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kegelisahan dan perasaan (terkejut, kekeliruan, dll.) yang
dirasakan apabila seseorang tinggal dalam kebudayaan yang berlainan sama
sekali, seperti ketika berada di negara asing.