Oleh: Bulqia Mas’ud
Refleksi Pengkaderan
Pengkaderan adalah proses menciptakan kader-kader baru agar memiliki kesepahaman dengan ideologi wadah yang mengkader. Arah gerak pengkaderan ditentukan oleh visi dan misi wadahnya. Visi dan misi inilah yang akan melingkari wilayah gerak senior sebagai pihak yang mengkader. Proses mengkader mahasiswa pada dasarnya bertujuan untuk melahirkan pribadi mahasiswa ideal menurut wadah yang mengkader. Maka tak jarang, kader yang terbentuk dalam suatu wadah akan sama dengan kader sebelumnya. Dalam lingkup ini, senior telah berhasil membentuk junior yang memiliki pemahaman, karakter berpikir, penampilan seperti seniornya. Berbeda wadah tentu berbeda pula konsep pengkaderannya. Coba lihat karakterisasi setiap himpunan, senat, atau BEM yang ada di setiap fakultas dan jurusan. Kita akan mudah mengobservasi bahwa kecenderungan mayoritas kader akan mengikuti seniornya. Hal tersebut karena mereka terkader secara intensif dan dikendalikan oleh faktor lingkungan.
Proses pengkaderan juga merupakan warisan turun-temurun dari kader-kader sebelumnya. Biasanya pola mengakader ini sudah diterapkan oleh senior angkatan lama sehingga menjadi tradisi yang sulit dihilangkan. Contoh dalam kasus kekerasan atau perploncoan, yang tidak akan pernah putus selama tradisi itu tetap dipegang teguh oleh pihak yang mengkader. Indikasi yang muncul ialah keinginan untuk memperlakukan junior seperti apa yang mereka dulu rasakan ketika masih berstatus junior. Ketika kesempatan menjadi senior itu tiba, maka muncullah peluang untuk melakukan tindakan balas dendam kepada generasi selanjutnya. Ketika pemahaman yang terbentuk secara kolektif ini masih dipegang kuat, maka penghapusan tradisi itu tidak akan pernah berhasil. Oleh karena itu diperlukan juga kesadaran kolektif yang mampu merevolusi tradisi pengkaderan seperti kekerasan dan perploncoan yang lain. Selama itu tidak terwujud, maka mimpi untuk menciptakan proses pengkaderan yang lebih ma’ruf akan tergantung di langit. Pertanyaannya, adakah kesadaran dari mahasiswa untuk mengambil pelajaran dan merumuskan resolusi baru untuk pengkaderan yang lebih ideal.
Pengkaderan menjadi ajang tahunan yang mesti ditempuh oleh mahasiswa baru sebelum melangkah ke jenjang berikutnya. Proses pengkaderan ini selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para maba. Kebanyakan maba selalu mengeluhkannya. Hal ini membuktikan bahwa pengkaderan belum menjadi sesuatu yang disenangi. Idealnya, pengkaderan seharusnya menjadi ajang yang menyenangkan dengan kultur akademis yang baik. Bukan hal yang menakutkan.
Pengkaderan yang ma’ruf ialah mengkader mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang ideal, paling tidak menjadi mahasiswa yang kritis, cerdas, kreatif, dan bertakwa. Bukan ajang perkenalan antara senior dan junior atau pengenalan kampus, fakultas, dan jurusan semata. Tetapi, mampu memperkenalkan dan menanamkan esensi seorang mahasiswa. Di sinilah peran penting seorang senior bagaimana mengubah juniornya untuk lebih paham mengenai kondisi kampus dan memiliki karakter ideal seorang mahasiswa.
Pada implementasinya, banyak hal yang sebenarnya mereduksi keidealan seorang mahasiswa. Pertama, tak jarang kita lihat dalam proses pengkaderan, tidak mengindahkan waktu sholat. Senior dan junior asyik berkumpul sementara adzan sudah berkumandang. Kedua, ajang mengerjai yang sebenarnya tidak penting untuk diterapkan. Belum lagi jika telah berlaku sistim kekerasan yang sangat tidak memanusiakan manusia. Dampaknya, lahirlah mahasiswa yang tidak membawa solusi tapi masalah.
Pengkaderan yang Ma’ruf
Pada dasarnya pengkaderan sangat penting. Bahkan dalam hidup ini sebenarnya kita melalui proses pengkaderan. Mulai dari pengkaderan yang dibentuk oleh orang tua kita di rumah. Pengkaderan bertujuan untuk memproses seseorang menjadi seseorang yang lebih baik, bertanggung jawab, dan berkarakter sesuai dengan konsep perubahan yang diinginkan oleh pihak yang mengkader. Berbeda wadah, pasti berbeda output pengkaderan yang diinginkan. Tidak semua orang memiliki isi kepala yang sama. Akibatnya, muncul konsep pengkaderan yang bermacam-macam. Salah satunya, muncullah pengkaderan yang menggunakan sistem kekerasan fisik dan psikis sesuai isi kepala yang diinginkan pihak yang berwenang mengkader. Oleh karena itu perlu aturan baku yang seragam untuk mengatasi masalah ini.
Menurut penulis, pengkaderan yang ideal adalah pengkaderan yang memanusiakan manusia. Islam datang untuk memanusiakan manusia. Bukan menghewankan manusia atau membuat manusia menjadi robot. Islam memang agama wahyu, tapi bukan berarti islam adalah doktrin yang memaksakan kehendak kepada seseorang secara tidak ilmiah. Islam tidak membuat manusia menjadi kaku layaknya robot yang siap diperintah atau memiliki mental yang terjajah. Solusi untuk memanusiakan manusia ini bisa kita ambil dari nilai-nilai luhur islam yang universal. Ketakwaan kepada Sang Pencipta, mengedepankan dan mencintai nilai-nilai kemanusiaan, serta mementingkan penguasaan ilmu.
Banyak masalah besar yang sebaiknya dipikirkan oleh mahasiswa daripada sekadar mengurusi pengkaderan. Seharusnya para maba sudah dibiasakan bergelut di perpustakaan, bukan menghabiskan waktu untuk mengikuti seluruh agenda pengkaderan. Daripada mengerjai maba, lebih baik lembaga mengarahkan mereka untuk mau berpikir mengenai kondisi bangsa ini. Pengkaderan mahasiswa baru sangat minim agenda publik. Ada baiknya mereka diarahkan untuk mau memperbicangkan problematika ummat sehingga kesadaran mereka tumbuh.
Sebagai seorang muslim yang senantiasa menjadikan rasulullah sebagai teladan, maka kita patut mencontohi pola pengkaderan rasulullah. Rasulullah menempatkan islam sebagai patron dalam bertindak, termasuk mengkader para sahabat dan keluarganya. Rasulullah mengubah pola sikap dan pola pikir para sahabat agar menjadi lebih islami. Pola sikap yang terbentuk ialah akhlak yang baik, yang tidak bertentangan dengan syariat. Pola pikir yang terbentuk ialah pola pikir islami yang jauh dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran bathil. Allahu a’lam.
Mahasiswa Sastra Inggris 2008