Oleh: Bulqia Mas’ud
Selalu ada yang menggelitik saat mengistilahkan sosok pemuda. Ia begitu heroik dengan kekuatan idealismenya. Matanya mampu menatap tajam setiap keabsurdan dan kekejian. Telinganya mampu mendengar riuh tolongan dari proletar. Mulutnya mampu menaklukkan sang penguasa tirani. Tangannya mampu menangkis kegalauan sekitar. Kakinya terbalut langkah yang tak surut oleh langgam penindasan. Setiap hembusan nafasnya mengisyaratkan perubahan dan semangat yang menggebu-gebu. Mereka adalah sang revolusioner sejati. Namun, mereka berada antara jurang kelabilan dan maturity. Coba renungkan perkataan sejarawan besar Indonesia Ong Hok Ham yang mengartikan sosok seorang pemuda. Menurutnya kata ‘pemuda’ adalah tafsiran dari konstruksi kolonial yang berarti pengacau, ekstrimis, teroris. Adopsi yang diambil dari pemikiran orang Jawa bahwa Orang Muda adalah ketidakmatangan yang pada akhirnya akan menuju tingkat kedewasaan. Ia mendefinisikan kata pemuda yaitu berumur di bawah 30 tahun memegang peranan penting pada saat-saat tertentu, dan secara sendiri belum termasuk dalam kesatuan-kesatuan sosial produktif. Sementara remaja dalam pendefenisian para ahli hampir bertemu pada satu simpul. Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993). Zakiah Darajad mendefinisikan remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Darajad, 1990).
Ketidakmatangan itu yang diujicobakan oleh gempuran besar yang abstrak, yaitu globalisasi. Hedonisme, terasa akrab di telinga kita karena volumenya diperbesar oleh pemuda. Free sex menjadi istilah kacung dari orang tak berpendidikan karena gaungnya juga dilolongkan oleh pemuda. Globalisasi mengantarkan budaya hedonisme, konsumtif, dan surinya kreativitas pada pemuda Indonesia. Jejak prestasi pemuda seketika lenyap oleh deburan brutalismenya. Ujung tombak itu kian goyah oleh makhluk invisble globalisasi. Pemuda adalah motor bangsa ke depan. Lihatlah setetes perubahan akibat tumbangnya rezim tirani yang dimotori pemuda pada peristiwa Mei 1998. Kediktatoran vanish oleh nafas intifadhah yang mengembun di setiap kuku-kuku mereka. Hingga di era instan sekarang, globalisasi yang merupakan perpanjangan tangan capitalism nista itu datang dengan membawa segudang luxury. Pemudalah menjadi mangsa superlatif. Menyerbu mereka dengan ke-inconsistent-an oleh produk globalisasi capitalism itu. Ia bak pedang bermata dua. Yang mehunus dari sisi mana saja.
Jargon globalisasi itu tak memiliki defenisi mapan. Ia multitafsir tergantung bidang yang menyinggungnya. Globalisasi, globalisation, atau globalization diambil dari kata global yang artinya universal tanpa batas ruang dan waktu. Adalah Theodore Levitte merupakan orang yg pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Globalisasi itu akhirnya merambah ke seluruh bidang kehidupan. Dan yang paling menyentuh sisi lemah pemuda ialah globalisasi kebudayaan dan ekonomi. Ia bagai heroin yang mencandukan kita atau pil tidur yang memulaskan. Memanjakan kita dengan teknologi praktis bersesuaian dengan spirit kepemudaan. Contoh yang paling hebat ialah internet. Dan yang terkini ialah sang fenomenal Facebook dan Blackberry.
Berkaca dari kata-kata Stiglitz, “Kita boleh mengambil manfaat dari globalisasi tetapi tidak boleh dimanfaatkan globalisasi.”
Kalimat itu memposisikan pemuda pada dua jalur. Ada yang mampu memanfaatkan globalisasi, adapula yang terkikis hingga lebur karena globalisasi. Globalisasi hanyalah hasil dari suatu periode masa. Ia mungkin liar sekarang, tapi suatu saat bisa berglobalisasi dengan cara yang ma’ruf. Dan pemuda tetap harus melewati masa itu. Berjalan pada sisi mata pedang yang mereka pilih. Inilah yang membawa perpekstif tersendiri bagi mereka. Dengan keintelektualannya mereka mampu membahasakan dan merasakan hingga merasukkaan globalisasi itu. Ironis juga, karena banyak juga pemuda tak tahu menahu makhluk apa globalisasi. Merekalah sasaran empuk globalisasi. Ada pula yang mampu mendefinisikan globalisasi. Namun kesadaran mereka terkafani oleh kemudahan dan keasyikkan globalisasi. Padahal globalisasi menggerus satu-persatu jasad mereka. Adapula pemuda yang termarginalisasi globalisasi. Mereka adalah residu globalisasi yang juga buta globalisasi. Lalu, inilah pemuda yang sesungguhnya. Inilah pemuda harapan. Mereka mampu menaklukkan globalisasi. Mereka memposisikan globalisasi sebagai pendukung gerak maju mereka.
Mereka yang menjadi sasaran empuk globalisasi.
Bukalah mata dan pandang di sekeliling. Ada begitu banyak pemandangan yang berkolerasi dengan globalisasi. Saat kita terbangun, di meja sudah tergeletak laptop atau komputer. Produk globalisasi yang memuluskan langkah kita sebagai mahasiswa. Itu hanyalah ujung kuku globalisasi. Cobalah lihat pada lingkungan sosial tempat pemuda bergelut. Yaitu dunia kampus. Kampus ialah sarang pemuda. Temukanlah variannya di sana. Ada yang menjadikan kampus sebagai stage tempat model berlenggak-lenggok. Merekalah para pemuda dan pemudi hedonis. Produk kosmetik dalam dan luar negeri laris manis terekspose pada pipi-pipi dan bibir-bibir mereka yang ranum. Style erotisme begitu lekat pada balutan busana mereka untuk mencari ilmu di dunia perkuliahan. Target media massiv berideologi kapitalis.
Sementara pemuda enjoy dengan punk style Gerard Way, leader My Chemical Romance. Ikon emo (emotional hardcore atau emocore) aliran musik hardrock-punk. Yang kemudian merambat pada bidang kebudayaan. Bermetamorfosis menjadi istilah hubungan khusus antara penggemar dan artis, pola berbusana, budaya, dan tingkah laku. Hitam adalah simbolisasinya. Skinny ketat, kaos oblong super ketat, tatanan rambut bagai sarang burung dan menutupi mata.
Menyinggung dari sisi tekhnologi, Blackberry menjadi bukti dan landasan bahwa kita pemuda yang up to date teknologi. Istilah browsing, e-mail, website, blog, dan yang fenomenal facebook temuan Mark Elliot Zuckerberg. Globalisasi jaringan informasi membuat mereka mampu menerima segala informasi yang western-minded dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Musik, film, dan situs pornografi yang diobral murah di internet menjadi konsumsi hari-hari pemuda. Sebuah data menunjukkan 60% pemuda perkotaan di bawah 30 tahun menjadi pengguna internet. Maka tak heran jika indonesia dinobatkan sebagai juara ketiga yang menaruh kata “seks” pada search engine. Hasil dari globalisasi informasi ini merambah pada globalisasi kebudayaan. Pergaulan bebas, narkoba, hamil di luar nikah, abortus dan derivat yang lain adalah gempuran budaya yang mereka anggap patut dicontoh. Merekalah orang-orang yang termanfaatkan globalisasi. Meskipun mereka mampu membahasakan globalisasi dengan mulut berbusa-busa, tetap saja keintelektualan mereka tak mampu menghindari kelenaan globalisasi.
Merekalah yang taklid media. Awam globalisasi dan tergerus globalisasi budaya.
Inilah golongan pemuda yang hidup di kampung. Wawasan tidaklah penting bagi mereka. Meskipun di antaranya ada yang mengenyam bangku sekolah, namun ketika ditanya mengenai globalisasi mulut akan ternganga. Mereka adalah budak salah satu instrumen globalisasi, yakni televisi. Televisi memberikan gambaran bahwa seperti inilah kehidupan kota. Mereka pun taklid dengan alasan ingin dicap sebagai manusia modern miniatur manusia kota. Suguhan informasi yang dominan westernisasi langsung dilahap mentah-mentah dan diintegrasikan dengan kehidupan sehari-harinya. Sajian musik, reality show dan sinetron lebih kerap bagi mereka. Tren acara televisi itu menjadi buku panduan untuk bertindak. Busana bintang opera sabun menjadi pola pakaian mereka. Kesan modern yang ingin mereka eksiskan, namun tetap norak. Free sex pun tak kalah hebat. Pergaulan bebas dan kesempitan ekonomi mengantarkan mereka pada dunia sang kupu-kupu malam. Globalisasi pun meleburkan mereka tanpa pernah tahu makhluk apa penghancur dahsyat itu.
Merekalah residu globalisasi
Pengamen, pengemis, pemulung yang masih mampu produktif merupakan gilasan globalisasi, yaitu kemiskinan. Mereka hidup tanpa visi ke depan. Harapan bagi mereka adalah bisa makan di esok hari. Hidup adalah bekerja untuk mengenyangkan perut. Globalisasi tak ada dalam kamus mereka. Mereka seharusnya aset yang menambah kuantitas energi muda bangsa ini. Namun mereka pasrah dalam kunkungan kultur buangan, sampah, dan ampas globalisasi ekonomi. Mereka menjadi pemuda yang hidup tanpa cita-cita. Hidup itu hanyalah aliran mengikuti arus. Mereka menjadi orang bodoh selamanya. Bahkan miskin selamanya. Mereka tak tahu arah perubahan. Hanya kelu terkutuk bodoh dan mati tanpa meraih cita-cita dan harapan.
Mereka yang mampu memanfaatkan globalisasi. Namun melupakan hakikat hidup manusia.
Inilah kelompok pemuda yang mampu menaklukkan globalisasi. Merekalah sutradara dalam panggung global. Ada begitu banyak mimpi, harapan dan cita-cita yang mengalir dalam darah mereka. Hembusan nafasnya adalah kerja keras untuk menjadi yang terbaik. Mereka menjadi Einstein dengan temuan-temuan baru mereka. Haus kreativitas adalah spirit jiwa mereka. Tak ada kata vakum belajar. Teknologi adalah teman setia mereka yang tak menjadikan mereka budak. Bersaing secara global internasional adalah panggung gerak mereka. Jargon “Time is Money” melekat kuat dalam diri mereka. Mereka mampu menapis budaya barat sehingga yang tersisa adalah gaya hidup disiplin dan kerja kerasnya. Mereka tidak terninabobokan oleh kemewahan globalisasi. Mereka mampu menyongsong masa depan dengan cerah. Namun sayang, mereka terlena akan kerja keras, prestasi dan pencapaian itu. Mereka lupa kalau mereka adalah manusia. Hamba dari sang pencipta. Mereka lupa hakikat mereka diciptakan. Agama baginya adalah perkara kedua setelah dunia. Kepositifan western-minded membawa mereka mampu menerima opini sesat ateisme. Agama tak pernah menjadi daya tarik. Liberal thinking telah merasuk ke serebrum otaknya. Waktu untuk belajar agama telah tergantikan oleh cita-cita besar yang belum dicapai. Agama dikesampingkan. Arah busur panah hidup hanya tertuju pada materialisme capitalism, mengantongi uang sebanyak-banyaknya. Lupa esensi kelahiran mereka di dunia.
Merekalah yang menaklukkan globalisasi dengan syariat.
Jika globalisasi adalah pedang bermata dua. Maka pemuda jenis ini mampu memberi sarung "pedang cina" yang bermata dua itu dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar", hulu pedangnya dibalut baik dan kuat dengan ‘akhlaqul karimah.’ Mereka mampu menaklukan globalisasi. Mampu bersaing dengan budaya global namun tak membiarkan dirinya terabrasi. Pelindung mereka adalah syariat. Teknologi pun menjadi teman setia untuk mencapai keseimbangan dunia dan akhirat. Wawasan mereka luas. Globalisasi hanyalah alat atau faktor pendukung dalam mempermudah hidup untuk lebih banyak beribadah. Kesuksesan dan cita-cita hidup tetap digenggaman mereka. Merekalah pemuda yang paling sukses dalam pentas globalisasi.
Bagaimana seharusnya pemuda menghadapi globalisasi?
“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru. Tapi kalau sepuluh pemuda bersemangat diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” [Soekarno]
Bukanlah hal yang hiperbol dengan tegasan yang dipenggalkan oleh sang Singa Podium. Bahwa pemuda memiliki energi perubahan. Mereka punya karbondioksid segar untuk meneguhkan pohon idealisme. Keidentikkan antara globalisasi dan pemuda adalah dua sisi mata uang yang inseparable. Mereka boleh saja menjadi ikan oleh pancingan globalisasi, namun mereka juga mampu menjadi mesin perahu yang menaklukkan samudra.
Adalah perkara kesadaran yang meninabobokan mereka. Namun untuk membangunkan singa tertidur itu haruslah berasal dari azzam yang kuat oleh mindset intelektual mereka. Kemandirian dan mental tak ingin terjajah adalah mindset awal yang harus dimiliki oleh para pemuda kita. Globalisasi haruslah disikapi dengan wise. Karena menolak globalisasi adalah menolak hidup. Pemuda haruslah punya prinsip. Tak ada salahnya menggaungkan kalimat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menciutkan globalisasi, "Kita ambil yang baiknya dan yang jeleknya kita lawan dan kita cegah,"
Adapula jurus manjur racikan Menneg Pora Adhyaksa Dault untuk mengerdilkan globalisai. Jurus itu disebut “Doraemon”. Jurus Pertama, 'Dream,' yakni memiliki visi ke depan. Kedua, 'Oppurtunity', pandai melihat kesempatan untuk maju. Ketiga, 'Reformasi' dalam artian mereformasi diri dengan standar serta patokan yang jelas. Keempat, 'Action', yakni setiap keprihatinan harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Kelima, Energi, yaitu memanfaatkan energi sebaik-baiknya. Keenam, melakukan 'Mapping', yakni pemetaan yang jelas terhadap situasi sekitar. Tujuh, 'Organizing', yakni membangun sumber daya berdasarkan aturan yang baik. Kedelapan adalah 'Network', pemuda harus membangun jaringan seluasnya.
Masih banyak jalan menuju roma. Banyak cara untuk menghadapi globalisasi. Pertama, ialah pemuda harus punya awareness terhadap carut-marut globalisasi. Namun juga mampu mengamati dan mencungkil sisi positif globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai pemanis tujuan menuju kesuksesan. Hati-hati dengan jebakan keasyikkan dan kemewahannya. Lihatlah globalisasi sebagai ladang untuk berinovasi dan berkreatifitas. Taklukkan globalisasi dengan mendayagunakan produk teknologi untuk menemukan grand desain, utamanya teknologi informasi.
Yang paling urgen ialah jadikan agama sebagai pembatas gerak langkah kita. Agama mampu menampakkan mana keabsurdan dan kepantasan yang mengawasi jejak kaki kita saat merintangi ruang globalisasi. Agama menjadi penopang untuk tetap maju dan inovatif tanpa ditelan mentah globalisasi. Ia penentu nomor satu untuk setiap pemuda yang tak ingin tergerus. Globalisasi capitalism suatu saat akan berganti menjadi globalisasi bernafas dakwah Ilallah andaikan kita segera meletakkan agama dan ruh syariat pada setiap gerak langkah kita.
Home / Archive for November 2009
EKSISTENSI PEMUDA DALAM GAUNG GLOBALISASI
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.