Sebuah cerita motivator dari tentor supercamp Britania
“Huruf A sebesar Tedong”
Pernahkah anda membayangkan sebuah huruf A sebesar tedong (baca:kerbau) di depan Anda dan Anda tidak menyadarinya. Lebih tepatnya Anda tidak melihat huruf A sebesar tedong itu persis di depan Anda. Selangkah di depan Anda. Maka saya dapat katakan betapa bodohnya Anda. Semua pasti mengatakan hal yang sama yaitu “Bodoh” karena Anda tidak buta.
Sebuah cerita yang saya dapat dari salah satu tentor di supercamp Britania. Cerita yang sangat memotivasi. Beliau sengaja menceritakan untuk memotivasi kami. Saat itu para peserta dalam keadaan down dan malas untuk melakukan sesuatu yang menantang, brilian, amazing, fantastis, spektakuler,
Kisah nyata dari seorang temannya sewaktu mengenyam bangku sekolah dasar. Cerita ini berlatar di sebuah daerah di Palapo. Saya kurang ingat apa nama tempatnya. Hanya terselip di memori ingatan saya. Oke, ceritanya seperti ini.
Teman si tentor ini adalah siswa yang sangat bodoh di kelasnya waktu itu. Teman-temannya sering mengatainya bodoh. It’s still fine for him. Suatu kelaziman kalau teman mengejek kita, juga sebaliknya. Tapi apa yang terjadi? Ini sungguh tak pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar pendidik. Yupz, gurunya justru kebih kejam. Lebih tak berpendidikan. Seorang guru yang sangat diharap membangun mentalitas yang baik bagi muridnya. Bukan berposisi sebagai guru yang kerjanya hanya mentransfer ilmu. Kurang mementingkan heart to heart. Tak menempatkan aspek perasaan sebagai metode utama untuk mengajar anak didiknya. Itulah yang terjadi. Dunia berubah 180 derajat dalam pandangan anak itu. Saat sang guru mengeluarkan sebuah kalimat yang tak diduga membawa pengaruh besar pada psikologinya, dan kehidupan anak itu selanjutnya.
Sang guru itu mengatakan, “Bodo’mu itu, huruf A sama besar tedong di depanmu tidak kau lihat.” Betapa kerasnya kritikan itu. Kalau dipikir orang memang pantas dikatai bodoh jika dia tidak bisa mengenali huruf A yang sebesar tedong itu. Bahkan sangat bodoh, ridiculous, stupid, fool, idiot. Sejak saat itu. Anak itu memutuskan untuk berhenti sekolah. Dan tidak pernah lagi mau menginjak bangku sekolah dasar. Betapa besar beban moral yang mengguncang batin anak itu. Ini pelajaran bagi setiap guru menghadapi murid-muridnya.
Lanjut cerita teman si tentor itu akhirnya melanjutkan kehidupannya bekerja sebagai pengayuh rakit yang penumpangnya kebanyakan bule’ (saya kurang tahu apa tujuan bule-bule itu ke daerahnya. So jangan tanya ya?). Dia sangat senang dengan kegiatan barunya. Bahasa inggris menjadi hobi baru baginya. Dia tak pernah melewatkan untuk datang bercakap-cakap dan belajar bahasa inggris dengan bule-bule itu. Semangatnya sangat tinggi. Seperti api yang membara. Seakan-akan telah lupa oleh kejadian yang meruntuhkan semangatnya belajar.
Hari berganti hari, anak itu tumbuh dengan kemauan yang kuat untuk belajar bahasa inggris. Dengan uang yang ia kumpulkan sendiri, ia mencoba menimba ilmu di Makassar satu-satunya kota yang dianggap paling strategis mengembangkan minatnya itu. Akhirnya ia datang ke Makassar dan bergabung di semacam English course juga perkampungan bahasa inggris.
Anda bisa membayangkan seseorang yang tidak tamat SD. (sekarang saya kurang tahu bagaimana ia melanjutkan pendidikannya) bisa melakukan hal yang brilliant seperti itu. Ya semua bermula dari kejadian yang membuatnya trauma psikis berat.
Dia pun dinobatkan sebagai peserta terbaik, begitu atraktifnya dan bersemangatnya dia mengikuti kegiatan camp itu. Walhasil sekarang ia menjadi salah satu tentor terbaik di lembaga kursus itu. (Saya tidak tahu apa nama tempat kursus itu)
Anda bisa menarik kesimpulan. Kejadian traumatik akan merubah hidup sesorang 180 derajat. Tapi yang saya tangkap dari cerita ini ialah kemauan untuk bangkit kembali hingga menjadi yang terbaik. Sesorang bisa saja down pada saat-saat tertentu. Tapi hanya sedikit orang yang mampu belajar dari pengalaman, membuat sesuatu yang baru dalam hidupnya, menetapkan mindset baru. Tentu saja kemauan besar untuk terus belajar dan mempertahankan semangat itu.
Juga cacatan untuk para pendidik yang tidak sedikit saya temukan mereka salah mendidik. Menggunakan ungkapan-ungkapan pembunuh semangat, men-down-kan motivasi. Juga sekaligus membunuh karakter. Bahkan tak jarang menggunakan cara-cara yang keras. Metode mengajarnya pun hanya transfer ilmu dari kepala yang satu ke kepala yang lainnya. Mentransfer pikiran ke kepala yang lain. Mereka yang masih mementingkan aspek rasio. Terfokus pada penguatan kecerdasan. Tapi lupa dengan segumpal daging merah yang diciptakan di tubuhnya. Itula hati. Mereka lupa kalau aspek,emotional-lah yang lebih urgen dalam proses mendidik seseorang. Dalam proses membangun dan menemukan jati diri.
Diberdayakan oleh Blogger.